“Pengelolaan perikanan harus memajukan pemeliharaan mutu, keaneka-ragaman
dan ketersediaan dari sumber daya perikanan dalam jumlah yang cukup untuk
generasi kini dan mendatang dalam konteks ketahanan pangan, pengentasan
kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan.”
Pasal 6.2 Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF)
Tinta emas prestasi Indonesia dalam even kelautan
dunia tertoreh pada tanggal 11-14 Mei 2009. Ketika, negara
kita Indonesia dipercaya menjadi pelopor dan tempat pelaksanaan Konferensi
Kelautan Dunia atau World Ocean Conference (WOC) 2009. Konferensi WOC
pertama yang diselenggarakan di Manado, Sulawesi Utara, itu
mengusung tema ”Climate
Change Impacts to Ocean and The Role of Ocean to Climate Change” (Dampak
Perubahan Iklim Terhadap Kelautan dan Peran Kelautan Terhadap Perubahan Iklim).
WOC
yang pertama ini bertujuan untuk menegaskan mengenai betapa pentingnya
perlindungan laut. Bahwa laut harus dijaga kelestariannya agar bisa menahan
dampak negatif dari perubahan iklim yang kini sedang melanda dunia. Laut juga
merupakan ”hutan biru” atau biasa disebut blue green, yang mampu
menyerap karbon. Karbon menjadi salah satu penyebab terjadinya pencemaran
lingkungan dan sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim dunia.
Acara
WOC yang berlangsung di Kompleks Grand Kawanua Convention Center (GKCC),
Manado, itu dibuka oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Ikut mendampingi Presiden SBY dalam pembukaan tersebut, antara lain
adalah Menteri Kelautan dan Perikanan (saat itu) Freddy Numberi serta Menteri Luar Negeri (waktu
itu) Hasan Wirayuda.
Forum
WOC itu sendiri dihadiri oleh sekitar 4.000 orang yang datang dari 121 negara
di dunia. Sejumlah Kepala Negara, Menteri-Menteri dan
Pejabat-Pejabat Tinggi dari banyak negara di dunia, juga hadir dalam acara WOC
di Manado itu. Ada pula utusan-utusan organisasi atau lembaga swadaya
masyarakat (LSM) di bidang lingkungan yang datang dari berbagai penjuru
dunia. Selama empat hari (11-14 Mei 2009), mereka semua berdebat, berdiskusi,
bertukar pikiran dan akhirnya sama-sama bersepakat bahwa laut harus dijaga dan
dilindungi. Laut tidak boleh dicemari. Kesepakatan itu kemudian dinyatakan
dalam ”Deklarasi Kelautan Manado” atau ”Manado Ocean Declaration”.
Penyelenggaraan WOC 2009 dan Deklarasi Kelautan Manado itu sudah
dikoordinasikan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Acara WOC itu sendiri ditutup
pada tanggal 14 Mei 2009. Pada malam penutupan WOC, dimeriahkan dengan pesta
kembang api. Pertunjukan kembang api dilakukan setelah acara makan malam
Presiden SBY dan Ibu Negara Ny. Ani Yudhoyono, bersama-sama dengan para peserta
WOC. Letupan kembang api begitu meriah. Gemerlap cahaya apinya yang
berwarna-warni menghiasi langit malam Manado.
Masih di Manado, keesokan harinya tanggal 15 Mei 2009, dilanjutkan
dengan pertemuan 6 negara Inisiatif Segitiga Karang atau Coral Triangle
Initiative (CTI). Enam negara itu adalah Indonesia, Malaysia, Filipina,
Timor Leste, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon. Di wilayah 6 negara yang
berada di kawasan barat daya Samudera Pasifik itulah terdapat sebagian besar
karang dunia. Negara Australia dan Amerika Serikat juga ikut mendorong
kesuksesan CTI itu.
Dalam pertemuan puncak atau CTI Summit 2009 di Manado tersebut, para
Kepala Negara dari keenam negara CTI bersepakat untuk mendukung “Deklarasi Kelautan Manado”
yang dihasilkan dalam WOC 2009. Enam negara CTI juga sama-sama bertekad meningkatkan perlindungan terhadap segenap sumber daya laut
dan pantai di wilayah negara masing-masing. Sumber
daya laut itu, antara lain berupa karang, ikan dan aneka biota di dalam lautan.
Juga flora (tumbuhan-tumbuhan) dan fauna (binatang) laut yang lainnya.
Bersamaan
dengan acara WOC 2009 dan CTI Summit 2009 (11-15 Mei 2009) di
Manado, diselenggarakan pula Simposium Internasional mengenai Kebijakan serta Ilmu dan
Pengetahuan Kelautan. Sekitar 400 paper atau makalah dan presentasi
dilakukan dalam forum simposium yang diikuti oleh 1.500 orang peserta itu.
Selama acara WOC 2009 dan CTI Summit 2009 juga dimeriahkan oleh Pameran
Internasional tentang Industri serta Ilmu dan Teknologi Kelautan.
Sebagai salah satu wakil Indonesia, BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi) ikut serta dalam simposium dan pameran itu. Produk-produk hasil
rekayasa teknologi bidang kelautan, seperti Kapal Riset Baruna Jaya, Tsunami Early Warning System (TEWS),
Kapal Angkut Ikan Hidup Kerapu dan Pipa Apung untuk media alir mineral di
industri minyak dan gas, dipamerkan oleh BPPT. Selama pameran, stand
BPPT banyak dikunjungi orang, mulai dari murid-murid sekolah, pelajar,
mahasiswa, peneliti, pejabat daerah dan masyarakat umum. Bahkan, Menteri Kelautan
dan Perikanan (waktu itu) Freddy Numberi secara
khusus berkunjung ke stand pameran BPPT. Selain melihat-lihat pameran
BPPT, Menteri Freddy Numberi juga membicarakan kemungkinan kerjasama dalam
bidang eksplorasi potensi kelautan dan perikanan nasional dengan menggunakan
teknologi yang dimiliki BPPT.
Konferensi
kelautan dunia (WOC) 2009 yang pertama memang sudah selesai. Pertemuan CT
Summit 2009 pun telah rampung. Begitu pula dengan Simposium dan pameran
internasional di bidang kelautan. Salah satu hasilnya, nama
Manado dikenal luas oleh dunia internasional. Artinya, Manado yang selama ini juga
dikenal memiliki kawasan wisata Bunaken itu, diharapkan mampu menjadi daerah
tujuan wisata yang baru di Indonesia, selain Bali.
WOC
hanyalah sebuah peretas bahwa kita memiliki sumber daya kelautan yang potensial
dan posisi geografis yang amat strategis yang layak dijadikan sebagai satu
kekuatan atau modal pembangunan ekonomi. Kenyataan posisi silang Indonesia yang
sangat strategis dapat dilihat delapan aspek. Pertama, aspek geografis, wilayah Indonesia terletak di antara dua
benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Pasifik dan Hindia). Kedua, aspek demografi, penduduk Indonesia
terletak di antara penduduk jarang di selatan (Australia) dan penduduk padat di
utara (Republik Rakyat China [RRC] dan Jepang). Ketiga, aspek ideologi, ideologi Indonesia (Pancasila) diapit oleh
ideologi liberalisme di selatan (Asutralia dan Selandia Baru) dan komunisme di
utara (RRC, Vietnam dan Korea Utara). Keempat,
aspek politik, demokrasi Pancasila terletak di antara demokrasi liberal di
selatan dan demokrasi rakyat (diktator proletariat) di utara. Kelima, aspek ekonomi, ekonomi Indonesia
berada di antara ekonomi kapitalis di selatan dan sosialis di utara. Keenam, aspek sosial, masyarakat
Indonesia terletak di antara masyarakat indivualistik di selatan dan masyarakat
sosialistik di utara. Ketujuh, aspek
kultural, budaya Indonesia berada di antara budaya Barat di selatan dan budaya
Timur di utara. Dan kedelapan, aspek
pertahanan keamanan (hankam), geopolitik dan geostrategi Indonesia terletak di
antara wawasan kekuatan maritim di selatan dan wawasan kekuatan kontinental di
utara.
Letak
geografis Indonesia dengan delapan aspek yang amat strategis tersebut dapat
dijadikan kekuatan pembangunan perekonomian. Misalkan keberadaan Selat Malaka yang juga sebagai lewatan jalur
perdagangan internasional dapat mendorong Indonesia untuk bisa meningkatkan kehidupan
ekonomi, khususnya sektor perdagangan. Kemudian potensi sumber daya bahari yang
belum dikelola secara maksimal.
Setelah
lebih dari tiga dasawarsa membangun secara terencana, ekonomi di bidang
kelautan (ekonomi kelautan) sampai kini masih diposisikan sebagai sektor
pinggiran (peripheral sector) serta
tidak menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan nasional. Bila melihat
kontribusi setiap sektor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang
pertumbuhannya relatif lambat maka dapat disimpulkan bahwa kondisi ekonomi
kelautan masih memprihatinkan. Ekonomi kelautan yang terdiri dari pelayaran
(transportasi laut), perikanan, pariwisata bahari, pertambangan dan energi,
bangunan kelautan, industri dan jasa kelautan, sangat potensial dikembangkan di
masa depan. Bagaimana sebenarnya persoalan dan potensi ekonomi kelautan kita? Berikut
gambaran singkat persoalan dan potensi ekonomi kelautan tersebut:
Pelayaran. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, industri
pelayaran merupakan infrastruktur dan tulang punggung (backbone) kehidupan berbangsa dan bernegara. Sayangnya, industri
pelayaran nasional saat ini dalam kondisi terpuruk. Kontribusi sektor industri
pelayaran terhadap PDB baru sekitar 1,64%. Selain itu, sebesar 95,21% muatan
angkutan laut asing dan 46,8% muatan angkutan laut dalam negeri dikuasai oleh
kapal-kapal berbendera asing. Akibatnya, setiap tahun Indonesia harus membayar ongkos
muatan ke kapal asing triliunan rupiah dan menghasilkan defisit pada transaksi
berjalan. Ditinjau dari segi daya saing, pangsa muatan armada kapal nasional
sudah mulai berkembang sedangkan untuk internasional masih memiliki
ketergantungan pada armada asing.
Hal
demikian merupakan pertanda bahwa kemampuan daya saing perusahaan pelayaran
nasional berkembang lambat sementara kepemilikan kapal perusahaan pelayaran nasional
relatif kecil. Sebagian besar perusahaan pelayaran nasional itu bertindak
sebagai agen dari perusahaan asing. Mayoritas pelayaran nasional menjadi feeder dari Pelabuhan Singapura. Bahkan,
Indonesia seperti dijadikan hinterland
(kawasan belakang) Singapura. Keputusan melaksanakan asas cabotage guna
mengembangkan industri pelayaran dalam negeri masih perlu diperkuat secara
signifikan karena diperlukan instrumen pendukung seperti dukungan lembaga
keuangan, peningkatan keselamatan pelayaran, peningkatan kualitas sistem
pelabuhan dan industri kelautan (galangan kapal, mesin kapal, dan sebagainya). Unsur
penting yang menggerakkan sektor pelayaran adalah tersedianya SDM yang handal.
Saat ini daya saing SDM pelayaran, baik pelaut maupun SDM industri pelayaran,
masih relatif rendah. Guna memecahkan masalah tersebut maka diperlukan dukungan
kebijakan yang mampu membangun sinergi antara kalangan industri pelayaran,
pendidikan dan pelatihan serta instrumen pendukungnya.
