Direktur Lembaga Analisis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan
(Elkape), Germant Anggent, menilai koordinasi kementerian kesehatan (Kemenkes)
lemah dalam mempersiapkan pelaksanaan BPJS Kesehatan. Menurutnya, hal itu
terlihat jelas dalam diskusi antara Menkes, Nafsiah Mboi, beserta jajarannya
dengan perwakilan serikat pekerja yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan
Sosial (KAJS) medio Agustus 2013 di kantor Kemenkes, Jakarta.
Padahal, peran Kemenkes bagi Anggent sangat penting
menentukan berjalan atau tidaknya BPJS Kesehatan. Pasalnya, Kemenkes menjadi
kementerian utama untuk menelurkan berbagai peraturan pelaksana dan operasional
yang kelak digunakan sebagai basis pelaksanaan BPJS Kesehatan. Namun, dalam
diskusi itu Anggent melihat koordinasi antara Menkes, Wamenkes dan kelompok
kerja (Pokja) yang dibentuk merancang peraturan pelaksana BPJS Kesehatan
tergolong minim.
Misalnya, ketika membahas jumlah peserta penerima bantuan
iuran (PBI), Anggent menilai Menkes tidak mengetahui jika serikat pekerja
menginginkan agar 156 juta orang harus tercakup ketika BPJS Kesehatan
beroperasi tahun depan. Tentu saja jumlah itu bukan hanya mencakup masyarakat
yang berstatus sebagai pekerja di sektor formal, tapi guru honorer, buruh tani
dan nelayan.
Sayangnya, dalam diskusi itu Menkes masih berpandangan bahwa
peserta PBI hanya 86,4 juta orang saja sebagaimana hasil rapat koordinasi antar
kementerian beberapa waktu lalu. Padahal, selama ini serikat pekerja sudah
menyuarakan tuntutan itu dalam waktu yang cukup lama. Oleh karenanya, Anggent
merasa Pokja BPJS Kesehatan tidak tanggap atas situasi yang berkembang di
masyarakat. Ujungnya, tuntutan serikat pekerja tidak diakomodir dengan baik
ataupun disampaikan secara benar kepada Menkes selaku pimpinan.
Tanpa koordinasi yang baik antara Menkes, Wamenkes dan
Pokja, Anggent yakin regulasi yang nantinya diterbitkan untuk melaksanakan BPJS
Kesehatan, tidak terbentuk secara ideal. Apalagi, selama ini serikat pekerja
sangat minim dilibatkan Pokja untuk membahas rancangan regulasi itu. Akhirnya,
Anggent menilai Menkes baru mengetahui berbagai masukan yang disodorkan serikat
pekerja pada acara diskusi itu. Sehingga Menkes menginstruksikan kepada Pokja
agar serikat pekerja dilibatkan membahas peraturan pelaksana BPJS Kesehatan.
“Koordinasi atasan dan bawahan tidak jelas, Wamenkes dan
Pokja kurang berkoordinasi kepada Menkes. Padahal orang yang nanti mengesahkan
peraturan pelaksana itu Menkes,” kata Anggent kepada hukumonline di kantor
Elkape di Jakarta, Jumat (15/8).
Selain itu, dalam diskusi tersebut Anggent merasa ada
perbedaan dalam mengartikan peran dokter di BPJS Kesehatan. Contohnya,
perspektif yang ada belum mengutamakan pelayanan kesehatan untuk rakyat karena
peran dokter kerap dikaitkan dengan kapitasi atau imbal jasa yang diterima sang
dokter ketika melayani peserta BPJS.
Mengingat BPJS sifatnya sosial dan mengutamakan prinsip
gotong royong, Anggent berpendapat mestinya peran dokter selaras dengan
semangat tersebut. Tapi Anggent menyadari kurangnya semangat dokter untuk
mengabdi kepada rakyat salah satunya disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan
kedokteran. Hal itulah yang mendorong sebagian dokter lebih mengutamakan
mengejar profit ketimbang pengabdian kepada rakyat.
Walau begitu Anggent juga tidak menampik bahwa dokter perlu
diberi imbal jasa yang sesuai atas perannya melayani peserta BPJS. Namun,
lagi-lagi ia menekankan agar prinsip gotong-royong harus diutamakan. Pasalnya,
selama ini pemerintah selalu menekankan prinsip gotong-royong hanya kepada
peserta. Ke depan, ia berharap pemangku kepentingan lain juga dituntut
komitmennya untuk bergotong-royong dalam melaksanakan BPJS Kesehatan, termasuk
dokter.
