Thursday, February 19, 2015

Besaran Iuran Jaminan Pensiun Diusulkan Lebih “Luwes”



Dilihat dari kondisi perusahaan, bila perlu besaran iuran perusahaan besar dan kecil berbeda.
Besaran Iuran Jaminan Pensiun Diusulkan Lebih “Luwes”
Anggota Komisi IX DPR Amelia Anggraini. Foto: ameliaanggraini.com

Pemerintah masih menggodok aturan pelaksana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Setidaknya, terdapat empat program yang akan dilakukan BPJS Ketenagakerjaan. Keempatnya adalah program jaminan pensiun (JP), jaminan hari tua (JHT), jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM) yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 2015.

Dari keempat program ini, hanya JP yang baru. Sedangkan ketiga program lainnya sudah berjalan pada saat BPJS Ketenagakerjaan masih bernama Jamsostek. Terkait program JP, Anggota Komisi IX DPR Amelia Anggraini mengusulkan agar iurannya bisa bersifat “luwes” dengan artian iuran dipertimbangkan dengan kondisi masing-masing perusahaan. Hal ini dilakukan untuk mencari jalan keluar bagi alotnya pembahasan RPP terkait program JP tersebut.

Amelia berharap kondisi perusahaan besar dan perusahaan kecil bisa menjadi dasar dalam menerapkan iuran. “Kondisi perusahaan harus jadi pertimbangan, perusahaan skala sedang harus beda dengan perusahaan skala kecil. Pemerintah jangan pukul rata ke seluruh pemberi kerja,” kata politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) ini, saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan BPJS Ketenagakerjaan di Komplek Parlemen, di Jakarta, Senin (26/1).

Bukan hanya itu, Amelia berharap manfaat dari program JP ini harus bisa dirasakan oleh seluruh kalangan, termasuk buruh. Menurutnya, semakin meningkatnya pekerja yang ikut dalam program JP, maka dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan juga akan semakin besar.

Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G Masassya, berharap pada kuartal I tahun 2015, RPP mengenai program JP sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Paling lambat itu bulan Juni. Tapi kami berharap kuartal I ini bisa tuntas dan sudah bisa dinaikkan ke presiden,” katanya.

Menurutnya, RPP mengenai program JP masih dalam tahap harmonisasi yang melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga di Kementerian Hukum dan HAM. Salah satu substansi yang masih dibahas adalah mengenai angka iuran. Untuk sementara, usulan iuran dalam RPP masih sebesar delapan persen, dengan pembagian lima persen dibayarkan pemberi kerja dan tiga persen dibayar pekerja.

Terkait usulan anggota dewan agar besaran iuran sesuai dengan kondisi perusahaan, Evlyn tak bisa memastikan apakah bisa masuk dalam RPP atau tidak. Alasannya, BPJS Ketenagakerjaan tidak memiliki hak untuk menentukan besaran iuran di dalam PP. Hak tersebut sepenuhnya berada di tangan pemerintah.

“Kami dalam kapasitas sebagai penyelenggara, tidak bisa menaikkan atau menurunkan iuran begitu saja, itu harus diatur dalam PP,” kata Evlyn.

Meski begitu, lanjut Elvyn, semakin besar iuran yang diberikan, maka semakin besar pula manfaat yang akan didapat oleh pekerja. Selain masalah iuran, substansi lain yang masih dibahas dalam RPP adalah mengenai manfaat dari program JP. Substansi ini termasuk penentuan siapa yang bisa menjadi peserta program JP.

“Kan tidak bisa sekaligus semua, harus pekerja formal dulu. Baru kemudian pekerja yang informal,” kata Elvyn.

Meski begitu, ia mempersilahkan jika ada masyarakat yang ingin mengajukan program JP dengan cara informal atau volunteery. Namun, pengajuan tersebut harus sesuai ketentuan, yakni setelah tahun 2016. “Volunteery silahkan kalau sudah ada yang berminat. Tapi menjadi mandatori itu ada tahapan-tahapannya, setelah 2016,” katanya.

Apabila ada pekerja yang akan pensiun dalam waktu dekat, Elvyn mengatakan, tak akan bisa memperoleh manfaat program JP jika belum masuk sebagai peserta. Meski sudah menjadi peserta pada saat program JP berjalan, hak pensiun pekerja akan diberikan setelah memberikan iuran selama 15 tahun. (www.hukumonline.com)
 

No comments:

Post a Comment