* DUA
Dewi
keberuntungan senantiasa mengetuk pintu seseorang pada suatu kesempatan, namun
dalam banyak kejadian seringkali orang tersebut tidak berada di tempat sehingga
gagal mendengarnya.
Mark Twain, penulis populer
Cita-cita yang digapai anak manusia
terkadang –bahkan kerapkali—tidak sinkron dengan apa yang diharapkan sedari
mula. Itu pula yang dialami oleh anak manusia bernama Mangindar Simbolon.
Singkat cerita, tamat dari SMP Negeri
Pangururan tahun 1973, Mangindar begitu ngotot pada cita-cita untuk melanjutkan
sekolah ke STM (Sekolah Teknik Menengah). Padahal di Pangururan masa itu belum
ada STM. Mereka yang ingin bersekolah ke STM harus merantau ke Siantar. Sebuah
jarak yang tidak pendek ketika itu.
“Padahal, saat itu belum ada STM di Pangururan,
Pulau Samosir. STM baru ada di Siantar. Di masa itu, untuk perjalanan ke
Siantar harus dirancang matang. Bersama kawan se-SMP, saya sudah bertekad bulat
melanjutkan ke STM di Siantar. Rupanya, orang tua teman saya tidak
mengizinkannya bersekolah jauh-jauh ke Siantar. Orang tua saya pun tidak berani
melepas saya ke Siantar,” Mangindar Simbolon berkisah.
Mangindar lalu mendaftarkan diri dan
diterima di SMA Negeri Pangururan. Satu-satunya SMA yang ada di Pangururan pada
tahun 1974 itu. Dengan membawa perasaan kecewa, dia menapaki hari-hari di SMA
yang kini dikenal sebagai SMAN 1 Pangururan. Sampai-sampai banyak noktah merah
di nilai rapornya. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Memasuki kelas dua dan
kelas tiga, Mangindar menunjukkan prestasinya yang lumayan mengkilap.
Sampai kemudian, pada pertengahan
1976, dia mewakili sekolahnya di ajang pemilihan pelajar teladan tingkat
Kabupaten Tapanuli Utara (waktu itu Samosir masih menjadi bagian dari Kabupaten
Tapanuli Utara). Dan dia terpilih
sebagai juara dua. “Ya, waktu itu, saya terpilih menjadi Juara Pelajar Teladan
II tingkat Kabupaten Tapanuli Utara,” kenang Mangindar yang kini menjadi Bupati
Samosir.
A.
Memenuhi Undangan Institut Pertanian
Bogor
Sebuah berkah dari rute cita-cita
yang tidak sejalan dengan kata hati. Tahun 1975, ketika Mangindar berada di
kelas dua SMA, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
mengeluarkan peraturan bahwa lulusan STM tidak boleh melanjutkan ke perguruan
tinggi. Sebab itu, Mangindar berusaha optimal berlajar di SMA sehingga kemudian
berbuah prestasi terpilih sebagai Pelajar Teladan II Kabupaten Tapanuli Utara.
Buah prestasi tidak hanya berhenti
di predikat sebagai pelajar teladan. Belum juga mengantongi ijazah SMA,
Mangindar menerima undangan Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) yang waktu
itu dikenal sebagai Proyek Perintis II dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
Tepatnya, ketika dia tengah berada di Tarutung, ibukota Kabupaten Tapanuli
Utara mengikuti pemilihan pelajar teladan.
“Ketika saya sedang berada di
Tarutung, saya sudah menerima panggilan dari IPB, melalui jalur PMDK, seleksi
yang diperuntukkan siswa berprestasi dari SMA di seluruh Indonesia. Dan, panggilan
PMDK yang ditujukan ke SMA Negeri Pangururan waktu itu merupakan yang pertama
sekali,” tutur Mangindar mengenang.
Sebuah kebanggaan. Undangan itu
datang di saat Mangindar sedang mengikuti sebuah upacara di sela-sela pemilihan
pelajar teladan Kabupaten Tapanuli Utara. “Pada saat upacara, saya bergabung
bersama mereka yang sudah menerima panggilan dari IPB. Mereka berasal dari SMAN
1 Tarutung. Sudah beberapa kali siswa SMAN 1 Tarutung menerima undangan PMDK. Karena
kami waktu masih SMA di sebuah ibukota kecamatan, wajar saja jika undangan PMDK
datang belakangan,” kata Mangindar.
Sepulang dari Tarutung, Mangindar
melapor ke Kepala Sekolah SMAN Pangururan. Dia menyampaikan rasa kecewanya
lantaran hanya memperoleh predikat Juara Pelajar Teladan II Kabupaten Tapanuli
Utara. Bila saja panitia konsisten, ucapnya, bukan tidak mungkin Mangindar
menempati juara pertama. Sang kepala sekolah berusaha membesarkan hatinya
dengan kata-kata, “Wah ... itu sudah bagus buat kita. Kita ini cuma dari
kampung, dapat juara dua lagi.”
Di tengah kekecewaannya pada hasil
pemilihan pelajar teladan Kabupaten Tapanuli Utara 1976, kepala sekolah SMAN
Pangururan membawa kabar baik. Kata kepala SMAN Pangururan secara spontan, “Ini
nih Simbolon, bagus ini baru pertama, kita dapat panggilan dari Institut
Pertanian Bogor. Kamu cocok, karena kamu juara umum di sini. Bahkan, dapat
Juara Teladan II tingkat kabupaten lagi.”
Mangindar kurang merespon kabar baik
dari kepala sekolah SMAN Pangururan. Dia merasa kurang tertarik pada
perkuliahan di pertanian, karena tidak sejalan dengan cita-citanya. “Begitu
dibilang dari Institut Pertanian Bogor, saya tidak tertarik sebenarnya. Kenapa?
