Tuesday, November 25, 2014

Lintasan Sejarah Gerakan Aceh Merdeka

* EMPAT


“Kami, rakyat Aceh, Sumatra, menggunakan hak kami untuk menentukan nasib sendiri dan melindungi hak sejarah kami akan tanah air kami, dengan ini menyatakan bahwa kami merdeka dan independen dari kontrol politik rejim asing Jakarta dan orang asing dari Pulau Jawa. Tanah Air kami, Aceh, Sumatra, selalu merdeka dan independen sebagai Negara yang Berdaulat sejak dunia diciptakan …”
Hasan Tiro pada Deklarasi Kemerdekaan Aceh, tanggal 4 Desember 1976

BILA kita membuka kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa tanggal 26 Maret 1873 merupakan akar kemunculan problematika Aceh, yang masih terasa imbasnya sampai sekarang. Kerajaan Belanda, melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Belanda mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap Kerajaan Aceh tepat tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda Aceh.
Pernyataan perang tersebut dikeluarkan lantaran Kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Kerajaan Belanda dan tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol Selat Malaka. Belanda, bahkan, menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di Selat Malaka tersebut, dan melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tidak hanya sebatas itu, tindakan Kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatik dengan Kerajaan Turki serta dengan beberapa negara lainnya seperti Perancis, Italia dan Amerika mengakibatkan Kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong Belanda menyerang Aceh.
Pernyataan perang tersebut memicu respon yang cukup keras dari Kerajaan Aceh. Dalam sebuah riwayat yang beredar di dalam masyarakat Aceh diungkapkan bahwa Maklumat Perang Belanda tersebut dijawab oleh Majelis Negara Aceh dalam bentuk pernyataan sindiran, “bek lei takheun nanggroe, manok nyang tan gigoe nyang na lam nanggroe Aceh bek ka teumueng raba (Jangankan merebut negeri, ayam tanpa gigi pun yang ada di bumi Aceh jangan coba-coba disentuh).
Apa yang terjadi kemudian pasca Maklumat perang tersebut? Aceh terjebak dalam perang yang berkepanjangan. Sekitar 70 ribu pejuang Aceh menjadi martir, sedangkan di pihak Belanda sebanyak 35 ribu jiwa ikut menjadi korban. Ditambah lagi kerugian material yang cukup besar.
Akibat banyaknya korban yang jatuh di antara kedua belah, Belanda lalu mengevaluasi kembali kebijakannya, mengingat perang ini sangat melelahkan dan Belanda menderita kerugiaan yang sangat besar. Bahkan, seorang perwira Belanda, Jenderal Kohler, yang memiliki kecakapan perang, tewas di tangan pejuang Aceh dalam suatu pertempuran di depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Kematian Jenderal Kohler berpengaruh besar terhadap keruntuhan mental para serdadu Belanda. Kerajaan Belanda terpaksa menarik pasukannya dari Aceh dan mempersiapkan rencana peperangan kedua secara besar-besaran.
Meski pada tahun 1942 Belanda keluar dari Aceh, namun Maklumat Perang tersebut tidak pernah dicabut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan persoalan baru bagi rakyat Aceh. Tanggal 26 Maret pun selalu dikenang oleh rakyat-masyarakat Aceh sebagai babak kelam sejarah Aceh. Rakyat Aceh selalu meminta agar Maklumat Perang tersebut dicabut. Karena, selama Maklumat Perang terebut belum dicabut, berarti antara Aceh dan Belanda masih terlibat peperangan. Dan klaim Aceh sebagai bagian dari Indonesia sama sekali keliru.

A.   Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945
Tanggal 17 Agustus 1945 Republik Indonesia (RI) diproklamasikan oleh duet proklamator Soekarno-Hatta di Jakarta. Lalu, dari situ pula kisah gerakan menuntut kemerdekaan Aceh bermula. Lima hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan penuh terhadap kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Di bawah Residen Aceh yang juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan.
Kemudian, pada tanggal 23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah, ''Demi Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir.'' Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji tersebut. Pukul 10.00 WIB pada waktu itu, Husein Naim dan M. Amin Bugeh mengibarkan bendera di Gedung Shu Chokan (kini kantor gubernur).
Ternyata tidak hanya Mohammad Daud Beureueh yang tidak mengucapkan janji setia, juga mereka para hulubalang, prajurit-prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka berkeyakinan, tanpa RI, mereka mampu mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok, markasnya di daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan sekitar 1.500 orang selama setahun hingga 1946.
Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi provinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh. Oleh karena kondisi negara yang terus labil dan Belanda merajalela kembali, muncul gagasan untuk melepaskan diri dari RI. Ide ini datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak sebatas Aceh, tetapi meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau.
Daud Beureueh menentang ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian dari wilayah RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat.
Setahun berselang, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat sebesar 500 ribu dolar AS. Uang itu disumbangkan secara utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ke Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebesar 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Ketika itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.
Setahun berlalu, Provinsi Aceh dilebur ke Provinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh kecewa dan marah-marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah-tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak jua dipenuhi. Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tidak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia (NII) pada bulan April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung oleh Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam (DI).
Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII versi Kartosuwiryo. Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII tersebut. Tentara NII juga dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenal lah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 terjadi pembunuhan massal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status provinsi daerah istimewa.
Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tidak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan, tapi Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) Abdul Haris Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan Undang-undang (UU) Syariat Islam bagi rakyat Aceh (dan baru terwujud tahun 2001).

B.    Kelahiran GAM
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lahir di era pemerintahan Presiden Soeharto. Waktu itu sedang terjadi industrialisasi di Bumi Serambi Mekkah. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Industrialisasi membawa efek ikutan berupa perjudian yang selanjutnya menjadi embrio prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan syariat Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu Pemerintah Pusat. Sementara rakyat Aceh tetap saja miskin. Pendidikan rendah dan kondisi ekonomi sangat memprihatinkan. Melihat hal tersebut, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam.
Pertemuan tokoh-tokoh digagas tahun 1970-an. Mereka bersepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh (RIA), yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Mereka pun menyadari, tujuan itu tidak bisa tercapai tanpa senjata. Lantas diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tidak lain adalah kakak Hasan Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal dunia. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi tokoh lainnya berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM.
Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tidak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. Kabinet GAM terdiri diri 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun berjuang dan bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.
Adapun susunan kabinet GAM secara lengkap berikut: Teungku Hasan di Tiro sebagai Wali Negara, Menteri Pertahanan, dan Panglima Agung; Dr. Muchtar Hasbi sebagai Wakil Presiden dan Menteri Dalam Negeri; Menteri Keuangan Teungku Muhamad Usman Lampoih Awe; Menteri Kehakiman Teungku Ilyas Leube; Menteri Pendidkan dan Informasi Dr Husaini M. Hasan; Menteri Kesehatan Dr Zaini Abdullah; Menteri Sosial Dr Zubir Mahmud; Menteri Pekerjaan Umum dan Industri Dr Asnawi Ali; Menteri Komunikasi Amir Ishak; Menteri Perdagangan Amir Mahmud Rasyid; dan Menteri Luar Negeri Malik Mahmud.
Versi paling sahih menyebutkan bahwa Hasan Tiro menyatakan pendirian organisasinya sebagai Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatera, lebih dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka, pada tanggal 4 Desember 1976. Di antara tujuannya adalah kemerdekaan penuh Aceh dari Indonesia. Di Tiro memilih kemerdekaan sebagai salah satu tujuan GAM, bukan otonomi khusus daerah, karena fokus pada sejarah Aceh sebelum masa kolonial Belanda sebagai sebuah negara merdeka. GAM berbeda dari pemberontakan Darul Islam yang berusaha untuk menggulingkan ideologi Pancasila yang sekuler dan menciptakan negara Islam Indonesia berdasarkan syariah. Dalam "Deklarasi Kemerdekaan", dia mempertanyakan hak Indonesia untuk berdiri sebagai negara, karena pada asalnya itu adalah negara multi-budaya berdasarkan kekaisaran Kolonial Belanda dan terdiri dari negara-negara sebelumnya yang terdiri dari banyak sekali etnis dengan sedikit kesamaan. Dengan demikian, Hasan Tiro percaya bahwa rakyat Aceh harus memulihkan keadaan pra-kolonial Aceh sebagai negara merdeka dan harus terpisah dari negara Indonesia.

C.   Dukungan Rakyat Aceh
Setelah didirikan, GAM langsung mendapat dukungan rakyat. Hubungan dengan dunia internasional terus pula dibangun. Kekuatan bersenjata juga disusun. Berapa anggota GAM, bagaimana kekuatannya, jaringan internasionalnya, dan dananya?
Masih ingat deadline maklumat pemerintah bertanggal 12 Mei 2003? Hingga batas waktu ultimatum, pemerintah tak jua mengeluarkan keputusan sebagai tanda awal operasi militer ke Aceh. Konon, saat itu pemerintah menghitung kekuatan TNI di sana untuk menerapkan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM). Ada kekhawatiran, TNI bakal dilibas GAM melalui perang gerilya. Secara tidak langsung, kabar ini menyiratkan ketangguhan kekuatan bersenjata GAM. Sesungguhnya jumlah anggota GAM itu sebagian besar rakyat Aceh. Filosofinya begini: Jika rakyat terus ditindas, maka seluruh rakyat itu akan bangkit melawan. Dan, hal seperti inilah yang terjadi di Bumi Serambi Mekkah itu. Perlawanan GAM mendapat simpati luar biasa dari rakyat-masyarakat Aceh. Rakyat yang lama ternista dan teraniaya.
Sambil berkelakar, Panglima Tertinggi GAM dan Wakil Wali Negara Aceh Tengku Abdullah Syafei (alm) sempat mengatakan, buat bayi-bayi warga Aceh telah disediakan senjata AK-47 oleh GAM. Mereka akan dididik dan dilatih sebagai tentara GAM dan segera pergi berperang melawan TNI.
Sejatinya, basis perjuangan GAM dilakukan dalam dua sisi: diplomatik dan bersenjata. Jalur diplomasi langsung dipimpin oleh Hasan Tiro dari Swedia. Opini dunia dikendalikan dari sini. Sementara basis militer dikendalikan dari markasnya di perbatasan Aceh Utara - Pidie. Seluruh kekuatan GAM dioperasikan dari tempat ini. Termasuk, seluruh komando di sejumlah wilayah di Aceh dan di beberapa negara seperti Malaysia, Pattani (Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan Kazakhstan. Namun, kerapkali GAM menipu TNI dengan cara mengubah-ubah tempat markas utamanya. Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando, yaitu komando wilayah Pase Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam, dan Meureum. Masing-masing komando dipimpin panglima wilayah.
Sejak berdiri tahun 1977, secara cepat GAM melakukan pendidikan militer bagi anggota-anggotanya. Setidaknya tahun 1980-an, ribuan anak muda dilatih di kamp militer di Libia. Saat itu, Presiden Libia Mohammar Khadafi mengadakan pelatihan militer bagi gerakan separatis dan teroris di seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil memasukkan nama GAM sebagai salah satu peserta pelatihan. Pemuda kader GAM juga berhasil masuk dalam latihan di Kamp militer di Kandahar, Afghanistan, pimpinan Osama bin Laden. Gelombang pertama masuk tahun 1986, selanjutnya terus dilakukan hingga akhir 1990. Selama DOM, pengiriman tersendat. Tetapi, angkatan 1995-1998 sudah mendapat latihan intensif. Ketika DOM dicabut, prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh. Jumlahnya sekitar 5.000 personel dan dijadikan pasukan elite GAM (semacam Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat).
Jalur ke Libia memang agak mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu dikirim melalui Malaysia lalu menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke Thailand menuju Afghanistan dan melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga, yakni melalui Aceh menuju Filipina Selatan dan ke Libia. Tiga jalur penting ini hampir selalu lolos dari jangkauan petugas imigrasi, polisi, dan patroli TNI Angkatan Laut.
Mulai dari era Abdullah Syafei hingga dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM terdiri dari pasukan tempur, intelijen, polisi, pasukan inong baleh (pasukan janda korban DOM) dan karades (pasukan khusus) serta Lasykar Tjut Nyak Dien (tentara wanita). Wakil Panglima GAM Wilayah Pase Ahmad Kandang (alm) pernah mengklaim, jumlah personel GAM mencapai 70 ribu orang. Anggota GAM berjumlah 490 ribu. Jumlah itu sudah termasuk jumlah korban DOM 6.169 orang. Sumber resmi Markas Besar (Mabes) TNI cuma menyebut sekitar enam ribu orang. Mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Machfud MD menyebut 4.869 personel. Dari jumlah itu, 804 di antaranya dididik di Libia dan 115 dilatih di Moro (Filipina). Persediaan senjatanya terdiri dari pistol, senapan, GLM, mortir, granat, pelontar granat, pelontar roket, RPG, dan bom rakitan. Jenis senapan antara lain AK-47, M-16, FN, Colt, dan SS-1.