Perkembangan
terakhir menggambarkan bahwa dampak positif dikeluarkannya Inpres Nomor 5 Tahun
2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional yang ditindak-lanjuti
dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 71 Tahun 2005 tentang
Pengangkutan Barang dalam Negeri dan Penyusunan Roadmap Pelaksanaan Asas Cabotage yang kemudian jiwa dan
substansinya telah dimasukkan ke dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
diharapkan mampu mendorong pertumbuhan potensi industri pelayaran nasional.
Perikanan. Potensi industri perikanan Indonesia sangat besar dan
sepatutnya Indonesia menjadi negara industri perikanan terbesar di Asia atau bahkan
dunia. Ironisnya, kontribusi sektor perikanan terhadap PDB masih belum
signifikan, yakni 2,75% di tahun 2008 dan 3,12% di tahun 2009. Lalu, ekspor
produk perikanan pun cuma US$2,4 miliar (2009). Armada kapal ikan bermotor yang
mampu mencapai ZEEI pun masih amat sedikit dan pertambahan kapal ikan masih
sangat kurang berarti dibandingkan dengan ribuan kapal asing yang diduga merangsek
melakukan illegal fishing di wilayah
perairan yang berada dalam kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia. Pertambahan
kawasan budidaya perikanan, khususnya budidaya laut, masih sangat kurang.
Demikian pula halnya kawasan-kawasan industri pengolahan ikan yang belum
terbangun secara baik serta prasarana dan sarana perikanan belum berfungsi
secara maksimal dalam mendukung pembangunan perikanan nasional. Beberapa hal
tersebut terjadi sebagai akibat dari berbagai peraturan dan insentif yang
kurang mendukung sehingga para investor (termasuk perbankan) merasa enggan melirik
laut sebagai sumber kemakmuran bangsa. Keadaan ini berdampak pada kehidupan
nelayan dan pembudidaya ikan masih terus hidup dalam belitan kemiskinan, kumuh,
tertinggal dan nyaris tidak berpendidikan.
Kendati
Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 10 negara penangkap ikan terbesar di
dunia, kontribusi perikanan terhadap ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat
masih sangat kecil. Interaksi antarpelaku industri belum menguntungkan untuk
negara maupun rakyat. Industri perikanan masih lemah dan fragmental, belum
terintegrasi secara horizontal (antarwilayah dan dengan sektor komplementer)
dan belum terintegrasi secara vertikal (hulu-hilir, produksi, pengolahan dan
pemasaran baik domestik maupun mancanegara). Permasalahan lain seperti
pencurian ikan (illegal fishing) oleh
kapal asing juga masih cukup besar, baik di ZEE maupun di perairan kepulauan
dan laut teritorial. Begitu juga praktik perikanan yang merusak lingkungan. Rendahnya
tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan oleh nelayan Indonesia di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan daerah terpencil (remote areas) lainnya mengindikasikan kurangnya kesungguhan bangsa
Indonesia untuk menjadikan laut sebagai bagian dari hari depan bangsa.
Salah satu
aspek penting bagi pengembangan sumber daya perikanan adalah bioteknologi
kelautan. Saat ini pengembangan industri bioteknologi, khususnya obat-obatan,
kosmetik dan pangan, telah mampu mengangkat perekonomian dunia. Beberapa contoh
perusahaan obat dunia yang bergerak di bidang bahan alam perairan untuk
aplikasi di industri obat dan kosmetik antara lain Bayer A.G., Merck, Wyeth,
Eli Lilly, Albany Molecular, Advanced Life Science, PharmaMar, CeryLid, Kosan
Bioscience, Galileo Pharmaceuticals, Novartis, Rhone Poulence, Avalon
Pharmaceuticals, Pfizer, AstraZeneca, Genentech, Roche, Glaxo Smith Kline,
Sanovi Aventis, Amgen, Biogen Idec, Yamanouchi, Solvay Healthcare, dan Procter
& Gamble. Perusahaan-perusahaan tersebut membutuhkan berbagai organisme
perairan (seperti rumput laut, sponge, koral, molusca, dan enchinodermata)
sebagai bahan baku, baik pada tataran pengembangan maupun komersialisasi. Data
kuantitatif hasil pengembangan sumber daya hayati tercatat sebagai berikut:
- Data dari Wyeth Research menunjukkan bahwa dari 520
obat baru yang dikembangkan sekitar tahun 1983-1994, 39% merupakan produk
alam atau turunannya, termasuk produk alam perairan.
- Sekitar 60%-89% dari antibiotik dan antikanker dihasilkan
dari produk alam, termasuk produk alam perairan.
- Dari penjualan global produk farmasi sebesar US$300
miliar per tahun, sekitar US$75 miliar sampai US$150 berasal dari sumber
daya hayati atau sumber daya genetik, termasuk sumber daya hayati
perairan.
- Penjualan produk personal
care dan kosmetik pada tahun 1997 mencapai US$55 miliar, kontribusi
bahan alam (termasuk bahan alam perairan) mencapai US$2,8 miliar.
Data
tersebut membuktikan bahwa pengembangan sumber daya hayati secara komersial
dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi pembangunan ekonomi. Seharusnya
kenyataan ini menjadi pemantik bagi Indonesia untuk berkiprah lebih intensif
dan nyata dalam pemanfaatan sumber daya hayati perairan secara berkelanjutan
dalam rangka memperkuat pembangunan ekonomi.
Mengingat
pengembangan industri bioteknologi di Indonesia masih dalam tataran yang sangat
terbatas, maka perlu dilakukan percontohan terpadu pengembangan sumber daya
hayati perairan untuk mendukung industri bioteknologi khususnya farmasi dan
kosmetik. Pengembangan terpadu yang dimaksud mesti melibatkan pihak terkait
seperti perguruan tinggi dan lembaga penelitian sebagai penghasil teknologi,
masyarakat pesisir/nelayan sebagai pembudidaya dan konservator, pihak swasta
sebagai agen yang akan mengkomersialisasikan produk yang dikembangkan,
pemerintah (dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan) sebagai
fasilitator dan inisiator. Melalui kolaborasi semua pihak terkait diharapkan
pengembangan nyata dari sumberdaya hayati perairan dapat dilaksanakan dan
diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi perbaikan ekonomi masyarakat tanpa
harus mengorbankan kelestarian sumberdaya hayati yang ada.
Selain itu
pemanfaatan potensi keanekaragaman hayati laut dapat menghasilkan produk maupun
proses yang bernilai tinggi melalui pengembangan industri bioteknologi. Secara
garis besar industri bioteknologi kelautan yang dapat dikembangkan dengan
memanfaatkan keanekaragaman hayati perairan adalah produksi bahan alami dari
laut, pengendalian pencemaran di wilayah pesisir dan lautan, pengendalian biofouling, dan perbaikan sistem
akuakultur.
Organisme
laut yang meliputi mikroba dan phytoplankton,
blue green algae (cyanobacteria), green algae, brown algae, sponges,
coelenterates, bryozoans, mollusca, tunicates, dan echinoderms merupakan sumber bahan aktif dan bahan kimia yang sangat
potensial. Dari biota laut tersebut dapat dihasilkan berbagai bahan alami yang
bermanfaat antara lain untuk industri farmasi (seperti antitumor, antikanker,
antibiotik dan anti-inflammatory),
bidang pertanian (fungisida, pestisida, growth
stimulator), industri kosmetik dan makanan (seperti zat pewarna alami dan
biopolisakarida). Selanjutnya dari biota laut juga dapat dihasilkan protein
serta bahan diet sebagai sumber makanan sehat (asam lemak tak jenuh omega-3,
vitamin, asam amino, dan berbagai jenis gula rendah kalori).
Hal-hal
yang perlu memperoleh perhatian dalam pengembangan industri produk alam laut
antara lain: konsentrasi yang sangat rendah walaupun dihasilkan bioreaktor
terkendali pada kondisi yang optimal, ketergantungan pada faktor musim yang
sulit dikendalikan (khususnya untuk bahan alami yang diekstrak langsung dari
organisme laut). Masalah pertama dapat diatasi dengan penerapan teknologi
rekayasa genetika. Untuk yang kedua dapat diatasi dengan mempelajari dan
meneliti berbagai faktor yang berkaitan dengan produksi bahan alami seperti
musim, siklus hidup, fase reproduksi, jenis makanan, faktor fisika dan kimia,
lokasi geografis, kedalaman serta asosiasi dengan simbion. Untuk mengendalikan
faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi bahan alami dari laut perlu
dikembangkan teknik kultur sel dan jaringan tanaman, khususnya untuk produksi eicosanoid dari makroalga Laminaria Setchelli, Porphyra perforata,
Gracilariopsis lemaneiformi.
Potensi
lestari sumberdaya perikanan diperkirakan memiliki nilai ekonomi sekitar US$76
miliar per tahun. Nilai tersebut belum termasuk potensi peningkatan nilai
tambah melalui industri bioteknologi kelautan maupun industri pengolahannya.
Apabila diasumsikan nilai tambah produksi perikanan melalui bioteknologi kelautan
sebesar nilai yang diperoleh Amerika pada tahun 1994, maka potensi ekonomi
perikanan akan mencapai angka US$82 miliar per tahun.
Sumberdaya
perikanan yang terdapat di wilayah Indonesia terdiri dari perikanan tangkap,
budidaya pantai (tambak), budidaya laut, dan bioteknologi kelautan. Perairan
Indonesia memiliki potensi lestari ikan laut sebesar 6,2 juta ton yang terdiri
dari ikan pelagis besar (975.050 ton), ikan pelagis kecil (3.235.500 ton), ikan
demersal (1.786.350 ton) dan cumi-cumi (28.250 ton). Dari potensi tersebut
sampai pada tahun 1998 baru dimanfaatkan sekitar 58,5%. Dengan begitu masih
terdapat sekitar 41% potensi yang belum termanfaatkan atau sekitar 2,6 juta
ton.
Di samping
potensi ikan laut, potensi lainnya yang dapat dioptimalkan adalah budidaya,
baik budidaya pantai maupun budidaya laut. Dengan kondisi pantai yang landai,
kawasan pesisir Indonesia memiliki potensi budidaya pantai (tambak) sekitar
830.200 hektar yang tersebar di seluruh wilayah tanah air dan baru dimanfaatkan
untuk budidaya (ikan bandeng dan udang windu) sekitar 356.308 hektar (Ditjen
Perikanan, 1998). Bila kita mampu mengusahakan tambak seluas 300.000 hektar
dengan target 2 ton per hektar per tahun, maka dapat diproduksi udang sebesar
0,6 juta ton per tahun. Dengan harga ekspor yang berlaku saat ini (US$5 per
kilogram) maka akan diperoleh devisa sebesar US$3 miliar per tahun.
Dari
seluruh potensi produk budidaya laut tersebut, sampai saat ini hanya sekitar
35% yang sudah direalisasikan. Potensi sumberdaya hayati (perikanan) laut
lainnya yang dapat dikembangkan adalah ekstraksi senyawa-senyawa bioaktif (natural products), seperti squalence, omega-3, phycocolloids,
biopolymers, dan sebagainya dari microalgae
(fitoplankton), rumput laut, mikroorganisme, dan invertebrata untuk keperluan
industri makanan sehat (healthy food),
farmasi, kosmetik, dan industri berbasis bioteknologi lainnya. Padahal, kalau
dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki potensi keaneka-ragaman
hayati laut yang jauh lebih rendah, pada tahun 1994 mereka sudah mampu meraup
devisa dari industri bioteknologi kelautan sebesar US$14 miliar (Bank Dunia dan
Sida, 1995).