Karena saya merasa sudah jadi petani. Sejak dari SD, saya sudah biasa membantu
orang tua bertani di Samosir. Jadi, bertani itu sudah hal biasa. Masa saya
harus kuliah pertanian lagi?” ujar Mangindar.
Terlebih lagi, sejak SMP, Mangindar
bercita-cita masuk ke bidang teknik. Tapi, karena ini panggilan IPB yang
pertama ke SMAN Pangururan, Kepala Sekolah langsung mendorongnya untuk segera
berangkat ke Bogor. Karena dia tidak berminat pada pertanian, Mangindar tidak
menaruh perhatian pada panggilan IPB tersebut. Di benaknya hanya ada keinginan
melanjutkan kuliah teknik di ITB atau UGM. Karena kepala sekolah terus-menerus
mendorong, dengan sangat terpaksa akhirnya Mangindar berangkat ke Bogor.
Kendati terpaksa, Mangindar tetap
bersyukur saat itu lulus dari SMA, bukan
STM. Terbuka peluang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Panggilan dari
Bogor, minimal, bisa menjadi pintu pembuka meneruskan ke perguruan tinggi yang
dicita-citakan. “Bayangkan, tahun 1975, saya kelas dua SMA, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan aturan bahwa lulusa STM tidak bisa
melanjutkan ke perguruan tinggi. Wah, kalau saya paksakan ke STM dulu, tak terbayangkan
lagi, menyesal belakangan. Tidak jadi ke Bogor saya, paling buka bengkel,” ujar
Mangindar.
B.
Perjalanan Setengah Hati ke Bogor
Pendek cerita, Desember 1976,
Mangindar Simbolon berangkat ke Bogor, Jawa Barat. Tentu sebuah pengalaman
menarik bagi seorang Mangindar yang sampai lulus SMA ketika itu belum pernah melakukan
perjalanan jauh menyeberangi laut menuju ke pulau lain. Dia memang benar-benar
tipologi Batak Tembak Langsung (BTL).
Dari kampungnya di Desa Rianiate, Kecamatan Pangururan,
Kabupaten (waktu itu) Tapanuli Utara, Mangindar tidak ke Medan atau
Pematangsiantar yang kala itu sudah cukup ramai dan menjadi titik keberangkatan
banyak orang Sumatera Utara yang hendak merantau ke Tanah Jawa. Dia memilih berangkat
dari Balige dan langsung naik bus PO Sibual-buali, yang ketika itu sedang merintis
trayek angkutan umum langsung ke Pulau Jawa, tepatnya Jakarta. Sebuah
perjalanan yang tak mudah di masa pertengahan 1970-an itu.
“Bekal ongkos dari orang tua saya
yang hanya seorang guru dan pengurus gereja cukup terbatas. Mengingat waktu
pendaftaran ke IPB terbatas, saya langsung berangkat ke Pulau Jawa naik bus Sibual-buali.
Bekal yang ada tidak cukup buat naik pesawat dari Medan,” Mangindar berkisah.
Perjalanan dari Balige ke Jakarta
memakan waktu sampai lima hari. Karena harus lewat Riau dan Jambi yang saat itu
jalan-jalannya masih belum bagus. Bahkan, bus mesti naik rakit melintasi sungai
lantaran belum ada jembatan. Mengingat jalan raya yang belum bagus pula, perjalanan
bus kerap terguncang-guncang seakan mau terjerembab. Sampai-sampai Mangindar
beberapa kali mabuk perjalanan. Meski begitu, Mangindar berusaha mengambil
hikmah dari perjalanannya yang cukup menguras tenaga dan melelahkan itu.
Katanya, “Selama perjalanan itu,
saya sembari belajar teknik dan etika membawa mobil pada sopir bus Sibual-buali
itu. Bagi saya, banyak hal baru selama perjalanan, apalagi perjalanan non-stop
siang-malam, masuk melewati hutan, perdesaan, masuk perkotaan, dan seterusnya,
sampai saya mabuk dan muntah-muntah.”
Setelah menempuh perjalanan selama
lima hari lima malam, bus Sibual-buali memasuki Terminal Cililitan, Jakarta,
sekitar pukul 17.00 waktu setempat. Dari sini, Mangindar tidak langsung ke Bogor
tapi terlebih dulu ke Bandung. Karena, dia merasa buta dan tidak mempunyai
kerabat yang bisa memandu mencari kampus di Kota “Hujan” itu
Sejak mula berangkat dari
Pangururan, Mangindar memang menyadari dirinya tidak punya kerabat di Bogor.
Dan sebab itu, setiba di Jakarta, dia berencana terlebih dulu mampir ke
Bandung. Kebetulan di Kota Kembang itu ada pamannya, Ir. Marham Simbolon, yang beralamat
di Jalan Rangkasbitung Nomor 12. “Beliau sehari-hari berprofesi sebagai PNS,
yakni Kepala Brigade Planalogi Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Beliau lulus S1
dari Fakultas Kehutanan UI sebelum tahun 1963 menjadi cikal bakal dan bagian
dari Institut Pertanian Bogor,” ujar Mangindar mengenang.
Turun dari bus Sibual-buali, masih
dalam keadaan letih dan menenteng koper, Mangindar berebut naik bus umum dengan
tujuan Bandung. Ketika bus melintasi jalanan di kawasan puncak yang menanjak
dan berkelok, Mangindar mabuk dan muntah-muntah lagi. “Waktu itu, saya belum
tahu, IPB yang ada di Bogor itu justru kita lewati saat perjalanan ke Bandung,”
tuturnya.