“Jadi jangan hanya menekankan kepada peserta untuk membayar
iuran tapi juga dokter yang harus sadar prinsip gotong royong dalam BPJS,” ujar
Anggent.
Mengingat pelaksanaan BPJS Kesehatan tinggal empatbulan
lagi, Anggent menyebut serikat pekerja mendesak Kemenkes dan Pokja untuk
bergerak cepat membahas serta mengesahkan peraturan pelaksana yang dibutuhkan.
Apalagi, serikat pekerja sudah menyodorkan draft sandingan sebagai masukan
Pokja.
Untuk menjaga agar peraturan pelaksana dapat diterbitkan
tepat pada waktunya, Anggent mendesak Menkes untuk memimpin langsung Pokja BPJS
Kesehatan, termasuk aktif melakukan evaluasi. Serta mengkoordinasikan hasil evaluasi
itu kepada pemangku kepentingan, seperti serikat pekerja. “Peraturan itu harus
diterbitkan paling telat November 2013,” tukasnya.
Sebelumnya, Sekjen KAJS, Said Iqbal, mengatakan jika
koordinasi itu tidak dibenahi, pelaksanaan BPJS Kesehatan tahun depan terancam
gagal. Apalagi dalam diskusi yang dihadirinya itu, Iqbal melihat Kemenkes tetap
kekeh peserta PBI berjumlah 86,4 juta orang. Bagi Iqbal, jumlah tersebut masih
belum jelas apakah buruh tani, nelayan, guru honorer dan pekerja berpenghasilan
rendah tercakup dalam PBI atau tidak. Mengacu kondisi itu Iqbal berpendapat
ketika BPJS Kesehatan berjalan 1 Januari 2014, potensi RS menolak orang miskin
dan tidak mampu untuk mendapat pelayanan kesehatan masih bisa terjadi.
Tak ketinggalan, Iqbal menilai dalam diskusi yang dihadiri
oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan petinggi PT.Askes itu Kemenkes
bersikukuh bahwa pekerja sektor formal harus mengiur 5 persen. Yaitu 1 persen
ditanggung pekerja dan sisanya pemberi kerja. Menurutnya, untuk menetapkan iuran,
banyak hal yang harus diperhatikan. Misalnya, bagaimana agar iuran itu selaras
dengan UU Jamsostek dan peraturan turunannya. Ikbal mengingatkan, jika Kemenkes
masih bersikukuh pada pendiriannya dan enggan mengakomodir usulan pekerja,
tidak menutup kemungkinan serikat pekerja bakal melakukan tindakan.
“Akan ada perlawanan keras dari kaum pekerja dan bisa
dipastikan awal September 30 ribu pekerja akan aksi di Kemenkes. Pilihan untuk
melakukan mogok kerja juga semakin kuat,” tegasnya.
Menanggapi berbagai masukan serikat pekerja dalam diskusi
tersebut, Menkes, Nafsiah Mboi, menegaskan Kemenkes serius mempersiapkan
pelaksanaan BPJS Kesehatan. Namun, ia mengingatkan bahwa Indonesia adalah
negara besar yang heterogen, sehingga banyak hal yang perlu dipertimbangkan
sebelum menerbitkan sebuah kebijakan. Namun yang jelas masukan serikat pekerja
akan dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan itu. Ia pun mengakui hasil
rapat koordinasi antar kementerian terkait BPJS Kesehatan mengusulkan peserta
PBI sebanyak 86,4 juta orang dengan iuran Rp19,500 per orang setiap bulan. “Itu
baru usulan,” tuturnya.
Nafsiah mendengar berbagai keluhan yang disampaikan
masyarakat atas pelayanan kesehatan yang selama ini diselenggarakan. Oleh
karenanya pelaksanaan BPJS menjadi momentum untuk mewujudkan pelayanan
kesehatan yang bermutu. Tapi, Nafsiah menegaskan pembenahan itu tidak dapat
dilakukan sekejap. Tapi membutuhkan dorongan yang besar dari masyarakat,
khususnya peserta BPJS. Nafsiah melihat potensi itu ada di tangan pekerja. “Kalau
pekerja mengiur 5 persen, itu bisa menjadi daya dorong besar untuk membentuk
pelayanan kesehatan yang berkelanjutan,” imbuhnya.
Sebagai tindak lanjut, di akhir acara diskusi tersebut
Nafsiah menginstruksikan kepada Pokja BPJS Kesehatan agar melibatkan serikat
pekerja untuk membahas peraturan pelaksana. Khususnya dalam merevisi Perpres
Jaminan Kesehatan dan PP PBI. (www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment