Di dalam Bhagavad Gita dikatakan: neraka itu punya tiga pintu: nafsu,
kemarahan, dan keserakahan. Lantas, apa jadinya bila keserakahan itu
dipertontonkan hingga ke liang lahat?
Di Jakarta,
bukan hanya kehidupan yang kejam–sampai-sampai ada ungkapan: “kejamnya ibu tiri
tak sekejam ibu kota”–tetapi kematian pun tak kalah pelitnya. Sekarang warga
miskin Jakarta yang meninggal sulit mendapatkan liang lahat. Sekarang berlaku
prinsip: Tak ada uang, tak ada liang lahat!
Memang,
sejak beberapa tahun terakhir, urusan pemakaman di Jakarta dirasuki virus
bisnis. Lantaran itu, makam-makam di Jakarta pun mengenal klas-klas. Biasanya
ditentukan posisi/letak makam dan jenis fasilitas yang disediakan. Ironisnya,
itu terjadi juga di Tempat Pemakaman Umum (TPU).
Sebut saja
TPU di Menteng Pulo, Jakarta Selatan. Berdasarkan penelusuran Merdeka.com,
kuburan di TPU ini dibagi menjadi enam klas. Yang paling mahal adalah Klas A-1
(warga menyebutnya ‘Klas Eksekutif’). Tarifnya bisa mencapai Rp 3 juta. Posisi
kuburan A-1 berada di dekat jalan dan pintu gerbang TPU.
Kemudian
ada kelas AA1, yang lokasi kuburannya agak ke dalam. Harga sewanya antara Rp
2,5 sampai Rp 2,8 juta. Lalu, ada kelas B1, yang harganya Rp 2 juta.
Sedangkan kelas BB1 harga sewanya
berkisar Rp 1,5 juta. Sementara kelas C1 dipatok harga antara Rp 1 sampai Rp
1,2 juta.
Yang paling
murah adalah Klas CC1, yakni Rp 700 ribu, tetapi letaknya paling belakang atau
hampir 1 km dari pintu gerbang. Biasanya, kondisinya agak kotor alias kurang
terawat.
Harga itu
berlaku untuk sewa 3 tahun. Artinya, setelah masa sewa berakhir, anda harus
membayar lagi. Jika pihak keluarga tidak memperpanjang sewa itu, maka makam itu
akan disewakan ke orang lain. Tak heran, satu kuburan bisa ada lima mayat yang
saling menumpuk. Tragis!
Sebetulnya,
jika mengacu ke peraturan, biaya pemakaman di Jakarta tidak melebihi Rp 100
ribu. Menurut Perda Nomor 1 tahun 2006 tentang Retribusi Lahan, sewa lahan atau
retribusi pemakaman paling murah Rp 40 ribu dan paling mahal Rp 100 ribu.
Kepala
Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Chatarina Suryowati mengatakan, biaya
pemakaman tergantung dengan lokasi blok. Untuk kelas 1 biayanya sebesar Rp
100.000, kelas 2 Rp 80.000, dan kelas 3 Rp 60.000. Sedangkan bagi warga miskin
tidak dikenai biaya alias gratis.
Namun,
praktek di lapangan justru berbeda. Konon, yang membuat biaya pemakaman
melambung tinggi adalah para calo. Biasanya, para calon ini menawarkan jasa,
seperti pengurusan surat-surat ke pihak pengelola, juga ditambah sejumlah
fasilitas: plakat (nisan), tenda, kursi, dan rumput. Maklum, pengelola TPU
hanya bertanggung-jawab dalam urusan penggalian dan penutupan lubang.
Selain itu,
pemicu maraknya praktik bisnis permakaman ini adalah krisis lahan pemakaman di
Jakarta. Lahan makam di Jakarta tersebar di 109 lokasi TPU, yakni Jakarta Pusat
seluas 37,9477 ha dengan 4 TPU, Jakarta Selatan (153,9847 ha, 33 TPU), Jakarta
Utara (61,3513 ha, 10 TPU), Jakarta Timur (169,0795 ha, 40 TPU), Jakarta Barat
(149,2200 ha, 16 TPU), dan Kepulauan Seribu (4,4995 ha, 6 TPU).
Lahan siap
pakai 65,0565 ha (63,37 persen), lahan yang sudah terpakai 355,4363 ha (61,70
persen), sisa 9,6202 ha (1,67 persen). Dengan demikian, Jakarta memang
mengalami krisis lahan makam. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta
2010, kebutuhan makam ditargetkan 745,18 ha. Yang terealisasi hanya 576,0827
ha. Artinya, terjadi kekurangan sebesar 208,9173 ha.