Dari mana persenjataan itu diperoleh? Ada jalur internasional yang menyuplainya. Sejumlah negara disebut antara lain, gerakan separatis Pattani Thailand, Malaysia, gerakan Islam Moro Filipina, eks pejuang Kamboja, gerakan separatis Sikh India, gerakan Elan Tamil, dan Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan. GAM juga membuat pabrik senjata, di antaranya di Kreung Sabee, Teunom (Aceh Barat), Lhokseumawe, Nisau (Aceh Utara), dan di Aceh Timur. Jenis senjata yang diproduksi seperti bom, amunisi, senjata laras panjang dan pendek. Hebatnya, pabrik senjata tersebut bisa dibongkar pasang sesuai dengan kondisi medan. Jika akan diserbu TNI, maka pabrik senjata dipindahkan ke daerah lain. Para ahli senjata disekolahkan ke Afghanistan dan Libia.
Yang juga penting dicatat, sejumlah dokumen menyebutkan adanya pasar gelap senjata yang dilakukan oleh oknum TNI dan Polri yang haus kekayaan. Bagi GAM, asal ada senjata, uang tidak masalah. Sebab, faktanya GAM ternyata memiliki sumber dana yang sangat besar. Jumlah pembelian ke oknum TNI/Polri ini bisa mencapai triliunan rupiah. Sebuah penggerebekan tahun 2000 oleh Polda Metro Jaya sempat menemukan kuitansi sebesar Rp3 miliar untuk pembelian senjata GAM di pasar gelap dari oknum TNI.
Jadi, senjata yang dimiliki TNI juga dimiliki GAM. Yang tidak dimiliki GAM adalah senjata berat karena sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata itu harus memiliki mobilitas tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab, strategi perangnya yang hit and run. Bahkan GAM mengaku memiliki senjata yang lebih modern daripada TNI. Misalnya, senjata otomatis yang dimiliki para karades. Senjata otomatis berbentuk kecil mungil itu bisa tahan berhari-hari dalam air. Anggota karades inilah yang biasa menyusup ke kota-kota dan menyergap anggota TNI/Polri yang teledor.
Membeli senjata tentu dengan uang melimpah. Sebab, harganya yang tak murah. Lantas, dari mana mereka memperoleh dana? GAM memiliki donatur tetap dari pengusaha-pengusaha Aceh yang sukses di luar negeri. Di antaranya di Thailand, Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa. Dana juga didapatkan dari sumbangan wajib yang diambil dari perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional di Aceh.
Sebagai gambaran, tahun 2000, GAM meminta sumbangan wajib kepada seorang pengusaha lokal bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp100 juta. Abu Bakar diberi surat berkop Neugara Atjeh-Sumatera tertanggal 15 Februari 2000 yang ditandatangani oleh Panglima GAM Wilayah Aceh Rajek Tengku Tarzura.
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebut Pupuk Iskandar Muda pernah menyetor Rp10 miliar ke GAM untuk biaya keamanan. GAM kerap melakukan gangguan bilamana tidak memperoleh sumbangan wajib tersebut. Sebab itu, setiap bulan, GAM mendapat upeti dari para pengusaha ''sahabat GAM'' tersebut.
Sistem komunikasi GAM juga sangat canggih. Sistem komunikasi berlapis dilakukan GAM sebagai benteng pertahanan dan media propaganda. Selain handytalky, GAM juga memiliki radio trunking, radar dan telepon satelit. GAM pun memiliki penyadap telepon. Acapkali gerakan TNI/Polri dimentahkan aksi-aksi penyadapan semacam ini. Penggerebekan seringkali gagal total.
Sistem organisasinya yang disusun dengan sistem sel juga membantu GAM survive. Tidak gampang menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian anggota GAM yang ditangkap, antara anggota dan pejabat satu dengan yang lain kadang tidak berhubungan dan tidak saling mengenal.
Ketua Umum Forum Perjuangan dan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA) Shalahuddin Al Fatah menuturkan, sejak zaman Belanda, rakyat Aceh memang tidak pernah menang. Namun, rakyat Aceh tidak pernah ditaklukkan. Fakta sejarah pula, gerakan rakyat Aceh menentang pemerintah pusat tidak pernah menang. Tapi, TNI tidak pernah bisa menaklukkan mereka.

