Membangun laut itu harus direncanakan, divisikan,
dibuat kebijakannya dan diimplementasikan dengan baik
dan benar.
Untuk itu, kita butuh National Ocean Policy.
Aspek penting dalam kebijakan itu adalah ketetapan
hati, komitmennya,
hakikat laut, manfaat kekayaan dan menjaga
lingkungannya.
Laksamana Muda TNI (Purnawirawan) Rosyihan
Arsyad
(Direktur Eksekutif Institute for Maritime
Studies)
Parade armada kapal perang China, Vietnam dan Filipina,
dengan formasi siap tempur bergemuruh di Laut China Selatan. Diiringi pesawat
tempur yang menderu-deru di atas formasi kapal perang, membuat Laut China
Selatan benar-benar diliputi suasana siap perang menyusul ketegangan antara ketiga
negara itu. Selama berabad-abad ketiga negara tersebut memang saling berebut
Laut China Selatan sebagai wilayah kedaulatannya. Namun, ketegangan yang
berlangsung baru-baru ini telah menimbulkan kekhawatiran yang dapat menjadi pemicu
terjadinya perang regional, bahkan global.
Ibarat kata, ketika setetes air laut yang mereka miliki “diusik”
oleh negara lain, maka negara yang merasa memiliki kedaulatan atas setetes air laut
itu siap berperang. Semua kekuatan akan dikerahkan untuk mempertahankan setetes
air laut itu. Begitulah yang terjadi di Laut China Selatan. Setelah Perang
Dunia (PD) II, kita bisa menyimak terjadinya perang besar hanya untuk menguasai
dan mempertahankan setetes air laut. Misalnya, Perang Malvinas antara Inggris
dan Argentina, kemudian ketegangan yang terus menyelimuti Rusia dengan Jepang
berkenaan dengan Kepulauan Sakalin. Begitu pula konflik batas wilayah teritorial
penangkapan ikan antara Norwegia dengan Inggris pada tahun 1950-an yang sempat
membuat kedua negara yang bertetangga itu bersitegang dan siap untuk berperang.
Demikian berharganya laut bagi mereka sehingga mereka siap
berperang dengan mengerahkan semua kekuatan yang dimiliki. Mereka sangat
memahami bahwa untuk membangun kebesaran dan kejayaan, kuncinya adalah laut. Bahkan,
bagi negara-negara adidaya seperti AS dan China, meskipun mereka dikenal
sebagai negara daratan (kontinental) dan bukanlah negara kelautan (kepulauan), tetap
saja paradigma mereka adalah kelautan. Demikian pula dengan negara-negara maju
seperti Inggris, Spanyol, Norwegia, Italia, Perancis, Australia, Jepang dan Korea
Selatan. Tidak terkecuali Chili, India dan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN)
seperti Thailand, Malaysia dan Singapura, serta negara lainnya di dunia ini.
Foto-foto:
Armada kapal China, kapal Filipina, kapal
Thailand, dll. (tiga foto saja)
Berpijak dan Berkiblat ke
Laut
Adalah kebenaran sejarah bahwa kebesaran dan kejayaan
suatu bangsa dan negara karena mereka berkiblat ke laut. Pada masa lalu, Nusantara
Indonesia pernah menjadi bangsa yang besar dan berjaya karena berkiblat ke
laut. Pun kebesaran dan kejayaan China (Tiongkok), sedari dulu hingga sekarang
ini lantaran telah berkiblat ke laut. Juga kebesaran dan kejayaan negara-negara
Eropa dan AS karena sejak dulu sampai kini menjadikan laut sebagai arus utama (mainstream)
pembangunan nasional mereka.
Sedari dulu Jepang telah pula
berpijak dan berkiblat ke laut. Termasuk dalam membangun sistem pertahanan
keamanannya, garda kekuatan militer Jepang berada di lautan. Hal itu bisa disimak
semasa PD II, di mana pada masa itu kapal-kapal perang Jepang mampu menembus
berbagai batas wilayah dan negara, terutama di kawasan Asia Pasifik. Dengan
kapal-kapal perang yang canggih (ketika itu), Jepang mampu menguasai wilayah
Pasifik Barat dan Barat Daya, dari Pulau Mariana, Carolina hingga Kepulauan
Solomon. Dengan kekuatan angkatan lautnya yang hebat, Jepang bahkan mampu
menguasai hampir seluruh wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara.
Bila kita membahas PD II di kawasan Asia Pasifik, tentu kita
tidak bisa melepaskan kemajuan dan kejayaan Jepang sejak masa Dinasti Meiji
(Freddy Numberi, 2008). Restorasi Meiji (Meiji Ishin, Meiji Revolution)
pada hakikatnya adalah suatu reformasi atau revolusi budaya yang digerakkan
oleh kekuasaan sentral imperial Kaisar pada tahun 1860-an. Diawali oleh
kesadaran untuk menerima pencerahan dan keterbukaan (enlightenment)
setelah pintu ketertutupan (seclusion) Jepang dibuka. Kaisar Jepang
Matsuhito adalah penggerak restorasi dengan nama Meiji, yang artinya hukum
pencerahan atau keterbukaan (enlightened rule), dengan tetap memelihara
kearifan lokal (local wisdom) berupa semangat Bushido dan kepahlawanan
Samurai yang merupakan khazanah-kearifan masyarakat Jepang sebagai kekuatan
sosial dan budaya. Restorasi Meiji berjalan sukses karena benar-benar memperoleh
legitimasi politik, sosial dan budaya dari kekuasaan Kaisar selaku pimpinan
(Sri-Edi Swasono, 2011).
Setelah kekuatan industri Jepang bangkit dan kemenangannya atas
China di tahun 1939, Jepang memulai PD II dengan tujuan melumpuhkan kekuatan Sekutu
di bawah pimpinan AS di kawasan Pasifik, lantas merebut Malaka dan Hindia
Belanda (Nusantara Indonesia) serta menduduki Filipina. Jepang kemudian
menguasai perimeter pertahanan yang dimulai dari sebelah utara Samudera Pasifik
di Kepulauan Kuriles, lalu turun ke selatan melalui Pulau Wake, Mariana,
Carolina dan Marshall hingga Kepulauan Solomon. Sesudah wilayah-wilayah itu
berada dalam kekuasaannya, Jepang beranggapan akan leluasa menguasai wilayah
impiannya yang disebutnya sebagai “Persemakmuran Asia Timur Raya” (Greater
East Asia Co-Prosperity Sphere).
Segera setelah serangan terhadap pangkalan Angkatan Laut AS di
Pearl Harbor, Hawaii, pada tanggal 7 Desember 1941, pasukan Jepang terus
bergerak dan menguasai hampir seluruh wilayah yang telah diidam-idamkan sebagai
Persemakmuran Asia Timur Raya. Setelah menduduki Pulau Jawa yang ketika itu
menjadi pusat kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, pasukan Dai Nippon
Jepang lantas berupaya memutuskan garis pertahanan dan perhubungan antara AS
dan Australia di selatan dan barat daya Pasifik. Pasukan Jepang lalu berambisi menguasai
seluruh wilayah Nusantara Indonesia, dari Aceh hingga Papua.
Semasa PD II, kekuatan angkatan laut Jepang di kawasan Asia
Pasifik hanya dapat dikalahkan oleh kekuatan Sekutu AS di bawah pimpinan
Jenderal Besar Douglas MacArthur selaku Panglima Wilayah Pasifik Barat Daya (Commander
In Chief Southwest Pasific Area). Di bawah pimpinan Jenderal MacArthur,
dengan strategi “loncat katak” (leapfrog strategy) dan dukungan
peralatan tempur modern (udara, laut dan darat) dalam jumlah yang begitu banyak
serta kekuatan militer dalam jumlah besar, beberapa kali Sekutu AS terlibat perang
hebat dengan Jepang. Mulai dari pertempuran dahsyat di Papua, pertempuran laut
karang di Midway (Juni 1942), Guadalcanal (November 1942), hingga Kepulauan
Bonin (1944) yang berdekatan dengan wilayah Jepang, yang akhirnya Jepang menyerah
pada tanggal 14 Agustus 1945 setelah dijatuhkannya bom atom di Hiroshima (6
Agustus 1945) dan Nagasaki (8 Agustus 1945). Secara resmi Jepang menyerah
kepada Sekutu (AS) pada tanggal 2 September 1945.
Setelah kalah dalam PD II, Jepang segera bangkit dan menjelma
sebagai negara superpower dunia di bidang ekonomi. Mengapa? Karena, orientasi
pembangunan dan industrialisasi Jepang justru semakin intensif diarahkan ke
laut setelah sumberdaya daratan tercemar dan hancur akibat bom atom Sekutu AS. Jepang
semakin gencar membangun, mulai dari industri perikanan dan hasil laut, industri
perkapalan, hingga memelopori bangkitnya industri Deep Sea Water (DSW).
Pemerintah, pengusaha dan masyarakat Jepang saling bahu-membahu membangun
industri kelautan (maritim). Maka wajarlah dalam industri perkapalan dunia kini
Jepang adalah penguasanya. Jepang menguasai sekitar 47%, Korea Selatan 22%,
Eropa Barat 15% dan China 3%. Pemerintah, pengusaha dan masyarakat Jepang juga melihat
bahwa DSW dapat dijadikan sebagai pilihan utama guna menggantikan air darat
yang semakin terbatas sekaligus untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan
di daratan yang lebih parah serta sebagai lahan bisnis baru yang prospektif.
Karena manfaatnya yang begitu besar, Badan Sains dan Teknologi
(kini Departemen Pendidikan, Budaya, Olah Raga, Sains dan Teknologi) Jepang
kemudian memprakarsai studi DSW selama kurun waktu 1986-1991. Teluk Toyama yang
memiliki laut dalam dipilih sebagai lokasi penelitian dan pengembangan DSW. Dari
situ, studi dan pemanfaatan DSW oleh Jepang terus berkembang. Misalnya,
penelitian DSW di Kochi, Toyama, Shizuoka dan Okinawa yang hasilnya terbilang
menggembirakan. Karena kandungannya yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, maka
DSW tidak hanya digunakan sebagai air minum yang bersih dan sehat, namun juga
untuk kepentingan lain. Di Jepang, pemanfaatan DSW sudah terdiversifikasi buat
berbagai kepentingan, mulai dari untuk konservasi lingkungan, energi Air
Conditioning (AC), makanan dan minuman seperti jelly, soy sauce dan
sake, hingga sebagai bahan baku obat-obatan dan kosmetika serta pertanian
hidroponik (hortikultur).
DSW adalah air laut yang memiliki kedalaman 200 meter atau
lebih, di mana pada kedalaman tersebut sinar matahari sudah tidak dapat
menembus lagi. Dengan begitu karakteristik DSW adalah stabil pada suhu yang
rendah (antara 4,0-9,5 derajat Celcius), bersih dan tidak terkontaminasi, serta
banyak kandungan nutrisi dan mineralnya. Kandungan zat-zat dalam DSW sangat
dibutuhkan oleh tubuh manusia, baik untuk kesehatan maupun pertumbuhan
kecerdasan. Begitulah Jepang yang gigih memanfaatkan laut dan segenap sumberdayanya
guna membangun kejayaan perekonomian nasionalnya yang kini mampu menguasai
ekonomi dunia. Sementara itu, untuk mengamankan jalur suplai minyak dari (terutama)
Timur Tengah, Jepang pun semakin memperkuat armada kapal niaga, selain armada
kapal perangnya. Bukti-bukti historis kebesaran Jepang sebagai negara kelautan
(maritim) yang unggul, maju dan jaya terekam jelas di Museum of Maritime
Science yang berada di kawasan Teluk Tokyo.