Tiba di Bandung, tepatnya di Terminal
Kebon Kalapa, waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 waktu setempat. Menjelang
tengah malam. Suasana gelap dan sepi. Tentang Bandung pun, Mangindar mengaku
buta kota. Maklum, dia memang baru sekali itu berjalan jauh meninggalkan desa
kelahirannya menuju Jakarta, Bandung dan Bogor. Repotnya, saat tiba tengah
malam di Bandung, dia tak tahu hendak bertanya kepada siapa.
Mangindar hanya berbekal secarik
kertas bertuliskan alamat dan nomor telepon rumah sang paman, Marham Simbolon,
di Jalan Rangkasbitung Nomor 12. Sementara prasarana komunikasi seperti warung
telepon (wartel), apalagi telepon seluler, kala itu masih amat terbatas. Serta
merta, saat tiba di Terminal Kebon Kalapa, Bandung, dia dilanda kebingungan. Dia
tidak dapat berkomunikasi langsung dengan sang paman, sekadar untuk bertanya
mesti naik apa dari Terminal Kebon Kalapa ke kawasan Jalan Rangkasbitung.
Di tengah kebingungan itulah, Mangindar
berpikir sederhana dan dirasa paling aman. Dia memutuskan naik becak saja. Tidak
memilih naik angkutan perkotaan (angkot) lantaran tidak tahu arah mana yang
akan dituju. Tutur Mangindar, “Kalau naik becak, pikir saya, ya khusus saya
saja yang diantar ke alamat tujuan. Logis atau tidak, itu lain soal. Ternyata,
perjalanan ke alamat cukup jauh dan memakan waktu. Saya baru tiba di rumah
paman sekitar pukul 02.00 dinihari.”
Setiba di alamat, Mangindar langsung
mengetuk pintu rumah paman Marham Simbolon. Tentu, sang paman sedikit
terperajat bercampur bingung, siapa gerangan yang datang bertamu pada dinihari
yang dingin membekap Kota Bandung. Terasa asing lagi.
“Ngapain
datang ke Bandung?” tanya Marham Simbolon, belum juga hilang rasa kagetnya.
“Saya dapat surat undangan dari IPB,”
jawab Mangindar.
Paman Marham Simbolon dan
keluarganya merasa kaget sekaligus senang. “Wah, syukurlah kamu dapat panggilan
dari IPB. Bagus benar bisa dapat undangan dari IPB, jarang-jarang kan,” ujar sang
paman.
“Iya,” ucap Mangindar.
Beberapa kerabat dan keluarga Mangindar
yang berada di Bandung turut berkomentar, “Wah hebat, kamu terima panggilan
atau undangan IPB.” Padahal, dalam hati kecil Mangindar masih kurang sreg.
“Hebat apaan? Masuk kok di pertanian,” batin Mangindar.
Setamat SMA masa itu, Mangindar sebetulnya
tidak ingin ke Bogor. Ujarnya, “Saya kemukakan ke keluarga paman, dari dulu saya
tidak berniat ke pertanian. Dan saya tidak tahu kalau waktu itu ada Kehutanan
di Institut Pertanian Bogor. Tahunya, IPB itu ya pertanian. Kemudian paman saya
memberi gambaran bahwa tidak sembarang lulusan SMA bisa masuk ke IPB melalui
jalur undangan. Artinya, itu pilihan lah.”
Sang paman tidak serta merta
mendebat keinginan Mangindar yang tetap ngotot ingin ikut ujian masuk ke
Institut Teknologi Bandung (ITB). “Saya salut pada paman, beliau tidak terlalu
keras, didengarkan dulu penjelasan saya. Didengarkanlah saya cerita, segala
macam. Saya ingat masih ada sedikit waktu sebelum hari terakhir pendaftaran
tanggal 8 Desember 1976. Mereka bujuk-bujuk saya supaya mau masuk IPB. Saya
waktu itu tetap condong ikut testing. Tapi berisiko, kalau kita ikut testing di
SKALU maka panggilan IPB akan gugur,” papar Mangindar mengenang kisah
perbincangan dengan sang paman di suatu pagi yang segar.
“Coba pikirkan dulu yang matang,
saya mau kerja. Nanti sore kita lanjutkan lagi,” ucap sang paman sembari
bergegas berangkat ke kantor.
Sepulang paman Marham Simbolon dari
kantor, perbincangan dilanjutkan. Paman Marham menceritakan lah kehebatan IPB dari
segala sudut pandang. Namun Mangindar tetap pada niatnya ikut tes masuk ITB. “Ok,
sebenarnya sih almamater itu tidak menentukan kita mau jadi apa. Namun kita
sendiri lah yang menentukan kita mau jadi apa. Almamater itu hanya buat modal meniti
kehidupan masa depan,” tutur sang paman berusaha bijak.
Mangindar tetap mengincar ikut tes
seleksi masuk ITB, sebuah perguruan tinggi teknik yang amat diimpikan setiap
lulusan SMA.
Tak cukup dengan kata-kata, paman
Marham lalu memberikan gambaran yang lebih kongkrit. Nasihat sang paman, “Begini,
ada pamanmu dari kampung kita namun berbeda marga. Dia tamat dari ITB, kemudian
jadi pemborong besar, bahkan pemborong berskala internasional, sampai dapat
proyek di Jepang, punya hotel dan berbagai properti lainnya. Cobalah bandingkan
saya dengan pamanmu yang satu itu. Dari sisi materi, pamanmu yang satu itu jauh
lebih hebat daripada saya, karena kontraktor internasional. Sedangkan saya,
uang pas-pasan karena hanya pegawai negeri, meskipun jabatan hebat, Kepala Brigade
Planologi Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Namun, saya punya kelebihan. Walaupun
dia punya uang banyak dan mobilnya juga banyak tapi dia tidak bisa pakai mobil
plat merah. Itu sebuah gengsi, jip hardtop
dan land rover plat merah jelas
sebuah gengsi tersendiri. Saran saya, kita tidak boleh terlalu kaku, kalau
alumni dari sini akan menjadi profesi tertentu dan itu yang terbaik. Bukan
begitu pola pikirnya. Kita juga yang menentukan nanti, tergantung lingkungan.”