D.   Pejuang-pejuang GAM yang Karismatik
Setelah deklarasi Aceh Merdeka, kita cukup banyak mendengar kisah-kisah heroik pejuang GAM. Kita mendengar kisah keberanian, kebal peluru dan ilmu bisa menghilang. Keahlian ini yang membuat mereka sangat ditakuti oleh TNI dan disegani oleh rakyat-masyarakat. Masyarakat menyebut para pejuang GAM sebagai awak ateuh atau orang dari gunung, yang menunjukkan bahwa para pejuang GAM ini bergerilya di hutan-hutan Aceh. Beberapa tokoh GAM yang cukup dihormati warga masyarakat antara lain:
Surya Darma alias Robert. Tahun 1990-an, Surya Darma atau Robert sangat terkenal di Aceh. Dia pejuang GAM yang sangat ditakuti dan diburu oleh aparat keamanan saat itu. Foto-fotonya bersama para pejuang GAM lainnya begitu mudah kita temukan di poskamling. Dia gencar beraksi pada 1989-1992 di kawasan Aceh Timur dan Aceh Utara.
Siapa sebenarnya Robert? Dia merupakan putra Minang asli, yang lahir di Lampaseh, Banda Aceh, dengan nama Surya Darma. Pada tahun 1985, prajurit satu dari Batalyon 113 Kota Bakti, Pidie, ini pernah dikirim oleh kesatuannya ke Timor Timur (kini Timur Leste) untuk memerangi pasukan Fretelin.
Konon, sepulang dari Timor Timur, Robert membuat ulah memukul anggota Polisi Militer saat nonton di Bioskop Beringin. Atas ulahnya tersebut, Robert dihukum oleh komandannya dan sempat dititipkan di LP Sigli. Setahun kemudian, Robert kembali membuat heboh dengan membobol kas berisi uang kontan bernilai ratusan juta rupiah milik PT Arun. Karena terus bikin ulah, Robert akhirnya dikeluarkan dari dinas militer.
Sejak lama Robert bersimpati pada perjuangan GAM. Ketika ditahan bersama tahanan GAM di sebuah sel di Batalyon 113 Kota Bakti, Robert melihat para pejuang GAM tetap shalat walau hidup di penjara. “ABRI yang digaji pemerintah malah berjudi dan minum minuman keras. Sejak itu saya tertarik dan terlibat dalam GAM. Banyak anggota ABRI juga bersimpati pada GAM,” kata Robert dalam sebuah wawancara dengan Majalah Forum Keadilan, 11 Januari 1999.
Suatu kali, setelah memukul seorang Camat di Batee, Pidie, Robert bersama Arjuna berhasil meloloskan diri dari kejaran aparat. Dia pun memilih lari ke Malaysia. Pada Tahun 1993, Robert dihukum mati secara in absentia oleh Pengadilan Negeri Lhokseumawe.
Arjuna.  Selain Robert, pejuang GAM yang namanya berkibar sekitar 1989-1992 adalah Arjuna. Berbeda dengan Robert, Arjuna adalah eks Libia (1988-1989), dan dikenal sangat berani serta ahli merancang serangan. Dia pun termasuk intelektual GAM, jebolan dari Fakultar Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala. Tak heran, setahun setelah bergabung dengan GAM, Arjuna dipercaya menjadi komandan pasukan GAM Wilayah Pidie.
Arjuna termasuk angkatan terakhir (1989/1990) yang dikirim berlatih militer ke Libia bersama Ahmad Kandang. Sementara angkatan pertama yang berlatih di Libia adalah Muzakkir Manaf dan Ismail Syahputra, juru bicara ASNLF GAM yang diculik di Medan.
Di dalam pasukan GAM, Arjuna dikenal dengan nama Rambo, tokoh film Hollywood dalam perang Vietnam. Ini wajar karena lelaki brewok ini sangat lihai dalam taktik perang gerilya. Dia masuk list aktivis GAM yang paling diburu aparat keamanan. Merasa tak aman terus berada di Aceh setelah terlibat pemukulan seorang Camat di Batee, Pidie, Arjuna meloloskan diri ke Malaysia tahun 1992. Di sana dia bekerja serabutan.
Pada 1997, dia pulang ke Aceh. Dia masuk lewat Pelabuhan Peureulak, Aceh Timur, yang relatif sepi dari ingar bingar pergolakan. Dia kembali ke Bireuen sebentar, dan selanjutnya hijrah ke Bekasi. Dia memilih menjadi pedagang kelontong dan sayuran di Pasar Bekasi. Garis perjuangannya pun melunak. Terakhir, ketika pulang ke Bireuen sekitar tahun 2001, Arjuna dieksekusi. Konon dilakukan oleh gerakan yang dulu pernah dibelanya.