Selain
sumberdaya perikanan tadi, kita masih memiliki potensi sumberdaya alam non-ikan
dan lingkungan laut. Indonesia yang terletak di daerah ekuator dengan luas
daratan mencapai 2 juta kilometer persegi dan luas lautan 6 juta kilometer
persegi memanjang sejauh 6.000 kilometer dari Benua Asia sampai relung Pasifik
dan merupakan negara kepulauan dengan penduduk yang terpadat serta
keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Dengan keanekaragaman hayati yang
tinggi, Indonesia dikenal sebagai daerah mega
biodiversity yang memiliki banyak spesies endemik.
Secara
umum, sumberdaya alam yang terdapat di bentangan wilayah Indonesia terdiri dari
sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable
resources), sumber daya tidak dapat dipulihkan (unrenewable resouces), dan jasa-jasa lingkungan. Sumberdaya alam
kelautan yang dapat dipulihkan antara lain berbagai jenis tumbuhan, hewan,
ikan, dan udang. Sedangkan sumberdaya alam kelautan yang tidak dapat dipulihkan
di antaranya bahan galian/tambang, minyak bumi dan gas. Dan yang termasuk
jasa-jasa lingkungan antara lain pariwisata dan rekreasi, transportasi,
pendidikan dan penelitian, pertahanan dan keamanan, serta konservasi alam.
Sumber daya hutan mangrove.
Indonesia memiliki hutan mangrove yang amat luas. Hutan mangrove merupakan tipe
hutan yang khas dan tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang
dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah
pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai di daerah
tropis dan sub-tropis (FAO, 2007). Hutan mangrove Indonesia memiliki penyebaran
di pesisir/pantai pulau-pulau besar, terutama pantai timur Sumatera, pantai
Kalimantan, dan pantai Papua. Ekosistem mangrove di Indonesia termasuk memiliki
keragaman jenis tertinggi di dunia. Seluruhnya tercatat 89 jenis, terdiri dari
35 jenis tanaman, 5 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis
lain-lain. Sebagian besar mangrove Indonesia termasuk jenis api-api (Avicenna sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera sp), dan bogem (Sonneritia sp). Jenis-jenis ini banyak
berfungsi menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah endapan.
Sayangnya,
kondisi mangrove Indonesia baik secara kualitatif maupun kuantitatif terus
menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia
tercatat seluas 4,25 juta hektar sedangkan pada tahun 1993 berkurang menjadi
3,7 juta hektar, di mana sekitar 1,3 juta hektar sudah disewakan kepada 14
perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (Onrizal, 2002). Berdasarkan hasil perhitungan
yang dilakukan Kusmana (1995) diketahui bahwa dalam kurun waktu antara tahun
1982 – 1993 (11 tahun), luas hutan mangrove turun sebesar 11,3% (4,25 juta hektar
pada tahun 1982 menjadi 3,7 juta hektar pada tahun 1993) atau 1% per tahun.
Data Wetlands International sebagaimana yang diungkapkan Pakar Toksikologi dari
Puslitbang Oceanologi LIPI Drs. Pramudji, M.Sc. dalam orasi pengukuhan Profesor
Riset-nya 9 Desember 2010 lalu, memperlihatkan bahwa luas hutan mangrove di
Indonesia pada tahun 2005 tinggal tersisa sekitar 1,5 juta hektar.
Pada tahun
1999/2000, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS)
Kementerian Kehutanan menginformasikan bahwa potensi mangrove di Indonesia mencapai
9,2 juta hektar namun 5,3 juta hektar di antaranya atau sekitar 57,6% dalam
kondisi rusak. Yang dalam kondisi rusak tadi, sebagian besar (sekitar 69,8%
atau 3,7 juta hektar) terdapat di luar kawasan hutan dan sisanya sekitar 30,2%
atau 1,6 juta ha terdapat di dalam kawasan hutan. Sedangkan rehabilitasi hutan
mangrove melalui pembangunan plot-plot percontohan penanaman mangrove yang
sudah dilaksanakan oleh Ditjen RLPS sampai tahun 2001 baru sekitar 21.130 hektar.
Dalam
penelitiannya, Pramudji membagi tingkat kerusakan mangrove ke dalam tiga
kategori, yakni masih baik, sebagian rusak dan rusak berat. Kondisi terparah
terdapat di pantai utara Nangroe Aceh Darussalam, Teluk Lampung, Tanjung Pasir
(Tangerang), Delta Mahakam (Kaltim), Lombok Barat dan Teluk Saleh (NTB). Secara
umum, kerusakan tersebut disebabkan oleh tiga faktor, yakni faktor antrogenik,
faktor alami dan faktor biologis. Penyebab terbesar adalah faktor antrogenik di
mana manusia menjadi pelaku utama perusakan. Eksploitasi hutan mangrove yang
tidak terencana, adanya penebangan liar, pembukaan lahan mangrove untuk areal
pertambakan, pertanian, penggaraman dan pemukiman, kurangnya kesadaran dan
pemahaman masyarakat terhadap manfaat mangrove (termasuk juga persepsi negatif
masyarakat terhadap keberadaan mangrove) sudah merupakan contoh konkrit bahwa
manusialah sesungguhnya yang punya andil besar merusak ekosistem mangrove.
Konflik
pemanfaatan lahan mangrove selalu menjadi bayang-bayang akan timbulnya
degradasi baik fisik maupun kualitas. Hal ini telah mendapatkan perhatian yang
serius banyak kalangan pemerhati lingkungan. Pengembangan tambak-tambak
beberapa tahun belakangan dapat dikatakan menjadi salah satu faktor yang
merusak karena pengembangannya didahului dengan penebangan mangrove sehingga
ekosistem yang telah terbentuk sebelumnya mengalami gangguan. Sedangkan faktor
alam yang menyebabkan rusaknya mangrove antara lain banjir, kekeringan, hama
penyakit, tsunami, dan kebakaran merupakan faktor penyebab yang relatif kecil.
Mangrove
sebagai hutan telah dimanfaatkan terutama sebagai sumber penghasil kayu untuk
konstruksi, kayu bakar untuk membuat arang, dan juga sebagai bahan baku kertas
(pulp). Sedangan sebagai ekosistem, mangrove telah dimanfaatkan sebagai pemasok
alami larva ikan dan udang, serta berbagai peruntukan lainnya seperti lahan
tambak, pertanian pasang-surut, permukiman dan kawasan industri. Pemanfaatan
kawasan mangrove sebagai areal budidaya (pertambakan) saat ini telah mencapai
420.000 hektar. Sementara itu pemanfaatan mangrove untuk bahan bakar (arang)
dan peruntukan lainnya terus meningkat.
Sumberdaya air. Sumberdaya alam lainnya yang termasuk sumber daya yang
dapat pulih adalah sumberdaya air. Sumberdaya air merupakan salah satu komponen
lingkungan yang paling penting untuk kehidupan. Tanpa air, berbagai proses
kehidupan tidak akan berlangsung. Sebagian tubuh makhluk hidup, kecuali biji,
spora dan tulang, terdiri dari air. Air tawar hanya merupakan 3% dari seluruh
sumberdaya air yang ada di bumi dan dari presentase tersebut hanya satu persen
yang tersedia dalam bentuk yang bisa langsung dimanfaatkan, sisanya dalam
bentuk padat. Peran laut dapam proses daur ulang perlu mendapat perhatian.
Kendati air termasuk sumberdaya alam yang dapat dipulihkan namun pada
kenyataannya menunjukkan bahwa ketersediaan air tawar tidak pernah bertambah tapi
justru berkurang ketersediaannya di berbagai wilayah tertentu. Bahkan, air yang
dulu dikategorikan sebagai barang bebas kini diperjual-belikan dalam kemasan
botol dan dengan demikian sudah menjadi barang ekonomis. Sebagai contoh harga
air dalam kemasan botol lebih mahal dua kali lipat dari harga bensin. Kondisi
ini perlu dicermati agar dapat selalu dijaga ketersediaan air melalui
pengelolaan yang terpadu mulai dari daerah aliran sungai, pesisir sampai lautan
(Integrated River Basin Coastal dan Ocean
Management) sebagai sebuah basis ekosistem luas yang berinteraksi terhadap
ketersediaan air.
Sumberdaya terumbu karang.
Ekosistem terumbu karang yang terdiri dari karang penghalang, karang tepi, dan
atol menyebar luas di seluruh wilayah Indonesia. Di Indonesia diperkirakan
terdapat 75 terumbu karang penghalang yang panjang totalnya 4.853 kilometer dan
luas totalnya mencapai 60.000 kilometer persegi dengan kekayaan 354 jenis
karang dari 75 marga. Selain itu juga terdapat 45 atol yang luasnya sekitar
20.000 kilometer persegi.
Terumbu
karang yang berada di bagian barat wilayah Indonesia umumnya berupa terumbu
karang tepi dan gosong karang, yang menyebar antara lain di pantai barat
Sumatera (terutama Kepulauan Mentawai) dan Jawa Timur. Sedangkan di bagian
timur wilayah Indonesia yang perairannya lebih dalam, terumbu karangnya lebih
beragam, seperti karang tepi, terumbu karang penghalang, atol dan gosong
karang. Penyebarannya meliputi Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua (terutama
Teluk Cenderawasih).
Sampai
dengan tahun 1993, kondisi ekosistem terumbu karang di Indonesia diidentifikasi
sebagai berikut: 7% dalam kondisi sangat baik, 33% digolongkan baik, 46% dalam
kondisi kerusakan sedang, dan 15% sisanya dalam keadaan rusak. Kondisi terumbu
karang tersebut digolongkan berdasarkan persentase penutupan karang hidup;
yaitu sangat baik apabila penutupannya 76-100%, baik 51-75%, sedang 26-50%, dan
rusah 0-25%. Tahun 2010, sebagaimana data yang dilansir oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan, sekitar 70% terumbu karang dalam kondisi rusak parah.
Secara
empiris, kondisi ekosistem terumbu karang di sekitar Pulau Bali, Kepulauan Seribu
(Teluk Jakarta) dan Kepulauan Morotai adalah yang terparah, dengan persentase
penutupan karang hidup berkisar 26-50%. Bahkan di Kepulauan Morotai, kerusakan
ekosistem terumbu karang mencapai 70-93% dari seluruh luasan ekosistem terumbu
karang yang ada di kepulauan tersebut.
Pemanfaatan
terumbu karang di Indonesia, terutama untuk bahan bangunan, cenderung merusak
ekosistem terumbu karang. Pemanfaatan lainnya adalah sebagai daerah wisata
bahari karena memiliki keindahan alami, seperti di daerah Bunaken (Sulawesi
Utara) dan Taka Bonerate (Sulawesi Selatan). Terumbu karang juga merupakan
ekosistem yang produktif karena menjadi fishing
ground / spawning ground ikan karang, yang potensinya diperkirakan sebesar
80.082 ton per tahun.
Sumberdaya padang lamun. Padang lamun terdapat di
perairan pesisir yang landai, berlumpur/pasir pada batas terendah daerah
pasang-surut berdekatan dengan hutan mangrove atau terumbu karang. Padang lamun
merupakan ekosistem yang produktivitasnya tinggi, dengan keanekaragaman biota yang
juga cukup tinggi.
Penyebaran
padang lamun di Indonesia meliputi perairan pesisir utara Jawa (antara lain
Kepulauan Seribu), Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi (pulau
lain di bagian utara Minahasa, Kepulauan Tukang Besi dan Atol Taka Bonerate),
Maluku dan Papua.
Padang
lamun berfungsi antara lain sebagai habitat berbagai biota yang bernilai
ekonomis, produsen detritus dan zat hara. Padang lamun merupakan ekosistem
sebagai penghasil protein hewani yang berasal dari ikan, teripang dan kerang
yang hidup berasosiasi di ekosistem padang lamun, penghasil bahan kosmetik dan
pakan ternak yang diperoleh dari lamun itu sendiri. Di samping itu padang lamun
juga dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan marikultur, tempat rekreasi dan
sumber pupuk hijau.
Selain
sumber daya alam yang dapat dipulihkan sebagaimana diuraikan tadi, potensi
sumber daya alam lain yang dapat dikembangkan secara optimal adalah sumber daya
alam yang tidak pulih. Sumber daya alam jenis ini berupa antara lain minyak
bumi, gas, energi kelautan dan bahan-bahan tambang seperti logam, nikel dan
emas.
Pertambangan dan energi. Laut memiliki potensi
pertambangan dan energi yang cukup besar namun pengembangannya terkendala oleh
investasi dan teknologi. Potensi timah, nikel, bauksit, mangan, minyak, gas,
air laut dalam (deep sea water) dan
energi dapat dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada saat ini
kepentingan Indonesia yang utama sebagai penghasil mineral masih terpusat
kepada usaha-usaha melindungi agar produksi dan harga mineral Indonesia,
khususnya timah, tembaga dan nikel, tidak mendapat saingan yang mematikan dari
para pesaing global. Pengembangan aktivitas pertambangan di pesisir dan laut
dapat menempatkan posisi Indonesia sebagai produsen yang menguasai pasar dunia.
Menurut
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dari 60 cekungan minyak yang
terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70% atau 40 cekungan terdapat di laut.
Dari 40 cekungan itu, 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 cekungan
baru diteliti sebagian, dan 29 cekungan belum terjamah. Diperkirakan, 40
cekungan tersebut berpotensi menghasilkan 106,2 miliar barel setara minyak,
namun baru 16,7 miliar barel yang diketahui secara pasti, 7,5 miliar di
antaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89,5 miliar barel
berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu
diperkirakan 57,3 miliar barel terkandung di lepas pantai, dan lebih dari
separuhnya (sekutar 32,8 miliar barel) terdapat di laut dalam. Selain itu masih
ada potensi mineral dan tambang lainnya seperti emas,batubara, tembaga dan
bauksit yang terdapat di laut Indonesia yang belum dieksploitasi secara
memadai.
Selain
potensi minyak dan gas bumi masih cukup besar namun cadangan terbukti semakin
menipis karena terbatasnya investasi dalam penemuan cadangan tersebut serta
berbagai aspek lainnya seperti teknologi mengakibatkan sumber daya minyak dan
gas sering menjadi kendala dalam penyediaan energi nasional maupun industri
turunannya. Pengembangan energi dari laut lainnya yang perlu segera
dikembangkan, antara lain:
- Ocean
Thermal Energy Conversion (OTEC). Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia
dan Filipina adalah negara yang mempunyai potensi besar untuk
mengembangkan OTEC namun masih belum memperoleh perhatian. Adapun salah
satu kriteria untuk dapt mengembangkan OTEC adalah perbedaan suhu air laut
permukaan dengan air laut pada kedalaman satu kilometer (km) mencapai
lebih dari 20 derajat Celsius. Di Indonesia terdapat sejumlah darah yang
dapat dikembangkan mempunyai perbedaan suhu sekitar 22 derajat Celsius.
Daerah tersebut berada pada jarak sekitar 50 kilometer dari pantai yang
berarti masih dalam wilayah yurisdiksi perairan Indonesia. Sedangkan luas
darah potensial ini diperkirakan lebih dari 1.000 kilometer persegi.
Pembangkit listrik tenaga OTEC merupakan padat modal
karena sebagian besar dari biaya digunakan untuk kegiatan konstruksi awal namun
lebih efisien dalam jangka panjang. Sebagai pembanding: PLTD dengan kapasitas
100 MW untuk daur hidup 25 tahun diperkirakan memerlukan biaya dua kali lipat
lebih besar daripada PLT-OTEC. Selain itu PLT-OTEC adalah pembangkit tenaga
tanpa limbah yang menjadi satu kelebihan besar dibandingkan dengan PLTD. Biaya
PLT-OTEC saat ini relatif lebih murah dibandingkan dengan pembangkit listrik
yang diperoleh dari tenaga pasang surut, gelombang, arus maupun perbedaan
alinitas air. Lokasi potensi OTEC diperkirakan terdapat di Pelabuhan Ratu,
Ujung Kulon, pantai selatan Bali, pantai barat dan selatan Sumatera. Hasil penelitian
geologi dan geofisika pesisir dan laut menunjukkan empat kawasan di daerah
perairan Bali Utara yang memiliki prospek untuk lokasi OTEC, yaitu Bondalem –
Tanjung Gulah.
- Energi panas bumi. Indonesia merupakan suatu busur
kepulauan dengan busur magma yang rapat berupa gunung api aktif. Gejala
panas bumi berkaitan dengan busur vulkanik dan busur pulau sebagai
tektonik lempeng. Dengan demikian Indonesia mempunyai potensi energi panas
bumi yang besar dan sebagian telah dieksploitasi, terutama di daerah daratan.
Panas bumi sebagai energi alternatif diperkirakan memiliki potensi sumber
daya sebesar 20.000 MW, yang tersebar di punggung pegunungan, terutama di
Kawasan Barat Indonesia. Produksi panas bumi yang sudah dimanfaatkan untuk
pembangkit tenaga listrik pada akhir Pembangunan Jangka Panjang I tercatat
sebesar 145 MW. Sedangkan pada akhir Repelita VI (1994-1995) telah
terpasang PLTP dengan kapasitas 309,5 MW. Berdasarkan sebaran lokasi panas
bumi di daratan maka akan menjadi petunjuk untuk melokalisir daerah panas
bumi yang berpotensi di daerah lepas pantai.
- Energi ombak/gelombang. Energi yang memanfaatkan
ombak untuk pembangkit tenaga listrik, kriteria penentuan lokasi
didasarkan pada ombak yang sifatnya tidak pecah sampai ke pantai dan
tinggi gelombangnya minimal dua meter dari muka air laut rata-rata. Selain
itu kedalaman laut dekat pantai minimal 1,28 kali tinggi gelombang. Jadi
ada tiga parameter penting: kondisi gelombang, batimetri dan topografi.
Beberapa kajian pemanfaatan energi gelombang telah dilakukan di antaranya
adalah Pantai Baron, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
- Energi pasang-surut (Tidal). Penggunaan energi pasang-surut sudah diusahakan
manusia sejak lama. Secara ekonomis, lokasi pembangkit tenaga listrik
pasang-surut harus mempunyai perbedaan tinggi air pasang dan air surut (tidal range) lebih besar dari lima
meter. Produksi listrik tahunan berkisar 540 juta KWH (kilo watt hour) dengan tidak
menggunakan pompa. Kapasitas produksi ini dapat ditingkatkan menjadi 670
juta KWH dengan menggunakan turbin generator sebagai pompa untuk
meningkatkan tinggi permukaan air. Di Indonesia minimal terdapat dua
lokasi yang berpotensi untuk pengembangan pemanfaatan sumber energi dari
pasang-surut, yaitu wilayah Bagan Siapi-api dan Merauke. Di kedua lokasi
tersebut kisaran pasang-surut mencapai sekitar enam meter.
- Energi campuran air tawar dan salinitas. Secara
teoritis, percampuran antara satu meter kubik air tawar dengan satu meter
kubik air laut dapat melepas energi bebas sebesar 2,24 MW. Indonesia
memiliki banyak muara sungai yang cukup besar, terutama di Sumatera,
Kalimantan dan Papua yang memiliki sungai-sungai permanen seperti Sungai
Barito, Mahakam, Kapuas, Musi dan Batanghari. Daerah estuaria ini
merupakan lokasi-lokasi potensial untuk memperoleh energi
nir-konvensional, meski pada saat ini dengan kemajuan teknologi yang ada,
potensi pemanfaatan konversi energi melalui perbedaan salinitas secara
ekonomis belum menguntungkan.
- Energi gambut. Tanah gambut memiliki banyak
kegunaan, salah satunya dimanfaatkan sebagai sumber energi. Cadangan
gambut di Indonesia cukup besar dan merupakan negara keempat terbesar di
dunia. Dengan ditemukannya endapan gambut di dasar laut perairan Masalembo
(antara Kalimantan dan Jawa), maka perlu dipikirkan untuk kemungkinan
eksploitasi di dasar laut.
Energi
kelautan merupakan energi non-konvensional dan termasuk sumber daya kelautan
non-hayati yang dapat diperbarui yang berpotensi untuk dikembangkan di kawasan
pesisir dan lautan Indonesia. Keberadaan sumber daya ini di masa yang akan
datang semakin signifikan sehingga sangat diperlukan kebijakan untuk menyiapkan
apabila energi konvensional yang tersedia dialam mulai menipis.
Selain
potensi perikanan dan sumber daya alam laut tadi, Indonesia masih memiliki
potensi sekitar laut. Di antaranya: Pariwisata
bahari. Pengembangan pariwisata bahari diyakini dapat berefek ganda (multiplier effect) yang dapat menyerap
tenaga kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, mendatangkan devisa dan dapat
mendorong konservasi lingkungan. Selain itu pengembangan pariwisata bahari
sebenarnya mempunyai dampak positif untuk tumbuh bangkitnya jiwa dan budaya bahari
yang dengan itu dapat memberikan efek berganda dalam mendorong terwujudnya
negara maritim yang tangguh. Namun demikian hingga saat ini pariwisata bahari
nasional belum berkembang yang ditunjukkan oleh kontribusi terhadap PDB masih
sangat kecil, yaitu sebesar 2,1% (2005). Rangkaian acara wisata dan kawasan
tujuan wisata (calendar of events dan
tourist destination) kelautan
nusantara belum terbangun. Industri hulu-hilir pariwisata kelautan, termasuk
multimoda transportasi dan jasa hospitality,
juga belum berkembang.
Indonesia
terkenal sebagai negara yang sangat kaya obyek pariwisata bahari. Karena,
negara kita merupakan salah satu negara maritim yang memiliki garis pantai
terpanjang keempat di dunia (95.181 kilometer). Sepanjang garis pantai itu
tumbuh keanekaragaman hayati yang menakjubkan yang menjadi magnet menarik orang
untuk mengunjunginya. Keaneka-ragaman yang ditawarkan oleh wisata bahari ini
bahkan bukan hanya dinikmati oleh pelancong yang ingin menikmati keasliannya,
melainkan juga menarik minat peneliti dan pemerhati lingkungan.
Gugusan-gugusan
pulau di Nusantara amat potensial. Jika dikelola secara profesional, arif dan
bijaksana, banyaknya gugusan pulau itu tentu akan menjadi produk wisata (Obyek
Daya Tarik Wisata atau ODTW) berkelas dunia dan menghasilkan devisa yang besar
bagi negara, serta memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Sekadar
contoh, Pulau Padaido, Biak Numfor, Papua. Keindahan taman laut Padaido
disebut-sebut menempati peringkat tertinggi di dunia, bersama taman laut
Insumbabi di Kepulauan Supiori (Papua), Takabonerate dan Tukang Besi (Buton).
Menurut penilaian Badan Pariwisata Dunia (World Tourism Organization), empat
taman laut tadi (Padaido, Supiori, Takabonerate dan Tukang Besi) mendapat skor
35. Sebagai perbandingan, taman laut yang tersohor Great Barrier Reef di
Queensland, Australia, hanya mendapat skor 28, Haiti dan Kaledonia Baru
tercatat 32.
Kegiatan-kegiatan
bisnis wisata bahari di Indonesia ditopang oleh kekayaan sumber daya kelautan.
