Thursday, November 27, 2014

Titik Balik Bencana Tsunami

* LIMA


Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa’at tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 10:101) Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri. (QS 10:44)

ACEH, 26 Desember 2004. Di penghujung tahun 2004 itu, tepatnya pada hari Ahad, 26 Desember 2004, Indonesia dan delapan negara lainnya di kawasan Samudera India dilanda bencana gempa dan tsunami sangat hebat. Tsunami tersebut telah merenggut lebih dari seperempat juta jiwa pada beberapa negara Asia dan Afrika yang meliputi Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar, Bangladesh, Srilangka, India, Maladewa, Somalia dan Kenya.
Gempa terjadi pada waktu tepatnya jam 7:58:53 WIB. Pusat gempa terletak pada bujur 3.316° N 95.854° E  kurang lebih 160 km sebelah barat Aceh sedalam 10 kilometer. Gempa ini berkekuatan 9,3 menurut skala Richter dan dapat dikatakan merupakan gempa bumi terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir yang menghantam Aceh,  Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Lanka, bahkan sampai Pantai Timur Afrika.
Kepanikan terjadi dalam durasi yang tercatat paling lama dalam sejarah kegempaan bumi, yaitu sekitar 500-600 detik (sekitar 10 menit). Beberapa pakar gempa menganalogikan kekuatan gempa ini mampu membuat seluruh bola Bumi bergetar dengan amplitude getaran di atas 1 (satu) cm. Gempa yang berpusat di tengah Samudera Indonesia ini juga memicu beberapa gempa bumi di berbagai tempat di dunia.
Gempa yang mengakibatkan tsunami itu menyebabkan sekitar 230.000 orang tewas di 8 (delapan) negara. Ombak tsunami setinggi 9 (sembilan) meter. Bencana ini merupakan kematian terbesar sepanjang sejarah. Indonesia, Sri Lanka, India, dan Thailand (negara dengan jumlah kematian terbesar).
Kekuatan gempa semula dilaporkan mencapai magnitude 9.0. Pada Februari 2005 dilaporkan gempa berkekuatan magnitude 9.3. Meskipun Pacific Tsunami Warning Center telah menyetujui angka tersebut, namun United States Geological Survey menetapkan magnitude 9.2. atau bila menggunakan satuan seismik momen (Mw) sebesar 9.3.
Kecepatan rupture diperkirakan sebesar 2.5km/detik ke arah antara utara - barat laut dengan panjang sekitar 1200 hingga 1300 km. Menurut Koordinator Bantuan Darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jan Egeland, jumlah korban tewas akibat badai tsunami di 13 negara (catatan sampai awal  Januari 2005) mencapai 127.672 orang.
Namun jumlah korban tewas di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika Timur yang sebenarnya tidak akan pernah bisa diketahui, diperkirakan sedikitnya 150.000 orang. PBB memperkirakan sebagian besar dari korban tewas tambahan berada di Indonesia. Pasalnya, sebagian besar bantuan kemanusiaan terhambat masuk karena masih banyak daerah yang terisolir.