Ahmad Kandang. Nama aslinya Muhammad Rasyid. Tapi dia lebih dikenal dengan nama Ahmad Kandang. Pasalnya, dia lahir dan tinggal di Desa Meunasah Blang Kandang, Muara Dua, Aceh Utara.
Akhir Desember 1998, Ahmad Kandang menjadi pentolan GAM paling dicari aparat keamanan. Dia dituding sebagai dalang pembunuhan sejumlah anggota ABRI. Hal itu pula yang mendorong ABRI (kini TNI) melancarkan Operasi Wibawa ’99 yang menjadikan Aceh sebagai medan perang. Sebagai operator lapangan, tak mudah bagi TNI menangkap Ahmad Kandang. Dia dilindungi oleh pasukan dan warga masyarakat Kandang.
Ahmad Kandang dikenal sebagai Robinhood-nya Aceh. Pelaku utama pembobolan Bank Central Asia (BCA) Lhokseumawe pada Februari 1997 ini sangat dicintai masyarakat. Dia sering membagi rezeki kepada penduduk di kampungnya. Ini pula yang membuatnya selalu dijaga oleh masyarakat.
Pada pertengahan November 1998, misalkan, saat sepasukan Brimob telah mengepung rumah Ahmad Kandang, mereka tak berani menembak panglima GAM Pasee tersebut karena di dalam rumah tempat persembunyian Ahmad ada ibu dan bayi. Warga bahkan membentuk pagar betis untuk melindunginya. Kesempatan itu digunakan oleh pejuang ini untuk kabur dan melarikan diri.
Ahmad Kandang dikenal ahli perakit bom. Banyak bom yang dipasang untuk menghadang laju operasi TNI dibuat olehnya. Tapi, nasibnya tragis, karena dia meninggal gara-gara bom yang dirakitnya meledak. Padahal, bom itu dia siapkan untuk menghadang iring-iringan TNI.
Ishak Daud. Selain Ahmad Kandang, nama tokoh GAM yang juga paling diburu aparat keamanan adalah Teungku Ishak bin Muhammad Daud atau lebih dikenal dengan Ishak Daud. Penglima GAM Wilayah Peureulak ini punya postur tubuh tinggi-tegap. Wajahnya juga ganteng dan mirip bintang film India.
Ishak lahir di Desa Blang Glumpang Kuala Idie, Kecamatan Idie Rayeuk, Aceh Timur, pada 12 Januari 1960. Dia adalah anak pertama dari pasangan Muhammad Daud bin Tengku Basyah dan Nuriah. Semasa kecil, Ishak tinggal di lingkungan desa yang rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan. Ayahnya bekerja sebagai nelayan sedang ibunya berjualan kue.
Merasa tidak pernah puas dengan kondisi itu, pada awal tahun 1984, pada usia 24 tahun, Ishak memutuskan merantau ke Malaysia. Di negeri jiran itu, Ishak Daud bekerja apa saja, sebagai kuli bangunan atau penjaga restoran. Karena tak tahan hidup seperti itu di Malaysia, Ishak Daud memutuskan merantau ke Singapura. Apalagi banyak orang Aceh di negeri singa itu. Sama seperti di Malaysia, Ishak Daud juga bekerja serabutan, dari buruh bangunan hingga sopir angkutan. Di Singapura pula Ishak Daud mulai mengenal Gerakan Aceh Merdeka, apalagi saat itu banyak aktivis Aceh Merdeka menggelar pertemuan politik. Praktis, selama bekerja di Singapura itu Ishak sering mengikuti pertemuan tersebut. Ini pula yang membuka wawasannya tentang sejarah Aceh.
Pada Juni 1987, Ishak akhirnya disumpah oleh Tengku Abdullah Musa sebagai anggota GAM. Apalagi Hasan Tiro yang mengendalikan GAM dari Swedia butuh pemuda Aceh untuk dilatih pendidikan militer dan dikirim ke Libia. Ishak Daud termasuk dalam rombongan 40 orang pemuda Aceh yang dikirim ke Libia.
Sepulang dari Libia, Ishak Daud singgah di Singapura. Hanya 12 hari di sana, Ishak Daud pun memutuskan pulang ke Aceh melalui Pelabuhan Tanjung Balai. Dari sana dia naik bus dan kembali ke kampung halamannya di Idi Rayeuk. Awalnya dia bekerja sebagai pedagang ikan dan diam-diam merekrut pemuda untuk terlibat GAM.
