Thursday, September 25, 2014

Dibentuk Sejak 2011, Kinerja Badan Pengawas RS Dipertanyakan


Dibentuk Sejak 2011, Kinerja Badan Pengawas RS Dipertanyakan
Ilustrasi pasien di rumah sakit
Kasus penolakan pasien, pungutan biaya, hingga perlakuan yang diskriminatif dari rumah sakit terhadap masyarakat miskin di Indonesia terus terjadi. Bahkan pada era program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), kasusnya mengalami peningkatan. Hal ini tentu tak bisa dibiarkan.

Berbagai kalangan pun memertanyakan kinerja Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) yang telah dibentuk sejak tahun 2011 lalu oleh almarhumah Endang Rahayu Sedyaningsih, Menteri Kesehatan saat itu. Pembentukan BPRS seusai dengan amanat Undang-Undang (UU) No.44/2009 tentang Rumah Sakit (RS) yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) 49/2013 tentang BPRS.

“Banyak kasus RS meminta bayaran kepada pasien peserta BPJS Kesehatan yang seharusnya tidak dilakukan. Banyak RS yang menolak pasien atau menyuruh pasien menunggu tanpa kepastian. Seharusnya kalau BPRS sudah ada sejak tahun 2011, maka institusi ini bisa memerkenalkan diri ke publik, tapi nyatanya tidak ada hingga kini," kata Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar kepada Harian Terbit di Jakarta, Senin (15/9).

Ia mengatakan, berdasarkan kasus-kasus yang ditanganinya selama ini, pihaknya tidak pernah menemukan BPRS baik di tingkat pusat maupun provinsi.
"Kami sedang mencari BPRS. Jadi kami menilai bahwa BPRS belum berfungsi," ujarnya.

Menurutnya, kehadiran BPRS sangat dibutuhkan di era JKN saat ini karena masih banyak RS yang melakukan moral hazzard kepada pasien peserta BPJS kesehatan maupun pasien umum. Ia meyakini, peran BPRS  akan membantu penyelesaian permasalahan pasien ketika ke RS.

Sementara, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia (UI), Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr. PHD, mengaku heran dengan peran BPRS yang hingga kini belum juga terlihat. Padahal, banyak kasus pelayanan buruk dari rumah sakit yang dialami oleh pasien.

"Saya belum dengar peran BPRS. Buktinya belum ada yang mempublikasi BPRS telah bekerja," kata Prof. Hasbullah.

Kendati demikian, kata dia, jika peran Dewan Pengawas Rumah Sakit (DPRS internal RS) dan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan (Ditjen BUK) Kemenkes bisa maksimal, keberadaan BPRS tidak diperlukan. Selain itu, katanya, Kemenkes dan kepala daerah harus berani memberikan sanksi yang tegas terhadap pihak RS, baik itu dokter, perawat dan lainnya yang tidak benar dalam melayani kesehatan masyarakat.

"Dokter, perawat yang tidak benar, diganti. Kalau tidak, pemerintah, Kemenkes, gubernur, tidak ada perannya," katanya.

Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhilah, menambahkan, keanggotaan BPRS yang terdiri dari lima orang dari berbagai unsur, seperti pemerintah, tokoh masyarakat, profesi kesehatan, dan organisasi rumah sakit Indonesia.

Ia mengaku belum tahu siapa pengurus periode kedua BPRS 2014-2017. Sepengetahuannya, kepengurusan BPRS dari unsur profesi kesehatan sebelumnya (2011-2014) dijabat oleh salah satu anggota PPNI.

Mantan Anggota BPRS periode 2011-2014 dari unsur perawat, Tien Gartinah, yang dihubungi Harian Terbit tak mau berkomentar perihal pekerjaan BPRS pada era kepengurusannya. Anehnya, ia beralasan tidak memiliki wewenang memberikan komentar soal kinerja dan tugas-tugas apa yang sudah dilakukan pada periode yang lalu.

“Maaf saya sedang sibuk, lagi ada tamu. Besok (Selasa, 16/9) saja setelah pertemuan di (hotel) Puri Denpasar (Jakarta) dengan Kemenkes baru saya mau komentar," kilahnya.

Anggota Komisi IX DPR, Hang Ali Saputra Syah Pahan, mengungkapkan, keberadaan, peran, dan tugas BPRS sempat dipertanyakan dalam rapat di Komisi IX DPR beberapa waktu lalu. Selanjutnya, Komisi IX juga akan menjadwalkan pemanggilan menteri kesehatan untuk memertanggungjawabkan masalah ini.

Namun, lanjutnya, dikarenakan masa periode anggota dewan segera berakhir pada 1 September mendatang, dirinya pesimis Komisi IX DPR yang sekarang akan memanggil Menkes soal BPRS ini. "Ini sudah injuri time. Sepertinya Komisi IX DPR periode yang mendatang perlu memanggil Menkes untuk memertanyakan kinerja, peran, tugas yang sudah dilakukan BPRS seperti apa," kata Hang Ali.

Sementara itu, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Ali Ghufron Mukti, dan Dirjen BUK Kemenkes, Akmal Taher, belum merespon pertanyaan Harian Terbit terkait permasalahan BPRS ini. Namun sebelumnya, Menkes Nafsiah Mboi, mengatakan, dirinya sudah menandatangani surat pelantikan pengurus BPRS periode 2014-2019. "Sudah saya tandatangani surat pembentukan pengurus BPRS yang baru," singkatnya kepada Harian Terbit belum lama ini.
(http://www.harianterbit.com/)

No comments:

Post a Comment