A.   Duka dan Derita Rakyat Aceh
Tragedi tsunami di akhir tahun 2004 itu telah meninggalkan kesedihan dan penderitaan luar biasa bagi rakyat-masyarakat Provinsi Aceh dan Sumatera Utara khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Merujuk data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 173.741 jiwa meninggal dan 116.368 orang dinyatakan hilang, sedangkan di Sumatera Utara 240 orang tewas. Tragedi tsunami Aceh mengakibatkan ribuan rumah dan bangunan rusak, dan menyebabkan hampir setengah juta orang jadi pengungsi.
Tanah yang semula hijau subur, perumahan yang tadinya tertata dengan baik, hancur musnah hanya dalam hitungan jam dan yang tertinggal sampah serta tubuh-tubuh tidak bernyawa. Aceh menangis, Indonesia berduka dan dunia pun mengulurkan tangan sebagai bentuk solidaritas sesama umat manusia.
Data lain menyebutkan, gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara menelan lebih dari 126.000 korban jiwa. Puluhan gedung hancur oleh gempa utama, terutama di Meulaboh dan Banda Aceh di ujung Sumatera. Di Banda Aceh, sekitar 50% dari semua bangunan rusak terkena tsunami. Tapi, kebanyakan korban disebabkan oleh tsunami yang menghantam pantai barat Aceh.
Pemerintahan daerah Aceh lumpuh total, saat terjadi gempa bumi dan tsunami. Kepanikan sempat pula merambat ke Jakarta (Istora) yang saat itu sedang diadakan acara Halal Bi Halal masyarakat Aceh pasca menyambut lebaran Idul Fitri. Tepat 26 Desember 2004 pukul 09:00 WIB, satu per satu warga masyarakat Aceh yang hadir di Istora Jakarta panik lantaran hubungan telepon seluler ke Aceh putus total, mata mereka berkaca-kaca.
Wakil Presiden (saat itu) Jusuf Kalla yang hadir mengatakan, ”Aceh dalam musibah besar, saya baru dapat kabar terjadi gempa bumi di Aceh, banyak bangunan rusak, semoga tidak lebih parah dari gempa Papua sebesar 6,4 SR.” Sebagaimana kita ketahui  beberapa saat menjelang gempa bumi di Aceh telah terjadi gempa bumi pada 26 November 2004, gempa sebesar 6,4 SR mengguncang Nabire, Papua tercatat 30 orang tewas.
Faktanya, gempa bumi dan tsunami Aceh jauh lebih dahsyat dan memakan korban lebih banyak dibandingkan gempa bumi yang menggoyang Nabire (Papua).

