Oleh Yusrizal, S.H. M.H.
Pengamat Gepeng serta Pengajar Hukum
Pidana
pada Fakultas Hukum Universitas
Malikussaleh, Lhokseumawe
Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini di Indonesia dirasakan
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman di era globalisasi. Seperti
pengaturan mengenai pengemis yang diatur dalam Pasal 504 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana yang dihukum dengan pidana kurungan, alasan penghukuman tersebut
didasarkan bahwa keberadaan gelandangan dan pengemis menganggu ketertiban umum
serta dikhawatirkan akan melakukan pencurian dan berbagai tindak pidana
lainnya.
Tentu
alasan penghukuman pengemis tidak dapat diterima secara akal sehat. Mengingat
usaha dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum dilakukan secara
maksimal, atau bahkan pada level pemerintah daerah belum mempunyai grand desain
bagaimana pemberdayaan yang selayaknya dilakukan untuk membuat pengemis tidak
kembali untuk mengemis. Jadi program pemberdayaan yang lakukan oleh pemerintah
daerah bukan hanya sekedar wacana, tetapi harus mampu menyentuk ke akar
permasalahan guna mencari penyelesaian yang bijak tentang keberadaan gepeng.
Roeslan
Saleh salah seorang Pakar Hukum Pidana mengatakan bahwa mengemis dihukum dengan
dalih untuk menyembunyikan kejorokan dan kemiskinan rakyat Indonesia terhadap
kehadiran bangsa-bangsa luar di Indonesia. Pilihan untuk menghukum pengemis
tersebut merupakan pilihan yang irrasional dengan melihat kondisi lembaga
pemasyarakatan yang tidak mencukupi (over capacity). Maka sangat dibutuhkan fungsionalisasi
hukum pidana bernurani yang dapat menjaga keselarasan antara kepentingan
negara, kepentingan umum dan kepentingan individu.
Tanggung
Jawab Pemerintah
Diskriminasi
penegakan hukum berhubungan dengan label (stigma) bahwa pengemis dianggap
merupakan sampah masyarakat, hal ini dipengaruhi oleh tampilan dan budaya
mereka, padahal belum tentu sepenuhnya setiap perbuatan mengemis semuanya
melakukan pencopetan dan pencurian dalam suasana keramaian atau berkarakter
penjahat. Jelas bahwa telah terjadi generalisasi label buruk terhadap pengemis.
Bandingkan dengan pelaku korupsi yang masih bisa tersenyum tanpa rasa malu
disaat disorot kemera serta berpenampilan menarik dan rapi, padahal koruptorlah
yang sebenar-benarnya penjahat.
Penegakan
hukum pidana dalam penanganan pengemis yang terdapat dalam KUHP seharusnya di
harmonisasikan dengan peraturan yang lebih tinggi dan nilai-nilai yang berlaku
didalam masyarakat (the living law). Serta implementasi kebijakan
perundang-undangan dalam kenyataan berhukum di dalam masyarakat, sehingga
Undang-undang sistem jaminan sosial nasional dan Undang-Undang kesejahteraan
rakyat dapat memberikan kontribusi dalam pengentasan kemiskinan. Didalam Pasal
34 UUD 1945 negara berkewajiban melindungi dan mensejahterakan masyarakat, maka
secara hierarki Peraturan Perundang-undangan Pasal 504 tidak berdaya guna
karena lex superior derogate legi inferiori atau bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi.
Penegakan
hukum dengan produk hukum yang saling tumpah tindih menimbulkan masalahnya
masing-masing, yang pada akhirnya kriminalisasi suatu perbuatan menjadi tindak
pidana sangat mudah terjadi, akhirnya nilai keadilan dalam masyarakat hanya
menjadi slogan didalam penegakan hukum. Penegakan hukum yang berlandaskan
itikad baik akan menghasilkan suatu penegakan hukum yang berimbang antara hak
dan kewajiban antara masyarakat dan negara.
Permasalahan
kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa warga negara
yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum
memperoleh pelayanan sosial dari negara. Sebagaimana yang ditegaskan dalam
Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan
penjelasan Undang-Undang No.11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial. Bila
dilihat dari perundang-undangan yang ada maka akan terlihat suatu arah
kebijakan pemerintah dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera. Tapi
prakteknya?
Konkritisasi
dari tanggung jawab pemerintah untuk memberikan kesejahteraan sosial
gelandangan dan pengemis harus segera dilaksanakan, misalnya dengan memberikan
bimbingan dan pelatihan serta pemgembangan jiwa wirausaha untuk mandiri.
Sehingga apabila program tersebut dilaksanakan jika masih melakukan pengemisan
baru bisa diterapkan ketegasan dalam bentuk hukuman yang sesuai dengan
perbuatan yang dilakukan.
Hakikatnya
mengemis bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bahwa suatu perbuatan
tidak dapat dikatakan sebagai kriminal jika tidak terdapat kehendak jahat
didalamnya sehingga sangat tepat apabila didekriminalisasikan karena tidak ada
yang dirugikan dari perbuatan tersebut. Karena sesungguhnya penghukuman
terhadap pengemis bukan solusi dalam menjaga ketertiban umum melainkan dengan memberdayakan
zakat, infak dan sedekah dengan baik perlu ditingkatkan secara konfrehensif,
serta adanya pemberdayaan-perbedayaan ekonomi yang bisa mengembangkan potensi
bagi kehidupan pengemis, program ini harus sesegera mungkin untuk dilaksanakan.
Dalam Quran
Surat Al Ma’un disebutkan bahwa “jangankan menghukum, menghardik saja berdosa”.
Perbuatan tersebut tepat untuk dihukum apabila gelandangan dan mengemis
dibarengi dengan tindak pidana yang lain atau meminta dengan paksaan, menganggu
ketertiban umum serta dengan kekerasan. Maka sebaiknya Pasal 504 tersebut
dihapus atau diperbaharui melalui mekanisme judicial review untuk menjawab
kebutuhan dalam di dalam kebuntuan berhukum. Pembaharuan hukum pidana yang
mengatur perbuatan mengemis perlu dilakukan karena ada hubungan antara
peningkatan kejahatan dengan tidak rasionalnya kebijakan perundang-undangan
pidana.
Jadi,
hukuman yang dijatuhkan karena ada kesalahan bukan karena label atau sebutan
masyarakat yang termarjinal bagi mereka. Oleh karena itu, yang terpenting dalam
upaya dekriminalisasi dalam mengatasi permasalahan mengemis adalah dengan
mencari dan menemukan upaya penanganan gelandangan dan pengemis secara
konferehensif. Semoga Pemerintah Pusat secara umum dan Pemerintah daerah bisa
melihat kondisi ini secara arif dan bijak untuk selanjutnya dilaksanakan dalam
program aksi kerja pemerintah. Semoga…! (www.kabarindonesia.com)
No comments:
Post a Comment