Penyandang disabilitas memiliki aktivitas sama halnya dengan orang awas. Namun, aksesibilitas untuk mereka masih
minim. Tak jarang aktivitas yang mereka lakukan cukup membahayakan
bagi keselamatan. Meski sarat risiko, mereka belum memiliki jaminan
sosial ketenagakerjaan.
bagi keselamatan. Meski sarat risiko, mereka belum memiliki jaminan
sosial ketenagakerjaan.
Pagi yang cerah. Aziz Abdullah Bajasud (35) siap menjalani
aktivitasnya, Rabu (13/4). Dia berjalan pelan mengenakan sepasang
tongkat menuju sepeda motor miliknya. Sepeda motor Skydrive warna
orange tersebut sudah dimodifikasi menjadi tiga roda. Cukup repot bagi
Aziz untuk bisa menaiki motor tersebut. Namun karena sudah terbiasa
hal itu tak jadi soal.
aktivitasnya, Rabu (13/4). Dia berjalan pelan mengenakan sepasang
tongkat menuju sepeda motor miliknya. Sepeda motor Skydrive warna
orange tersebut sudah dimodifikasi menjadi tiga roda. Cukup repot bagi
Aziz untuk bisa menaiki motor tersebut. Namun karena sudah terbiasa
hal itu tak jadi soal.
Dia pun melaju menuju balai latihan kerja yang berada di Pudakpayung, Banyumanik Semarang. Sudah seminggu ini Aziz bersama sejumlah penyandang disabilitas lainnya mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh
Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan (Disnakertransduk)
Provinsi Jawa Tengah. Aziz memilih program komputer dalam pelatihan
itu.
Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan (Disnakertransduk)
Provinsi Jawa Tengah. Aziz memilih program komputer dalam pelatihan
itu.
Aziz adalah seorang tunadaksa. Dia sakit sejak 1984 saat umur 3
tahunan. Kedua kakinya lumpuh. Ke mana-mana dia mengenakan tongkat.
Meski menggunakan kendaraan khusus, Aziz tak pernah merasa takut
melintasi jalanan. Lalu lintas di Kota Semarang yang cukup padat juga
tata kota yang belum inklusif tak menciutkan nyalinya untuk mencari
nafkah.
tahunan. Kedua kakinya lumpuh. Ke mana-mana dia mengenakan tongkat.
Meski menggunakan kendaraan khusus, Aziz tak pernah merasa takut
melintasi jalanan. Lalu lintas di Kota Semarang yang cukup padat juga
tata kota yang belum inklusif tak menciutkan nyalinya untuk mencari
nafkah.
Lelaki kelahiran Semarang, 3 Mei 1979 itu bahkan tak memiliki jaminan
sosial sebagai seorang pekerja. Dia hanya memiliki Kartu Indonesia
Sehat (KIS) sebagai jaminan kesehatan dari pemerintah pusat yang
berlaku hingga 2019.
sosial sebagai seorang pekerja. Dia hanya memiliki Kartu Indonesia
Sehat (KIS) sebagai jaminan kesehatan dari pemerintah pusat yang
berlaku hingga 2019.
Aziz tak bisa membayangkan jika di kemudian hari terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Dalam hati kecilnya, ingin sekalimenjadi bagian dari peserta jaminan sosial ketenagakerjaan agar mendapatkan perlindungan, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Namun apa daya, untuk mengakses pekerjaan saja susah, bagaimana mungkin dia bisa mendaftar jaminan sosial.
“Ini karena keadaan. Saya ikut pelatihan tiap hari lumayan dapat uang
Rp 60 ribu. Usai pelatihan belum tentu dapat kerja. Tak ada pendapatan
lain. Sekiranya saya mati di jalanan itu sudah takdir,” kata Aziz saat
ditemui metrosemarang.com di kediamannya.
Rp 60 ribu. Usai pelatihan belum tentu dapat kerja. Tak ada pendapatan
lain. Sekiranya saya mati di jalanan itu sudah takdir,” kata Aziz saat
ditemui metrosemarang.com di kediamannya.