B.    Nestapa Aceh Jaya
Tragedi gempa bumi yang diikuti tsunami Aceh akhir 2004 betul-betul menusuk duka-nestapa bagi siapa pun yang berada di wilayah Serambi Mekkah tersebut, terutama di wilayah Kabupaten Aceh Jaya (wilayah terparah sapuan tsunami). Banyak orang (tanpa pandang jabatan dan kekayaan) kehilangan orang-orang terkasih dan terdekat. Tak terkecuali orang-orang terdekat Ir. Azhar Abdurrahman (yang kini menjadi Bupati Aceh Jaya). Dia kehilangan kedua orang-tua dan beberapa kerabatnya. 
Turut kehilangan keluarganya pula adalah Bupati Aceh Jaya (waktu itu) Ir. Zulfian Ahmad. Hal ini dapat kita simak dari ungkapan-ungkapan tulisan sejumlah warga masyarakat. Melalui emailnya bertanggal 12 Jun  2005, Ir. Sambas, seorang pekerja untuk sebuah program USAID dan ketika itu sedang bertugas di Aceh, menulis: “Berita Aceh yang paling menggetirkan tetapi mulai berangsur senyap dari liputan media massa adalah tentang Kabupaten Aceh Jaya yang beribu-kota di Calang. Di  sini lah sebetulnya kejadian paling mencekam dan menggetarkan. Bupatinya  sendiri, Ir Zulfian Ahmad, kehilangan 4 anak dan istrinya, yang sampai sekarang belum ditemukan rimbanya. Di sini 25 ribu penduduk meninggal. Di kota Calang sendiri, 60 persen penduduk yang meninggal, mayatnya hilang.”
Lebih lanjut Sambas menuliskan emailnya: “Menurut penuturan Bupati Aceh Jaya --yang kehilangan seluruh orang yang dicintainya lebih daripada hidupnya sendiri itu-- dirinya adalah bagian dari yang tersisa-bertahan hidup dalam kegelapan tanpa listrik, empat hari hanya minum air kelapa. Baru hari kelima ada bantuan mie instan yang bisa masuk Calang. Di hari kelima itulah mereka yang tersisa hidup baru dapat makan sekadar penawar lapar. Sekarang ini 40 ribu penduduk Aceh Jaya masih hidup di tenda-tenda pengungsi.”
Cerita pilu kedahsyatan tsunami meluluh-lantakkan Calang, ibukota Kabupaten Aceh Jaya, juga dicatat oleh Fuady Satriani, pegawai Mahkamah Syar’iyah Calang yang selamat dari arus balik tsunami yang meruntuhkan kantor Mahkamah Syari’iyah Calang. Katanya, salah satu tempat yang sangat dahsyat dihantam tsunami di Ahad pagi akhir 2004 itu adalah kantor Mahkamah Syar’iyah Calang, dahulu beralamat di Desa Sentosa Calang, Kecamatan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, sekitar 300 meter dari bibir pantai Samudra Hindia. Kenangan pahit nan sulit dilupakan betapa dahsyatnya arus gelombang tsunami, 22 jiwa keluarga Mahkamah Syar’iyah Calang hilang disapu gelombang tsunami dan dinyatakan telah meninggal dunia sebagai syuhada yang sampai kini tidak diketahui di mana letak kuburannya, kecuali hanya kuburan massal Prahara Tsunami sebagai saksi sejarah untuk dikunjungi dan didoakan. Dikuburkan di sana, antara lain:
* Alm. Hasballah Usman, BA (Pansek), besama 1 isteri 2 anak 1 keponakan;
* Alm. Dra. Yurlina (Hakim), bersama 1 suami 2 anak;
* Alm. Dra. Nailussa’dah (Panmud Permohonan), bersama 1 suami 2 anak;
* Alm. Rusli, Is (Wasek), bersama 2 anak;
* Alm. Salmiyah (Panmud Hukum);
* Alm. Muhibbuddin (Pesuruh/Pramusaji), bersama sekeluarga garis keturunan vertikal dan harizontal.
* Alm. Yusmarni Zulfar (isteri Hakim Zulfar) bersama 2 anak;
* Alm. Drs. Rizami (Pembuat daftar gaji) meninggal di Banda Aceh berselang satu bulan setelah tsunami, akibat luka infeksi pada waktu upaya penyelematan dari arus gelombang tsunami.
Tercatat pegawai lainnya yang selamat dari musibah tersebut:
* Drs. Bakhtiar (Wakil Ketua); rumah dan seluruh perlengkapan tempat tinggal di Calang, hanyut dibawa gelombang tsunami;