Singkat cerita, sang paman Marham
Simbolon berpesan, “Hargailah dulu panggilan IPB ini. Kalau kau betah,
teruskan. Kalau tidak betah, setelah tiga bulan nanti langsung hubungi nomor
telepon rumah ini, paman akan jemput kamu di Bogor. Nanti paman daftarkan ikut
bimbingan tes, tahun depan ujian seleksi ke ITB. Paman jamin kamu masuk,
potensimu bagus. Kalau sekarang belum tentu, persaingan di sini juga ketat, yang
diterima tidak terlalu banyak.”
Paman Marham Simbolon benar-benar bijak.
Mangindar pun luluh hati. “Benar paman, undangan ini harus kita hargai. Besok
sudah hari terakhir pendaftaran, baik esok saya ke Bogor,” ujar Mangindar dalam
perbincangan dengan sang paman di malam menjelang hari terakhir pendaftaran
masuk IPB jalur PMDK. Dengan diantar
keponakan, pagi-pagi buta 8 Desember, Mangindar berangkat ke Bogor.
Siang hari, Mangindar tiba di Kampus
IPB Baranangsiang. Langsung menyelesaikan administrasi ke panitia pendaftaran.
“Lho, kok saudara terlambat,” tanya salah seorang panitia.
“Saya harus menempuh perjalanan yang
cukup jauh, beberapa kali naik kapal. Dari Pulau Samosir menyeberang dulu ke Pulau
Sumatera, baru kemudian ke Pulau Jawa,” jawab Mangindar. Dan panitia dapat
menerima alasan yang disampaikannya.
Saat mendaftar, panitia langsung menyodori
jadwal responsi, matrikulasi dan berbagai aktivitas awal yang harus diikuti
calon-calon mahasiswa dari jalur PMDK. Esok hari sudah langsung masuk. Cepat-cepat
Mangindar mencari tempat kos di sekitar kampus Baranangsiang, gabung dengan teman-teman
yang telah mendaftar telebih dulu.
C.
Mengikuti Matrikulasi dan Masuk
Kehutanan
Tanggal 8 Desember 1976 menjadi hari
baru seorang Mangindar menapak kehidupan di Kota Bogor. Kehidupan kampus dengan
seabrek aktivitas. Sebagai mahasiswa baru yang diterima melalui jalur PMDK, dia
langsung menjalani jadwal padat, mulai dari matrikulasi sampai responsi di malam
hari. Terlebih lagi di masa itu, Guru Besar IPB Prof. Andi Hakim Nasution tengah
mendorong program sarjana empat tahun. Waktu yang ada benar-benar dimanfaatkan
untuk menuntaskan setiap tugas perkuliahan. Tidak ada waktu luang buat
berleha-leha. Jauh dari kesan semula bahwa kehidupan (mahasiswa) kampus penuh
dengan gaya santai. Mangindar melihat banyak mahasiswa di berbagai perguruan
tinggi lain saat itu yang menghabiskan waktu kuliah lebih dari enam tahun.
Di IPB, demikian kesan Mangindar,
kesan santai dan merasa bangga semakin lama hidup di kampus langsung sirna.
Kehidupan kampus IPB benar-benar dirancang sedemikian rupa sehingga mahasiswa
harus selesai dalam tempo empat tahun. Kawah candradimuka pertama yang dimasuki
Mangindar adalah program matrikulasi yang dikhususkan buat mahasiswa yang masuk
lewat jalur undangan atau PMDK.
“Kami langsung mengikuti matrikulasi
untuk penyetaraan. Tidak sekadar penyetaraan, kami yang lulus matrikulasi tidak
perlu lagi mengikuti mata kuliah dalam matrikulasi bersama mahasiswa yang masuk
lewat jalur tes. Ada 4 matakuliah, kalau kita dapat C ke atas, nanti tidak
perlu ikut mata kuliah yang sama di semester resmi. Alhamdulillah, saya
memperoleh nilai C pada semua mata kuliah dalam matrikulasi itu. Saya akui,
walaupun sebagai pelajar teladan dan juara di sekolah, pencapaian pengetahuan
saya masih jauh ketinggalan dibandingkan kawan-kawan dari Jawa. Waktu itu kami
berdua dari satu sekolah yang sama. Teman saya Junimaha Sinaga tidak lulus
matrikulasi,” papar Mangindar Simbolon.
Mangindar semakin ‘tenggelam’ dalam
aktivitas kampus IPB. Apalagi, IPB jauh dari bayangannya sebagai kampus yang hanya
berkutat pada dunia pertanian. Banyak warna-warni fakultas yang menarik di
kampus Baranangsiang dan Dramaga. Di medio 1970-an itu IPB menaungi tujuh
fakultas, masing-masing Pertanian, Teknologi dan Mekanisasi Pertanian,
Perikanan, Peternakan, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Kedokteran
Hewan, dan Kehutanan. Dan studi-studi di setiap fakultas dirancang begitu
menarik minat dan bakat mahasiswa. Di bawah kepemimpinan Rektor IPB (waktu itu)
AM Satari, IPB menggulirkan program empat tahun dengan direktur program Prof.
Andi Hakim Nasution.
