Monday, December 1, 2014

Kisah Pilu Nurhayati dan Kartu BPJS

KOMPAS.ComBaru terdaftar sebagai peserta BPJS tiga bocah di polewlai mandar sulawesi barat terluta karena tak bisa mendapatkan bantuan obat untuk bisa sembuh dari penyakitnya
Catatan Kaki Jodhi Yudono
Nurhayati (31), warga Ceger, Cipayung, Jakarta Timur, tercenung pada Jumat pagi kemarin. Tepat pukul 06.45, putra kedua hasil pernikahannya dengan Mohammad Eddy Karno (29) meninggal dunia di RS Tarakan, Jakarta Pusat.
Nurhayati tidak menyesali takdir yang menimpa anaknya. Ibu dua anak itu hanya kecewa, mengapakah anaknya yag bernama Abiyasa Rizal Ahnaf yang baru berusia dua tahun itu meninggal justru di tengah masifnya upaya pemerintah untuk memperhatikan kesehatan masyarakat melalui program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Kartu Jakarta Sehat (KJS).
Nurhayati pun lalu menuturkan, pada Senin 18 November lalu, dia membawa Abiyasa ke RS Pasar Rebo, Jaktim, karena diare yang diderita putranya itu tak kunjung reda. Abi memuntahkan semua yang dia makan dan minum. "Wajahya pucat dan matanya kosong," tutur Nurhayati.
Sesampainya di RS Pasar Rebo, pihak RS lagsung memeriksa darah Abi. Ternyata leukositnya tinggi sehingga Abi harus dirawat inap. Namun, ternyata tidak ada kamar kelas tiga. Pihak RS memberi alternatif, pasien masuk kamar kelas dua dengan deposit uang sebesar Rp 2,6 juta, atau RS Pasar Rebo mencari RS rujukan.
Akhirnya diputuskan mengambil kelas dua, dan beroleh keringanan membayar Rp 800.000. Untunglah, pada malam hari ada ruang kelas tiga yang kosong, maka Abi pun dipindah ke sana dengan fasilitas kartu BPJS Kesehatan.
Melalui telepon, Nurhayati bercerita, pada Selasa dini hari itu kondisi Abi belum membaik, perutnya kian kembung sehingga dokter meminta Abi berpuasa untuk waktu yang belum ditentukan. Abi kemudian dirontgen dan diketahui bahwa Abi menderita ilius obstruksi, ilius paralitik atau penyumbatan pencernaan.
Penanganan selajutnya oleh dokter urologi untuk mengetahui pasien terkena ginjal atau tidak dengan memasang selang untuk saluran kencing. Ternyata ginjalnya bagus, dan dugaan selajutnya adalah adanya sumbatan di usus.
"Anak ibu ada penyubatan di usus, harus dirujuk ke RS yang ada dokter bedah anak dan ruangan Picu," kata Nur menirukan dokter jaga yang juga menyarankan agar Abi dibawa ke RS Haji Pondok Gede.
Namun sayang, di RS Haji tak ada kamar kelas tiga yang kosong. Sebetulnya ada kamar kelas dua yang kosong, tetapi RS itu tidak memiliki peralatan ventilator yang sangat diperlukan pasca-operasi.
Begitulah, Nurhayati dan suaminya berlomba dengan waktu mencari rumah sakit utuk merawat putra mereka. Sang suami keliling Jakarta, sementara Nur melacak RS yang mau menerima anaknya melalui call center di RS Pasar Rebo. Namun, rupanya nasib baik belum berpihak kepada mereka. Berikut adalah RS yang dihubungi oleh Nurhayati dan suaminya.
1. RSCM mendahulukan pasien sendiri dibanding pasien rujukan.
2. RSPAD - Tidak punya Ruang Picu, tapi dokter ada, Dr Catur namanya.
3. RS Haji - Ruang dan dokter ada, tetapi ventilator untuk pasca-operasi tidak ada. Jadi dokter tak berani membedah.
4. RS Polri - penuh
5. RS Harapan Bunda - hanya terima pasien BPJS Palasenia dan TBC.
6. RSIA Harapan Kita - penuh
7. RS Fatmawati - penuh
8. RS Persahabatan - penuh
9. RS Bunda Aliya - tak punya dokter spesialis.
10. RS UKI - tidak punya fasilitas PICU.
11. RS Cikini - penuh
12. Carolus - penuh
13. RS Pelni - penuh
14. RS Islam Jakarta - penuh
15. RSPP - tak terima BPJS
16. RS Bunda Margonda - tak terima BPJS
17. RS Permata - tak ada fasilitas dan dokter
18. RS Mitra - tak ada fasilitas dan dokter
19. RS Premier Jatinegara - tak terima BPJS
20. RS BUNDA Menteng - penuh
21. RS Thamrin - terpampang "Menerima Pasien BPJS", tetapi petugas RS bertanya, memakai BPJS apa? Saat dijawab pakai BPJS KJS, ternyata dijawab, "Ruangan penuh".