* Drs. Ramli Aziz (Ketua) berdomisili di Banda Aceh karena sakit beberapa bulan kemudian beliau memasuki usia pensiun;
* Drs. Fuadi Satriani (Kaur Umum), seluruh harta benda dan tempat tinggal, hilang disapu gelombang tsunami;
* Mukhtar (Kaur Keuangan/Bendahara Rutin), seluruh harta benda dan tempat tinggal hilang dibawa gelombang tsunami.
* Cut Nuriati (Kaur Kepegawaian);
* Ikhsan, S.Ag ( Jurusita Pengganti)
* Drs. Zulfar (Hakim), rumah dan seluruh perlengkapan tempat tinggal hilang disapu gelombang raksasa.
* Drs. Fakhruddin (Hakim), perlengkapan tempat tinggal hanyut disapu gelombang .
Badai berlalu denyut pemerintahan gerak kembali. Memasuki tahun 2005, tepatnya bulan Januari 2005, setelah mendapat semua informasi bencana tsunami khususnya, Mahkamah Syar’iyah Calang yang nampak hanya lantai bekas kantor, seluruh bangunan dan isinya hancur berkeping-keping dibawa arus  gelombang tsunami. Atas kesepakatan pegawai yang masih tersisa dari musibah tsunami (4 Pegawai dan 4 Hakim) serta petunjuk dari Mahkamash Syar’iyah Aceh,  Mahkamah Syar’iyah Calang kembali beraktivitas dengan membuka Kantor sementara (Kamar Pelayanan) pada Mahkamah Syar’iyah Meulaboh, akhir Januari sampai April 2005. Kemudian, atas arahan ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam  (Drs. H. Soufyan M. Saleh, SH), Mahkamah Syar’iyah Calang kembali ke Calang untuk membangun kembali kantor sementara yang sangat darurat berukuran 5×6 meter persegi, merangkap tempat tinggal dengan biaya  Rp5.000.000 berasal dari DIPA MS Calang tahun anggaran 2005 sebesar Rp2.500.000 dan Rp2.500.000 bantuan Mahkamah Syar’iyah Aceh. Lokasi kantor berada di atas gunung carak, perkarangan komplek Masjid Agung Jabal Rahmah Calang.
Pimpinan (ketua) Mahkamah Syar’iyah Calang dijabat sementara oleh Drs. Bakhtiar (Wakil Ketua), jabatan panitera/sekretaris atas petunjuk Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, meminta kerelaan panitera pengganti Mahkamah Syar’iyah Meulaboh, Drs. T .Burhan Saby, untuk dipindahkan pada Mahkamah Syar’iyah Calang serta diangkat dalam jabatan Panitera/Sekretaris Mahkamah Syar’iyah Calang.
Aktivitas perkantoran menjalankan administrasi, melaksanakan sidang, membaca putusan/penetapan di kantor darurat merangkap tempat tinggal sambil duduk beralaskan tikar plastik, kalau mengantuk lansung tidur, bila perut terasa lapar tinggal melangkah dua langkah lansung ke dapur, hanya bertahan selama lebih kurang empat bulan, kemudian pindah ke kantor darurat bantuan Pemkab Aceh Jaya bekerja sama dengan NGO dengan ukuran kantor 5 x 12 meter persegi, tiga kamar berlantai tanah. Selama tahun 2005 Mahkamah Syar’iyah Calang dapat menyelesaikan 91 perkara, 72 perkara permohonan dan 19 perkara gugatan.
Memasuki tahun 2006 Mahkamah Agung Republik Indonesia mengirim SK Mutasi Hakim untuk mengisi formasi jabatan ketua Drs.Ahmad Zaini Dahlan, serta mengalokasikan belanja modal bangunan gedung kantor dalam DIPA MS Calang TA 2006 sejumlah Rp520.juta. Namun timbul persoalan baru, yakni masalah pengadaan tanah gedung kantor, bekas tanah gedung kantor lama belum dapat dimanfaatkan karena ada larangan dari pihak rekonstruksi pasca bencana untuk membangun kantor di daerah bekas bencana yang dekat dengan bibir pantai.
Akhirnya kembali meminta pendapat pimpinan Mahkamah Syar’iyah Aceh, ditanggapi positif pihaknya berupaya mencari donatur pengadaan tanah dan gedung kantor MS Calang dan akhir tahun 2006 dimulai pembangunan gedung kantor serta rumah dinas Mahkamah Syar’iyah Calang. Januari 2007 gedung kantor yang beralamat di Jalan Pengadilan Nomor 2 Gampong Blang, Calang, telah dapat difungsikan.