Menjadi negara yang besar dan berjaya dengan berkiblat ke laut sebenarnya
bukan sebuah ilusi belaka. Jepang telah menjadi salah satu negara superpower
perekonomian dan industri perkapalan serta produk kelautan dan perikanan dunia
karena sejak dulu orientasi pembangunannya memang berkiblat ke laut. Kemudian
Norwegia, yang sebenarnya memiliki kemiripan dengan Indonesia, khususnya berkenaan
dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang melimpah-ruah. Dengan
potensi dan kekayaan laut yang dimiliki, Norwegia berhasil menasbihkan diri
sebagai salah satu negara dengan pendapatan per kapita penduduknya termasuk
paling tinggi di dunia, yakni sekitar US$40.000. Kontribusi sektor perikanan
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tercatat 25%. Nilai ekspor produk
perikanan Norwegia pada tahun 2006 tercatat US$5,54 miliar atau menempati
posisi kedua setelah China yang sekitar US$9,15 miliar.
Kenyataan yang berbeda jauh justru tergambar nyata antara
Norwegia dan Indonesia. Indonesia yang berpenyebut sebagai Negara Kelautan
(Kepulauan) justru terus berkutat dalam posisi yang memprihatinkan. Dengan
potensi dan kekayaan laut yang besar yang jauh melebihi Norwegia, Indonesia malah
terpuruk sebagai negara paria dengan pendapatan per kapita yang termasuk
terendah di dunia, yakni hanya US$1.000. Padahal, berkenaan dengan ragam jenis
ikan misalnya, Norwegia hanya memiliki ikan yang hidup di perairan laut yang
bisa dihitung dengan jari seperti Salmon (budidaya), Hering dan Cod (tangkap).
Sementara itu, Indonesia memiliki aneka jenis ikan yang berlimpah dan berharga
mahal seperti Tuna, Napoleon, Kerapu dan Udang.
Dalam hal ini, tentu saja kita perlu belajar dari Norwegia,
sebuah negeri di kawasan Skandinavia yang benar-benar memahami bahwa mereka
adalah “bangsa bahari”. Oleh karena itu, mereka gigih memperjuangkan setiap
jengkal wilayah laut dan eksistensinya sebagai negara maritim, termasuk dalam
mempertahankan kedaulatan lautnya. Bahkan, negara yang beribukotakan Oslo itu
setiap saat siap “berperang” dengan siapapun yang mencoba nyelonong wilayah
perairannya untuk menangkap ikan. Negeri berpenduduk sekitar 5 juta jiwa itu
memang telah mempersiapkan pembangunan sektor kelautan dan perikanannya dengan
begitu sungguh-sungguh, mulai dari paradigma, platform, arah dan langkah
pembangunan yang jelas, manajemen yang baik, hingga budaya maritim yang mapan.
Walhasil, negara yang luas wilayahnya cuma sekitar 323.750 Km2 itu dikenal
unggul dalam manajemen sumberdaya laut serta budaya maritimnya. Industri
perikanan Norwegia telah menjadi tulang punggung perekonomian nelayan dan
masyarakat yang hidup di kawasan pesisir pantai, dengan multiplier effects
yang luas bagi kegiatan industri lainnya.
Penggunaan sumberdaya laut Norwegia juga dilakukan secara
berkelanjutan. Setiap panen disesuaikan dengan potensi perikanan yang ada
sehingga ikan terus berkembang biak dan tidak punah. Norwegia pun melakukan
kerjasama internasional, terutama dengan negara-negara tetangga serta penegakan
hukum yang tegas. Kapal yang berlayar di wilayah laut Norwegia harus memasang
peralatan berbasis satelit yang dapat dimonitor setiap saat. Dengan begitu,
jangankan perompak yang mencoba mencuri ikan di wilayah perairan laut Norwegia,
ibaratnya ikan teri yang meloncat ke laut negara tetangga pun dapat dideteksi.
Dalam hal ini, Direktorat Perikanan Norwegia bertanggung jawab penuh mengontrol
jumlah ikan yang ditangkap dan dijaga kelestariannya. Kasus pemalsuan laporan
atau ketidaksamaan data tentang perikanan laut akan diserahkan ke pengadilan
untuk dilakukan tindakan hukum secara tegas.
Begitu sekilas cerita tentang kemajuan Norwegia sebagai buah
dari kerja keras dan kerja cerdas dalam memberdayakan potensi kekayaan laut
yang dimilikinya secara optimal. Yang pasti, kedaulatan laut Norwegia
benar-benar terkontrol, potensi dan kekayaan ikannya lestari, serta dibangun
dan dikembangkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran bagi segenap rakyatnya.
Indonesia perlu pula bercermin dari keberhasilan China dan
Thailand. Hasil penangkapan ikan laut di China mencapai 15 juta ton/tahun,
budidaya laut 11 juta ton/tahun, dan budidaya air tawar 15 juta ton/tahun.
Nilai produksinya mencapai US$34 miliar dan ekspor US$9,15 miliar atau nomor
satu di dunia. Sementara itu, nilai ekspor produk ikan Thailand tercatat
US$5,25 miliar atau nomor tiga di dunia, setelah China dan Norwegia.
Untuk perikanan budidaya, selain perlu belajar kepada China, kita
pun bisa menyimak keberhasilan Italia, Perancis dan Chili. Dulu, nelayan
pesisir laut selatan Italia dan Perancis terbilang miskin. Namun, berkat
pembangunan dan pengembangan yang terarah, optimal, profesional dan bijaksana,
kehidupan mereka pun menjadi terangkat. Sementara itu, kisah sukses Chili yang
dijuluki sebagai negara dengan iklim investasi paling kompetitif di Amerika
Selatan, dalam budidaya perikanan dimulai dari kuatnya komitmen pemerintah pada
pengembangan perikanan budidaya, khususnya budidaya ikan Salmon. Negara dengan
garis pantai paling panjang di Amerika Latin itu (mulai dari perbatasan dengan
Peru di utara hingga ujung selatan Benua Amerika yang berbatasan dengan
Argentina) sangat sadar bahwa garis pantai yang begitu panjang memiliki potensi
tinggi sebagai nafas kehidupan masyarakat pesisir dan soko guru perekonomian
nasionalnya.
Pada awalnya, para nelayan dan masyarakat pesisir Chili tidak
memiliki keterampilan dasar dalam hal budidaya Salmon. Namun, pemerintah sadar dan
paham betul bahwa salah satu potensi perikanan yang dapat dimaksimalkan adalah
perikanan budidaya. Sebab itu, para nelayan dididik dan dilatih secara
konsisten untuk memanfaatkan pesisir pantai. Walhasil, setelah beberapa tahun
berjalan, Chili menjelma sebagai produsen Salmon terbesar ketiga dunia. Nilai
ekspor Salmon Chili terus meningkat hingga angka US$1,2 miliar. Sejalan dengan
peningkatan nilai ekspor tersebut, kontribusi Chili terhadap total produksi Salmon
dunia pun meningkat dari 1,5% (1987) menjadi 35% pada tahun 2002 (Karel Albert
Ralahalu, 2007).
Tampak bahwa kisah sukses Chili dalam membangun sektor perikanan
dikarenakan oleh niat pemerintah yang begitu kuat dalam usaha menyejahterakan
rakyatnya, yang kemudian diwujudkan dalam visi dan misi pembangunan di sektor
perikanan dan kelautan. Kebijakan pemerintah Chili sangat konsisten dalam pengembangan
perikanan budidaya ikan Salmon, yang dimulai sejak tahun 1980-an. Keberhasilan
Chili juga ditopang oleh teknologi modern yang dibutuhkan dalam proses budidaya
Salmon, yang didukung oleh pembiayaan, penelitian dan pengembangan yang bagus,
yang bekerja dengan penuh komitmen dan integritas sehingga dalam waktu relatif
singkat mampu mendorong produk-produk perikanan budidaya menjadi kompetitif di
pasar internasional. Pemerintah Chili pun bertanggung-jawab penuh dalam
pembinaan para eksportir Salmon agar mampu memenuhi setiap aturan
internasional, sesuai ketentuan FAO dan Organisasi Perdagangan Dunia (World
Trade Organization). Budidaya Salmon di Chili termasuk merupakan 10 sektor
industri utama yang menjadi prioritas untuk memperoleh bantuan pendanaan dalam
rangka peningkatan produktivitas dan daya saing.
Foto-foto:
Museum of Maritime Science (Jepang), Industri Perikanan
Norwegia,
dan Budidaya Perikanan Chili.
Kebijakan Kelautan Nasional (National Ocean
Policy)
Sekarang ini, beberapa negara di dunia semakin meneguhkan visi
dan misi maritimya melalui Kebijakan
Kelautan Nasional (National Ocean Policy) sebagai platform, pilar
dan payung kebijakan, serta strategi dan arah implementasi pembangunan kelautan
yang lebih jelas. Memasuki abad ke-21, negara-negara di dunia telah berlomba
meningkatkan kekuatan maritim mereka dengan mencanangkan Kebijakan Kelautan
Nasional. AS misalnya, yang berobsesi membangun kekuatan maritimnya dengan
slogan “Kekuatan Maritim Melindungi Cara Hidup Amerika”. Strateginya
adalah “A Cooperative Strategy for 21st Century Sea Power” yang
dipublikasikan sejak Oktober 2007 oleh United Stated Marine Corps, United
Stated Coast Guard dan Department of Navy. AS juga telah beraliansi dengan North
Atlantic Treaty Organization (NATO) membentuk Global Maritime Partnership
Initiative guna menjaga keamanan, ketertiban dan perdamaian dunia. AS
memang sangat berambisi menjadikan kekuatan maritimnya sebagai “pemimpin
samudera” di antara negara-negara di dunia.
China pun telah membangun Ocean Policy dengan
strategi “Chain of Pearl” yang bertujuan untuk memperkuat urat nadi
perdagangan melalui laut, termasuk untuk mengamankan jalur suplai Bahan Bakar
Minyak (BBM) dari Timur Tengah. Tidak mau ketinggalan, dengan wilayah
daratan-lautan yang luas dan jumlah penduduk terbesar kedua setelah China,
India telah pula membangun Ocean Policy dengan strategi “Freedom to
Use the Sea: Maritime Military Strategy” yang berisikan mengenai aspirasi
geopolitik hingga penempatan angkatan laut di masa damai maupun konflik. Tujuannya
adalah untuk meningkatkan pembangunan kekuatan angkatan lautnya. Begitu pula Inggris
yang mengibarkan semboyan “Britain Rules the Waves” dengan tujuan
membangun kekuatan maritimnya dalam menghadapi era globalisasi. Inggris telah
mengembangkan postur angkatan lautnya menjadi lebih kuat dan handal. Beberapa
negara yang juga telah menerbitkan kebijakan kelautan nasional mereka adalah Kanada,
Australia, Brasil, Kolombia, Perancis, Malaysia, Filipina, Thailand, Barbados,
Cooks Island, Jamaika, Marshal Island, Korea Selatan, Norwegia, Selandia Baru,
Portugal dan Rusia.
Selanjutnya, untuk mewujudkan keberhasilan visi dan
kebijakan kelautan nasional yang telah dibuat, beberapa negara telah menggulirkan
program implementatif berupa “Gerakan Nasional Revolusi Biru”. Secara sederhana
“Revolusi Biru” dapat diartikan sebagai perubahan orientasi dalam melihat dan menyikapi
economic opportunity yang sebelumnya dengan pendekatan darat
(kontinental) menjadi berpendekatan kelautan (samudera). Yang melatar-belakangi
terjadinya “Revolusi Biru” antara lain adalah, bahwa “Revolusi Hijau”
(pembangunan pertanian tanaman pangan) di daratan ternyata tidak kunjung
memenuhi kebutuhan pangan mereka. Mereka realistis bahwa sekitar 70% bagian
bumi ini adalah laut sehingga sebagian besar sumber pangan mereka dan dunia ini
diyakini berada di laut.