Tak terasa waktu begitu laju. Tiga
bulan sudah berlalu, Mangindar larut dalam aktivitas kampus IPB. Tidak ingat
lagi tekad awalnya untuk mengikuti tes seleksi masuk Institut Teknologi Bandung
(ITB). Sampai kemudian paman Marham Simbolon dari Bandung datang menjenguk di
tempat kos. Sang paman pun bertanya, “Kok nggak
kontak-kontak, sudah betah di Bogor?”
“Ternyata enak di sini. Ada
demokrasi dan cara mengajar para dosen yang menarik,” jawab Mangindar. Sejak
masuk bangku SD, SMP sampai SMA, Mangindar menikmati betul dunia sekolah. Dan
dia ingin Kampus IPB menjadi pemuncak perjalanan pendidikannya.
Satu hal menarik di hati Mangindar
ketika mengikuti matrikulasi. Aktivitas matrikulasi demikian terencana dan
terjadwal. Mahasiswa langsung disibukkan aktivitas perkuliahan matrikulasi yang
padat, dari pagi sampai sore-malam, kecuali hari Minggu. Tutur Mangindar, “Ada
tugas rutin dan tiap pekan ada kuis. Kuis itu dihargai, ada nilainya. Jadi
bukan hanya nilai ujian akhir. Sirna sudah bayangan saya sebelumnya, minimal waktu
di Samosir, bahwa mahasiswa itu suasananya santai, bebas, seenaknya, mau berapa
tahun tidak masalah. Di Bogor tidak demikian. Ada perencanaan bahwa empat tahun
harus sudah tuntas, setiap semester harus menyelesaikan sekian banyak mata
kuliah.”
Yang juga menarik di hati Mangindar,
ada nuansa demokrasi dalam proses pendidikan (belajar-mengajar) di IPB. “Satu
hal yang sampai sekarang melekat di benak saya, demokratisasi pendidikan di
Bogor itu luar biasa. Karena, si mahasiswa diberi kebebasan koreksi. Usai ujian
itu ada masa sanggah, sungguh luar
biasa. Siapa tahu ada dosen yang keliru menilai, ada klarifikasi. Kertas ujian
itu dikembalikan ke mahasiswa, cek adakah yang salah nilai. Hal itu berada di
luar bayangan kita. Sangat demokratis. Dan saya banyak belajar pada
teman-teman. Banyak anak petinggi, anak dosen, diperlakukan sama di situ. Tidak
ada perbedaan di situ, mau anak jenderal atau apa. Itu yang bagi saya sebagai nilai
lebih dari Bogor,” papar Mangindar.
Usai mengikuti matrikulasi dengan
nilai C pada semua mata kuliah, Mangindar memasuki perkuliahan semester awal bersama
mahasiswa lain yang masuk lewat jalur ujian seleksi. Dia merasa sudah bisa
menikmati perkuliahan di IPB. Dari proses matrikulasi, dia menjadi paham teknik
belajar dan kiat agar lolos ujian. Dia pun mulai beradaptasi dan berkenalan
dengan kawan-kawan baru dari berbagai kota di Indonesia. Waktunya buat bergaul
sedikit agak longgar karena telah berhasil lulus matrikulasi.
Beberapa kawannya yang tidak lolos
matrikulasi tampak keteteran mengikuti perkuliahan di semester reguler. “Kawan-kawan
yang tidak lulus matrikulasi keteteran terus. Di Bogor itu, aslinya langsung
kelihatan. Saya masih ingat ada kawan dari Aceh, anak seorang pejabat Kanwil
Dikbud, tidak lulus matrikulasi. Saat mengikuti semester reguler juga tidak
lulus, IP-nya di bawah 2,00. Memang, sampai di Bogor, mereka yang rapornya
direkayasa langsung kelihatan, akan kesulitan mengikuti perkuliahan. Prof. Andi
Hakim sudah wanti-wanti, kalian seperti apa dulunya akan ketahuan aslinya di
sini, melalui kuis, ujian, dan proses belajar-mengajar,” Mangindar bercerita.
Tibalah akhir semestar pertama.
Setiap mahasiswa menerima amplop kecil berisikan daftar nilai mata kuliah yang
diikutinya. Mangindar sedikit terpukul, di ujung semester pertama itu dia cuma
mengantongi nilai 2,08. Hanya ada satu nilai B (Mata Kuliah Agama) dan satu
nilai D. Katanya, “Saya agak terpukul, wah pelajar teladan kok begini. Ternyata,
kawan-kawan dari Tarutung, Balige, ada yang lebih parah lagi, ada yang di bawah
1, ada 0,5. Dari dulu IPB itu dikenal pelit dalam memberikan nilai.”
Perkuliahan reguler memasuki
semester kedua. Mangindar semakin adaptif pada lingkungan masyarakat Kota Bogor.
Merasa enjoy. Di ujung perjalanan
semester dua itu, Mangindar dan kawan-kawan diliputi rasa was-was saat hendak menerima
dan membuka amplop daftar nilai. Takut kalau-kalau mendapati Indeks Prestasi
(IP) kumulatif di bawah batas kelulusan. Mangindar pun tidak berani cepat-cepat
membuka amplop. Dia tarik perlahan secarik kertas dari dalam. Dia sedikit
bernafas lega, ketika secarik kertas itu memperlihatkan nilai B, A, dan C, serta
tertulis “Anda lulus, naik ke tingkat dua dengan IPK 2,31”.
Pada semester dua, Mangindar
mengantongi nilai agak lumayan, ada beberapa nilai B, bahkan ada nilai A namun kapasitas
kreditnya kecil. “Kawan-kawan ada yang menangis karena tidak lulus, termasuk
kawan saya satu SMA di Pangururan. Mereka belum drop out (DO), masih diberi kesempatan karena IPK-nya di atas 1,5,”
ungkap Mangindar yang tidak pernah bercita-cita jadi bupati ini.