C.   Titik Balik Kehidupan
Pasca tragedi tsunami, Aceh Jaya bagai daerah tidak bertuan. Semua fasilitas sosial dan infrastruktur luluh lantak. Daerah yang belum terlalu lama mekar dari Kabupaten Aceh Barat itu nyaris tidak ada kehidupan. Mereka yang tersisa (selamat dari bencana) harus memulai kehidupan dari mula. Banyak bantuan –baik dari domestik maupun internasional—masuk ke wilayah kabupaten dengan ibukota Calang ini.
Salah satu bantuan penting datang di Lembaga Swadaya Masyarakat  MER-C Indonesia. LSM ini membangun kembali aset Puskesmas dan mengisi peralatan medis senilai Rp2,5 miliar di Aceh Jaya.
“Kami berharap aset ini dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan maksimal kepada warga masyarakat,” kata Project Manager MER-C for Aceh Ira Hadiati saat menyerahkan bantuan tersebut pada awal 2014..
Dijelaskannya, aset di Gampong/Desa Panga, Kecamatan Keude Panga, itu diserahkan oleh Presidium MER-C Indonesia dr Sarbini Abdul Murad dan diterima Sekda Kabupaten Aceh Jaya Teuku Irvan TB.
Ira mengatakan Puskesmas dan peralatan medis yang diserahkan kepada Pemkab Aceh Jaya itu memadai untuk sebuah rumah sakit. Adapun aset yang diberikan itu terdiri dari tanah wakaf dari warga setempat Syarifuddin Yunus kepada MER-C seluas 1200 meter persegi dan  tanah milik MER-C seluas 200 meter persegi beserta bangunannya. Kemudian peralatan medis lengkap untuk IGD, apotek, kamar bersalin, poliklinik umum, rawat inap, dental unit, laboratorium, ruang operasi dan X Ray.
“Semua peralatan medis yang kami serahkan ini memenuhi standar untuk sebuah rumah sakit,” tandasnya.
Aset yang diserahkan tersebut dibangun dan dipergunakan MER-C serta petugas Puskesmas Panga sejak 2006. Ini merupakan salah satu bantuan yang dibangun untuk membantu pelayanan kesehatan buat korban  tsunami Aceh 26 Desember 2004.
Pihaknya berharap berkat kehadiran Puskesmas dengan peralatan rumah sakit tersebut dapat memberikan tindakan medis secepatnya kepada warga masyarakat di gampong setempat khususnya dan Aceh Jaya umumnya.
Ada hikmah di balik musibah. Begitulah pepatah yang kerap kita yakini di saat musibah melanda. Musibah gempa dan tsunami 2004 pun menjadi titik balik membangun Pelabuhan Calang.
Hal ini bisa kita simak dari perjalanan dinas aparatur Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan pada tanggal 9 hingga 12 September 2014 menelusuri pelayanan angkutan laut perintis di lintas barat Provinsi Aceh.
Dalam keterangan pers Kementerian Perhubungan digambarkan, perjalanan dimulai dari Pelabuhan Meulaboh, Aceh Barat. Kemudian dilanjutkan ke Pelabuhan Calang, Aceh Jaya, dan berakhir di Pelabuhan Malahayati, Banda Aceh. Kedua kabupaten dan satu Ibu Kota Provinsi Aceh itu merupakan daerah yang terkena hantaman gempa dan gelombang tsunami pada Desember 2004 silam.
Bahkan Meulaboh dan Calang merupakan daerah yang paling parah terkena tsunami. Selain menelan ribuan korban jiwa, gelombang tsunami juga memporak-porandakan infrastruktur transportasi kedua daerah tersebut, seperti jalan raya dan pelabuhan.
Pasca tsunami, Meulaboh dan Calang sempat menjadi daerah terisolir karena jalan raya yang menghubungkannya dari dan ke Banda Aceh terputus. Pelabuhan Meulaboh dan Calang pun rata dengan tanah sehingga tidak ada kapal yang dapat sandar. Begitu pula Bandara Cut Nyak Dhien yang berlokasi di Kabupaten Nagan Raya, sebuah kabupaten yang terletak di antara Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Jaya hancur dan tidak bisa didarati oleh pesawat.
Setelah hampir 10 tahun pasca kejadian, infrastruktur transportasi lintas barat Aceh tersebut telah pulih seratus persen. Infrastruktur jalan raya antara Meulaboh dan Calang sudah kembali mulus. Bahkan jalan raya yang menghubungkan Calang dengan Banda Aceh yang berjarak sekitar 135 kilometer kondisinya jauh lebih mulus karena dibangun oleh negara donor seperti Amerika, Australia dan negara-negara lainnya.
Sebagaimana halnya jalan raya, infrastruktur pelabuhan di Meulaboh, Calang, dan Malahayati pun sudah semakin baik. Pelabuhan Calang yang masih merupakan pelabuhan unit pelaksana teknis terlihat lebih mentereng dan lengkap daripada Pelabuhan Meulaboh, bahkan dibandingkan dengan Pelabuhan Kelas IV Malahayati sekalipun.
Sejak 2009, Kementerian Perhubungan membangun kembali Pelabuhan Calang. Selain memiliki dermaga dengan panjang total 300 meter, pelabuhan ini dilengkapi dengan terminal penumpang, pergudangan, dan perkantoran. Luas area perkantorannya sendiri mencapai 3.000 meter persegi. Guna mengaktifkan kembali lalu lintas laut, baik penumpang maupun barang, Kementerian Perhubungan menempatkan satu kapal perintis yang berpangkalan (home base) di Calang yaitu KM Mitra Bahari, dan satu kapal perintis lainnya yaitu KM Sabuk Nusantara 35 yang berpangkalan (home base) di Pelabuhan Meulaboh.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) Calang, tampaknya warga masyarakat Aceh Jaya masih belum memanfaatkan keberadaan Pelabuhan Calang secara optimal.
Padahal, menurut Plh KUPP Pelabuhan Calang Capt. Nailan,  sebelum luluh lantak oleh gelombang tsunami pelabuhan ini terkenal dan ramai sebagai tempat pengangkutan kayu gelondongan (log). Tapi sekarang, sejak Januari hingga Agustus 2014, jumlah barang yang diangkut melalui Pelabuhan Calang hanya 250 ton, sedangkan penumpangnya hanya 787 orang.
"Kondisi seperti ini tentunya tidak bisa dibiarkan terus berlarut, infrastruktur pelabuhan yang telah dengan susah payah dibangun oleh Kementerian Perhubungan tersebut harus lebih dioptimalkan," kata Nailan, didampingi oleh petugas Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Azwani Amru.
Dia berharap pemerintah daerah Aceh Jaya segera berupaya mengoptimalkan Pelabuhan Calang sebagai tempat keluar-masuk berbagai komoditas dan penumpang dari dan ke Aceh Jaya. "Kami, Kementerian Perhubungan telah menyediakan berbagai fasilitas pelabuhan dan juga termasuk kapal pengangkutnya," ujar Nailan.
Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya harus segera bergandengan tangan dengan semua stakeholder --termasuk dengan para pengusaha kelapa sawit dan tambang batubara-- untuk berupaya memanfaatkan pelabuhan dan transportasi laut secara maksimal. Salah satu caranya tentu saja dengan mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, baik industri, perdagangan, maupun jasa, termasuk pariwisata.