Dunia global telah berkiblat ke laut. Gencarnya “Gerakan Revolusi
Biru” yang telah digerakkan oleh negara-negara yang bervisi maritim yang kuat
dan memiliki kebijakan kelautan nasional yang terarah, tentunya akan membuat dunia
masa mendatang menjadi apa yang disebut sebagai masa yang besar. Dinamika dan
percaturan politik, hukum, ekonomi, lingkungan hidup, sosial-budaya, serta
pertahanan dan keamanan, akan berada di lautan (samudera). Ini jelas menjadi
semacam “peringatan” sekaligus peluang besar bagi Indonesia agar segera melakukan
“Revolusi Biru” dengan cara membangun kekuatan di laut. Sebagai negara kelautan
(maritim) terbesar di dunia (the largest archipelago state in the world)
dan sebagai “negara-bangsa” pelaut unggul dalam catatan sejarah masa lalu,
Indonesia sudah semestinya menjadikan laut sebagai paradigma, mainstream
dan prime mover pembangunan nasional. Pasalnya, jangan sampai nantinya,
sebagaimana dicemaskan oleh Friedrich von Schiller, bahwa grosse Moment
findet ein kleines Geschlecht, pada masa yang besar itu, kita hanya
menemukan manusia (Indonesia) yang kerdil (Sri-Edi Swasono, 2011).
Sadar atau tidak sadar, kehidupan ini memang terus
berubah. The change is rule. Tanpa diminta, roda kehidupan pasti akan
mengubah kita. Makanya, siapa yang tidak mau berubah untuk menyesuaikan diri
dengan perubahan niscaya kita akan tertinggal dan bahkan terlindas oleh
roda-roda perubahan jaman yang memang terus bergulir. Pesan itulah yang selalu
disampaikan oleh setiap ajaran agama yang dipercaya dan diyakini oleh bangsa
Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha), bahwa hari ini harus
lebih baik dari kemarin, dan esok hari harus lebih baik dari hari ini. Pesan
itu pula yang pernah disampaikan oleh Goethe, sastrawan kenamaan Jerman, bahwa ”Kita
harus selalu mengubah, memperbarui dan meremajakan diri. Jika tidak, kita akan
membatu.” Hal itu senafas dengan apa yang kerap dikatakan oleh Bill Gates,
pendiri dan CEO Microsoft, “Siapa pun yang tidak mau berubah akan
dijungkir-balikkan oleh jaman karena memang demikianlah aturan dunia ini.”
Senada dengan Bill Gates, Jack Welch, pemimpin legendaris perusahaan
multinasional General Electric (GE), juga mengatakan, “Berubahlah sebelum perubahan
itu sendiri yang akan memaksa Anda.”
Bangsa Indonesia ke
depan harus berubah menjadi lebih baik. Berkenaan dengan hal itu, sebagaimana dilakukan
oleh berbagai negara di dunia, Indonesia seharusnya segera memiliki visi dan
misi kelautan (maritim) yang kuat dan dikukuhkan dalam Kebijakan Kelautan Nasional
sebagai platform, pilar dan payung kebijakan, serta strategi dan arah
implementasi pembangunan kelautan yang lebih jelas dan terarah. Kita
(Indonesia) sebenarnya sudah memiliki UU No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, yang antara lain berisikan tentang visi, misi
dan arah pembangunan kelautan Indonesia. Visinya: “Mewujudkan Indonesia Menjadi
Negara Kepulauan Yang Mandiri, Maju, Kuat dan Berbasiskan Kepentingan
Nasional”. Sedangkan misinya antara lain adalah: “Membangun ekonomi kelautan
secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara
berkelanjutan”. Sementara itu, arahnya antara lain adalah: “Meningkatkan kesejahteraan
keluarga miskin di kawasan pesisir dilakukan dengan mengembangkan kegiatan
ekonomi produktif skala kecil yang mampu memberikan lapangan kerja lebih luas
kepada keluarga miskin”.
Visi, misi dan arah pembangunan kelautan sebagaimana tertuang
dalam RPJPN di atas tentu hanya akan indah di atas kertas jika tanpa dijabarkan
secara implementatif dalam Kebijakan Kelautan Nasional. Dalam hal ini,
Indonesia pun telah memiliki sejumlah hukum dan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan
yang mengatur hal-hal berkenaan dengan kelautan. Namun sayangnya, orientasi
kebijakan yang ada tampak tumpang-tindih, bersifat parsial dan lebih banyak mementingkan
ego sektoral, yang tidak jarang akhirnya menimbulkan berbagai kebijakan yang
saling bertentangan (conflicting policies), menimbulkan konflik
kepentingan (conflict of interest) antar-lembaga negara (pemerintah), dan
bahkan konflik kepentingan pribadi. Termasuk, konflik kewenangan antara
Pemerintah Daerah (Pemda) dan Pemerintah Pusat.
Selama ini, visi dan kebijakan sektoral telah mendorong
departemen atau instansi teknis berlomba-lomba membuat hukum dan peraturan
perundang-undangan yang terlihat muaranya hanya untuk kepentingan
masing-masing. Pun begitu, ada kecenderungan Pemda membuat berbagai Peraturan Daerah
(Perda) berdasarkan pertimbangan kepentingan daerah masing-masing. Laut Nusantara
hanya dikavling-kavling untuk kepentingan sempit daerah tanpa mengindahkan
aspek laut sebagai pemersatu bangsa. Akibatnya, strategi dan arah implementasi pembangunan
kelautan nasional serta tolok ukur keberhasilannya juga menjadi tidak jelas.
Padahal, laut atau kelautan itu merupakan sebuah sistem. Kelautan
merupakan sistem alam (natural system) yang mencakup ekosistem dan
lingkungan biofisik. Juga sistem manusia (human system) yang terdiri
dari unsur pelaku pemanfaatan sumberdaya dan jasa laut, pelaku pasar dan
konsumen, serta komunitas pesisir serta lingkungan sosial, ekonomi dan budaya
yang terkait. Termasuk sistem pengelolaan laut (ocean management system)
yang mencakup unsur-unsur kebijakan dan perencanaan, pembangunan, rejim
pengelolaan dan riset kelautan. Oleh karena itu, agar strategi dan arah serta tolok
ukur keberhasilannya menjadi jelas dibutuhkan Kebijakan Kelautan Nasional Indonesia
yang sistemik, integratif dan holisitk serta merupakan keterpaduan (sinergitas)
antar-lembaga negara (pemerintah). Termasuk sinergitas Pemerintah Pusat dengan
Pemda. Artinya, jika kita berbicara laut sebagai sistem dan sinergi antar-kelembagaan,
maka sesungguhnya hingga sekarang ini Indonesia sebagai Negara Kelautan
(Kepulauan) belum memiliki Kebijakan Kelautan Nasional.
Untuk itu, agar
visi dan misi serta arah pembangunan kelautan sebagaimana tertuang dalam RPJPN benar-benar
terimplementasi dengan baik dan benar, maka merupakan sebuah keniscayaan bahwa Indonesia
harus segera meneguhkan visi dan misi kelautan dalam National Ocean Policy. Kebijakan Kelautan Nasional sebagai
sebuah platform, pilar dan payung kebijakan, strategi dan arah
implementasinya. Lantas, apa saja isi yang harus terkandung dalam Kebijakan
Kelautan Nasional itu? Pakar ekonomi Sri-Edi Swasono menulis bahwa kita tidak
boleh melihat laut hanya dari segi pembangunan ekonomi, betapapun ekonomi
kelautan memang luar biasa melimpah-ruahnya. Laut adalah modal dasar
pembangunan nasional yang sangat strategis untuk memberi makna bagi Kemerdekaan
Indonesia dengan sepenuh sovereignity and territorial integrity-nya,
sekaligus untuk mewujudkan cita-cita nasional yakni terjaganya kedaulatan NKRI dan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Dengan begitu, Kebijakan Kelautan Nasional harus berisi formulasi
kebijakan yang integratif dan komprehensif sebagai payung kebijakan bagi semua
lembaga dan instansi terkait dalam pembangunan kelautan nasional. Mulai dari sebagai
payung kebijakan ekonomi kelautan (ocean
economic policy); kebijakan budaya kelautan (ocean culture policy);
kebijakan lingkungan kelautan (ocean environment policy); kebijakan
hukum kelautan (ocean law policy); kebijakan pemerintahan kelautan (ocean
governance policy); hingga kebijakan pertahanan dan keamanan kelautan (ocean
security policy). Kebijakan Kelautan Nasional juga harus berisi mengenai visi
dan misi, tujuan dan strategi serta aransemen implementasi kebijakan pembangunan
kelautan Indonesia. Termasuk berisi sinergi antara Pemda dan Pemerintah Pusat,
serta keterpaduan matra laut, darat dan udara.
Seperti telah dikatakan oleh Laksamana Muda (Purnawirawan) Rosyihan
Arsyad, Direktur
Eksekutif Institute for Maritime Studies, bahwa membangun laut itu harus direncanakan, divisikan, dibuat
kebijakannya dan diimplementasikan dengan baik dan benar. Untuk itu, kita membutuhkan
semacam Kebijakan Kelautan Nasional. Aspek penting dalam kebijakan Kelautan
Nasional itu sendiri adalah ketetapan hati berkenaan dengan sejarah, falsafah
dan jati diri kita sebagai bangsa bahari. Kemudian, hakikat laut sebagai media
pemersatu bangsa, perhubungan, serta pertahanan dan keamanan. Lalu, memanfaatkan
kekayaan laut untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta menjaga
lingkungan laut agar tetap lestari.
Bagaimana bentuk ideal dari Kebijakan Kelautan Nasional
itu? Jawabnya, banyak pendapat. Ada yang mengatakan sebaiknya berbentuk
Undang-Undang (UU) Kelautan, di mana setelah sekian lama terkatung-katung, kini
Rancangan Undang-Undang (RUU) Kelautan telah mencapai tahapan proses menuju
final. Saat ini, RUU Kelautan telah diserahkan kepada pihak DPR-RI untuk dibahas
dan segera disahkan (mudah-mudahan) menjadi UU. Ada pula yang berpendapat tidak
perlu berbentuk UU Kelautan karena UU dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan kelautan sudah cukup banyak. Yang diperlukan adalah platform
politik nasional sebagai pilar dan payung kebijakan, strategi dan arah implementasi
dari kebijakan yang sudah ada sehingga pembangunan kelautan benar-benar jelas
dan terarah. Idealnya berbentuk Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam
hal ini, Sri-Edi Swasono menuturkan, “Indonesia harus segera memiliki GBHN
sebagai platform nasional dan menjadikan pembangunan kelautan sebagai
keutuhan pembangunan Tanah Air. GBHN menegaskan arah pembangunan, menetapkan
tahapan, strategi dan prioritas pembangunan kelautan.”
Indonesia sebenarnya telah memiliki semacam Kebijakan Kelautan Nasional layaknya GBHN,
yang telah dirumuskan oleh Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN), dan telah direkomendasikan
kepada Pemerintah (Presiden). Namanya: Perumusan Kebijakan Kelautan
Indonesia (KKI, 2010). KKI ini memayungi berbagai kebijakan mulai dari
kebijakan ekonomi; kebijakan budaya; kebijakan lingkungan; kebijakan pemerintahan;
hingga kebijakan pertahanan dan keamanan. KKI juga berisi tentang visi dan misi,
tujuan, kebijakan dan strategi serta aransemen pembangunan kelautan Indonesia
yang cukup integratif dan komprehensif serta implementatif.