Rumah Aziz berada di Jalan Unta Raya No 10 Semarang, sekitar 200
meteran dari jembatan. Rumah yang dibangun itu berada di tepian sungai
Banjir Kanal Timur. Di rumah berukuran 3 x 6 meter itu, Aziz tinggal
bersama istrinya, Susiyati (33) serta dua anaknya, Haikal (8) dan
Haifa (6). “Ini tanah milik negara. Saya tak tahu harus berbuat apa
jika sewaktu-waktu pemerintah melakukan penggusuran,” katanya.
meteran dari jembatan. Rumah yang dibangun itu berada di tepian sungai
Banjir Kanal Timur. Di rumah berukuran 3 x 6 meter itu, Aziz tinggal
bersama istrinya, Susiyati (33) serta dua anaknya, Haikal (8) dan
Haifa (6). “Ini tanah milik negara. Saya tak tahu harus berbuat apa
jika sewaktu-waktu pemerintah melakukan penggusuran,” katanya.
Aziz mukim di tempat itu sejak 2014 lalu. Sebelumnya, dia tinggal dan
memiliki usaha optik di bilangan Jalan Kimangunsarkoro, Karangkidul,
Semarang. Namun kiosnya harus dibongkar karena ada proyek penataan
kota.
memiliki usaha optik di bilangan Jalan Kimangunsarkoro, Karangkidul,
Semarang. Namun kiosnya harus dibongkar karena ada proyek penataan
kota.
Pasca penggusuran, dia sempat mengelola kantin di sebuah
perusahaan, namun tak berjalan baik. Sejak itu, kondisi ekonomi
keluarga Aziz memburuk. Keadaan itu makin parah ketika istri lamanya
memutuskan pulang ke rumah orang tua. Aziz pun tak bisa berbuat
banyak.
perusahaan, namun tak berjalan baik. Sejak itu, kondisi ekonomi
keluarga Aziz memburuk. Keadaan itu makin parah ketika istri lamanya
memutuskan pulang ke rumah orang tua. Aziz pun tak bisa berbuat
banyak.
Di bantaran Sungai Banjir Kanal Timur, Aziz seperti menemukan
kehidupan baru. Dia menikah lagi dengan Susiyati yang juga penyandang
disabilitas. Dengan semangat baru itu dia ingin memulai usahanya yang
pernah jatuh. “Saya berharap ada investor untuk usaha optik saya. Saya
punya rencana membuat kacamata dari bahan kayu,” kata.
kehidupan baru. Dia menikah lagi dengan Susiyati yang juga penyandang
disabilitas. Dengan semangat baru itu dia ingin memulai usahanya yang
pernah jatuh. “Saya berharap ada investor untuk usaha optik saya. Saya
punya rencana membuat kacamata dari bahan kayu,” kata.
Reki Priyanto (35), tunadaksa lainnya juga senasib dengan Aziz. Hingga
saat ini Reki belum memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan. Padahal
aktivitas yang dijalani Reki juga rentan terhadap kecelakaan kerja.
Dia sehari-hari mengendarai sepeda motor khusus beroda tiga dari
rumahnya menuju tempat kerja. Berbeda dengan Aziz, Reki harus
menggunakan bantuan kursi roda untuk mobilitasnya.
saat ini Reki belum memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan. Padahal
aktivitas yang dijalani Reki juga rentan terhadap kecelakaan kerja.
Dia sehari-hari mengendarai sepeda motor khusus beroda tiga dari
rumahnya menuju tempat kerja. Berbeda dengan Aziz, Reki harus
menggunakan bantuan kursi roda untuk mobilitasnya.
Reki termasuk penyandang disabilitas yang produktif. Dia bekerja
sebagai desainer grafis di sebuah home industri kaus di Kota Semarang
bersama 20 an pekerja lainnya. Home industri tempat Reki bekerja
tergolong kecil, sehingga belum bisa mendaftarkan pekerjanya sebagai
peserta jaminan sosial ketenagakerjaan.
sebagai desainer grafis di sebuah home industri kaus di Kota Semarang
bersama 20 an pekerja lainnya. Home industri tempat Reki bekerja
tergolong kecil, sehingga belum bisa mendaftarkan pekerjanya sebagai
peserta jaminan sosial ketenagakerjaan.
“Saya merasa cocok bekerja di sini karena sesuai kompetensi yang saya
miliki. Tapi ya gajinya hanya Rp 1,5 juta perbulan. Masih di bawah
UMR. Ya beginilah kerja ikut orang,” katanya.
miliki. Tapi ya gajinya hanya Rp 1,5 juta perbulan. Masih di bawah
UMR. Ya beginilah kerja ikut orang,” katanya.
