
Tahun lalu, ketika proses transformasi PT Askes menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sedang berlangsung, sekitar 140 juta rakyat Indonesia bermimpi masalah kesehatan mereka akan terjamin. Mulai 1 Januari tahun ini, mimpi itu berangsur kembali menjadi mimpi. Berderet masalah yang muncul seiring berjalannya program itu membuat banyak kalangan memvonis pemerintah tidak siap menjalankannya. Sejatinya kesimpulan itu tidaklah berlebihan jika melihat fakta di lapangan. Yang paling kentara adalah masih banyaknya masyarakat yang belum tahu apa itu program Jaminan Kesehatan Nasional sebagai induk dari lembaga BPJS Kesehatan. Belum lagi dengan ketidakpahaman masyarakat soal mekanisme yang ada untuk mendapatkan layanan kesehatan melalui badan tersebut dan bedanya dengan program sebelumnya. Hal itu bukanlah fakta menggembirakan mengingat masa persiapan transformasi PT Askes menjadi BPJS Kesehatan sudah dimulai sejak 25 November 2011 sampai dengan 31 Desember 2013. Dan saat itu, pada jajaran manajemen PT Askes ditugasi untuk menyiapkan operasional BPJS Kesehatan, serta menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban PT Askes (Persero) ke BPJS Kesehatan. Salah satu penyebabnya adalah keterlambatan pembuatan regulasi operasional seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Peraturan Menteri Kesehatan terkait lembaga itu. Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui berapa iuran yang harus dibayarkan, manfaat, serta fasilitas yang akan didapat pekerja. Seperti pengakuan seorang pekerja di Kawasan industri Cakung, pemegang kartu JPK Jamsostek. Dia tidak tahu kalau saat ini yang di-cover BPJS Kesehatan hanya sebatas Rp250 ribu, sementara biaya rumah sakit yang harus dikeluarkan Rp1,6 juta. Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, minimnya biaya yang ditanggung pemerintah akibat keputusan pemerintah menetapkan dana yang diperoleh oleh Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp19.225 per bulan per orang, dan penetapan biaya kapitasi ke pelaksana pelayanan kesehatan yang relatif rendah. Hal itu kemudian menyulut protes dari para dokter dan rumah sakit mitra program, yang akhirnya berdampak tidak optimalnya pelayanan ke peserta BPJS Kesehatan, bahkan hingga penolakan. Belum lagi saat registrasi, manakala pekerja JPK Jamsostek yang seharusnya otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan ternyata harus disuruh mendaftar lagi ke BPJS Kesehatan. Seharusnya data dari Jamsostek bisa digunakan BPJS Kesehatan untuk membuat kartu BPJS Kesehatan untuk pekerja formal. Padahal sesuai UU 24/2011 tentang BPJS sangat jelas dinyatakan peserta JPK Jamsostek otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan. Masalah lain muncul dari sisi lingkup penjaminan. Saat di Jamsostek, program JPK dari pekerja mandiri melingkupi keluarga, akan tetapi saat ini peserta Jamsostek di BPJS Kesehatan merupakan peserta individual saja. Idealnya BPJS Kesehatan juga menerima peserta pekerja mandiri berbasis keluarga dengan iuran yang khusus, tidak mengacu pada hitungan pekerja mandiri. Belum lagi persoalan dalam pengalihan peserta Jamkesmas ke BPJS Kesehatan. Misalnya, peserta pemegang kartu Jamkesmas lama faktanya di lapangan tidak dapat otomatis beralih menjadi peserta peserta BPJS Kesehatan. Sebab, kartu itu tidak dapat digunakan peserta yang bersangkutan untuk mendapat pelayanan kesehatan di daerah lain. Hal lain yang patut disoroti adalah perbedaan antara peserta PBI dan pekerja bukan penerima upah atau mandiri. Kedua jenis kepesertaan itu walau mendapat ruang perawatan yang sama yaitu kelas III tapi besaran iuran dan jumlah anggota keluarga yang dicakup berbeda. Misalnya, iuran PBI sebesar Rp19.225 setiap bulan ditanggung oleh pemerintah dan mencakup 5 anggota keluarga peserta. Sedangkan untuk mendapat ruang perawatan yang sama, peserta mandiri harus mengiur untuk dirinya sendiri Rp25.500 setiap bulan. Jika peserta mandiri itu ingin mendaftarkan anggota keluarga (istri/suami dan anak), besaran iuran itu harus dibayar berdasarkan jumlah anggota keluarga yang didaftarkan. Menurut Surya Chandra Surapaty, Anggota Komisi IX DPR, persoalan itu harus dituntaskan karena ia memantau masyarakat yang tergolong pekerja bukan penerima upah banyak yang ingin menjadi peserta BPJS Kesehatan. “Banyak masyarakat kategori mandiri yang mau ikut BPJS,” tutur dia. Demikian juga data dari sekira 90 juta jiwa dari PNS, TNI/Polri serta pensiunan yang seharusnya sudah bisa digunakan membuat kartu BPJS Kesehatan tanpa keharusan mendaftar ulang. Saat ini mereka harus mendaftar kembali untuk mendapatkan layanan jaminan kesehatan. Hal itu dikemukakan anggota Komisi IX Fraksi PPP, Okky Asokawati, yang menemukan seorang pensiunan PNS Kejaksaan yang mengidap penyakit Parkinson tidak lagi bisa memperoleh pelayanan kesehatan di RS yang biasa disambanginya. Pelayanan tersebut, cerita Okky, tidak lagi bisa didapat pasien sejak BPJS Kesehatan beroperasi dan RS yang berlokasi di Jakarta itu berdalih saat ini belum bekerjasama dengan lembaga itu. Oleh karenanya mantan peragawati itu mendesak BPJS Kesehatan segera menjalin kontrak kerjasama dengan berbagai RS. Keluhan juga banyak muncul datang dari kalangan PNS maupun pensiunan eks peserta Askes, yang terkait pengobatan. Sebelum BPJS berdiri pasien bisa mendapat lima jenis obat. Setelah beralih ke BPJS Kesehatan ternyata hanya mendapat tiga jenis obat saja pada penyakit yang sama. Sebabnya, ada sejumlah jenis obat yang tidak dapat ter-cover oleh jaminan kesehatan ini. Keluhan lain, pada persoalan iurannya pembayaran yang justru bertambah. Jika saat masih kepesertaan Askes iuran ini hanya menambah sekitar Rp100 ribu saja. Namun setelah beralih menjadi BPJS justru iuran ini membengkak dan bisa mencapai Rp 600 ribu. Karena itu, pemerintah terus pusat diminta untuk menyikapi persoalan pada implementasi BPJS Kesehatan ini. Pasalnya, bukan tidak mungkin, birokrasi yang rumit dapat berdampak lebih buruk pada pelayanan terhadap peserta Jamkesmas. Menurut Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan, Murti Utami, angka 116 juta jiwa (tepatnya 116.497.209 per 7 Februari lalu) memang didominasi oleh peserta PBI atau sebelumnya dikenal penerima Jamkesmas dengan jumlahnya mencapai 86,4 juta jiwa. Sementara yang mendaftar melalui jalur mandiri sudah mencapai 499.918 jiwa. Sementara peserta dari kategori lain mencapai 29,6 juta jiwa. Permasalahan registrasi saat menjadi peserta BPJS Kesehatan masih terus dikeluhkan masyarakat. Apalagi banyak lokasi pendaftaran hanya ada di lokasi-lokasi tertentu saja, sehingga terjadi penumpukan calon pendaftar. Belum lagi masyarakat yang masih bingung bagaimana mendapatkan kartu BPJS Kesehatan, terutama yang selama ini tidak terdaftar sebagai peserta Jamkesmas dan Jamkesda. Pengakuan Kepala Dinas Sosial Wonogiri Suwartono juga seharusnya mendapatkan perhatian tersendiri. Menurut dia, BPJS tidak berlakunya terhadap pengemis gelandangan dan orang telantar, padahal pihaknya sering melakukan razia terhadap mereka. Selanjutnya mereka disalurkan di Rumah Sakit Jiwa, namun mereka bukan sasaran BPJS Kesehatan. Selain itu, para penghuni rumah tahanan atau narapidana juga belum ter-cover di dalamnya. Persoalan Obat Selain persoalan kepesertaan, hal lain tidak kalah pentingnya yang menjadi perhatian dalam pelaksanaan JKN melalui BPJS Kesehatan adalah persoalan obat-obatan. Kerap kali peserta BPJS diharuskan membeli obat sendiri sehingga memberatkan. Ini sebagai akibat dari regulasi tentang harga obat yang hingga saat ini belum mendapat kejelasan. Di sisi pendistribusian obat-obatan, kecenderungan penerimaan obat oleh BPJS Kesehatan hanya di tingkat provinsi. Padahal obat-obatan harus diantar sampai ke tingkat Kabupaten/Kota. Untuk itu perlu kejelasan siapa yang menanggung biaya mengantar obat dari Provinsi sampai ke Kabupaten/Kota. Sementara menyangkut harga obat, dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan, harga