Visi KKI adalah: Laut lestari sebagai perwujudan
kesejahteraan rakyat serta pemersatu bangsa. Sementara itu, misinya antara
lain adalah: Mengelola dan memanfaatkan laut Indonesia merupakan upaya
pengelolaan dan pemanfaatan laut secara bijaksana, terpadu dan berkelanjutan
untuk kesejahteraan rakyat. Sedangkan tujuannya adalah: Mengelola laut secara
lestari dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan dengan memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan nasional.
Kemudian, kebijakannya antara lain adalah: Meningkatkan dan menguatkan peranan
Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang kelautan melalui pendidikan dan upaya-upaya
lain untuk membangkitkan wawasan dan budaya bahari. Lalu strateginya adalah: Meningkatkan
wawasan bahari bagi para generasi penerus bangsa melalui pendidikan dan pelatihan
bidang kelautan yang berkualitas dan diimbangi dengan penyediaan lapangan
kerja. Juga berisikan kebijakan pengembangan aktivitas ekonomi kelautan,
perikanan, pariwisata bahari, pelayaran, pertambangan dan energi laut, bangunan
atau konstruksi kelautan, industri kelautan dan jasa kelautan. Strateginya di
sektor perikanan misalnya, adalah mengefektifkan pengelolaan dan pengembangan
usaha perikanan berbasis kawasan (Wilayah Pengelolaan Perikanan, WPP).
Foto-foto:
Kapal-kapal AS, kapal-kapal Inggris, dan kapal-kapal India.
Aransemen Kelembagaan dan Menko Kelautan
(Maritim)
Aransemen Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) yang dibuat oleh
DEKIN juga telah dijabarkan secara integratif dan komprehensif serta
implementatif. Mulai dari integrasi fungsi dan kewenangan pengelolaan kelautan;
aransemen kelembagaan implementasi kebijakan kelautan; hingga arahan implementasinya.
Memang cukup banyak lembaga atau instansi yang terkaitan dengan Kebijakan
Kelautan Nasional. Di antaranya adalah Kementerian/Departemen Pendidikan
Nasional; Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata; Kementerian Kelautan dan
Perikanan; Kementerian Lingkungan Hidup; Kementerian Perhubungan; Kementerian
Energi Sumber Daya Mineral; Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; serta
Departemen/Lembaga Teknis Terkait. Termasuk Bappenas, DEKIN, LIPI, BPPT,
Perguruan Tinggi (PT), Bakosurtanal, TNI AL, Polisi Air, Bea Cukai (Pabean),
BUMN (PT PAL) dan swasta. Oleh sebab itu, koordinasi antar-lembaga dan
institusi terkait adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar.
Dengan kata lain harus ada aransemen dan mekanisme kelembagaan.
Dalam perspektif tata kelola kelautan, aransemen dan mekanisme
kelembagaan merupakan instrumen yang sangat penting. Sebab, instrumen itu memiliki
peran dalam menentukan “siapa berbuat apa” dalam menjalankan dan menggerakkan
kebijakan, strategi dan arah pembangunan kelautan nasional. Tujuan aransemen
dan mekanisme kelembagaan itu sendiri adalah terciptanya harmonisasi fungsi dan
dinamika antar-lembaga serta tanggung jawab masing-masing lembaga guna mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan kelautan nasional. Selama ini,
mekanisme kelembagaan kelautan terlihat belum dan kurang terkoordinasi dengan
baik dan benar. Akibatnya, penanganan terhadap suatu kasus acapkali justru menimbulkan
konflik kepentingan antar-lembaga ketimbang solusi yang integratif.
Selama ini juga menjadi agak rancu bila memahami tolok ukur
pembangunan kelautan yang hanya dilihat dari kinerja per Departemen/Kementerian,
terutama dalam hal ini adalah Departemen/Kementerian Kelautan dan Perikanan
(DKP/KKP), serta hanya dinilai dari ukuran sempit seperti Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP). Padahal, seharusnya ukuran-ukuran ekologi, sosial-budaya, lingkungan
hidup, pertahanan dan keamanan, serta hukum dan kinerja setiap lembaga harus
dihitung secara menyeluruh. Pasalnya, lingkup bidang kelautan telah ditangani
oleh berbagai depertemen dan instansi. Secara riil, DKP/KKP selama ini
dominannya hanya menangani sektor perikanan sebagai growth center. Jadi,
pembangunan kelautan memang tidak bisa hanya dipikul sepenuhnya oleh DKP/KKP. Tolok
ukur pembangunan kelautan dan keberhasilannya harus dilihat dari semua kinerja
lembaga yang berkaitan dengan kelautan.
Berkaitan dengan aransemen implementasi Kebijakan Kelautan Indonesia
(KKI), terutama berkaitan dengan fungsi dan peran serta koordinasi antar-lembaga,
berikut kami kutip dari buku Perumusan Kebijakan Kelautan Indonesia (DEKIN,
2010). Tentu dengan beberapa editing agar lebih mudah dipahami tanpa
mengurangi makna dan esensinya.
“Aransemen implementasi
kebijakan kelautan nasional meliputi: pertama, integrasi fungsi dan
kewenangan pengelolaan kelautan. Integrasi fungsi dan kewenangan ini sangat
penting mengingat pengelolaan kelautan merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Kegagalan dalam pengelolaan kelautan selama ini harus diakui memang
lebih banyak bersumber pada kegagalan institusional dalam mengelola kelautan
secara komprehensif dan integratif. Dalam konteks saat ini, fungsi dan
kewenangan masih tersegmentasi menurut sektor. Integrasi fungsi dan kewenangan
sangat diperlukan paling tidak dalam tataran blue print kebijakan yang
kemudian diperkuat oleh mekanisme hukum dan kelembagaan yang sesuai dengan
tingkat koordinasi yang diperlukan. Mengingat banyak lembaga yang terkait pada
level Departemen/Kementerian, maka paling tidak kebijakan integratif perlu dipayungi
oleh Keputusan Presiden (Keppres) atau Instruksi Presiden (Inpres) atau yang
lebih tinggi berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan bahkan Undang-Undang (UU).
Kebijakan integratif itu harus dipantau oleh lembaga independen yang
bertanggung-jawab langsung kepada Presiden.
Di Korea Selatan misalnya,
fungsi ini diemban oleh Korea Maritime Institute (KMI). Sedangkan di Malaysia,
fungsi ini dijalankan oleh Maritime Institute of Malaysia (MIMA). Lembaga ini
bertugas memberikan arahan bagi pembangunan kelautan saat ini maupun masa yang
akan datang. KMI bukan saja memliki fungsi riset, tetapi juga pengawasan dan advirsory
yang kuat bagi pemerintah Korea Selatan, khususnya untuk masalah-masalah yang
terkait dengan pembangunan kelautan. Di sini, fungsi ini sebenarnya dapat dilakukan
dengan memperkuat lembaga Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN).
Kedua, aransemen kelembagaan
implementasi kebijakan kelautan nasional. Dalam kerangka ini, kebijakan
pembangunan kelautan nasional harus didesain dan diformulasikan dalam bentuk dokumen
kebijakan nasional yang dapat dilaksanakan oleh DEKIN. Sementara itu,
implementasi perencanaan pembangunan kelautan nasional yang terintegrasi (integrated
ocean planning) dapat dilakukan oleh Bappenas dengan memperkuat direktorat
kelautannya menjadi salah satu unsur setingkat Deputi. Sedangkan untuk
perencanaan kebijakan ekonomi kelautan nasional dapat dikoordinasikan oleh
Menteri Koordinasi (Menko) Perekonomian di mana urusan kelautan sudah ada pada
unit setingkat Deputi yakni Kedeputian Pertanian dan Kelautan.
Ketiga, kelembagaan yang disusun
dalam pembangunan kelautan nasional memerlukan proses dan konsultasi yang
intensif antar-lembaga pemerintah sebagai lembaga yang menyusun kebijakan
dengan selalu berinteraksi dengan stakeholders. Dalam rangka menjalankan
kebijakan kelautan secara operasional, maka perlu disepakati fokus, kebijakan
dan institusi pelaksana. Misalnya, di bidang pendidikan, kebijakan Pemerintah
diarahkan kepada (antara lain) menguatkan wawasan dan budaya bahari dalam
Sistem Pendidikan Nasional dasar dan lanjutan. Institusi yang terkait adalah
Kementerian (Departemen) Pendidikan Nasional dan Departemen Teknis terkait.”
Dalam kaitannya dengan Kebijakan Kelautan Nasional, pakar
ekonomi politik kelautan Profesor Tridoyo Kusumastanto, yang juga aktif sebagai
Direktur Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor
(PKSPL-IPB), dan Ketua Tim Perumus KKI DEKIN, mengatakan: ”Kita sebenarnya
telah merumuskan ocean policy. Terlepas dari beberapa kekurangan yang
ada semestinya rumusan tersebut dapat dijadikan sebagai ocean policy.
Sebab, ocean policy sangat penting untuk menggerakkan pembangunan
kelautan nasional. Dengan adanya ocean policy tentu ada payung
kebijakan, strategi dan arah pembangunan kelautan nasional yang lebih jelas dan
terarah. Jadi, sesungguhnya tinggal kemauan politik (political will) Pemerintah
untuk melaksanakan dan menjalankan ocean policy yang telah kita rumuskan
dengan baik dan benar.”
Hal senada juga diungkapkan oleh Profesor Etty R. Agoes, pakar hukum
laut dari Universitas Padjadjaran (Bandung), yang juga tercatat sebagai Anggota
Tim Perumus KKI DEKIN. “Kita sudah menyusun rumusan tentang ocean policy.
Semestinya yang kurang diperbaiki dan yang tidak lagi sesuai dengan
perkembangan jaman dibuang. Yang terpenting harus ada ocean policy
sehingga pembangunan kelautan nasional dapat bergerak lebih cepat.”
Kemudian, berkaitan dengan koordinasi antar-lembaga dan instansi,
hampir semua narasumber penulisan buku ini mengusulkan agar dibentuk dan
dilaksanakan oleh Menko Kelautan (Maritim). Sebuah usulan yang cukup tepat
mengingat kompleksitas sektor dan kebijakan serta aktivitas dan span of
control bidang kelautan yang sangat luas. Karena itu, aransemen kelembagaan
kelautan dalam format birokrasi Indonesia adalah berbentuk Menteri Koordinator
Kelautan (Maritim) yang akan mengkoordinasikan kegiatan kelautan, baik di
lembaga Departemen maupun non-Departemen (Tridoyo Kusumastanto, 2003).
Begitu pula pakar ekonomi kelautan Son Diamar yang mengatakan
bahwa membangun negara kepulauan itu bertumpu pada 5 pilar strategi.
Masing-masing adalah membangun sosial-budaya; membangun atau mengembangkan
ekonomi yang belum berkembang dan terpuruk; menata ruang dan lingkungan hidup
laut; membangun pertahanan dan keamanan laut; serta membangun sistem hukum laut
nasional yang lebih berkarakter dan berorientasi pada negara kepulauan. “Karena
Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) sudah terbagi habis oleh Departemen lain
sedangkan kita ingin membangun kelima pilar tadi, maka untuk mengkoordinasinya
seharusnya selevel Menko. Kalau kita bicara pelayaran misalnya, maka pelayaran
itu menyangkut kapal dan ada industri perkapalan, perdagangan kapal, pelabuhan,
BUMN, pajak dan perbankan. Nah, semua itu harus dirajut secara sinergis.
Bagaimana merajut kebijakan antar-sektor dan lembaga itu adalah pekerjaan
Menko,” ujar Son Diamar.
Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan semasa Pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), Sarwono Kusumaatmadja, pun memberikan
persetujuannya soal usulan pembentukan Menko Kelautan. Namun, Sarwono mengingatkan
bahwa pekerjaan Menko akan berjalan efektif apabila diimbangi dengan anggaran
yang cukup. “Untuk mengkoordinir berbagai lembaga agar bekerja bersama-sama
tentu butuh anggaran. Kalau melakukan koordinasi hanya berbentuk imbauan, maka
koordinasi akan bergerak lamban, bahkan sulit diwujudkan.”
Foto-foto:
Beberapa acara yang dilakukan DEKIN
terkait program pembangunan kelautan nasional (tiga foto).
Keterpaduan Laut, Darat dan Udara
Laut adalah jati diri bangsa dan negara Indonesia. Sejarah
kebesaran dan kejayaan Nusantara Indonesia sejatinya adalah bangsa bahari yang
disegani dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Mengingat jati diri
sebagai bangsa bahari yang unggul dan luhur, kedaulatan atas laut yang sempat
“hilang” selama masa kolonial Hindia Belanda dan Jepang, lantas kembali
diperjuangkan dengan seteguh pemikiran dan sekuat daya upaya oleh para pendiri
bangsa ini setelah Indonesia merdeka. Selama berpuluh tahun kegigihan dan daya upaya mereka untuk
mengembalikan kedaulatan (sovereignity), hak-hak
berdaulat (sovereign rights), yurisdiksi (jurisdiction) dan zona kemaritiman
Indonesia, akhirnya
berbuah hasil.
Masalahnya, sepanjang lebih dari 50 tahun setelah
Indonesia merdeka hingga terbentuknya Departemen
Eksplorasi Laut dan kini menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan, pola pembangunan nasional yang kita tempuh
justru lebih berbasis kepada daratan (continental-based development).
Kita belum banyak memanfaatkan fakta geografis bahwa negeri maritim dan
predikat sebagai Negara Kelautan (Archipelago State) terbesar di muka bumi
ini beserta sumberdaya kelautan dan perikanan yang begitu melimpah-ruah sebagai
suatu keunggulan komparatif maupun kompetitif bangsa. Karena belum banyak dimanfaatkan dan dikelola dengan optimal, maka
kekayaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang demikian besar itu terasa masih
teronggok di dalam lautan. Layaknya raksasa yang sedang tertidur dengan
lelapnya (the sleeping giant). Betapa naif kita ini sebagai bangsa.
Boleh jadi, karena kenaifan kita yang kurang cerdas dalam memanfaatkan dan
mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan yang terhampar luas dari Sabang
sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote, itulah antara lain yang menyebabkan bangsa dan
negara Indonesia tidak maju-maju.
“Inilah tragedi bangsa Indonesia yang sebenarnya, yang membangun
negara kepulauan dengan konsep daratan,” tutur ekonom senior Dorodjatun
Kuntjoro-Jakti. Secara sederhana, Dorojatun memberikan contoh bahwa selama ini
Pemerintah terlalu sibuk membangun jalan tol yang investasinya sangat mahal dan
memerlukan waktu pembangunan yang panjang. Padahal, sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia seharusnya Pemerintah memperbanyak armada kapal laut
berukuran besar yang mampu menampung banyak kendaraan dan manusia sebagai
transportasi antar-pulau. “Selama kurang lebih 350 tahun kita telah dinina-bobokan
oleh taktik penjajah untuk melupakan kebesaran dan kejayaan sebagai bangsa bahari.
Masalahnya, selama lebih dari 50 tahun kita merdeka, kita pun masih tetap saja
melupakan hal itu,” tegas Dorodjatun, yang pernah menjabat Menko Perekonomian
di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputeri (2001-2004).
Bercermin dari kejayaan sejarah Nusantara, sebenarnya hal
itu mempertegas bahwa sumberdaya kelautan dan
perikanan yang melimpah-ruah, baik yang dapat diperbarui (renewable
resources) maupun tidak dapat diperbarui (unrenewable resource),
merupakan modal ekonomi (economic capital) yang sangat besar bagi
tumpuan pembangunan negeri bahari Indonesia. Sementara itu, jati diri Indonesia
sebagai bangsa bahari sungguh merupakan modal sosial-budaya (social-cultural
capital) yang dapat kita jadikan pijakan dan landasan dalam pembangunan
kelautan dan perikanan. Sedangkan keulungan dan keberanian serta kehebatan para
nelayan dalam menjelajah lautan luas pun bisa kita dijadikan sebagai modal SDM (human
capital) yang unggul.
Pendek kata, berangkat dari fakta dan realita seperti itu,
pembangunan kelautan sudah seharusnya kita jadikan sebagai pilar pembangunan
dan jangkar kedaulatan Nusantara Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia. Pembangunan kelautan seharusnya dijadikan sebagai salah satu penggerak
utama (prime mover), bahkan sebagai arus utama (mainstream),
pembangunan nasional sekaligus sebagai penderek kesejahteraan rakyat serta
pendorong kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
Fakta dan realita telah membuktikan bahwa pembangunan kelautan dan
perikanan memiliki dampak pengganda (multiplier effects) yang luas dalam
skala yang besar. Mulai dari sumbangsihnya bagi pertumbuhan ekonomi nasional
(dan devisa negara) yang cukup besar (pro-growth), penciptaan lapangan
kerja yang begitu banyak (pro-job), hingga peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang demikian tinggi (pro-poor). Untuk itu pula kawasan
pesisir, laut dan pulau-pulau kecil (terutama pulau-pulau kecil yang berbatasan
dengan negara lain) harus selalu kita jaga, kita manfaatkan, kita kembangkan
dan kita kelola dengan lebih baik. Kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil
harus mampu tampil sebagai pusat-pusat kemajuan dan kesejahteraan (prosperity
belt). Sebab, wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang maju dan
sejahtera otomatis bakal menjadi sabuk pengaman (security belt) yang
semakin mengukuhkan kedaulatan NKRI.
Mengingat kemanfaatan dan kemaslahatan yang ditimbulkan demikian
besar, maka paradigma pembangunan nasional harus segera diubah menjadi berbasis
kelautan (maritime/sea-based development). Berkiblat ke laut. Perubahan
paradigma pembangunan berbasis kelautan itu sendiri harus dilaksanakan melalui
semangat kebersamaan yang tinggi, yang dilandasi oleh regulasi nasional yang
lebih sistematis, holistik dan integratif sebagai implementasi dari prinsip
pembangunan negara kepulauan (kelautan) Indonesia.
Orientasi pembangunan masa lalu memang masih terkonsentrasi pada
daratan. Itu bukanlah pemikiran yang salah lantaran Tanah Pertiwi juga sangat
subur. Gemah ripah loh jinawi. Sampai-sampai grup musik legendaris Koes
Plus mendendangkannya sebagai, ”tongkat dan kayu jadi tanaman”.
Masalahnya, selama ini lautan yang memiliki kekayaan tidak terbatas itu justru
masih dipinggirkan. Pembangunan daratan dan lautan seharusnya saling mendukung
dan menopang. Di situlah keterpaduan antara pembangunan kelautan dan daratan, termasuk
udara, yang sejatinya harus dijadikan sebagai arah pembangunan dalam kerangka
menuju “Indonesia Baru” yang lebih maju dan sejahtera. Artinya, Kebijakan
Kelautan Nasional harus berprinsip dan bermatra keterpaduan pembangunan laut,
darat dan udara. Di samping itu, Kebijakan Kelautan Nasional juga harus
mengedepankan prinsip berkelanjutan (sustainable development);
partisipasi (participation);
pemanfaatan sumberdaya secara rasional (rational resource use);
pendekatan kehati-hatian (precautionary approach); kesejahteraan (welfare);
dan kerjasama (cooperation).
Dalam sebuah sajaknya yang berjudul Indonesia
Tanah Airku, tokoh Pergerakan Nasional dan Kemerdekaan Indonesia, Muhammad
Yamin, secara jelas menulis bahwa laut (air) dan daratan (tanah) merupakan
satu-kesatuan yang tidak terpisahkan bagi Indonesia. Berkaitan dengan hal ini, Sri-Edi
Swasono menulis bahwa kita perlu menegaskan Tanah Air Indonesia yang terdiri
dari sekitar 17.500 pulau itu disatukan oleh lautan. Berdasarkan pakem
“integrasi” ini, tegas harus dikatakan bahwa laut merupakan faktor pemersatu
Tanah Air Indonesia sebagai satu-kesatuan wilayah Nasional Indonesia yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote. Dengan
demikian keberadaan Indonesia sebagai negara sangat ditentukan oleh
kukuh-tidaknya lautan kita berperan sebagai perangkai seluruh daratan
pulau-pulau kita yang bertebaran di sekujur Nusantara. Laut tidak boleh
dikavling-kavling yang justru akan mematikan peran laut sebagai pemersatu Tanah
Air Indonesia.
Tanah Air yang berarti seluruh kepulauan dan kelautan
kita adalah satu-kesatuan wilayah guna meneguhkan ke-Nusantara-an kita, harus
dapat membentuk satu-kesatuan politik, sosial dan budaya, ekonomi, serta
petahanan dan keamanan. Untuk itu, sudah semestinyalah bahwa pembangunan
nasional Indonesia berorientasi daratan sekaligus kelautan secara utuh. Itulah
yang disebut “Wawasan Nusantara”. Seiring dengan “Wawasan Nusantara” sebagai
pijakan dan landasan, maka kita pun harus memiliki kemampuan “membedah” semua
samudera, proaktif dalam pelayaran global guna menegaskan posisi kita sebagai
negara maritim, dan berjaya dalam lautan mondial. Inilah Doktrin Kelautan yang
dianut oleh bangsa dan negara Indonesia.
Selama ini, basis dan orientasi parsial yang hanya
tertuju pada daratan dan kurang menyentuh kelautan tentulah sangat mahal dari
segi opportunity lost, sekaligus juga mengabaikan khittah
kemerdekaan dan pesan konstitusi negara (UUD 1945). Kekayaan laut kita sebagai
karunia Tuhan yang sangat luar biasa, melampaui sekadar jasa kemaritiman secara
konvensional. Lautan kita merupakan gudang terbesar di planet bumi yang
mengandung kekayaan bernilai sangat tinggi dan menakjubkan. Berbagai potensi
kelautan kita itu meliputi potensi industri, perdagangan dan jasa maritim,
potensi produksi lestari laut dan budidaya laut, potensi pariwisata bahari,
potensi industri bioteknologi kelautan, potensi migas, mineral dan
tambang-tambang lainnya, potensi Benda-benda Berharga Muatan Kapal-kapal
Tenggelam (BMKT), dan lain sebagainya.
Jamrud di Khatulistiwa. Gemah ripah loh jinawi, ratna mutu
manikam. Subur di darat, berkilau laksana permata di laut. Sebuah sebutan
yang memang pantas disandang oleh negeri maritim Indonesia yang kaya raya akan
sumberdaya kelautan ini. Sebuah karunia
dan anugerah besar telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Artinya, dengan karunia dan anugerah yang besar itu seharusnya bangsa Indonesia bersujud dan bersyukur kepada Tuhan
melalui unjuk kerja keras dan kerja cerdas guna menggapai kebesaran kejayaan
(kesejahteraan dan kemakmuran) bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena itu
saatnyalah kini, demikian menurut Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut,
Christina M. Rantetana, yang kini bertugas sebagai Staf Ahli Menko Polkam
Bidang Ideologi dan Konstitusi, mengatakan bahwa kita harus membuka lahan baru
bagi pembangunan nasional, yaitu laut. Yang ada dan yang telah kita perjuangkan
di daratan tetap kita jaga dan terus kembangkan, dalam waktu bersamaan kita wajib
membangun laut. Kata Christina, “Swasembada pangan (beras) dan lain-lain hasil
perjuangan kita di darat harus kita pertahankan dan kita kembangkan, sambil
kita concern membangun yang kita miliki di laut.”