Selain Aziz dan Reki masih banyak lagi penyandang disabilitas lainnya
yang tinggal di Kota Atlas ini. Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Dinas
Sosial, Pemuda dan Olahraga (Disospora) Kota Semarang, Primasari YS
menyebutkan, data 2014 ada sejumlah 6.861 penyandang disabilitas yang
tersebar di 16 kecamatan. Mereka terdiri dari 796 tunadaksa, 740
tunanetra, 609 tunagrahita, 645 tunarungu dan 514 cacat ganda.
yang tinggal di Kota Atlas ini. Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Dinas
Sosial, Pemuda dan Olahraga (Disospora) Kota Semarang, Primasari YS
menyebutkan, data 2014 ada sejumlah 6.861 penyandang disabilitas yang
tersebar di 16 kecamatan. Mereka terdiri dari 796 tunadaksa, 740
tunanetra, 609 tunagrahita, 645 tunarungu dan 514 cacat ganda.
Menurut Primasari, Pemerintah Kota Semarang belum bisa memberikan
jaminan sosial bagi para penyandang disabilitas tersebut. “Ada
Asuransi Lanjut Usia (Aslut) tapi itu dari pusat, Kementerian Sosial.
Juga dana PSKS dan PKH untuk keluarga sangat miskin,” katanya
didampingi Seksi Rehabilitasi Sosial, Adhitya Kurnia C.
jaminan sosial bagi para penyandang disabilitas tersebut. “Ada
Asuransi Lanjut Usia (Aslut) tapi itu dari pusat, Kementerian Sosial.
Juga dana PSKS dan PKH untuk keluarga sangat miskin,” katanya
didampingi Seksi Rehabilitasi Sosial, Adhitya Kurnia C.
Primasari mengatakan, penerima Aslut di Kota Semarang untuk periode pertama sebanyak 65 orang senilai Rp 52 juta. Periode kedua sebanyak 67 orang senilai Rp 53,6 juta dan periode ketiga sebanyak 67 orang senilai Rp
53,6 juta.
53,6 juta.
Sejauh ini, lanjut dia, Dinsospora Kota Semarang telah melaksanakan
sejumlah program pemberdayaan berupa bantuan peralatan dan pelatihan
kerja bagi penyandang disabilitas. Di antaranya, bantuan sosial
peralatan kerja membatik seharga Rp 17,5 juta bagi kelompok usaha
bersama (Kube) Katun Ungu yang terdiri dari lima orang tunarungu.
Bantuan sosial peralatan kesehatan berupa 150 kursi bagi tunadaksa di
Kota Semarang. Disospora juga menjalin kerjasama dengan Carrefour area
Jawa Tengah-DI Yogyakarta untuk peneriman karyawan tunarungu dan
tunadaksa.
sejumlah program pemberdayaan berupa bantuan peralatan dan pelatihan
kerja bagi penyandang disabilitas. Di antaranya, bantuan sosial
peralatan kerja membatik seharga Rp 17,5 juta bagi kelompok usaha
bersama (Kube) Katun Ungu yang terdiri dari lima orang tunarungu.
Bantuan sosial peralatan kesehatan berupa 150 kursi bagi tunadaksa di
Kota Semarang. Disospora juga menjalin kerjasama dengan Carrefour area
Jawa Tengah-DI Yogyakarta untuk peneriman karyawan tunarungu dan
tunadaksa.
Primasari mengatakan, saat ini Pemerintah Kota Semarang dalam proses
mengembangkan kota inklusi yang ramah bagi penyandang disabilitas.
“Master plan kota inklusi sudah rampung. Yang menangani Dinas
Pendidikan,” katanya. (http://metrosemarang.com/penyandang-disabilitas-bekerja-tanpa-jaminan-sosial-tenaga-kerja)
mengembangkan kota inklusi yang ramah bagi penyandang disabilitas.
“Master plan kota inklusi sudah rampung. Yang menangani Dinas
Pendidikan,” katanya. (http://metrosemarang.com/penyandang-disabilitas-bekerja-tanpa-jaminan-sosial-tenaga-kerja)
No comments:
Post a Comment