Saat mencari ruang kosong di berbagai rumah sakit itulah, Nurhayati dan suaminya juga sempat mengirim SMS ke Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. GuberNur menjawab agar suami Nurhayati menghubungi anak buahnya. Hingga akhirnya sampai ke Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Kepala Dinas pun mengupayakan rujukan ke RS Tarakan, Cideng, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Sebelumnya, atas budi baik seorang donatur, Nurhayati sudah sempat memberikan uang muka ke RS Thamrin sebesar Rp 20 juta.
Senin malam, 24 November, setelah membatalkan perawatan di RS Thamrin, Nur dan suaminya pun membawa Abi ke RS Tarakan. Waktu sudah menunjuk angka 00.00 ketika mereka tiba di RS Tarakan dan langsung masuk ke ruang IGD. Dua jam kemudian, pasien dipindahkan ke Ruang Picu. Keesokan harinya kedua orangtua Abi itu dipanggil oleh dokter untuk dimintai persetujuannya karena pasien harus dioperasi.
Rabu pagi, 26 November, Abi dioperasi oleh tiga orang dokter, masing-masing dokter Edy (dokter anak), dr Rahman (bedah umum), dan dr Carlo (bedah anak). Sebelum dioperasi, ketiga dokter itu menyampaikan keterangan kepada orangtua pasien. Kata dokter, karena kondisi pasien yang tidak mengeluarkan kotoran dari tubuhnya sudah terlalu lama, maka kumannya sudah menyebar ke mana-mana. Dokter pun menegaskan, operasi itu mungkin bisa menolong Abi, tetapi bisa juga sebaliknya.
Operasi yang dimulai pukul 10 pagi itu selesai pada 14.30 WIB. Tampak Abi antara sadar dan tidak. Selanjutnya anak kecil itu pun dibawa ke Ruang Picu. Pukul 5 sore, Nur baru bisa melihat Abi kembali. Kondisinya mulai ceria dan minta minum, namun belum diperbolehkan. Pukul 10 malam, suami Nur diminta transfusi darah karena HB Abi rendah. Pukul 12 malam kondisi Abi kritis dan akan dipasang ventilator.
Kamis, 27 November pukul lima sore, Abi tampak gemuk, badannya bengkak karena kurang protein.
Jumat, selepas subuh, sekira pukul 5 Nur ditelepon untuk melihat Abi. Dokter jaga bilang, napas Abis sudah berat sejak pukul 4 dan dalam kondisi tidak sadar.
15 menit kemudian, Nur dan suaminya dipanggil kembali, dokter jaga bilang kalau jantung Abi sudah berhenti. Pada pukul 06.45 Abi dinyatakan meninggal oleh dokter. Anak kedua pasangan Nurhayati dan Mohammad Eddy Karno itu pergi untuk selamanya.
Ada rasa bersalah di diri Nurhayati karena tak bisa mengupayakan perawatan yang layak pada diri Abi. Untunglah orang-orang di sekitarnya menghibur Nur. Mereka bilang, Nur dan suaminya telah berupaya maksimal, tapi takdir berkehendak lain. Nurhayati pun berkata bahwa dirinya tidak menyesali takdir, dia hanya kecewa dengan lambannya pihak rumah sakit yang tidak menyegerakan pasien BPJS kelas tiga semacam Abi.
Demikianlah, upaya baik pemerintah yang telah mengeluarkan program BPJS, KJS, dan Kartu Indonesia Sehat, ternyata belum dibarengi kesiapan sarana pendukung, berupa dokter, perawat, dan penambahan ruangan di rumah sakit. Walhasil, pasien menumpuk dan harus antre. Sementara seorang dokter harus menangani sedemikian banyak pasien.
Menurut ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Dr. dr. Sutoto, M.Kes, Indonesia masih butuh banyak lagi dokter agar pasiennya bisa tertangani dengan baik karena hingga saat ini jumlah dokter tidak sebanding dengan jumlah pasien.
Sutoto menyatakan bahwa dalam data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2012, jumlah dokter dengan penduduk Indonesia tidak sebanding sehingga bisa dikatakan hal ini paling buruk se-ASEAN (Association of South East Asian Nations).
"Kita punya 3 dokter untuk 10.000 penduduk, sementara di Malaysia 9 dokter untuk 10.000 penduduk, ini data terbaru yang menunjukkan kalau kita masih kekurangan dokter," jelas Sutoto di Jakarta, kepada wartawan, (20/3/2013) 
(http://megapolitan.kompas.com/)

No comments:

Post a Comment