Sekali lagi, kalau saja kita benar-benar tahu siapa sebenarnya
negeri tercinta Indonesia ini, lalu melakukan pembangunan ekonomi riil berbasis
daratan dan lautan, tentunya kita tidak akan menjadi bangsa-negara yang paria
seperti sekarang ini. Pasalnya, menurut kalkulasi pakar ekonomi kelautan Son
Diamar, Indonesia itu memiliki tanah daratan yang luas dan lautan yang kaya
sumberdaya. Kalau kita ingin sungguh-sungguh rakyat Indonesia hidup sejahtera,
kita cukup membangun dan mengembangkan Hutan Tanaman Industri seluas 3 juta
hektar; tanaman pangan (3 juta hektar) dan kebun (3 juta hektar); membangun
5.000 unit kapal, 50.000 unit perahu dan 100.000 hektar perikanan budidaya.
Juga, peternakan (3 juta ekor); minyak dan gas (migas) serta bahan-bahan
mineral yang berlimpah-ruah; membangun dan mengembangkan 10 Obyek dan Daya
Tarik Wisata (ODTW) kelas dunia, melayani 10% pangsa pasar kapal pesiar dunia,
dan 5% yachts Australia-Asia. Lalu membangun dan mengembangkan real
estate di kawasan perkotaan seluas 750.000 hektar; 60% listrik nasional
dari energi arus laut; serta maritim (menegakkan 100% asas cabotage pelayaran,
40% kapal Indonesia untuk keperluan ekspor-impor, pelayaran rakyat untuk
logistik nasional, pembuatan kapal 60% di dalam negeri). Dalam perhitungan Son
Diamar, keterpaduan pembangunan daratan-lautan itu dapat menciptakan lapangan
kerja sekitar 100 juta orang dan mampu menghidupi sekitar 250 juta penduduk.
Pembangunan ekonomi riil yang berbasis daratan dan kelautan,
termasuk kemajuan industri dan transportasi kelautan (maritim), tentunya akan berjalan
baik bila ditopang oleh sistem transportasi yang terpadu. Maka dari itu, agar
lebih berdaya-guna dalam mendorong kegiatan pembangunan nasional, sistem
transportasi terpadu antara darat-laut-udara harus diwujudkan. Di laut diwakili
oleh moda transportasi kapal, di udara dilakukan oleh pesawat terbang, serta di
daratan terutama harus dilaksanakan oleh sistem dan jaringan perkereta-apian (di
samping mobil) yang handal. Selain kapal, moda kereta api dikenal sebagai alat
transportasi yang murah, bermuatan (penumpang orang dan barang) yang banyak, dan
ramah lingkungan.
Foto-foto:
Transportasi terpadu: Mobil, Kereta Api, Kapal Laut, dan Pesawat
Terbang.
Gerakan Nasional “Revolusi Biru”
Alfred Thayer Mahan (1965) menulis,
terdapat enam syarat untuk mewujudkan Negara Maritim. Keenam syarat itu adalah
lokasi geografis (geographical position), karakteristik dari tanah dan
pantai (phisical confirmation), luas wilayah (extent of teritory),
jumlah penduduk (number of population), karakter penduduk (character
of the people), dan karakter pemerintah (character of government). Karakter
pemerintah antara lain menyangkut kemauan politik (political will) dalam
membuat Kebijakan Kelautan Nasional, sedangkan karakter penduduk berkaitan
dengan jati diri sebagai bangsa bahari. Selain belum memiliki karakter pemerintahan,
Indonesia rasanya juga belum mengkristalisasi karakter sebagai bangsa
(penduduk) bahari. Oleh karena itu, agar karakter dan jati diri penduduk
(rakyat) Indonesia benar-benar sebagai bangsa bahari, maka Pemerintah harus
mengibarkan Kebijakan Kelautan Nasional (National Ocean Policy) dalam
program “Gerakan Nasional Revolusi Biru”.
Sebuah program yang ditujukan agar bangsa
Indonesia senantiasa menyadari bahwa kehidupan masa depann kita bertumpu pada
lautan. Dengan demikian, bangsa Indonesia akan selalu menoleh, menggali dan
memanfaatkan laut sebagai tulang punggung kekuatan bangsa dan negara. Namun, seindah-indahnya
Kebijakan Kelautan Nasional yang kita gulirkan tidak akan terimplementasi dengan
baik tanpa adanya program “Gerakan Nasional Revolusi Biru” yang dilaksanakan
secara masif. Lewat “Gerakan Nasional Revolusi Biru” secara masif tentu semua
pemangku kepentingan (stakeholders), segenap elemen kekuatan bangsa dan
negara, dan bahkan seluruh rakyat Indonesia akan terlibat dan melibatkan diri.
Laksamana Pertama TNI-AL Christina M. Rantetana mengatakan
bahwa seperti pernah dilakukan pada masa lalu dalam mewujudkan swasembada pangan
(beras), pembangunan kelautan nasional harus dilaksanakan melalui gerakan
nasional yang masif. Kata Christina, “Melalui gerakan nasional maka seluruh
masyarakat akan berpartisipasi aktif dalam pembangunan kelautan nasional.” Hal
senada dikatakan pula oleh pakar militer dan pertahanan-keamanan yang juga
peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jaleswari
Pramodhawardani, “Sudah saatnya dilakukan reorientasi nilai atau paradigma yang
berorientasi daratan agar digeser, paling tidak dilakukan secara bertahap, ke
paradigma maritim. Kalau tidak, bisa dipastikan bahwa semboyan Jalasveva
Jayamahe nantinya akan benar-benar hanya sebagai slogan belaka. Lebih dari
itu, gerakan nasional mencintai laut harus dilaksanakan secara masif sehingga
masyarakat mengetahui, mengerti dan memahami bahwa kebesaran dan kejayaan
bangsa Indonesia ke depan memang berada di laut.”
Begitu pula dengan Wakil
Menteri Perindustrian, Alex Retraubun, sosok yang cukup lama berkecimpung di
DKP/KKP, menuturkan bahwa logika tercapainya swesembada pangan (beras) dapat
digunakan sebagai tolok ukur atau pembelajaran dalam membangun kelautan sebagai
andalan kehidupan bangsa dan negara. Terlepas dari kelemahan di masa lalu,
tentu kita dapat belajar dari program “Gerakan Nasional Revolusi Hijau” yang
pernah digulirkan oleh Pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Presiden
Soeharto. Bukan hanya dilandasi oleh visi, misi dan kebijakan pertanian yang kuat
dan integratif, pelaksanaan “Gerakan Nasional Revolusi Hijau” juga langsung
didukung oleh Presiden, DPR-MPR, para Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota,
Camat, Kepala Desa/Lurah, hingga seluruh rakyat Indonesia. Perangkat
infrastruktur, berbagai fasilitas dan kemudahan pembiayaan juga disediakan guna
mewujudkan tercapainya swasembada pangan (beras) dan pengembangan pertanian
nasional pada umumnya.
Sekadar gambaran, berikut
sekilas cerita program “Gerakan Nasional Revolusi Hijau” yang dicanangkan oleh
Presiden Soeharto. Memasuki
awal tahun 1970-an, bayang-bayang krisis pangan semakin menghantui Indonesia.
Penyebab utamanya, sejak Kemerdekaan hingga masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia
masih banyak bergantung kepada komoditas pertanian (pangan) impor, termasuk
beras. Ketika tampuk pemerintahan beralih kepada Orde Baru, berbagai upaya
telah dilakukan oleh Presiden Soeharto. Namun, lantaran produksi padi (beras)
dalam negeri jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan penduduk dan kebutuhan
konsumsi, maka ketika harga beras di pasar internasional melambung tinggi,
Indonesia pun langsung terkena dampaknya. Namun beruntunglah karena kala itu
Indonesia masih tertolong oleh harga minyak (oil boom) sehingga mampu menanggulangi
tingginya harga beras dunia.
Melihat
kondisi yang kurang menggembirakan itu, Presiden Soeharto segera mengggaungkan program
“Revolusi Hijau” guna menggenjot produksi padi (beras). Lahirnya ”Revolusi Hijau”
itu sendiri bermula dari keberhasilan pakar genetika dari AS, Norman Borlaug,
sebagai upaya melepaskan beberapa negara sedang berkembang dari krisis pangan
pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Misalnya, Norman membantu
mengembangkan pertanian di Meksiko, melalui penemuan varietas baru bibit gandum
yang dapat menghasilkan bulir gandum lebih banyak dari sebelumnya. Gandum yang
lebih tahan terhadap terpaan angin dan responsif terhadap aplikasi pupuk. Benih
gandum itu sendiri merupakan hasil penyilangan antara bibit gandum dari Meksiko
dengan dari Jepang (Norin-10).
Dengan
varietas baru itu, Norman Borlaug mampu menjadikan Meksiko terhindar dari
ancaman kelaparan. Bahkan, Meksiko bisa berswasembada pangan. Setelah sukses
mengantarkan Meksiko keluar dari krisis pangan, Norman membantu pemerintah
India dan Pakistan, yang kala itu juga sedang dilanda ancaman serupa. Di India,
dia menebarkan ribuan ton benih gandum yang dibawa dari Meksiko. Selain itu,
dia berhasil meyakinkan pemerintah India dan Pakistan untuk mengubah strategi
pengembangan pertaniannya melalui sosialisasi intensif pangan gandum kepada
masyarakat, menyebarkan pupuk dengan lebih agresif, serta membuka akses kredit
perbankan yang lebih luas bagi petani. Hasilnya, India dan Pakistan pun
terlepas dari bencana kelaparan.
Terinspirasi oleh
keberhasilan Norman dalam melahirkan benih gandum baru, The Rockefeller
Foundation dan The Ford Foundation mendirikan International Rice Research
Institute (IRRI) di Filipina. Lembaga riset itu kemudian menghasilkan
varietas-varietas padi baru yang umurnya (hingga panen) lebih pendek, lebih
tahan hama dan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan varietas
sebelumnya. Pemerintah
Orde Baru pun mulai bekerjasama dengan IRRI.
Sejalan
dengan doktrin modernisasi, cara pertanian lama ditinggalkan dan para petani
diharuskan menanam bibit keluaran IRRI. Untuk meningkatkan produksi padi diperkenalkanlah benih padi
VUTW (varietas unggul tahan wereng), yang antara lain berupa benih PB-5 dan
PB-8 yang saat itu dikenal sebagai “benih padi ajaib” karena hasilnya memang spektakuler.
Disusul benih-benih unggul keluaran IRRI seperti IR36, IR48, IR54, IR64 dan
lain-lain. Benih-benih unggul itu membutuhkan sistem pengairan yang teratur
sehingga pembangunan infrastruktur irigasi dilakukan secara besar-besaran.
Introduksi benih baru juga membawa konsekuensi dalam penggunaan pupuk secara
besar-besaran, seperti pupuk urea, TSP, KCL dan pestisida, yang di antaranya
diproduksi oleh beberapa pabrik pupuk dalam negeri.
Ketika
itu, Pemerintah langsung menjadi komandan lapangan penanaman padi. Para
penyuluh pertanian dikerahkan. Untuk menopang dan memperlancar program “Gerakan
Nasional Revolusi Hijau”, pemerintahan Presiden Soeharto pun menyediakan dan
mengucurkan dana dalam jumlah besar. Dana itu sebagian besar didukung oleh
bantuan atau pinjaman dari luar negeri. Sepanjang dekade 1970-an, sektor
pertanian, terutama padi (beras), mendapat alokasi dana hingga 30%. Begitu pula
dengan pembangunan irigasi dan prasarana yang diperlukan untuk meningkatkan
produksi padi. Juga pembangunan jalan sehingga petani memiliki kemudahan akses
ke sarana produksi seperti pupuk dan obat-obatan, dan pemasaran hasil pertanian.
