* Enny
Sampurno
Human
Resources Director PT Unilever Indonesia Tbk
Siapa tak kenal produk-produk
Unilever, mulai dari Rinso,
Lux, Citra, kecap Bango sampai pelembab wajah Citra. Beberapa di antaranya adalah produk lokal
Nusantar yang di-create menggobal.
Dan, itulah salah satu kekuatan inovasi Unilever Indonesia menjawab persaingan
bisnis consumer good yang kian ketat.
Untuk lebih mengetahui kekuatan inovasi tersebut, kami dari Dunamis
mewawancarai Human Resources Director PT Unilever Indonesia Tbk Anny Sampurno
di kantornya Graha Unilever, Jakarta, akhir Mei 2013. Berikut petikannya:
T: Bagaimana tantangan yang dihadapi
Unilever kini dan nanti?
J:
Karena semuanya sudah bagus, yang paling berbahaya adalah kami jadi berpuas
diri. Tantangannya adalah bagaimana kami tidak terjebak berpuas diri, kami harus
tetap alert. Kami bagus begini,
kompetitor juga bagus semua. Sebab itu, kami alert terus setiap hari, karena semakin lama semakin susah hidup di
Indonesia ini.
Tantangan
lainnya adalah competition yang
ketat. Sebab itu, kami harus datang dengan inovasi-inovasi yang sesuai dan
terus mengedukasi konsumen. Kemudian yang kalah menantang adalah bagaimana kami
menyerasikan sumber daya manusia dengan pertumbuhan bisnis yang kian cepat.
Dulu kami butuh waktu hampir 75 tahun untuk sampai rate 1 miliar Euro, dari
satu miliar ke dua miliar cuma lima tahun. Di 2012, kami sudah berada pada rate
2 miliar Euro. Dan, kami mau ke 3 bilion Euro itu di 2015, makin pendek. Kami
harus akselerasi dan persiapkan SDM menghadapi hal ini. Kami berusaha bagaimana
people-nya siap dan teknologinya bisa membantu. Yang terpenting kami bagaimanya
menyiapkan talent skill capability-nya
lebih cepat daripada bisnisnya.
Tanya (T): Di sini, knowledge workers menjadi kunci penting
memenangi kompetisi. Bagaimana knowledge
management Unilever berkontribusi dalam membangun knowledge workers?
J: Salah
satu kuncinya adalah sharing knowledge.
Kami menciptakan sharing culture dan learning culture, di mana setiap orang
boleh sharing apa saja. Misalkan
waktu Sunlight sukses, growth-nya 50%, tim Sunlight sharing pengalaman. Tidak sekadar sharing kisah sukses, kami juga
mendorong barrier sharing. Kalau kalian
berbuat kesalahan nggak perlu takut. Buat
kami, adanya barrier juga sangat
berharga. Kalau hal ini tidak di-share,
maka orang akan mengulangi kesalahan yang sama.
Kami encourage everybody to share. Kami mulai
dari yang sederhana, informal, dengan diawali makan nasi Padang bersama, main
organ tunggal. Sampai kemudian pda forum yang lebih formal. Dari forum-forum
sharing ini kami sekarang punya modul-mudl yang dibuat oleh karyawan. Banyak
sekali jumlahnya, sekitar 42.000. Misalkan ada mesin atau produk baru, langsung
mereka bikinkan modul dimasukkan ke digital library. Kami punya modul sudah
sampai 42.000. Kami mulai yang kecil-kecil dan jalan. Akhirnya orang merasa
senang sharing, apalagi kalau ada pengakuan
(recognize).
T: Tentu tidak sebatas modul, adakah
inovasi yang juga muncul?
J: Biasanya
kelihatan dari hasil. Kami punya Kompas Award yang digelar tiap tahun. Ada winning with the brand, winning with market
placed, dan winning with people. Semua
apa yang karyawan lakukan boleh dimasukkan ke kompetisi ini. Setiap tahun kami
pilih pemenangnya. Nah, dari sinilah banyak muncul inovasi. Ini semua
didokumentasikan di digital library
dan siapa saja bisa membuka.
T: Dapat dicontohkan inovasi yang
bisa dinikmati konsumen?
J:
Sebagai perusahaan multinasional, kebanyakan inovasi kami datang dari luar. Walaupun
demikian, consumer insight-nya kami dapat
godok dalam bentuk yang khas Indonesia, menarik buat orang Indonesia. Kalau nggak,
maka kami akan kesulitan menggarap konsumen. Apalagi, daerah yang satu berbeda
dengan daerah yang lain.
Contoh
paling populer adalah fesival jajanan Bango. Hampir semua makanan tradisional
di nusantara ini tidak lepas dari kecap, kam pun memproduksi kecap dan
difestivalkan. Festival jajanan Bango ini sangat Indonesia. Makanannya khas
daerah masing-masing. Sampai pertengahan 2013, kami sudah gelar di lima kota,
masing-masing Bandung, Surabaya, Malang, Semarang dan Jakarta.