Sebagai wujud rasa syukur atas kesuksesannya
naik tingkat, Mangindar kemudian menulis surat ke orang-tuanya di Pangururan.
Dia menceritakan betapa susahnya belajar di Bogor namun berhasil lulus juga. Orang-tuanya
pun berpesan agar senantiasa bersyukur. Repotnya, orang tua Mangindar tahu
teman Mangindar semasa di kampung gagal naik kelas. Orang tua Mangindar seolah
terpukul mengapa anak atasannya itu gagal naik tingkat. “Sampai terdengar
bisik-bisik waktu itu, lho si anu bisa naik tingkat, kamu tidak naik tingkat.
Makin tertekan kawan saya itu. Padahal, suasana belajar di Bogor jelas berbeda dibandingkan
di Sumatera. Mereka tidak tahu bahwa belajar di Bogor itu begitu ketat, padat, dan
sukar bagi yang tidak siap. Saya kasih semangat kawan ini,” kenang Mangindar.
Memasuki semester tiga, Mangindar mulai
percaya diri. Di ujung semester tiga itu, nilai yang direngkuhnya semakin bagus,
IP-nya di atas 3,00. Banyak kawan tidak menyangka bila Mangindar mampu mencapai
nilai sebesar itu. Bahkan kawannya semasa SMP di Pangururan yang kemudian melanjutkan
SMA di Jakarta agak underestimate pada
kemampuan akademik seorang Mangindar. Benar-benar tak disangka, pencapaian
Mangindar bahkan berada di atas prestasi temannya semasa SMP yang menyelesaikan
SMA di Jakarta.
Ibarat mesin disel yang susah panas,
namun begitu panas langsung tancap gas. Begitulah tamsil perjalanan perkuliahan
Mangindar di IPB. Di tahun kedua itu, dia merasa telah lolos dari masa krisis.
Dan dia memiliki bekal IP yang relatif tinggi untuk memasuki tahapan pilihan
fakultas yang akan dijalani sampai perkuliahan tuntas.
Tibalah saatnya memilih fakultas.
Peraturan memilih fakultas di IPB sedikit berbeda dibandingkan perguruan tinggi
yang lain. Bahwa setiap mahasiswa bebas membuat urutan pilihan, misalkan: 1.
Perikanan; 2. Kehutanan; Pertanian; 3. MIPA; 4. Teknologi Pertanian; 5.
Peternakan; 6. Perikanan; dan 7. Kedokteran Hewan. Kemudian pihak IPB akan
menseleksi berdasarkan IPK masing-masing mahasiswa. Kalau tidak masuk pilihan
pertama, maka tidak secara otomatis masuk ke pilihan kedua atau ketiga seperti urut
jagung.
Mengenai fakultas pilihannya,
Mangindar bercerita, “IPK lah yang akan mengarahkan ke fakultas yang paling
kosong, yang tidak ada pemilihnya. Waktu saya kuliah, yang favorit Fakultas Teknologi
dan Mekanisasi Pertanian (Fatemeta) dan Fakultas Kehutanan. Saya memiilih
kehutanan, alasan saya bukan karena paman saya dari kehutanan, tapi lantaran
saya tidak pernah tahu fakultas kehutanan itu. Di Samosir itu tahunya pertanian
dan perikanan. Saya ingin sesuatu yang berbeda, yang belum pernah saya alami dan
jumpai selama ini. Dan pilihan itu juga didukung IP lumayan. Saya satu-satunya
orang Batak yang masuk ke Fakultas Kehutanan masa itu. Yang lainnya masuk Kedokteran
Hewan yang biasanya merupakan pilihan terakhir. Kampus Fakultas Kehutanan juga berbeda
lokasi, di Dramaga, dan dilengkapi asrama. Fakultas-fakultas yang lain ada di
Baranangsiang. Betul-betul nyaman buat belajar di Fakultas Kehutanan.”
Dalam kenyamanan suasana
perkuliahan, tak terasa Mangindar sudah berada di akhir masa kuliah, Desember
1980. Beberapa bulan sebelumnya dia telah menuntaskan materi perkuliahan
sembari menulis tugas akhir skripsi. Semestinya, pada Desember 1980 itu dia
sudah lulus dan segera diwisuda. Namun lantaran kesibukan dosen pembimbing
skripsi, dia baru lulus tanggal 5 bulan Mei 1981 sebagai angkatan 14. “Saya
satu angkatan dengan Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. Ada
juga Benny Pasaribu. Mereka hebat-hebat, mereka masuk jalur kementerian. Saya
berbeda nasib. karena setelah lulus, saya ke Sumatera Utara,” ujar Mangindar.
D.
“Kurir” Surat Seorang Dosen
Mangindar sebetulnya tidak ingin
pulang kampung ke Sumatera Utara. Dia ingin bekerja di Kalimantan yang pada
masa itu cukup prospektif untuk bisnis kehutanan. Ditambah lagi dia acap diajak
dosen-dosennya dalam penelitian kehutanan di Bumi Borneo itu. Namun, dewi
keberuntungan tidak berada di Tanah Dayak tersebut. Dewi keberuntungan mengetuk
pintu hatinya saat Mangindar hendak pulang kampung ke Samosir setelah lulus
dari IPB.
Ceritanya, Bedyaman Tambunan –dosen
IPB yang beristri wanita Jawa-- ketika itu pulang kampung ke Sumatera Utara,
karena ada kerabatnya yang meninggal dunia. Bersamaan dengan itu ada pergantian
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dari pejabat lama ke pejabat
baru Hisar Purba –senior Bedyaman waktu kuliah di IPB. Sebelum bertugas di
Medan, Hisar Purba adalah Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Irian Jaya. Usai masa
perkabungan, Bedyaman bertemu Hisar Purba di Medan. Hisar Purba berpesan agar
Bedyaman mencarikan orang Sumut yang pintar dan cerdas untuk mendampinginya
sebagai Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumut.
Tuntas semua urusan di Sumut, Bedyaman
kembali ke Bogor, menekuni aktivitas akademik di IPB. Bedyaman pun memanggil Mangindar
untuk menemuinya. Dengan senang hati dia memenuhi panggilan. Minimal, dia bisa
langsung mengucapkan belasungkawa. Selain itu, dia bisa memperoleh informasi
lowongan magang di Kalimantan, terutama di perusahaan HPH (Hak Pengusahaan
Hutan). Beberapa dosen Fakultas Kehutanan IPB, salahnya satunya Bedyaman, biasa
memperoleh proyek survai hutan Kalimantan dan Mangindar kerap diikutkan dalam
pelaksanaan survai tersebut. Berkat pengalaman itu, dia bertekad bulat, sembari
menunggu saat wisuda, ingin bekerja di Kalimantan.
Sebab itu, Mangindar telah membawa
formulir dan sejumlah dokumen persyaratan untuk bekerja di perusahaan HPH.
Tapi, Bedyaman tidak menanggapi serius formulir yang disodorkan Mangindar.
Katanya, “Nggak usah cerita pekerjaan
dulu. Ada yang lebih menarik. Saya baru saja bertemu salah seorang senior kita,
orangnya pintar dan baru dua bulan menjadi Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera
Utara. Dia minta tenaga yang masih segar, saya pikir kamu yang cocok di situ.”
“Lho Pak, saya nggak ada niat bekerja di Sumut. Di sana kan tidak ada hutan lagi,”
ucap Mangindar.
Bedyaman terus membujuk agar
Mangindar bersedia menjadi pendamping Kepala Dinas Kehutanan Hisar Purba. “Ini
lain Simbolon, dia orang hebat. Bantulah dia, supaya jadi bakal menteri,” ujar
Bedyawan sebagaimana ditirukan oleh Mangindar kepada tim Indomedia. Demikian serius Bedyaman mendorong Mangindar Simbolon
balik kampung ke Sumatera Utara. Sementara Mangindar tetap keukeuh tidak ada niat kembali ke Sumut.
Tak ada kata menyerah dalam diri Bedyaman.
“Ok, kamu pulang dulu sekarang. Terserah, mau atau tidak, tolong bawa surat
saya ini ke Pak Hisar Purba,” pinta Bedyaman.
Pendek cerita, Mangindar pulang
kampung dengan niat menemui kedua orang-tuanya di Samosir untuk menceritakan
kelulusannya dari IPB. Setiba di Medan, dia tidak langsung melanjutkan
perjalanan ke Samosir. Dia langsung ke Kantor Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera
Utara buat menyampaikan surat dari Bedyaman Tambunan ke Hisar Purba. Tiba di
sana, rupanya sudah ada beberapa seniornya semasa kuliah di IPB tengah menunggu
giliran bertemu Kepala Dinas Kehutanan. Bahkan ada pula alumni dari UGM yang menunggu
giliran masuk ke ruang kepala dinas.
Protokoler di Kantor Dinas Kehutanan
waktu itu cukup ketat. Mangindar sabar menunggu di ruang tunggu bersama
beberapa orang lain yang datang lebih awal. Setelah menemui staf protokoler
perihal agendanya bertemu Kepala Dinas Kehutanan dengan membawa surat dari
seorang dosen IPB, dia dipersilakan menunggu di ruang dalam yang lebih dekat
dengan ruang kerja kepala dinas. Waktu menunggu itu, dia sempat sedikit tergetar
saat mendengar Kepala Dinas Kehutanan Hisar Purba memarahi beberapa tamunya
yang meminta ongkos. “Kamu pulang
sekarang, kamu pikir saya bendahara revolusi?” ujar Hisar Purba dengan nada
tinggi sebagaimana dikenang kembali oleh Mangindar.
Tibalah giliran Mangindar masuk
ruang kerja kepala dinas. “Pak, ini ada tamu dari Bogor, dia bawa sepucuk surat,”
kata staf protokoler sembari mengantarkan Mangindar menghadap Hisar Purba.
“Orang Batak ya?” Kepala Dinas
Kehutanan Hisar Purba langsung bertanya.
“Ya Pak, saya cuma mengantarkan
surat ini,” jawab Mangindar.
“Dari siapa? Bedyaman Tambunan? Ooo
ya ya, duduk, duduk sini,” kata Hisar Purba sambil menyalami tangan Mangindar
dan berucap, “Selamat ya, selamat datang, mulai hari ini Anda saya anggap
menjadi pegawai Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara.” Hisar Purba terus
berbicara panjang-lebar ihwal rencana-rencananya membangun sektor kehutanan di
wilayah Sumatera Utara. Sarat semangat.
Mangindar berusaha menyela. “Pak,
boleh saya ngomong?” tanyanya.
“Oh, boleh-boleh, silakan,” jawab
Hisar Purba.
“Mohon maaf, saya ke sini hanya
mengantarkan surat ini ke Bapak. Saya tidak ada rencana kerja di sini,”
Mangindar menegaskan niatnya.
“He kenapa, kalau bukan kita yang
membangun daerah kita, siapa lagi. Kamu kan termasuk yang bagus, harus kembali
ke kampung. Saya ini kurang apa di Irian Jaya, uang banyak, rumah di Jakarta
banyak, saya ke sini mau membangun Sumatera Utara,” tutur Husar Purba
berapi-api. Dan masih panjang lagi apa yang diomongkan Hisar Purba untuk
membawa Mangindar tetap bersedia bekerja di Sumatera Utara.