Kawasan terumbu karang yang tersebar di perairan Indonesia, garis pantai yang
indah, 263 jenis ikan dan 4,25 juta hektar hutan mangrove merupakan potensi
wisata bahari yang dapat dikelola dan dikembangkan. Berdasarkan penjelasan Euro Asia Management, potensi kekayaan
maritim yang dapat dikembangkan menjadi komoditi pariwisata di laut Indonesia
antara lain wisata bisnis (business
tourism), wisata pantai (seaside
tourism), wisata budaya (cultural
tourism), wisata pesiar (cruise
tourism), wisata alam (eco tourism),
dan wisata olah raga (sport tourism).
Kendati telah direncanakan pilihan kegiatan wisata yang akan dikembangkan
seperti yachting, cruising, diving,
surfing dan fishing, namun belum
dilengkapi dengan berbagai fasilitas pelayanan dan akomodasi yang memadai.
Pengamat
ekonomi kelautan M. Laode Kamaluddin menjelaskan bahwa nilai ekonomi pariwisata
dunia tercatat sebesar US$4,4 triliun. Indonesia sendiri menguasai tiga titik pariwisata dunia,
masing-masing di Tulamben (Bali), Bunaken (Manado) dan Wakatobi (Buton).
Sayangnya, Indonesia belum termasuk dalam 10 negara di dunia penerima devisa
terbesar dari pariwisata. Kesepuluh negara penerima devisa terbesar di dunia
dari pariwisata adalah AS (US$71,3 miliar), Perancis (US$29,9 miliar), Italia
(US$29,8 miliar), Spanyol (US$29,8 miliar), Inggris (US$21,0 miliar), Jerman
(US$16,4 miliar), China (US$12,6 miliar), Austria (US$11,6 miliar), Kanada
(US$9,4 miliar) dan Meksiko (US$7,9 miliar). Komposisi itu tidak banyak berubah
hingga sekarang ini.
Peta
pengembangan pariwisata bahari di Indonesia yang tercakup dalam sabuk (belt) ekonomi kemaritiman sebenarnya
terdapat pada 21 titik pengembangan yang meliputi: Pertama, Jalur Lingkar Luar. Dimulai dari barat yaitu Pulau Weh
(Sabang) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang cocok untuk obyek wisata bahari
andalan seperti game fishing.
Kemudian Pulau Nias (Sumatera Utara) yang cocok untuk obyek wisata selancar
angin. Lalu, Pulau Siberut (Sumatera Barat) buat obyek wisata andalan game fishing dan selancar angin.
Selanjutnya, Pulau Enggano (Bengkulu) yang juga bagus buat obyek wisata andalan
game fishing dan selancar angin. Lantas, Ujung Kulon (Banten) yang cocok untuk
obyek wisata pantai; Cilacap (Jawa Tengah) sebagai obyek wisata pantai; dan
Sendang Biru (Jawa Timur) dapat dikembangkan menjadi wisata selam (diving). Berikutnya Pulau Rote (Nusa
Tenggara Timur) yang dapat dikembangkan menjadi game fishing; dan Pulau Biak (Papua) bisa dikembangkan sebagai
obyek wisata menyelam (diving).
Kedua, Jalur Lingkar Dalam. Di antaranya adalah Pulau Seribu,
DKI Jakarta (wisata bahari); Kepulauan Karimun, Jawa Tengah (wisata pantai,
selancar dan game fishing); Pulau
Bali (wisata pantai, menyelam dan selancar); Pulau Moyo, Nusa Tenggara Barat (game fishing), Pulau Bonerate dan
Selayar, Sulawesi Selatan (menyelam); Pulau Wakatobi, Sulawesi Tenggara
(menyelam dan wisata pantai); Pulau Banda, Maluku (menyelam); serta Sulawesi
Utara yakni Pulau Bitung (game fishing)
dan Sangir Talaud (menyelam).
Ketiga, Jalur Barat Tengah. Mulai dari Pulau Belitung, Bangka
Belitung (wisata pantai); Banten yakni Gunung Krakatau (wisata pantai dan game fishing) dan Pulau Karimata (wisata
pantai); Pulau Rupat, Bengkalis (wisata pantai); Pulau Batam (panorama pantai);
hingga Natuna (selancar, game fishing
dan wisata pantai).
Bangunan kelautan. Bangunan kelautan merupakan
konstruksi di pesisir dan laut seperti pelabuhan, hotel dan resor di pesisir,
anjungan minyak dan gas di laut, pipa (minyak dan gas) dan kabel bawah laut
(serat optik, listrik dan lain-lain). Pemanfaatan sumber daya kelautan yang
tersebar di wilayah laut teritorial, ZEE, landas kontinen, serta kesempatan
pemanfaatan sumber daya kelautan internasional (international sea-bed area) belum dilaksanakan secara optimal.
Upaya
mengoptimalkan pendaya-gunaan sumber daya kelautan dan fungsi laut untuk
sektor-sektor pelayaran, perikanan, pariwisata, pertambangan, industri maritim
dan jasa kelautan membutuhkan dukungan sektor bangunan kelautan yang kuat agar
dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa. Sektor bangunan kelautan memang
memerlukan investasi yang besar namun peranannya dalam mendorong perekonomian
nasional sangat penting dan terus meningkat dan mampu membuka lapangan kerja. Apalagi
tampak terdapat kecenderungan daya saing industri berbasis kelautan.
Peningkatan aktivitas ekonomi kelautan tersebut memerlukan dukungan sistem
pelabuhan yang efisien serta perlu ditingkatkan dari segi produktivitas,
keamanan dan kenyamanan sehingga dapat bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan di
dunia. Bangunan kelautan membutuhkan investasi yang besar dan teknologi tinggi
sehingga diperlukan sumber daya manusia yang mampu dan kompeten, maka perlu
peningkatan pendidikan dan pelatihan SDM di bidang pelabuhan.
Selain itu
peningkatan periwisata bahari serta pengembangan pertambangan serta minyak dan
gas memerlukan bangunan/kontruksi yang berkualitas dan efisien sehingga
aktivitas produksi maupun pelayanan dapat membangkitkan kegiatan ekonomi yang
efisien serta memberikan manfaat yang besar bagi kesejahteraan. Pengelolaan
pipa, serat optik dan kabel listrik bawah laut saat ini belum memperoleh
perhatian yang memadai. Padahal, sektor ini penting bagi pembangunan Indonesia
dan memiliki prospek ekonomi yang besar di masa mendatang. Keberadaan kabel dan
pipa di dasar laut (baik laut teritorial dan perairan kepulauan maupun di luar
yurisdiksi nasional [ZEE dan laut lepas]) merupakan bagian dari kewajiban
internasional yang belum mendapatkan cukup perhatian. Sampai saat ini Indonesia
belum melaksanakan kewajiban untuk menetapkan peraturan perundang-undangan yang
diperlukan untuk mengatur tentang pemasangan, pemutusan atau kerusakan pada
kabel bawah laut. Pengembangan sektor-sektor tersebut sangat penting dalam
mengantisipasi berbagai peluang bisnis masa depan yang dapat menarik investor
dalam bisnis di bidang kelautan dan mendorong kemajuan pembangunan nasional.
Industri kelautan. Industri kelautan merupakan
aktivitas manufakturing untuk memenuhi kebutuhan pembangunan bidang kelautan
maupun aktivitasnya menggunakan sumber daya laut seperti galangan kapal,
perawatan kapal, industri mesin kapal dan pendukungnya sampai ke industri
garam. Industri galangan dan mesin kapal sebenarnya sangat strategis lantaran
mempunyai rantai hulu-hilir yang relatif panjang. Aktivitas galangan kapal
memiliki tradisi yang panjang sejak dulu kala. Kerajaan-kerajaan di nusantara,
dari Aceh sampai Ternate, mempunyai kemampuan perdagangan melalui laut mulai
dari wilayah nusantara sampai Afrika. Namun karena perhatian terhadap
pengembangan industri kelautan sangat terbatas maka kapasitas yang dimiliki
tidak berkembang, sampai-sampai garam pun kita mesti mengimpor. Pengembangan
industri kelautan yang maju merupakan tantangan yang perlu dijawab agar dapat
menjadi tumpuan masa depan bangsa.
Jasa kelautan. Jasa kelautan merupakan aktivitas pendidikan dan
pelatihan, penelitian, arkeologi laut dan benda muatan kapal tenggelam,
perdagangan, pengamanan laut serta jasa-jasa lingkungan yang meliputi keaneka-ragaman
hayati, penyerapan karbon, pengolahan limbah secara alamiah, keindahan alam,
dan udara bersih yang dapat membangkitkan aktivitas sosial, ekonomi dan budaya.
Pengembangan aktivitas tersebut dapat memberikan kontribusi pada produk
domestik bruto maupun penyerapan tenaga kerja.
Di bidang
SDM, saat ini aktivitas pendidikan dan pelatihan di bidang kelautan belum
menunjukkan usaha yang maksimal, misalnya SDM kita belum mampu mengisi peluang
kebutuhan tenaga pelaut (seafarer)
yang dibutuhkan baik dalam negeri maupun pasar dunia. Pemenuhan tenaga pelaut
tersebut tidak hanya dalam hal jumlah tapi juga kualifikasi pelaut tersebut
harus memenuhi berbagai persyaratan, khususnya berbagai standar yang ditetapkan
oleh International Maritime Organization
(IMO).
Penelitian
kelautan merupakan pilar penting bagi kemajuan pembangunan kelautan, namun saat
ini aspek penelitian ini masih sangat terbatas karena minimnya perhatian dan
anggaran dan SDM bila dibandingkan dengan potensi kelautan yang dimiliki
Indonesia. Kebutuhan-kebutuhan sumber daya manusia bidang-bidang keahlian
kelautan lainnya diperkirakan juga akan meningkat di masa yang akan datang dan
saat ini belum terdapat perencanaan tenaga kerja (man power planning) yang baik.
Aktivitas
lainnya seperti arkeologi laut serta benda muatan kapal tenggelam memerlukan
perhatian khusus. Mengingat pentingnya aspek historis warisan budaya di bidang
kelautan dan maritim, arkeologi laut dan benda muatan kapal tenggelam harus
dapat terjaga untuk generasi yang akan datang. Beberapa penanganan atas
penemuan benda muatan kapal tenggelam yang terjadi akhir-akhir ini masih belum
dirumuskan secara baik sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang penting
bagi penguatan aspek kebaharian di tingkat daerah dan nasional maupun dari sisi
pendapatan negara.
Lingkungan laut. Pemanfaatan sumber daya alam dan pembangunan nasional
secara berkelanjutan harus mendukung kelestarian lingkungan laut. Kelestarian
lingkungan pesisir dan laut ditentukan oleh kelestarian sumber daya pulih, di
antaranya terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Interaksi darat dan laut
dari lingkungan, saat ini, tidak diperhatikan, misalkan pembangunan di darat
kerap tidak memperhatikan dampaknya terhadap laut. Aktivitas di darat yang
menghasilkan limbah selalu dibuang ke laut melalui sungai atau langsung ke laut
bagi aktivitas di pesisir. Persepsi laut sebagai “halaman belakang rumah” yang menganggap laut sebagai tempat buangan
akan menghancurkan lingkungan laut dan akan berdampak terhadap kehidupan umat
manusia. Laut yang memiliki keaneka-ragaman hayati dan kekayaan alam yang indah
dengan keragaman flora dan faunanya akan hancur. Dan, persepsi tersebut harus
diubah bahwa laut adalah “halaman depan rumah” dengan perlakuan segala limbah
sebelum sampai ke laut harus diproses terlebih dulu sampai benar-benar ramah
lingkungan.
***
Pengembangan wilayah dan peningkatan aktivitas
ekonomi kelautan membutuhkan ruang (space).