Di
produk food, kami memang leluasa berinovasi. Food itu sangat lokalistik. Dulu,
produk teh Sariwangi cuma dipasarkan di Jawa. Belakangan, ternyata Sumatera itu
juga merupakan pasar yang potensial. Di Sumatera, yang laku adalah varian
vanila tea. Di Jawa sendiri, berbeda
dari provinsi ke provinsi. Orang Jateng lebih suka jasmine tea. Insight
consumer bisa tertangkap.
Untuk
produk kosmetik dapat dicontohkan pembersih muka Citra. Produk asli Indonesia ini
sekarang jadi produk global Unilever. Kosmetik ini relevan dengan face orang
Asia, jadi bisa masuk ke Thailand, Malaysia dan China.
T: Pendistribusian prouk Unilever
ini kan mengandalkan distributor yang dapat dikatakan tidak satu bahasa.
Bagaimana agar mereka satu bahasa?
J: Memang,
selain kami sebagai distributor, juga ada distributor lain yang bekerjasama.
Untuk menatukan bahasa distributor, orang sales Unilever mengedukasi
distributor atau langsung ke user. Bisa pula orang sales duduk di distributor lalu
mengajari distributor. Kami punya tenaga representatif yang duduk di
distributor. Mereka melakukan morning
breefing, ya seperti business
consultant-nya distributor. Mereka mengedukasi sampai setiap distributor memiliki
laporan dinding, tahu jumlah outlet yang di-cover, sampai produk-produk yang
didistribusikan. Kami punya dokumen berapa line, SOP yang harus dipatuhi, dan
lain-lain.
Bagian
marketing harus menguasai hal ini. Selama satu tahun sudah ada agenda yang cukup
padat. Setiap vice president (VP) dan direktur akan berikan satu topik, seperti
saya HR for HR, karyawan perlu belajar organization
for efectiveness. Ini materi yang non-skill.
Sedangkan menyangkut skill, kadang
kami harus datangkan pengajar dari luar.
T: Dalam hal materi seperti apa, narasumber
dari luar diundang?
J: Kalau
ada topik yang kira-kira kami tidak menguasai, baru kami panggil dari luar,
supaya ada external perspective. Kami
pernah undang Pak Emirsyah Satar (Dirut Garuda), Phillia Wibowo, Direktur
McKinsey & Co. Karyawan kan kadang naya bagaimana punya anak-anak kecil
perempuan. Phillia kan dari McKinsey dan dia juga punya anak kecil lalu
sharing. Kami lihat topiknya dulu, baru oh perlu external speaker. Pernah undang Pak Anis Baswedan.
Kami
combine, agar tidak terlalu Unileverian banget. Di Unilever
Leadership Forum selalu kami tampilkan public
speaker. Supaya, orang-orang kami minimal punya perspektif dari eksternal.
Juga agar bisa belajar banyak dari sana. Beberapa waktu kami mengundang Martin,
pemenang olimpiade renang di sungai, dia menang karena mengambbil jalur lain
dan tidak diperhitungkan. Urutan satu-dua bertarung, dia ngambil jalur lain dan
ternyata menang. Kebetulan dia orang Unilever. Bukan renangnya sebagai
pembelajaran, tapi upayanya berbeda dari yang lain itulah menjadi inspirasi.
T: Bagaimana kiat Unilever menemukan
talenta-talenta inovatif yang tersebar dari Sabang sampai Merauke?
J: Kami
di Unilever membicarakan atau menilai orang dua kali setahun dan dilakukan
secara berlapis. Misalkan board, 4-5 orang, setiap Juni dan November membicarakan
orang satu level di bawah kami. Itu dilakukan terhadap orang per orang. Misalkan
si A itu sudah berapa lama di situ, bagus ataukah tidak, retensinya bagaimana. Nanti yang satu level
di bawah board membicarakan orang-orang satu level di bawahnya lagi. Dengan
beitu, semua orang itu ada di radar pemantauan. Tahun lalu misalnya ada chairman award, yang memperoleh orang
dari Palu.
Tantangannya
itu worker kami banyak sekali,
biasanya hanya 10% yang punya talenta kuat. Kami tidak membicarakan semua orang
di satu level bawah board, cukup
banyak juga. Intinya 10% talenta itu. Di bawahnya name by name, ke bawahnya top
10. Semua yang bagus tuh, meski di Papua, akan terlihat. Kami juga punya talent
facebook tapi tidak di-share bebas ke
setiap orang, karena itu confidential.
Yang talent facebook, satu orang di satu page. Siapa nama, gaji, kompetensi,
semua ada di page. Yang tahu atasannya saja karena dia share ke atasan. Itu
sangat private. ***
No comments:
Post a Comment