Mangindar kembali menyela, “Pak, pakaian
dan barang-barang saya masih di Bogor dan saya belum wisuda. Saya juga belum ketemu
orang tua, rencana mau ketemu orang tua dulu di Samosir, marga Simbolon.”
“Oh, kalau begitu kamu tahu Marham
Simbolon?” tanya Hisar Purba. Sekadar mengingatkan kembali, Marham Simbolon
adalah paman Mangindar yang banyak memberi masukan saat dirinya mau memenuhi
undangan PMDK IPB. Dan rumah Marham Simbolon yang waktu itu Kepala Brigade
Planologi Kehutanan Propinsi Jawa Barat menjadi tujuan pertama saat Mangindar
datang dari Samosir.
“Beliau kenal paman saya, Pak,”
jawab Mangindar.
“Oh itu masih famili, orangnya baik
tapi kurang pintar. Dia lebih suka urusan surga, kamu gitu juga.”
“Kan nggak ada salahnya urusan surga,” Mangindar berusaha mendebat.
“Tapi, kita kan hidup di dunia,”
katanya lebih lanjut, “Mau berapa lama kamu di Samosir?”
“Lihat situasi Pak, mohon maaf saya
belum bisa memastikan yang Bapak perintahkan. Dari Samosir, saya harus pulang
dulu ke Bogor,” ucap Mangindar.
“Oo, boleh-boleh, nggak apa-apa. Kamu sudah saya anggap
masuk sini,” tandas Hisar Purba.
Singkat cerita, Mangindar pulang kampung
ke Samosir. Orang tua dan beberapa saudaranya sedikit bingung, bertanya-tanya
apakah kepulangan ke Samosir kali itu untuk berlibur. Dia sampaikan bahwa
dirinya sudah selesai kuliah. Wajar saja kebingungan menyeruak di benak orang
tua dan sudara-saudara Mangindar di Samosir. Di benak mereka, perkuliahan biasa
memakan waktu cukup panjang, ada yang sampai tujuh tahun, belum ada lulus dalam
tempo empat tahun. Dia pun menjelaskan perjalanan perkuliahan di IPB. Dan dia
juga menerangkan dirinya baru saja lulus tapi belum diwisuda.
Berlama-lama di kampung, Mangindar tidak
betah pula. Kepada kedua orang-tuanya, dia menyampaikan niat untuk segera balik
ke Bogor. Spontan kedua orang-tuanya mau ikut karena ingin mendampinginya saat
wisuda. Namun Mangindar teringat pesan Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara
Hisar Purba. Pesannya, “Nanti dari Samosir, kamu ke sini dulu ya, saya kasih
ongkos. Nanti kita bicara dulu.”
Sebab itu, dia meminta kedua
orang-tuanya tidak ikut dulu karena dirinya belum langsung ke Bogor. Dia
jelaskan dirinya harus bertemu terlebih dulu dengan Kepala Dinas Kehutanan
Sumatera Utara. Kedua orang-tuanya justru bertanya-tanya apa kesarjanaannya
sudah resmi karena belum diwisuda. “Saya katakan wisuda hanya formalitas, tapi
ini belum pasti waktunya. Akhirnya orang tua tidak ikut,” kenang Mangindar.
Setelah pamitan pada kedua
orang-tuanya, Mangindar bergegas balik ke Medan, menemui Kepala Dinas Kehutanan
Sumatera Utara. “Pak, saya sudah dari Samosir, mau pulang ke Bogor,” kata
Mangindar begitu ketemu Hisar Purba.
“Tunggu dulu. Kamu boleh ke Bogor
pakai perjalanan ke sana,” ujar Hisar Purba. Mangindar terbengong, tak memahami
sepenuhnya maksud ucapan Kepala Dinas Kehutanan.
Rupanya selama Mangindar berada di
Samosir, Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara telah mengirim surat pengajuan
pegawai baru ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Kehutanan Departemen Pertanian. Dan
Surat Keputusan mengenai status kepegawaian Mangindar sudah jelas. Terhitung mulai
tanggal 7 Juni 1981 dia bertatus pegawai harian pada Kantor Dinas Kehutanan
Propinsi Sumatera Utara. Dari sinilah, Mangindar baru paham kata-kata “pakai
perjalanan” mengandung pengertian perjalanan dinas.
Lanjut Hisar Purba, “Kamu nanti
wisuda ke Bogor, ambil buku dan pakaian. Tapi sekarang kamu kerja dulu di sini.
Soal pakaian gampang, nanti beli saja di sini.” Akhirnya, hari itu Mangindar
mulai bekerja sebagai pegawai harian di Kantor Dinas Kehutanan Sumatera Utara.
Tak berapa lama kemudian, akhir
Agustus 1981, Mangindar balik ke Bogor dengan mengajak ayahnya untuk mengikuti wisuda
sebagai Sarjana Kehutanan. Selanjutnya, 1 Maret 1982, dia sudah berstatus Calon
PNS sebagai staf Dinas Kehutanan Dati I Propinsi Sumatera Utara.
“Saya dianggap ajudan Pak Hisar. Beliau
ini maniak kerja, hubungan dengan isterinya kurang harmonis. Kalau perlu habis jam
kerja di kantor, dilanjutkan kerja di hotel. Modelnya begitu, kerja, makan,
terus begitu. Saya ikuti, saya ambil sisi positifnya, menimba ilmu yang beliau
tularkan,” tutur Mangindar Simbolon menguak memorinya di awal masa kerja di
Dinas Kehutanan Dati I Propinsi Sumatera Utara sebagai sebuah harapan dan dia
berada di saat yang tepat untuk mendengar bisikan keberuntungan itu. ***
No comments:
Post a Comment