D.   Dari Tsunami ke Perjanjian Helsinki
Sekali lagi, senantiasa ada hikmah di bali musibah. Satu hal menarik di balik musibah gempa bumi dan tsunami Aceh adalah demikian derasnya bantuan yang masuk ke Bumi Serambi Mekkah ini. Sayangnya, banyak pendonor (terutama pemberi bantuan asing) yang mengeluhkan faktor keamanan tatkala mereka menyalurkan bantuan. Mereka merasa terganggu oleh konflik antara Pemerintah RI dan GAM yang masih melanda wilayah Aceh.
Konflik antara Pemerintah RI dan GAM terus berlangsung hingga Pemerintah menerapkan status Darurat Militer di Aceh pada tahun 2003, setelah melalui beberapa proses dialogis yang gagal mencapai solusi kata sepakat antara Pemerintah RI dan aktivis GAM. Konflik tersebut sedikit banyak telah menekan aktivitas bersenjata yang dilakukan oleh GAM, banyak di antara aktivis GAM yang melarikan diri ke luar daerah Aceh dan luar negeri. Bencana alam gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 telah memaksa pihak-pihak yang bertikai untuk kembali ke meja perundingan atas inisiasi dan mediasi oleh pihak internasional.
Tercatat pada 27 Februari 2005, pihak GAM dan Pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Mantan Presiden Finlandia Marti Ahtisaari berperan sebagai fasilitator.
Pada 17 Juli 2005, setelah perundingan selama 25 hari, tim perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantaa, Helsinki, Finlandia. Penanda-tanganan nota kesepakatan damai dilangsungkan pada 15 Agustus 2005.
Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh sebuah tim yang bernama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara ASEAN dan beberapa negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Di antara poin penting perjanjian damai itu adalah bahwa Pemerintah Indonesia turut memfasilitasi pembentukan partai politik lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi anggota GAM.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Aceh menerima otonomi khusus di bawah Republik Indonesia, tentara non-organik (misalkan tentara beretnis non-Aceh) ditarik dari Provinsi Aceh (hanya menyisakan 25.000 tentara), dan dilakukannya pelucutan senjata GAM. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Uni Eropa mengirimkan 300 pemantau yang tergabung dalam Aceh Monitoring Mission (Misi Pemantau Aceh). Misi mereka berakhir pada tanggal 15 Desember 2006, setelah suksesnya pemilihan umum kepada daerah (Pilkada) gubernur Aceh yang pertama.
Dan pada tanggal 11 Desember 2006 digelar Pilkada secara langsung di tangan rakyat. Dalam Pilkada ini mantan anggota GAM dan partai nasional turut berpartisipasi aktif. Pemilihan itu dimenangkan oleh Irwandi Yusuf, mantan elit GAM, yang basis dukungannya sebagian besar terdiri dari para mantan anggota GAM.
Aceh pun telah diberikan otonomi yang lebih luas melalui UU Pemerintah, meliputi hak khusus yang disepakati pada tahun 2002 serta hak masyarakat Aceh untuk membentuk partai politik lokal untuk mewakili kepentingan mereka. Namun, pendukung HAM menyoroti bahwa pelanggaran HAM sebelumnya di Provinsi Aceh akan perlu ditangani.
http://katainstitute.files.wordpress.com/2010/08/gerakaceh1.jpg?w=530
http://katainstitute.files.wordpress.com/2010/08/gerak-aceh2.jpg?w=530
Sumber: Dokumen BRR NAD-NIAS

Ya, bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 telah membawa dampak penuh hikmah bagi rakyat Aceh umumnya untuk hidup lebih damai, jauh dari konflik berkepanjangan. Dan, yang tidak kalah penting, Aceh menjadi lebih kondusif untuk membangun diri dan masyarakatnya. (*)

No comments:

Post a Comment