Sebagai sebuah negara kepulauan maka keterpaduan antara wilayah darat dan laut
serta udara di atasnya menjadi sangat penting. Identifikasi dimensi ruang
wilayah dapat dilakukan secara abstraksi model dua dimensi (nirmana datar)
yaitu seperti pada kartografi umum (peta). Selain itu bisa pula dengan
abstraksi model tiga dimensi (nirmana ruang), di mana akan ditemui antariksa,
atmosfir, kolom udara, permukaan laut, kolom air, dan dasar laut (sea-bed and subsoil) di bawah kolom air
(landas kontinen).
Ruang
udara di atas wilayah daratan, laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia
adalah milik Negara Republik Indonesia yang harus dimanfaatkan untuk
kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Kemudian dari segi geostrategi dan geopolitik, ruang udara di atas wilayah NKRI
memegang peranan penting. Selain itu di ruang udara di atas ALKI juga ada
kewajiban Indonesia untuk mengakomodasi hak lintas penerbangan oleh pesawat
asing sebagai bagian dari pelaksanaan hak lintas alur-alur laut kepulauan
melalui ALKI. Sehingga, sudah saatnya pengaturan tentang pemanfaatannya
disatukan dalam suatu Kebijakan Kelautan Indonesia secara terpadu, sesuai
dengan kaidah yang termaktub dalam United
Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
Pemanfaatan potensi kolom air laut. Kolom
air pada kedalaman 200 meter dari permukaan laut (surface) merupakan wilayah perairan yang produktif bagi sumber daya
hayati laut. Karena daerah tersebut dapat ditembusi cahaya matahari yang
berperan dalam proses fotosintesis, yaitu energi matahari diubah menjadi energi
organik pada butiran hijau daun yang ada di fitoplankton dan rumput laut
lainnya. Secara ekologi, wilayah perairan dengan kedalaman 200 adalah daerah subur
dan keaneka-ragaman jenis biota laut perairan pada daerah tersebut lebih banyak
daripada daerah bottom. Selain
produktif, wilayah tersebut banyak dipengaruhi oleh arus dari Samudera Pasifik
maupun daerah khatulistiwa. Arus lintas Indonesia baik dari Samudera Pasifik
maupun dari khatulistiwa sangat mempengaruhi kehidupan hayati perairan, seperti
migrasi ikan, kehidupan plankton, terumbu karang, kehidupan krustacea dan
sebagainya.
Bila
dilihat dari segi lingkungan, wilayah ini rawan terhadap pencemaran baik yang berasal
dari darat maupun akibat tabrakan (collission)
atau kandasnya kapal-kapal tanker minyak. Belakangan ini kegiatan pertambangan
logam mulia, tembaga dan mineral lainnya yang dilakukan di daratan lebih
cenderung membuang limbahnya ke laut karena risiko biaya lebih kecil namun
sebaliknya ekosistem laut terancam, seperti kegiatan pertambangan emas dan
tembaga oleh PT Newmont yang mengalirkan limbahnya ke laut bagian dalam atau
lebih dikenal Submarine Tailing Placement
(STP). Teknik pembuangan limbah dengan sistem STP sudah perlu dipikirkan ulang untuk
tidak dipergunakan bagi perairan Indonesia, sebab Indonesia merupakan bagian
dari daerah tropis, di mana garis
Thermocline bersifat temporer dan mudah berubah. Jadi tidak dapat dijadikan
dasar untuk melakukan sistem pembuangan dengan cara STP.
Pemanfaatan potensi dasar laut (Bottom). Sekitar 70% potensi minyak dan gas bumi Indonesia
terdapat di lepas pantai dan lebih dari separuhnya berada di laut dalam di
wilayah landas kontinen. Landas kontinen Indonesia adalah kawasan dasar laut (sea-bed) dan tanah di bawahnya yang
terletak di luar laut teritorial Indonesia sampai sejauh kelanjutan alamiah
dari wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu
jarak 200 mil laut dari garis-garis pangkal lurus kepulauan Indonesia dari mana
lebar laut teritorial diukur. Negara Republik Indonesia memiliki hak berdaulat
dan eksklusif untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di
landas kontinen Indonesia.
Bagian
laut dalam pada kedalaman >1.000 meter memiliki ekosistem yang spesifik
dengan kehidupan biota perairan yang tahan terhadap kekurangan oksigen dan
suasananya agak kegelapan, sehingga pada wilayah ini banyak biota perairan yang
mampu menghasilkan bioluminicense dan
tenaga listrik yang cukup besar. Kemudian massa air laut pada kedalaman lebih
dari 1.000 meter tersebut secara umum suhu airnya berada di bawah 15 derajat
Celsius dan kandungan mineralnya cukup tinggi.
Beberapa
bagian perbatasan Indonesia, seperti Batam-Singapura, terdapat berlapis-lapis
kabel listrik dan telepon serta pipa-pipa yang tertanam di dasar laut (sea-bed). Pengaturannya secara
internasional didasarkan pada Konvensi Hukum Laut 1982 yang hingga saat ini
belum diimplementasikan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional secara
terpadu tetapi tersebar di beberapa sektor, antara lain perhubungan dan
lingkungan. Kemungkinan juga hal serupa terjadi di wilayah perairan lain di
Indonesia. Kalau dipandang dari sudut
keamanan negara, kawasan perairan dengan kedalaman tersebut memungkinkan buat
dilewati oleh kapal-kapal selam yang sulit dilihat dengan kasat mata dan untuk
itu diperlukan suatu teknologi radar yang baik. Atas dasar
pertimbangan-pertimbangan tadi maka potensi dan kekayaan laut kita yang ada di
dasar laut dan tanah di bawahnya haruslah diatur dalam suatu kebijakan kelautan
agar pengelolaan dan pengendaliannya lebih baik dan sempurna.
Prinsip dan landasan tata kelola laut. Satu hal
banyak menimbulkan salah persepsi (flawing
perceptions) di kalangan publik, bahkan di kalangan akademisi, adalah bahwa
kelautan dianggap sebagai sumber daya dan komoditas semata. Hal ini tidak
terlepas dari pandangan klasik tentang struktur produksi ekonomi yang
menempatkan kelautan sebagai primary
sector yang berkonotasi sebatas pada produksi “komoditas”. Padahal, sejarah
membuktikan bahwa kelautan merupakan kegiatan ekonomi yang memiliki banyak
keterkaitan langsung (direct
inter-linkages) antarfaktor penyusunnya, yaitu ekosistem, ekonomi dan
komunitas serta institusi yang terkait dengannya. Keempat dimensi dengan
segenap dinamikanya tersebut tidak dapat dipisahkan dalam semua pembicaraan
tentang kelautan.
Sistem
kelautan merupakan sebuah kesatuan dari tiga komponen utama, yaitu sistem alam
(natural system) yang mencakup
ekosistem dan lingkungan biofisik; sistem manusia (human system) yang terdiri dari unsur pelaku pemanfaatan sumber
daya dan jasa kelautan, pelaku pasar dan konsumen, komunitas pesisir serta
lingkungan sosial, ekonomi dan budaya yang terkait dengan sistem ini; dan
sistem pengelolaan kelautan (ocean
management system) yang mencakup unsur-unsur kebijakan dan perencanaan
kelautan, pembangunan kelautan, rejim pengelolaan kelautan dan riset kelautan. Dalam
konteks ini maka dapat dikatakan bahwa sistem kelautan adalah sistem yang amat
kompleks. Dengan menggunakan perspektif informal, sistem dikatakan kompleks
apabila struktur dan fungsi dari sistem tersebut tidak diketahui dengan baik
sebagaimana terjadi pada sistem perikanan. Selain itu, definisi kompleks adalah
apabila sistem tersebut memiliki sejumlah unsur yang terkait satu sama lain baik
secara dinamik maupun statis. Semakin banyak jumlah unsur dalam struktur sebuah
sistem maka semakin kompleks sistem tersebut (Charles, 2001).
Kompleksitas
sistem kelautan dapat didekati dari perspektif keragaman (diversity) di mana minimal terdapat empat jenis keragaman dalam
sistem ini, yaitu keragaman spesies (species
diversity), keragaman genetik (genetic
diversity), keragaman fungsi dan keragaman ekonomi. Dalam praktiknya, keragaman sistem bersumber dari beberapa hal
yang oleh Charles (2001) digambarkan sebagai “the sources of complexity in ocean systems”, yaitu (1) banyaknya
tujuan dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya dan jasa kelautan, dan
seringkali menimbulkan konflik antartujuan; (2) banyaknya spesies dan interaksi
antarspesies dalam konteks level tropik; (3) banyaknya kelompok pemangku
kepentingan beserta interaksinya dengan pemerintah dan masyarakat; (4)
banyaknya jenis pemanfaatan alat tangkap dan interaksi teknologi antar-mereka;
(5) struktur sosial dan pengaruhnya terhadap perikanan; (6) dinamika informasi
perikanan dan diseminasi; (7) dinamika interaksi antara sumber daya perikanan,
nelayan dan lingkungan; dan (8) ketidakpastian dalam masing-masing komponen
sistem perikanan. Uraian tadi menganggap perikanan hanya sebatas komoditas dan
jelas akan sangat mengurangi arti penting sektor ini sebagai sebuah sistem yang
kompleks dan dinamis serta memiliki peran penting sebagai salah satu penjaga
suplai pangan bagi manusia.
Perikanan
bukanlah satu-satunya manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan laut
nasional. Laut juga memiliki fungsi penyedia produksi dan jasa bagi
sektor-sektor transportasi, pertambangan mineral, pariwisata,
pertahanan-keamanan, serta produksi energi. Namun demikian, sebagai sebuah
sistem, perikanan dapat dijadikan indikator yang baik bagi pengelolaan laut.
Hal ini terkait dengan premis bahwa perikanan merupakan sistem yang kompleks
dan dinamis di mana dalam tataran empiris melakukan sharing dengan sumber daya yang lain. Persoalan yang muncul dalam
pengelolaan perikanan menjadi tanda (sign)
bagi kesalahan kebijakan kelautan yang bisa berlaku baik di level lokal,
regional maupun nasional.
Kendati
begitu, pendekatan pengelolaan perikanan dan kelautan secara komprehensif tetap
diperlukan dalam konteks bahwa seluruh manfaat laut memiliki keterkaitan ke
dalam dan ke luar antarsumber-daya alam yang terkandung di dalamnya. Ini
berarti pendekatan kebijakan kelautan (marine
policy) menjadi salah satu prasyarat, di mana dalam konteks paltform ini, perikanan menjadi salah
satu indikator utama.
Tata kelola berbasis ekosistem. Laut
merupakan sumber ekonomi yang berbasis sumber daya (resources-based economy), sehingga paradigma yang digunakan adalah
pelestarian fungsi ekosistem laut dalam menyediakan sumber daya (resources flows) yang kemudian menjadi
input utama bagi produktivitas ekonomi sektor kelautan. Secara diagramatik,
paradigma ini dapat diilustrasikan pada gambar berikut:
Diagram Aliran Fungsi Ekosistem dan Manfaat Ekonomi Bagi
Masyarakat (lihat buku Perumusan Kebijakan Kelautan Indonesia halaman 165)
Dari
ilustrasi tadi dapat dilihat bahwa aliran manfaat dan biaya dari pemanfaatan
sumber daya kelautan dan perikanan tidak dapat dilepaskan dari aliran proses
ekologis dan fungsi lingkungan yang kemudian menghasilkan barang dan jasa bagi
manusia. Dalam konteks ini maka pelestarian fungsi dan proses ekosistem yang
menopang pertumbuhan ekonomi sektor kelautan dan perikanan menjadi agenda
penting.