Ishak termasuk tokoh pertama yang mengibarkan bendera Aceh Merdeka di SMA Idi Rayeuk, Aceh Timur, pada 4 Desember 1989 setelah pengibaran bendera di Gunung Halimun, Pidie, yang dilakukan Hasan Tiro pada 4 Desember 1976.
Pada 20 Mei 1990, Ishak Daud menyerang pos ABRI di Buloh Blang Ara, Aceh Utara. Dalam penyerangan itu, dua tentara dan seorang pelajar SMP meninggal. Kelompok Ishak Daud juga berhasil mengambil 22 pucuk senjata M-16 dan senjata jenis Minimi. Untuk ulahnya tersebut, Ishak Daud divonis 20 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Lhokseumawe. Sidangnya digelar di Sabang karena dalam beberapa persidangan sebelumnya, Ishak Daud selalu dielu-elukan oleh simpatisannya. Saat itu, Ishak disebut-sebut sebagai Kepala Biro Penerangan Aceh Merdeka.
Namun, Ishak Daud hanya sempat menjalani hukuman dua tahun saja, karena pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, 21 Mei 2000, Ishak Daud dibebaskan. Ishak memutuskan kembali bergabung dengan GAM, posisi terakhirnya sebagai Panglima GAM Wilayah Peureulak-Teumieng. Ishak meninggal dalam sebuah penyergapan oleh TNI pada akhir tahun 2003.
Abdullah Syafie. Teungku Abdullah Syafie atau Teungku Lah adalah Panglima GAM yang sangat karismatik, disegani kawan dan ditakuti lawan. Di kalangan pasukannya, Teungku Lah dikenal sangat tegas namun sopan. Dia juga santun dan bersahaja. Kebersahajaannya terasa ketika suatu kali di sebuah kampung di Glumpang Baro, Pidie. Dia sangat ramah. Tidak segan-segan berabur dengan rakyat-masyarakat Aceh. Dia juga aktif berceramah di masjid-masjid.
Teungku Lah adalah pemimpin sayap militer GAM. Dia pernah menjabat sebagai Panglima GAM Wilayah Pidie, dan terakhir sebagai Panglima Gerakan Aceh Merdeka seluruh Sumatera. Konon, lebih dari 20 tahun Teungku Lah memimpin gerilyawan GAM di kawasan Bireuen.
Teungku Lah tidak mendapat pendidikan militer di Libia, seperti Arjuna atau Ahmad Kandang. Inilah yang membuatnya tidak begitu suka dengan penggunaan kekerasan dalam berjuang. Kekuatan senjata hanya untuk mempertahankan diri. Hal ini pula yang membuat Teungku Lah sangat dihormati oleh tentara musuh.
Dia lahir di Desa Matanggeulumpang Dua, Bireuen. Dia hanya sempat bersekolah hingga kelas tiga di Madrasah Aliyah Negeri Peusangan. Keluar dari sekolah tersebut, Teungku Lah memilih belajar agama di sejumlah pesantren di Aceh. Teungku Lah mulai terlibat GAM pada awal 1980 (ada juga kabar yang menyebutkan Teungku Lah bergabung dengan GAM sehari setelah Hasan Tiro memproklamirkan GAM di Gunung Halimun).
Sebenarnya, masa muda Teungku Lah termasuk unik. Dia banyak terlihat dalam dunia teater bersama grup Jeumpa. Sangat jauh dari kesan militer. Tapi, belakangan, hal ini sangat membantu Teungku Lah dalam hal penyamaran. Mobilitas Teungku Lah tak terdeteksi. Orang Aceh menyebut Teungku Lah punya ileume peurabon (ilmu bisa menghilangkan diri). Teungku Abdullah Syafie meninggal dunia pada 22 Januari 2002 di Jiem-Jiem, Bandar Baru, Pidie, dalam sebuah penyergapan oleh TNI. Sang istri dan lima pasukannya ikut syahid dalam penyerangan tersebut.
Sebelum meninggal, Teungku pernah membuat wasiat, “Jika pada suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab, saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan apapun apabila negeri ini (Aceh) merdeka.”
Abu Arafah. Teungku Abdul Meuthalib atau yang lebih terkenal dengan Abu Arafah adalah Panglima GAM Wilayah Meureuhom Daya. Wilayah operasional GAM Meureuhom Daya dalam struktur wilayah Gerakan Aceh Merdeka meliputi Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, hingga Arongan, Kecamatan Samatiga, Aceh Barat.