Prestasi
paling prestisius yang berhasil dicapai dari program “Gerakan Nasional Revolusi
Hijau” ini adalah terwujudnya swasembada beras (pangan) di Indonesia pada tahun
1984/1985. Dengan pencapaian swasembada pangan itulah yang kemudian
mengantarkan Presiden Soeharto memperoleh penghargaan dari Organisasi Pangan
Dunia (FAO) di Roma, Italia. Bahkan, Indonesia pernah dijadikan contoh sukses (role
model) bagi negara-negara sedang berkembang lainnya di Dunia Ketiga dalam
upaya mengentaskan masyarakat dari kelaparan dan kekurangan pangan.
Intinya, dalam
keadaan negara mendekati kebangkrutan dan sebagian besar rakyat didera
kemiskinan yang akut, Pemerintah harus cepat-cepat mengambil langkah politik yang
“revolusioner” untuk keluar dari kemelut. Pemerintah harus mampu membawa keluar
rakyatnya dari lilitan kemiskinan dan bencana kelaparan. Makanya, pada awal
pemerintahannya Presiden Soeharto fokus pada pembangunan pertanian, terutama
untuk mendongkrak produksi pangan (padi). Sekadar pengetahuan, “Revolusi Hijau”
merupakan perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional ke cara yang
lebih modern (proses modernisasi). “Revolusi Hijau” dikenal pula sebagai suatu
revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan ilmiah berupa benih unggul
baru dari berbagai varietas gandum, padi dan jagung yang berdampak pada
tingginya hasil panen. “Revolusi Hijau” bertujuan mengubah para petani gaya
lama (peasant) menjadi petani gaya baru (farmers). Sebab itu,
pada Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) I sebanyak 15 dari 22 program
pembangunan nasional diarahkan kepada upaya peningkatan produksi pangan.
Di antara program tersebut adalah pembentukan perusahaan
perbenihan, pengembangan pusat benih padi, rehabilitasi kebun pembenihan,
proyek padi gogo rancah, proyek padi lahan kering, kompetisi produksi
padi, mekanisasi pertanian, dan pengembangan riset pertanian. Selain itu, masih
ada proyek rehabilitasi irigasi, pengendalian erosi tanah, gerakan manajemen
air, dan upaya perluasan jaringan irigasi. Tujuannya jelas yakni mendorong
peningkatan produksi padi. Pembangunan pertanian menjadi titik berat karena
mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian. Tampak ada upaya
membawa masyarakat tradisional petani ke tahap pra-lepas landas dengan
mendatangkan modal (terutama dalam wujud proyek) ke desa-desa.
Masuk Repelita II (1974/1975–1978/1979), upaya menggenjot
produksi beras terus berjalan. Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan,
sandang, perumahan, sarana dan prasarana, menyejahterakan rakyat dan memperluas
kesempatan kerja. Dalam upaya menjadikan petani-petani gaya baru (farmers),
Pemerintah memperkenalkan Kredit Investasi Kecil (KIK) dan BRI menggelontorkan
paket kredit Bimas (Bimbingan Massal). Termasuk pula memperkenalkan Koperasi Unit Desa (KUD) dan
Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Petani tidak sekadar menanam padi namun juga
harus mampu bersinggungan atau berurusan dengan lembaga keuangan, baik untuk
pembiayaan pra-produksi maupun pasca-panen. Upaya membawa masuk modal ke desa
semakin diperluas. Untuk meningkatkan kualitas petani, diperkenalkan kredo ”Intensifikasi
Pertanian lewat Panca Usaha Tani”.
Intinya, bertanilah dengan irigasi yang baik, dengan
benih yang unggul, dengan pemupukan yang benar, dengan pengolahan tanah yang
tepat, dan dengan pemberantasan hama yang tepat sasaran. Pendek kata, dua Repelita itu berjalan
dengan fokus pada intensifikasi pertanian. Pemerintah berusaha menyingkirkan
hambatan-hambatan pertumbuhan ekonomi. Pelaksanaan pembangunan di Repelita II
ini relatif berhasil, pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada
awal Pemerintahan Orde Baru, laju inflasi bertengger di angka 60% dan pada
akhir Repelita Repelita II menjadi cuma 9,5%.
Dengan pondasi ekonomi yang mulai membaik, perjalanan
pembangunan bergulir ke Repelita III (1979/1980–1983/1984), di mana Pemerintah
mulai berani memasang target produksi beras minimal pada angka 20,5 juta ton
per tahun, pertumbuhan produksi 4,28 persen per tahun, luas lahan sawah 9,9
juta hektar dan produksi 2 ton GKG (Gabah Kering Giling) per hektar. Pada
periode ini, pembangunan diwujudkan dengan mendorong transmigrasi (sebagai
salah satu cara memperluas lahan persawahan baru dengan membuka hutan),
pengembangan desa, pembentukan kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa
(Kelompencapir) di kalangan petani, program pengembangan pemuda, pemberdayaan
perempuan, dan riset pengembangan sumberdaya air dan pertanian. Ditambah lagi
dengan pengembangan saluran irigasi tersier/kuartier, pencetakan sawah baru,
dan perawatan saluran irigasi yang sudah eksisting.
Di masa itu, pembangunan pertanian tidak semata-mata
berkutat pada intensifikasi tetapi berusaha melakukan ekstensifikasi pertanian.
Sebuah langkah memperluas lahan tanah yang dapat ditanami dengan pembukaan
lahan-lahan baru, antara lain dengan cara mengubah lahan tandus menjadi layak tanam
dan membuka hutan. Petani terus dipacu berproduksi. Pertanian memang masih
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Minimal tidak lagi mengimpor
beras. Tahun 1984/1985, Repelita III bermetamorfosa menjadi Repelita IV. Target
produksi padi dinaikkan menjadi 28,6 juta ton dengan angka pertumbuhan 1-1,2%
per tahun, luas lahan sawah bertambah jadi 9,7 juta hektar dengan produksi 2,94
ton per hektar. Titik berat periode ini adalah sektor pertanian menuju
swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin
industri sendiri.
Terlihat mulai ada usaha mengembangkan industri selain
pertanian. Pemerintah terus berupaya melaksanakan program pendidikan dan
latihan (diklat) pertanian, program riset pengembangan sumberdaya air dan
pertanian, dan terus mendorong program transmigrasi. Setelah melewati tiga
Repelita, pada tahun 1984/1985 Indonesia mampu mengubah status dari negara
pengimpor beras terbesar menjadi bangsa yang memenuhi kebutuhan pangannya
sendiri (swasembada beras). Sebuah prestasi yang kemudian
juga diapresiasi oleh organisasi pangan dan pertanian dunia Food and
Agriculture Organization (FAO).
Selain “Revolusi Hijau” dalam
pertanian, kita juga dapat belajar dari “Gerakan Nasional Keluarga Berencana
(KB)” yang dimotori oleh Haryono Suyono, Kepala BKKBN (Badan Koordinasi
Kekuarga Berencana Nasional) dan Menko Kesejahteraan Rakyat semasa Pemerintahan
Orde Baru. Bukan hanya dilandasi oleh visi dan kebijakan pertanian yang kuat
dan integratif, “Gerakan Nasional KB” juga didukung oleh Presiden, DPR-MPR,
para Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Kepala Desa/Lurah, hingga
seluruh rakyat Indonesia. Perangkat infrastruktur dan berbagai fasilitas, mulai
dari rumah sakit, dokter hingga Posyandu, pun tersedia dengan relative memadai.
Lebih dari itu, kunci utama keberhasilannya terletak pada kegiatan sosialisasi
yang dilaksanakan tidak pernah berhenti, berulang-ulang dan terus-menerus.
Kini, dalam rangka menjadikan
Indonesia sebagai negara penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di
dunia pada tahun 2015, sebagai motor dan motivator penggerak pembangunan
kelautan nasional Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menggagas
program “Revolusi Biru” sebagai grand strategy-nya. Strategi besar itu
diharapkan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan nelayan serta pembudidaya
ikan. Untuk itu, KKP menempatkan perikanan budidaya sebagai ujung tombak dalam
memacu produksi perikanan nasional. “Revolusi Biru” yang digagas oleh KKP
itu meliputi: (1). Memperkuat kelembagaan dan SDM secara terintegrasi; (2). Mengelola
sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan; (3). Meningkatkan
produktivitas dan daya saing berbasis pengetahuan; dan (4). Memperluas akses
pasar domestik dan internasional.
Pertemuan antara unsur KKP, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota merupakan bagian dalam meningkatkan produksi perikanan. Berbagai
pertemuan itu telah menghasilkan komitmen gerakan bersama dalam peningkatan
produksi perikanan, khususnya dalam upaya memacu produksi perikanan budidaya. Pada
tahun 2009, produksi perikanan baru mencapai 10,065 juta ton, tetapi tahun 2010
telah menjadi 10,76 juta ton dan tahun 2014 ditargetkan mencapai 22,39 juta
ton. Produksi perikanan sebagian besar dipacu dari perikanan budidaya, yaitu
sebesar 5,38 juta ton pada tahun 2010 dan 16,89 juta ton pada tahun 2014, atau
meningkat sebesar 353%. Produksi perikanan akan ditransformasi, bila sebelumnya
mengutamakan perikanan tangkap sebagai tulang punggung maka ke depan diarahkan
ke perikanan budidaya dengan tetap berpegang pada penerapan Cara Budidaya Ikan
Yang Baik (CBIB) atau Good Aquaculture Practices (GAP) sehingga memenuhi
jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan sesuai yang dipersyaratkan oleh pasar
global.
Peningkatan produksi ditempuh dengan cara ekstensifikasi untuk
komoditas rumput laut, lele, patin, nila, kerapu, kakap, mas dan gurami.
Sedangkan untuk komodias udang windu dan bandeng dipacu produksinya melalui
intensifikasi tambak tradisional. “Program Minapolitan” terus dipacu
pengembangannya guna mendukung peningkatan produksi, baik perikanan budidaya
maupun tangkap. Salah satunya adalah dengan mengembangkan Kawasan Minapolitan,
yaitu kawasan ekonomi yang terdiri dari sentra-sentara produksi dan perdagangan
komoditas perikanan, pelayanan jasa, dan kegiatan pendukung lainnya. Dengan
kata lain, kawasan minapolitan dijadikan sebagai titik-titik pertumbuhan
ekonomi perikanan.
Selain itu, KKP juga melaksanakan program restrukturisasi armada
perikanan nasional. Dalam al ini, KKP memberlakukan program zero growth
untuk armada perahu tanpa motor, sedangkan perahu tempel pertumbuhannya
dibatasi 2% per tahun. Armada kapal dengan tonase di bawah 5 Gross Ton (GT)
pertumbuhannya diarahkan sekitar 3%. Untuk armada kapal menengah yaitu 5-10 GT
dipacu untuk bisa tumbuh hingga 8%, sementara armada 10-30 GT sampai 12%, dan armada
yang paling besar adalah 55% dalam lima tahun. Restrukturisasi ini dimaksudkan
agar armada perikanan nasional mampu beroperasi di zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Dalam upaya meningkatkan pendapatan nelayan, KKP mengusulkan
kepada Presiden untuk mengadakan 1.000 unit kapal penangkap ikan yang berukuran
30-60 GT senilai Rp1,5 triliun selama lima tahun. Ini akan mendorong
peningkatan produktivitas dan pendapatan nelayan karena mampu mengakses
perairan yang lebih jauh dari pantai dan menggeser serta mengurangi tekanan
sumberdaya ikan di pantai serta konflik kepentingan antar-nelayan. Upaya
tersebut tentu dilakukan dengan memperhatikan ketentuan internasional, baik
yang terkandung dalam Code of Conduct for Fisheries (CCRF) maupun
ketentuan atau kesepakatan internasional, termasuk yang dikeluarkan oleh
organisasi manajemen perikanan regional atau Regional Fisheries Management
Organization (RFMOs).