Sementara
itu ekosistem laut dan pesisir sebagai unsur utama penghasil barang dan jasa
kelautan dan perikanan secara teoritis memiliki aliran fungsi yang beragam,
yaitu (1) aliran fungsi penyediaan (provisioning);
(2) fungsi pengaturan (regulating);
(3) fungsi kultural (cultural); dan
(4) fungsi pendukung (supporting). Keempat
fungsi tersebut menjadi pendorong utama bagi bergeraknya sistem ekonomi
berbasis sumber daya kelautan dan perikanan.
Tata kelola berbasis sumber kekuatan. Dalam
konteks transformasi kekuatan kelautan, Indonesia barangkali perlu belajar dari
Korea Selatan. Dengan garis pantai yang hanya 12.000 kilometer, Korea Selatan
menganggap bahwa penyatuan fungsi kelautan dan perikanan yang semula terpisah
ke dalam 13 otoritas kebijakan perlu disatukan. Visi inilah yang kemudian
menjadi landasan bagi kebijakan kelautan terpadu (integrated marine policy/IMP) Korea Selatan. Salah satu tujuan
utama dari penguatan IPM adalah untuk meningkatkan kekuatan laut nasional (reinforce national sea power).
Kekuatan
laut sebuah negara, menurut A.T. Mahan (1890), dipengaruhi oleh enam unsur
strategis: posisi geografis; konfirmasi fisik termasuk produksi alamiah dan
kondisi klimat; luasnya wilayah teritorial; jumlah penduduk; karakteristik
penduduk; dan karakter pemerintahan (termasuk kelembagaan nasional). Kendati
ditulis tahun 1890, prinsip sea power-nya
Mahan ini masih sangat kontekstual dalam kerangka saat ini maupun masa depan.
Korea Selatan pun menghayati konsep Mahan untuk kemudian menyatukan seluruh
fungsi kelautan ke dalam satu institusi negara MOMAF (Ministry of Fisheries and Marine Affairs) atau bahasa kita Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP).
Dalam
perspektif ini, dibentuknya Departemen Kelautan Perikanan pada masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid sesungguhnya merupakan langkah strategis untuk
membangunkan sang raksasa. Namun, memang, dalam perjalanannya visi dan prinsip
“national sea power” seperti yang
dianjurkan oleh Mahan belum tertangkap secara baik. Hal ini tak terlepas dari
anggapan fungsi DKP dalam konteks “hanya perikanan”.
Mengadopsi
apa yang telah dilakukan oleh IMP Korea Selatan yang waktu itu dipimpin
langsung implementasinya oleh Perdana Menteri dalam kerangka Marine Development Comittee (MDC),
terdapat tujuh agenda strategis yang perlu diperhatikan dalam upaya penguatan
kekuatan kelautan nasional: pertama, memperkuat
teknologi kelautan, survei oseanografi dan jasa-jasa kelautan. Kedua, enhanching tingkat kompetitif nasional dan internasional industri
transportasi maritim melalui kebijakan apa yang disebut self-controlled open-door policy dan efisiensi pelabuhan. Ketiga, reorientasi kebijakan
pertambangan minyak dan gas di wilayah laut. Keempat, memelihara stok sumber daya ikan dalam level yang menjamin
keberlanjutan industri perikanan. Kelima,
memelihara kualitas lingkungan dan sumber daya kelautan melalui skema mitigasi
pencemaran kelautan dan pesisir yang kuat. Keenam,
memelihara dan memperkuat integrasi pengelolaan wilayah pesisir dan laut
sebagai wilayah multi-uses. Dan ketujuh, memperkuat diplomasi kelautan
(termasuk di dalamnya diplomasi perikanan) khususnya yang terkait dengan isu
tata kelola kelautan global (global ocean
governance).
Selain
mengambil pelajaran dari IMC Korea Selatan, dapat pula kita merujuk Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF) menunjukkan aspek keadilan sosial dan ekonomi dalam pengelolaan kelautan
berkelanjutan. Hal ini sebagaimana dituangkan pada pasal 6.2 yang menyebutkan
bahwa: “Pengelolaan perikanan harus memajukan pemeliharaan mutu,
keaneka-ragaman dan ketersediaan dari sumber daya perikanan dalam jumlah yang
cukup untuk generasi kini dan mendatang dalam konteks ketahanan pangan,
pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan.”
Secara
umum, pembangunan berkelanjutan dikaitkan dengan aspek sosial, ekonomi dan
ekologi. Sementara pengentasan kemiskinan tidak hanya untuk kondisi saat ini,
tapi dimungkinkan untuk kondisi di masa yang akan datang. Dengan demikian pasal
6 CCRF tidak sebatas terkait dengan masyarakat yang tergantung pada perikanan
namun juga terkait dengan populasi manusia atau penduduk secara umum, termasuk
produsen dan konsumen.
Kendati
pasal 6 CCRF tidak secara khusus memuat negara berkembang, namun pada pasal ini
bisa dikaji secara lebih jauh mengenai prinsip keadilan sosial dan ekonomi.
Pada pasal 6.18 misalkan, dimuat pentingnya kontribusi perikanan artisanal dan
perikanan skala kecil terhadap
kesempatan kerja, pendapatan dan ketahanan pangan, negara-negara harus secara
tepat melindungi hak para nelayan dan pekerja perikanan, khususnya mereka yang
terlibat dalam perikanan subsisten, skala kecil dan artisanal. Dengan begitu,
kebutuhan prinsip sosial dan ekonomi terkait dengan jaminan dan kepastian mata
pencaharian.
***
Dengan mengacu pada prinsip-prinsip tata kelola kelautan, laut sebagai
basis ekosistem dan laut berbasis kekuatan, Pemerintah Republik Indonesia
melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mencanangkan dan melaksanakan
Visi, Misi serta Tujuan dan Sasaran, Strategi, Kebijakan dan Program
pembangunan kelautan dan perikanan (terutama perikanan tangkap) hingga tahun
2020. Visi yang direntang adalah terwujudnya industri kelautan dan perikanan
Indonesia yang lestari, kokoh dan mandiri pada tahun 2020. Khusus mengenai industri
perikanan tangkap, yang dimaksud adalah seluruh kegiatan atau usaha yang
terkait dengan penangkapan ikan, baik sektor penunjang produksi maupun pasca
produksi. Pengertian industri perikanan tangkap tidak hanya mengacu kepada
kegiatan penangkapan ikan dalam skala besar, namun juga usaha penangkapan ikan
dalam skala menengah dan kecil. Istilah industri digunakan untuk mewakili
semangat dalam membangun sub-sektor perikanan tangkap yang lebih modern dan
sistemik.
Kemudian
lestari dimaksudkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan dilakukan secara optimal
dan berkelanjutan. Dalam pengertian ini, perikanan tangkap tidak hanya
diprioritaskan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada saat sekarang,
tetapi juga harus dikelola sebagai warisan berharga dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat di masa depan. Sementara itu, kokoh dapat diartikan
bahwa industri perikanan tangkap yang dibangun adalah industri yang ditopang
oleh pilar-pilar industri seperti sumberdaya ikan, SDM, sarana dan prasarana,
data dan informasi, serta kelembagaan yang kuat, adaptif dan tidak mudah goyah
oleh perkembangan dunia internasional, serta saling terkait secara sinergis.
Keberadaan dan sinergitas pilar-pilar industri merupakan modal penting dalam
membangun industri perikanan tangkap yang mapan dan berkelanjutan, di mana
dalam pelaksanaannya didukung oleh sektor-sektor lain yang terkait.
Sementara
itu, makna dari mandiri adalah bahwa industri perikanan tangkap nasional yang
dibangun merupakan industri yang bertumpu kepada sumberdaya dan
kekuatan-kekuatan dalam negeri sendiri. Industri perikanan tangkap nasional
harus mampu memberdayakan masyarakat lokal secara optimal namun berstandar
internasional. Selanjutnya, pencantuman tahun 2020, secara eksplisit merupakan
acuan waktu yang diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pembangunan perikanan
tangkap yang lebih jelas dan terarah, serta dapat dipertangung-jawabkan secara
transparan.
Untuk
mencapai kondisi yang diharapkan pada tahun 2020, pembangunan jangka menengah (terutama
periode 2005-2009) sesungguhnya memiliki posisi strategis dan sekaligus
krusial. Berhasil-tidaknya pembangunan industri perikanan tangkap yang lestari,
kokoh dan mandiri pada tahun 2020 sangat tergantung dan ditentukan oleh
pencapaian pembangunan pada periode jangka menengah (2005-2009). Sebab itu,
agar visi yang digulirkan benar-benar jelas dan terarah, Kementerian Kelautan
dan Perikanan pun menjabarkannya dalam beberapa misi yang harus diemban. Pertama, memanfaatkan dan mengelola
sumberdaya ikan secara bertanggung-jawab. Kedua,
mendorong dan mengembangkan kualitas kelembagaan dan SDM perikanan tangkap yang
berkualitas. Ketiga, memfasilitasi,
mendorong dan memanfaatkan fasilitas pokok pelabuhan perikanan, kapal
perikanan, alat tangkap serta sarana usaha perikanan tangkap lainnya. Keempat, mendorong dan memfasilitasi
pengembangan industri perikanan tangkap.
Tujuan
yang diharapkan dari visi dan misi tadi adalah: pertama, mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan secara
berkelanjutan guna menyediakan ikan untuk konsumsi dan bahan baku industri
dalam negeri. Kedua, meningkatkan
peran perikanan tangkap terhadap pembangunan perekonomian nasional. Ketiga, meningkatkan lapangan pekerjaan.
Keempat, meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan nelayan. Sedangkan sasarannya adalah: pertama, tercapainya peningkatan produksi perikanan tangkap sebesar
6,19% per tahun sehingga tercatat 5,4 juta ton pada tahun 2009. Kedua, peningkatan jumlah tenaga kerja
di bidang perikanan tangkap, dari sebelumnya 3,8 juta orang diharapkan
bertambah sebanyak 2 juta orang pada tahun 2009 sehingga total nelayan menjadi
5,8 juta orang. Ketiga, tercapainya
pendapatan nelayan minimal Rp1,5 juta per orang per bulan pada tahun 2009.
Untuk
mencapai tujuan dan sasaran serta agar strategi, kebijakan dan program yang
dicanangkan bisa tepat dan sesuai harapan, Kementerian Kelautan dan Perikanan kemudian
melakukan analisis lingkungan strategis atau SWOT (Strength, Weakness, Opportunity dan Threats). Berdasarkan analisis SWOT, kebijakan yang ditempuh
diarahkan kepada lima hal. Pertama,
menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian nasional
dengan membangkitkan industri perikanan dalam negeri. Kedua, rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi armada
perikanan tangkap secara bertahap dalam rangka menghidupkan industri dalam
negeri dan keberpihakan kepada perusahaan dalam negeri serta nelayan lokal. Ketiga, penerapan pengelolaan perikanan
(fisheries management) secara
bertahap dan berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya
keadilan. Keempat, mendorong
Pemerintah Daerah agar lebih pro-aktif dan mengoptimalkan secara arif dan
bijaksana seluruh potensi dan kemampuannya. Dan kelima, rehabilitasi dan rekonstruksi daerah-daerah yang terkena
bencana alam.
Kebijakan
tersebut selanjutnya diwujudkan dalam sepuluh strategi pembangunan perikanan
tangkap jangka menengah (2005-2009). Pertama,
optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan secara bertanggung-jawab. Kedua, peningkatan produktivitas usaha
penangkapan. Ketiga, peningkatan
kemampuan dan kapasitas pendukung produksi di dalam negeri. Keempat, peningkatan SDM dan penyerapan
teknologi. Kelima, peningkatan
kemampuan kelembagaan, manajemen usaha kecil dan akses permodalan. Keenam, peningkatan mutu hasil perikanan
tangkap sebagai bahan baku industri. Ketujuh,
pengembangan dan penyebaran kluster-kluster industri. Kedelapan, restrukturisasi armada perikanan tangkap. Kesembilan, revitalisasi prasarana
perikanan tangkap. Dan kesepuluh,
pengembangan dan penyusunan standarisasi sarana perikanan tangkap.