Sementara
itu, jumlah penduduk Jakarta yang meninggal meningkat dari 80 orang per hari
(1997) menjadi 120 orang per hari (2007). Artinya, pada tahun 2007,
diperkirakan ada 43.800 orang yang meninggal. Ini perhitungan kasar saja. Jika
setiap jenazah membutuhkan luas makam 1,5 x 2,5 meter = 3,75 meter persegi,
Jakarta membutuhkan lahan makam 164.250 meter persegi (16,425 ha) per tahun.
(Nirwono Joga, 2009).
Banyak
makam-makam di Jakarta yang tergusur. Sebagian besar karena tuntutan bisnis.
Bakrie, misalnya, menggusur sebanyak 3.500 kuburan di area seluas 10.646 meter
persegi tanah makam di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Menteng Pulo Casablanca,
Jakarta, digusur untuk jalan tembus untuk jalan masuk Menara Epicentrum. Inilah
nasib orang miskin di Jakarta: masih hidup digusur, sudah mati pun kena gusur!
Namun,
nasib berbeda justru dinikmati oleh kaum kaya di Jakarta. Sementara jenazah
orang miskin harus ditumpuk-tumpuk dalam satu lubang karena krisis lahan, kaum
kaya Jakarta justru menikmati peristirahatan terakhirnya di pemakaman mewah nan
megah.
Ini tidak
terlepas dari maraknya bisnis pemakaman mewah. Salah satunya adalah San Diego
Hills Memorial Park, yang terletak di Karawang, Jawa Barat. Pemakaman mewah ini
merupakan bisnis milik Lippo Group. Pemakaman mewah ini tak ubahnya kawasan
pemukiman elit. Ada kolam renang, lintasan lari, restoran Italia papan atas,
helipad, lapangan golf, dan 8 hektare danau yang dilengkapi dengan perahu
dayung.
Siska,
salah seorang Marketing di San Diego Hills, menyampaikan kepada DetikTravel,
bahwa biaya pemakaman di tempat ini paling murah Rp 24 juta dan paling mahal Rp
1,5 milyar. Sejumlah mantan pejabat dikuburkan di pemakaman elit ini, seperti
mantan Menteri Kesehatan Endang Sri Rahayu Sedyaningsih, Wakil Menteri ESDM
Widjajono Pratowidagdo, mantan Menteri Keuangan Frans Seda, mantan Wakil Ketua
DPR/Politisi PAN Marwoto Mitrohardjono. Kabar yang beredar menyebutkan, harga
makam Marwoto Mitrohardjono mencapai Rp 300 juta.
Kendati
harganya mahal, banyak makam di San Diego Hills sudah dipesan alias dikapling.
Hingga pertengahan tahun 2009, sebanyak 15 ribu makam sudah dikapling oleh
orang-orang kaya (artis, pengusaha, politisi, desainer, dan lain-lain). Konon,
mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo sudah memesan makam di San Diego Hills.
Ternyata,
sukses bisnis pemakaman San Diego Hills diikuti pula oleh kelompok bisnis lain.
Salah satunya adalah Al Azhar Memorial Garden, yang dikelola oleh Yayasan Al
Azhar. Dengan mengusung konsep Islami, pemakaman ini memasang banderol di
kisaran Rp20 juta hingga Rp200 jutaan. Di depan pemakaman islami ini terpampang
plan: “Pemakaman Syariah di Tengah Hijaunya Taman”. Ironis, atas nama agama,
tempat peristirahatan terakhir manusia dibisniskan. Astagfirullah!
Inilah
ironi di negeri kita: sementara jenazah orang miskin ditumpuk-tumpuk dalam satu
lubang, jenazah orang kaya justru menempati lahan lahan yang luas, sejuk, dan
didukung fasilitas mewah. Sementara pemakaman orang miskin bisa digusur kapan
saja, pemakaman elit kaum kaya terjaga dan terlindungi di atas bukit yang
indah.
Itulah
jahatnya kapitalisme. Tidak hanya manusia hidup yang dijadikan perkakas untuk
mengakumulasi keuntungan. Ternyata, manusia yang sudah menjadi bangkai pun
masih dijadikan sarana menumpuk keuntungan. Inilah keserakahan yang tak
mengenal batas.
Sigit
Budiarto, Kontributor Berdikari Online
No comments:
Post a Comment