obat-obatan di semua daerah dipukul rata. Padahal, harga obat itu harusnya berbeda-beda mengacu kondisi yang ada di daerah. Okky, yang anggota DPR, mencatat harga obat-obatan di Pulau Jawa sama seperti di Papua. Mestinya, harga obat di Papua harus disesuaikan dengan kondisi di Papua. Kondisi tersebut bukan tidak disadari oleh BPJS Kesehatan. Seperti dikatakan Direktur Hukum, Komunikasi, dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Purnawarman Basundoro, beberapa peserta JKN mengeluhkan masih dibebani pembelian obat. Juga beberapa peserta mengeluhkan hanya diberikan obat untuk 3-5 hari pada kasus penyakit yang kronis. Padahal pada program sebelum JKN, obat diberikan untuk 30 hari. “Memang lebih banyak pengaduan ke kami adalah soal layanan obat, terlebih obat untuk penyakit kronis, seperti hipertensi, diabetes melitus, dan kemoterapi. Tetapi dengan adanya Surat Edaran Menkes semoga menjadi solusi,” kata Purnawarman. Menteri Kesehatan telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 32/2014 yang mewajibkan seluruh fasilitas kesehatan lanjutan, yaitu rumah sakit, agar dalam masa transisi tidak boleh membebani pembelian obat pada pasien. Dalam Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan tidak mengatur adanya iuran biaya bagi peserta. Apabila RS masih meminta iuran pada pasien, akan diklarifikasi dan diberi teguran keras. Purnawarman menjelaskan, di dalam paket Indonesia Case Based Groups (Ina CBGs) sudah termasuk pelayanan obat dengan acuan Formularium Nasional (Fornas). Fornas adalah daftar obat yang disusun Kementerian Kesehatan (Kemkes) yang menjadi acuan pelayanan obat di RS. Kalau pun obat yang dibutuhkan pasien tidak ada dalam Fornas, RS harus menyiasati agar obat tersebut tetap diberikan kepada pasien, bukan disuruh membeli sendiri. Kemkes sendiri sudah mengeluarkan kebijakan agar obat-obat yang tidak terdaftar di Fornas, tetapi sangat dibutuhkan peserta JKN. Maka tetap diberikan atas persetujuan komite atau direktur RS yang bersangkutan. “RS bisa menyiasati ketersediaan obat ini dalam tarif Ina CBGs,” kata dia. Akan tetapi, untuk menjamin ketersediaan obat yang tidak masuk dalam Fornas ini, BPJS Kesehatan mempertimbangkan untuk menggunakan kembali pola Daftar Plafon Harga Obat (DPHO), yang dulu pernah digunakan oleh Askes. Sejumlah pihak mengusulkan agar pasien boleh membeli obat sendiri, lalu di-reimburse (diganti) oleh BPJS Kesehatan. Namun, menurut Purnawarman, pola tersebut tidak bisa berlakukan karena BPJS Kesehatan sendiri tidak menggunakan sistem reimburse. Berdasarkan surat Menkes tersebut, RS juga diwajibkan memberikan resep obat penyakit kronis di luar paket Ina CBGs sesuai dengan indikasi medis sampai kontrol berikutnya apabila penyakit belum stabil. Resep tersebut dapat diambil pada depo farmasi atau apotik yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan pun telah mengeluarkan surat edaran, yang intinya menjelaskan bahwa pemberian obat untuk penyakit kronis dapat langsung diberikan untuk kebutuhan 30 hari. Bagi peserta dengan penyakit kronis yang telah dinyatakan dalam kondisi stabil oleh dokter spesialis atau sub spesialis yang merawat, maka peserta tersebut dapat mengikuti program rujuk balik. Pelayanan program rujuk balik dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama, yaitu Puskesmas atau klinik pratama atau dokter praktek umum sesuai dengan peresepan obat yang diberikan oleh dokter spesialis atau sub spesialis untuk kebutuhan 30 hari. Untuk pemberian obat kemoterapi, thalasemia, dan hemofilia, selain dapat diberikan di faskes tingkat III, juga bisa di faskes tingkat II dengan mempertimbangkan kemampuan fasilitas kesehatan dan komptensi tenaga. Obat untuk kemoterapi, thalasemia, dan hemofilia dapat diberikan dalam pelayanan rawat jalan maupun rawat inap. Pada masa transisi, obat kemoterapi baik rawat jalan maupun rawat inap ditagihkan secara fee for service di luar paket Ina CBGs. (http://www.stabilitas.co.id/)
No comments:
Post a Comment