KKP pun menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang membahas
dua agenda besar, yaitu pertama, akselerasi pembangunan kelautan dan
perikanan untuk kesejahteraan masyarakat. Kedua, kebijakan, program dan
kegiatan prioritas 2010-2014 yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas,
daya saing, akses pasar, dan penguatan kelembagaan dan SDM. Dua agenda itu
dibahas bersama para pimpinan KKP dan Pemerintah Daerah (Pemda). Tema Rakernas
adalah: Akselerasi Pembangunan Kelautan dan Perikanan untuk Kesejahteraan
Masyarakat. Kegiatan tadi dihadiri oleh beberapa Menteri terkait
pembangunan kelautan dan perikanan nasional, anggota DPR (terutama Komisi IV), Gubernur,
Bupati, Walikota, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi, Kabupaten dan Kota
seluruh Indonesia, para pakar dari Perguruan Tinggi, dan perwakilan asosiasi
kelautan dan perikanan.
Pendek kata, KKP telah menelurkan sebuah gagasan yang tepat. Semoga
gagasan itu juga diwujudkan dalam “Gerakan Nasional Revolusi Biru” yang melibatkan
dukungan seluruh elemen kekuatan bangsa dan negara secara sistemik, integratif
dan koordinatif sehingga bisa mengikuti jejak sukses “Gerakan Nasional Revolusi
Hijau” dan “Gerakan Nasional KB”, dalam pembangunan kelautan dan perikanan.
Foto-foto:
Para petani dalam Gerakan Nasional “Revolusi Hijau”,
Presiden Soeharto menerima penghargaan SWASEMBADA PANGAN
(BERAS), sebuah kegiatan “Gerakan Nasional Keluarga Berencana (KB)”.
Boks Tulisan:
Pemimpin dan Kepemimpinan Adalah Kuncinya
Sebagai sebuah sistem, keberhasilan Pembangunan (Kebijakan)
Kelautan Nasional jelas sangat tergantung pada sebuah tim yang solid dan handal.
Dan, mengutip pendapat pakar organisasi dan menejemen Andrew E.B. Tani (2003), bahwa
jantung dari sebuah tim itu adalah pemimpin. Artinya, sebagai jantung tim,
pemimpinlah yang menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah tim. Dengan kata
lain, keberhasilan Pembangunan (Kebijakan) Kelautan Nasional sangat ditentukan oleh
pemimpin dan kepemimpinan negeri ini.
Karena itu, agar laut benar-benar menjadi sumber kebesaran dan
keyajaan bangsa dan negara pada masa datang, Negara kelautan (Kepulauan) Indonesia
jelas sangat membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki visi kelautan yang
kuat. Juga hati (nilai-nilai yang unggul dan luhur) dan langkah penuh
keteladanan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pemimpin itu utamanya
adalah Presiden.
Untuk mewujudkan kebesaran dan kejayaan negeri ini, Presiden harus
mengarahkan, menggali dan memanfaatkan laut sebagai tulang punggung kekuatan serta
kemajuan bangsa dan negara Indonesia. Pemimpin besar pada era PD II yang juga
Perdana Menteri Inggris, Sir Winston Churcil, menuturkan bahwa kekuatan dan
kualitas seorang pemimpin itu terletak pada visinya. Visi adalah pandangan jauh
ke depan, sebagai lampu penerang dan jalan penunjuk bagi arah yang hendak
dituju. Visi bagaikan mercu suar yang memberi petunjuk dan tuntunan ke mana
kapal-kapal mesti menentukan haluan dan arah pelayarannya. Visi seperti kompas
yang berfungsi sebagai the economic stewardship, bahkan juga bisa
menjadi politic stewardship, social stewardship dan lain-lain.
Visi kelautan presiden yang kuat itu, di antaranya harus
diformulasikan dalam bentuk Kebijakan Kelautan Nasional (National Ocean
Policy) sehingga tidak hanya indah di dalam kepada (pikiran) saja. Berkenaan
dengan itu, Presiden harus mampu menjalin kesamaan visi dengan pimpinan negara
lainnya, terutama DPR yang juga harus memiliki visi Negara Kelautan
(Kepulauan). Kemudian, di antara pimpinan negara membulatkan kemauan politik (political
will) guna merumuskan dan menetapkan cetak biru (blue print) Kebijakan
Kelautan Nasional sebagai landasan menuju keberhasilan pembangunan kelautan
nasional. Kebijakan Kelautan Nasional adalah platform, pilar dan payung kebijakan,
strategi dan arah implementasi pembangunan kelautan nasional Indonesia.
Dalam blue print kebijakan kelautan nasional, DPR harus
memberikan guideline hukum untuk dilaksanakan Presiden sehingga ada
kepastian hukum. Dukungan DPR kepada Presiden dalam penyusunan anggaran juga
sangat penting guna meningkatkan kapasitas pembangunan kelautan nasional. Setelah
blue print kebijakan kelautan nasional terbentuk, Presiden harus mengimplementasikannya
secara konsisten. Sementara itu, DPR mengawal dan mengawasi apa yang
dilaksanakan Presiden sesuai dengan blue print. Sedangkan lembaga yudikatif
(peradilan) berperan dan bertanggung-jawab dalam penegakan hukumnya.
Setelah blue print kebijakan kelautan terbentuk, Presiden juga
harus melakukan langkah-langkah manajerial yang kongkrit. Antara lain dengan
memberdayakan dan mendayagunakan semua pemimpin Kementerian dan lembaga di
bawahnya yang terkait dengan pembangunan (kebijakan) kelautan nasional. Untuk
itu pula, sebagai pemimpin, para Menteri harus memiliki visi kelautan yang
kuat. Sekali lagi, menurut Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun, “Idealnya,
menurut saya, political will di kelautan itu ukurannya adalah bagaimana
negara (Pemerintah) memanfaatkan semua Kementerian untuk ‘mengeroyok’ kelautan
dan perikanan sehingga kelautan dan perikanan menjadi andalan kehidupan perekonomian
bangsa.” Mengombinasikan kecakapan memimpin dan manajerial (manager-leader)
itulah sesungguhnya yang dapat menghasilkan kompetensi seorang Presiden yang optimal
dalam mencapai hasil maksimal. Di sini, kata pakar kepemimpinan kenamaan dunia
Peter F. Drucker, “Anda akan sukses menjadi pemimpin jika Anda memiliki
kemampuan manajerial. Namun, jika Anda menjadi manajer tanpa kecakapan
memimpin, Anda akan sangat mudah terjebak menjadi seorang birokrat.”
Presiden sebagai manager-leader bangsa-negara bukanlah sekadar
berperan sebagai pemain biola tunggal. Namun, layaknya seorang konduktor dalam
sebuah orkestra. Gerakan tangannya menginstruksikan penabuh gendang, pemain
biola, pemetik gitar, peniup terompet dan lainnya, untuk menyajikan irama musik
yang menggelora, indah dan menyentuh hati. Irama yang menggetarkan setiap sudut
ruang dan relung hati seluruh anak bangsa Indonesia. Irama yang melambangkan
keteraturan dan saling melengkapi guna menggapai hasil yang baik dengan cara
yang benar.
Pembangunan kelautan nasional juga harus melibatkan dan didukung
oleh para pemimpin Pemerintah Daerah. Dalam hal ini, perencanaan dan
implementasi Kebijakan Kelautan Nasional harus melibatkan peran antar-institusi Pemerintah Pusat dan
Pemda. Berkaitan dengan itu pula, pelaksanaan Otonomi Daerah harus tetap
mengacu kepada pakem-pakem Kebijakan Kelautan Nasional. Otonomi Daerah maupun Otonomi Khusus tidak berarti bahwa daerah
berjalan sendiri-sendiri, melainkan justru daerah harus memperkukuh dan
mendukung Kebijakan Kelautan Nasional secara efektif demi kepentingan bersama nasional. Begitu pula
dengan kerjasama di antara daerah-daerah otonom harus ditingkatkan dalam
pengelolaan SDA kelautan sesuai karakteristik dan kapasitas yang dimiliki
masing-masing daerah. Di sinilah pentingnya pemimpin dan kepemimpinan daerah
juga mesti memiliki visi kelautan yang kuat.
Lebih dari itu, pembangunan (kebijakan) kelautan nasional harus
disosialisasikan kepada seluruh rakyat Indonesia secara terus-menerus, berulang-ulang
dan tidak pernah kenal berhenti. Dengan begitu, seluruh rakyat Indonesia akan memiliki
karakter dan jati diri sebagai bangsa bahari. Pendek kata, visi dan kebijakan kelautan
nasional yang kuat dan integratif itu harus “dibumikan” menjadi program “Gerakan
Nasional Revolusi Biru” sehingga bangsa dan negara selalu menoleh, mengerti dan
memahami bahwa kebesaran dan kejayaan bangsa Indonesia pada masa datang berada
di laut. Melalui program “Gerakan Nasional Revolusi Biru”, seluruh rakyat
Indonesia juga akan selalu mengarahkan, menggali, dan memanfaatkan laut sebagai
tulang punggung kekuatan bangsa dan negara Indonesia.
Sebagai orang nomor satu sekaligus sebagai “bapak bangsa” di
negeri ini, Presiden harus menjadi pemegang tongkat komando “Gerakan Nasional
Revolusi Biru”. Perangkat infrastruktur, fasilitas dan kemudahan pembiayaan juga
harus disiapkan dan disediakan guna mewujudkan kebesaran dan kejayaan masa
depan di laut. Dari sisi infrastruktur, Indonesia harus memiliki banyak kapal,
pelabuhan dan sarana-prasarana perhubungan laut lainnya. Dari sisi fasilitas dan
pembiayaan, bisa melalui pembiayaan rutin (APBN), pinjaman asing dan hibah.
Secara lebih luas, kita pun perlu membentuk Indonesia Maritime Fund dengan
melibatkan banyak pihak dan sumber pembiayaan, seperti alokasi kredit
perbankan, investasi BUMN dan perusahaan swasta nasional, kontribusi stakeholders,
insurance fund dan dana pensiun. Perijinan dan pelayanan birokrasi harus
pula semakin dipermudah.
Yang jelas, kearifan lokal negeri ini telah mengajarkan tentang
filosofi sapu lidi. Jika hanya satu-satu sapu lidi, tentu tidak akan memiliki
kekuatan dan manfaat yang optimal. Namun, apabila sapu lidi itu mau menyatu menjadi
sebuah ikatan sapu, tentulah akan memiliki kekuatan dan manfaat yang besar.
Makanya, apabila pembangunan kelautan nasional dikerjakan dalam kebersamaan,
jelas akan menjadi lebih ringan, cepat dan efektif. Produktivitas menjadi
tinggi serta bermanfaat bagi bangsa dan negara ketimbang dikerjakan
sendiri-sendiri (parsial dan sektoral). Arah (visi) dan tujuan (misi) yang
hendak diwujudkan (kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia melalui
pembangunan kelautan nasional) pun menjadi lebih mudah diraih dengan kerjasama
tim yang solid, handal dan tangguh yang dikomandani oleh seorang pemimpin yang
memiliki visi (wawasan jauh ke depan), hati (nilai-nilai yang unggul dan luhur)
dan langkah penuh keteladanan. Kepemimpinan yang melayani dan memberdayakan
segenap potensi besar yang dimiliki oleh bangsa dan negara demi kemajuan dan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. ***
No comments:
Post a Comment