Abu Arafah dikenal militan lantaran kerapkali menyerang patroli TNI di Gunung Geureutee, Aceh Jaya. Dia acap mengultimatun pasukan TNI agar tidak melintasi wilayah kekuasaannya, mulai dari Lhoong, Aceh Besar hingga Arongan. Setiap penyerangan yang terjadi terhadap TNI di lintasan pegunungan itu diklaim dilakukan oleh pihaknya. Suatu kali, pasukannya menyerang pasukan pengamanan bahan logistik TNI BKO Kecamatan Jaya yang mengakibatkan Prada Suprianto, anggota TNI dari Kesatuan 320/Siliwangi, luka parah.
"Kita memang mempersiapkan serangan itu, untuk mengingatkan mereka agar jangan menakali masyarakat," kata Arafah kepada media ketika itu.
Dia juga mengajak TNI berperang secara terbuka dengan pasukannya. Pasalnya, setiap selesai kontak senjata dengan GAM, aparat TNI/Polri sering mengasari rakyat-masyarakat. Namun, ajakan perang tersebut mendapat larangan dari ulama, apalagi seruan tersebut dilakukan pada bulan Ramadhan. Para ulama cemas, karena Abu Arafah mengancam akan menyerang pos TNI jika tak mau meladeni ajakan berperang di lokasi yang jauh dari pemukiman penduduk.
"Kami menghormati dan menghargai imbauan ulama dan tokoh masyarakat itu sepanjang pihak TNI/Polri tidak mengganggu dan menindak masyarakat secara kasar," kata juru bicara AGAM Wilayah Meureuhom Daya, Abu Tausi, mewakili Abu Arafah.
Abu Arafah meninggal dunia dalam kontak senjata dengan pasukan TNI di Aceh Jaya, pada 10 Oktober 2002. Panglima legendaris GAM Meureuhom Daya ini dikebumikan di kampung halamannya, Krueng Tunong, pada Jumat (11/10/2002) sore.
Sekalipun Abu Arafah meninggal, namun GAM Wilayah Meureuhom Daya tetap menyembunyikan informasi meninggalnya panglima yang sangat mereka hormati itu. Hal ini dilakukan agar tidak meruntuhkan mental para pasukan di lapangan.
Saiful alias Cagee. Amiruddin atau Saiful alias Cagee bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 1998. Ketertarikannya bergabung dengan GAM setelah berkenalan dengan Mirik, saat Saiful alias Cage masih sebagai prajurit biasa di Kamp 09 (Kosong Sikureung) Palu Beueh Awee Geutah. Saat itu, petinggi GAM di kawasan itu adalah Husaini Franco, Razali dan beberapa orang lainnya. Sekali pun masih baru dalam GAM, Cagee sudah dikenal sangat berani dan nekat.
Cagee menjadi komandan operasi khusus pada tahun 2002, karena sangat senang bertempur. Pasukan ini dibentuk tahun 2001 oleh GAM Daerah III Batee Iliek. Pada tahun 2002 pula, Cagee membentuk Kamp Gurkha di Gampong Darul Aman, Peusangan Selatan. Tapi karena kondisi makin genting, dia memecah pasukannya menjadi tujuh regu, dua di antaranya bernama regu Singa Bate (dengan komandannya Mirik) dan regu Geubina yang dikomandani oleh Obeng. Setelah CoHA, Cagee menyatukan kembali pasukannya di Gurkha, agar pasukan GAM tidak tersebar-sebar. 
Cagee yang dikenal pemberani ini pernah membanting stempel KPA Wilayah Bireuen di hadapan para petinggi GAM setelah mengusung Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada Pilkada 2012. Entah karena sikapnya tersebut, pada Jumat (22/07/2012) Cagee ditembak mati di depan tokonya, Gurkha, di Matanggeulumpang Dua, Bireuen.

Selain nama-nama di atas, sebenarnya, masih cukup banyak pejuang GAM yang legendaris dan ditakuti oleh TNI, seperti Ayah Muni (panglima operasi wilayah GAM Aceh Besar), Abu Hendon, panglima GAM Wilayah Deli yang meledakkan bom di kota Medan, atau Keuchik Umar, panglima GAM di Pidie. Ada juga Udin Cobra, komandan operasi GAM di Pidie yang dikenal sangat jago taekwondo, Pawang Rasyid yang namanya sangat dikenal di kawasan Geumpang dan Tangse, Rahman Paloh di Pasee yang pernah menembak pesawat tempur TNI dari pucuk pohon kelapa, Teungku Bari, komandan operasi GAM Batee Iliek, dan masih banyak lagi. (*)

No comments:

Post a Comment