Dengan
mengacu kepada kebijakan dan strategi yang telah ditetapkan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan lalu menyusun program dan kegiatan pokok. Programnya
adalah: pertama, pengelolaan
sumberdaya ikan yang bertanggung-jawab. Kedua,
pengembangan kapal perikanan dan alat penangkap ikan. Ketiga, pengembangan pelabuhan perikanan. Keempat, pengembangan usaha penangkapan ikan. Kelima, peningkatan pelayanan perijinan penangkapan ikan. Keenam, revitalisasi perikanan tangkap. Dan
ketujuh, pengembangan metoda
statistik perikanan tangkap.
Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) merasa yakin bahwa serangkaian program tadi
terimplementasi secara baik dengan syarat sebagai berikut. Pertama, program-program yang telah ditetapkan di dalam Renstra
mendapat dukungan dan komitmen dari seluruh jajaran Ditjen Perikanan Tangkap KKP.
Kedua, program-program yang telah
ditetapkan di dalam Renstra mendapat dukungan penuh dari pihak-pihak terkait
secara lintas sektoral dan lintas wilayah. Ketiga,
anggaran yang diperlukan untuk pembangunan perikanan tangkap tersedia sesuai
jadwal yang direncanakan. Keempat,
monitoring dan evaluasi pembangunan perikanan tangkap dapat berjalan lancar dan
efektif. Kelima, stabilitas politik,
keamanan, ekonomi, dan sosial dapat terjaga sehingga kondusif bagi pelaksanaan
program perikanan tangkap.
Pada
masing-masing program tersebut disusun pula berbagai kegiatan pokok. Pertama, pengelolaan sumberdaya ikan
yang bertanggung-jawab yang dilakukan melalui: (a). Penataan pemanfaatan
sumberdaya ikan dengan cara penyusunan, penerapan dan evaluasi pelaksanaan
Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP); optimasi pengolahan sumberdaya ikan di
wilayah perbatasan; penyusunan konsep peraturan perundang-undangan di bidang
pengelolaan sumberdaya ikan dan evaluasi hasil kesepakatan FKPPS; penyusunan National Plan of Action (NPOA);
penyusunan database dan peta status
tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan; pembinaan dan evaluasi nelayan lintas
batas dan nelayan andon (nelayan yang berputar-putar di suatu tempat); serta
evaluasi penataan rumpon di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Kemudian (b).
Perlindungan dan pengayaan sumberdaya ikan dengan cara melalui suaka perikanan
tangkap; pemacuan stok ikan; serta identifikasi dan inventarisasi sumberdaya
ikan langka dan terancam punah. (c). Monitoring dan evaluasi pemanfaatan
sumberdaya ikan di perairan umum dan perairan laut. (d). Peningkatan kualitas
SDM melalui apresiasi pengelolaan sumberdaya ikan tangkap di perairan umum; dan
apresiasi pemantauan dan evaluasi pemanfaatan SDM perikanan di laut.
Kedua, pengembangan kapal perikanan dan alat pengkapan ikan.
Langkah kongkretnya meliputi: pengembangan teknologi penangkapan produktif dan
ramah lingkungan; restrukturisasi armada perikanan nasional; pengembangan alat
bantu penangkapan yang ramah lingkungan; standarisasi sarana perikanan tangkap;
penyiapan basic design kapal dan alat
tangkap ikan sebagai percontohan; pembangunan prototipe kapal spesifik daerah
penangkapan dan target spesies; pembangunan fasilitas pengujian dan percobaan (flume tank) alat penangkap ikan;
penerapan standar kapal dan alat penangkap ikan; penyiapan cetak biru (blue print) jenis kapal dan alat
penangkap ikan karakteristik daerah; pemetaan kebutuhan sarana perikanan
tangkap; introduksi sarana perikanan tangkap berbasis kebutuhan dan
keterkaitan; serta revitalisasi Unit-Unit Pengembangan Penangkapan Indonesia di
daerah-daerah perikanan tangkap.
Ketiga, pengembangan pelabuhan perikanan. Langkah nyatanya
berupa: revitalisasi pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan serta
implementasi “DKP Mini”; pembangunan dan pengembangan Pelabuhan Perikanan di
lingkar luar (Outer Ring Fishing Port,
ORFP); pembangunan dan pengembangan PP/PPI di daerah potensial dan strategis
terutama di wilayah timur Indonesia; pengembangan dan integrasi Pusat Informasi
Pelabuhan Perikanan (PIPP) dengan sistem informasi perikanan dan kelautan
terkait; serta evaluasi dan peningkatan status PP/PPI sesuai skala layanan.
Keempat, pengembangan usaha penangkapan ikan. Langkah yang
dilaksanakan adalah: pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil/menengah;
pengembangan usaha penangkapan di wilayah perbatasan dan daerah terpencil;
pengembangan Unit Bisnis Perikanan Terpadu (UBPT) di pusat-pusat pertumbuhan
perikanan tangkap (pelabuhan perikanan); peningkatan peluang investasi dalam
rangka pengembangan UBPT; pengembangan usaha ekonomi produktif bagi wanita
nelayan di kawasan timur Indonesia dan daerah padat tangkap; pengembangan
kapasitas ketenaga-kerjaan perikanan tangkap dan pengendalian tenaga kerja
asing; serta relokasi usaha nelayan.
Kelima, peningkatan pelayanan perijinan penangkapan ikan
tangkap. Tindakan nyata yang dilakukan untuk itu meliputi: pengembangan sistem
informasi usaha penangkapan ikan; penataan sistem pelayanan perijinan; rintisan
perijinan dan penyusunan database
usaha penangkapan ikan di daerah; serta peningkatan peran daerah dalam proses
administrasi pelayanan perijinan pusat.
Keenam, revitalisasi perikanan tangkap melalui sosialisasi dan
penyediaan sarana prasarana penunjang penanganan ikan; perbaikan penanganan
ikan hasil penangkapan di atas kapal; perbaikan penanganan ikan hasil
penangkapan; pengembangan sistem rantai dingin (cold chain system); pengembangan teknologi tepat guna penanganan
ikan hasil penangkapan; dan apresiasi teknik penanganan ikan hasil penangkapan.
Ketujuh, pengembangan statistik perikanan tangkap, yang antara
lain meliputi: pengembangan Sistem Informasi Statistik Perikanan Tangkap
(SISPT); pengembangan pendataan perikanan tuna dan sejenisnya di Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik; pengolahan data PDB industri pengolahan perikanan;
penguatan kapasitas kelembagaan statistik perikanan tangkap di daerah;
apresiasi dan validasi data statistik perikanan tangkap; serta pengumpulan,
pengolahan dan penyajian data statistik yang baik dan benar.
Sudah
barang tentu tidak sebatas menekankan pembangunan dan pengembangan potensi
perikanan tangkap. KKP juga melihat betapa pentingnya memberdayakan potensi
pesisir dan pulau-pulau kecil; mengembangkan dan melestarikan potensi flora
laut (misalkan terumbu karang dan mangrove), dan pemanfaatan bangunan laut. Dan
semua itu jelas tidak dapat ditangani KKP sendirian. Harus sinergi dengan
lembaga, insitusi dan instansi lain yang terkait. Untuk menyelamatkan terumbu
karang, sekadar contoh, pada akhir 2010 KKP telah menandatangani nota
kesepahaman (memorandum of understanding)
dengan organisasi World Wildlife Fund
(WWF).
Kerja
keras KKP bersama DPR, tahun 2007 telah lahir UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP-PPK). Undang-undang
inilah yang kini menjadi dasar hukum dalam pelaksanaan pembangunan dan
pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. UU PWP-PPK telah mengatur
beberapa hal berkenaan dengan pembangunan dan pengelolaan kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil. Di antaranya: (1). Perencanaan pengelolaan; (2). Pemanfaatan
berdasarkan ekosistem; (3). Pemanfaatan pulau-pulau kecil; (4). Hak Pengusahaan
Perairan Pesisir (HP3); (5). Konservasi; (6). Hak akses masyarakat; (7).
Pengawasan dan pengendalian; (8). Mitigasi bencana; dan (9). Sanksi.
Dilihat
dari materi UU PWP-PPK, bahwa mekanisme pengelolaan sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil sudah cukup sistemik, holistik dan integratif. Kelembagaan
pemerintah pusat, daerah dan masyarakat dalam mengelola sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil terlihat semakin kuat. Pengelolaan pesisir dan pulau-pulau
kecil juga relatif adil, seimbang dan berkelanjutan. UU PWP-PPK tadi pun dirasa
telah memberi kepastian hukum bagi dunia usaha dan masyarakat.
Hal ini
dapat dilihat dari esensi (substansi dan hakikat) yang terkandung di dalam UU
PWP-PPK. Pertama, bersifat
multi-sektor. Kedua, adanya
koordinasi, integrasi dan konsistensi dalam pelaksanaan pembangunan. Ketiga, adanya keseimbangan antara
pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya pesisir. Keempat, pembagian pembiayaan dalam pengelolaan antara pusat dan
daerah serta masyarakat. Kelima,
adanya pengakuan atas hak-hak masyarakat adatdan masyarakat pesisir dalam
pengelolaan berbasis masyarakat. Dengan demikian, pembangunan dan pengelolaan
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil bisa dilakukan secara terpadu,
terintegrasi dan terkoordinasi. Sekadar ilustrasi, pelaksanaan konservasi
perairan telah diterapkan sistem zonasi atau pembagian dan pengaturan ruang
berdasarkan peruntukan dan kepentingan pengelolaannya. Zona ini meliputi zona
inti, zona pemanfaatan, zona perikanan berkelanjutan, dan zona lainnya. Di sini
terdapat kepastian hukum sehingga konflik penggunaan ruang bisa dihindari.
Merujuk UU
PWP-PPK dan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dengan mengandeng
pemerintah daerah dan kalangan perbankan, KKP sempat menggelontorkan program
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) secara berkesinambungan sejak
tahun 2001 hingga tahun 2009: mulai tahap inisiasi, institusionalisasi sampai
diversifikasi. Mulai dari berdirinya Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir
Mikro, Mitra dan Mina (LEPPM3), koperasi sampai unit-unit usaha di bawah
koperasi seperti Solar Packed Dealer
untuk Nelayan, kedai pesisir dan klinik bisnis.
Sekadar
pengetahuan, potensi pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia ini sangat
besar. Menurut pakar kelautan dan perikanan Tridoyo Kusumastanto, jumlah
pulau-pulau kecil yang mencapai sekitar 10.000 pulau umumnya memiliki potensi
SDA dan jasa lingkungan yang tinggi. Sama seperti pesisir, potensi yang
dimiliki pulau-pulau kecil berupa sumberdaya hayati yang dapat diperbarui (renewable resources) seperti ikan,
mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Pulau-pulau kecil juga ada yang kaya
sumberdaya non-hayati seperti minyak dan gas bumi, pasir kuarsa, timah, nikel
dan bahan bangunan. Juga kaya akan emas, batu apung, pasir besi, garam dan
pasir laut. Dengan bersandar pada peraturan perundangan yang ada (UU PWP-PPK
dan UU Perikanan) semua itu dapat dikembangkan secara optimal dan terpadu.
Lingkungan
dan tata ruang laut pun akan termanfaatkan secara integratif dan koordinatif.
Dan keberlanjutan serta kelestarian laut terjaga pula. ***
Bagus sekali. Copy yaa
ReplyDelete