Semenjak bulan Ramadhan diyakini sebagai bulan penuh
keberkahan, maka semenjak saat itu pula perbincangan mengenai nilai dan fungsinya
selalu didiskusikan, baik dalam bentuk makalah, majalah maupun dalam bentuk buku.
Dalam beberapa kesempatan, kami sengaja ingin menarik
perhatian dari kalangan pemikir dengan mengadakan lomba menulis kajian ilmiah
terkait hadits Ramadhan dan hadits-hadits puasa secara umum. Dan tulisan kami
pun mencoba untuk ikut berkompetisi dengan menjadikan “Tata-Cara Mendapatkan
Hikmah dan Fungsi Puasa” sebagai obyek yang dikaji.
Sampai kapan pun, tema-tema seputar hikmah-hikmah dan
fungsi-fungsi puasa selalu saja menarik perhatian buat dikaji. Tak mengherankan,
kendati dengan tema dan hadits yang sama kita akan selalu mendapati pemahaman
yang berbeda-beda. Karena itu, agar usaha yang kami lakukan dalam rangka menyibak
rahasia-rahasia di balik ibadah puasa ini nampak berbeda, kami akan
melakukannya dengan menggunakan gaya bahasa yang lugas sekaligus menghadirkannya
dengan ulasan yang logis.
Cuplikan-cuplikan yang kami sajikan ketika membahas
hikmah-hikmah puasa antara lain:
1.
Ketahuilah, bila manusia dalam
kehidupan sehari-hari selalu menjadikan adat-istiadat sebagai barometer
kesalehannya, maka ia secara mudah akan terjerembab ke dalam sekat-sekat sosial;
ia akan terkelompokkan ke dalam beberapa lapisan sosial yang tergantung hukum
adat yang diikutinya. Di sini, status sosial menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan
interaksi sosial sesamanya. Manusia juga akan merasa dikekang olehnya dalam setiap
tindakannya. Sehingga tanpa disadari, ia justru semakin jauh dari elastisitas dalam
menjalani kehidupannya. Bahkan ia hanya menjadi seperti robot.
Demikian pula, ketika manusia menjalankan
hukum kehidupannya bertumpu pada adat-istiadatnya semata, ia akan menjadi budak
bagi adat-istiadatnya sendiri. Kenapa manusia harus tunduk dan patuh hanya pada
adat? Bukankah manusia sendiri yang menjadikan adat itu ada? Ketika disadari, adat justru
mengekang manusia dari nilai-nilai kebebasannya sebagai makhluk yang memiliki
pilihan dan kebebasan.
Sebab itu, Allah SWT mewajibkan puasa
untuk membebaskan manusia dari praktik-praktik penyembahan pada adat-istiadat. Ibadah
puasa membalikkan status adat yang semula memiliki status sangat tinggi menjadi
tidak bernilai apapun. Ibadah puasa juga mengajarkan kepada manusia elastisitas
kehidupan, sehingga ia tidak hanya menjadi seperti robot semata.
2. Banyak pemikir yang membahas hal-ihwal fungsi-fungsi
puasa. Salah satunya melihat dengan kacamata medis. Dalam hal ini, Dr. Farid Wajdi terbukti telah berhasil memberikan penjelasan yang sangat baik. Dalam tulisannya, beliau
menyatakan:
“Kebanyakan manusia berprangsangka bahwa ibadah puasa merupakan ritual ibadah
yang berkaitan dengan urusan-urusan agama semata. Memang tak dipungkiri, informasi
medis mengenai fungsi-fungsi puasa sejauh ini belum tersebar secara menyeluruh
dan merata di kalangan umat manusia. Hingga
akhirnya, manusia mengetahui dan menyadari bahwa ternyata puasa dapat
mempertebal daya tahan tubuh manusia dari berbagai macam penyakit.
Puasa pun merupakan salah satu
cara paling efektif untuk memurnikan partikel-partikel racun yang terdapat pada
makanan yang kerap dimakan oleh manusia. Karena zat-zat makanan dalam tubuh
hewan yang kerap kita makan memiliki zat-zat pelumas seperti lemak dan juga unsur-unsur
lainnya. Secara medis, tubuh manusia tidak akan mampu menyimpan semuanya,
karena bila dipaksakan maka itu akan menghancurkan tubuh manusia itu sendiri. Sehingga,
yang baik untuk tubuh manusia adalah dengan memberikan apa yang dibutuhkan olehnya
bukan malah memaksakannya secara berlebihan.
Dalam hal ini, kebebasan mutlak
manusia untuk memasukkan apa yang sekiranya ia inginkan justru akan berdampak
buruk terhadap kesehatannya. Jika manusia terus-menerus memaksakan diri tetap memasukkan
pelbagai macam jenis makanan ke dalam tubuhnya, sama halnya secara sengaja ia
memupuk tubuhnya dengan berbagai jenis penyakit.
Benar, bila di sini puasa sebagai salah
satu cara buat menghindari ketamakan manusia dari mengkonsumsi makanan. Sekaligus menjaga tubuhnya agar tetap sehat. Puasa memiliki
peranan yang sangat penting bagi
manusia. Tidak sebatas dari segi jasmaninya
saja tapi juga segi
hati nuraninya. Dalam ilmu kesehatan, puasa merupakan salah
satu upaya refleksi kesehatan yang tidak dimiliki oleh obat-obatan modern dalam
menangani pelbagai macam penyakit. Sayangnya, sebagian besar kaum Muslim tidak
menyadari hal ini. Mereka tidak lagi mempedulikan masa depan mereka. Mereka juga tidak lagi
memperhatikan gaya hidup sehat agar kelak siap menghadapi hari tua. Dan, mereka
tidak mengerti batas-batas kekuatan fisiknya. Yang ada dalam benak mereka
hanyalah yang penting bisa hidup, bukan bagaimana tata-cara menjaga diri agar
tetap hidup secara sehat.”
3.
Ditinjau
dari sisi sosial lainnya, Allah SWT mewajibkan puasa agar orang-orang kaya
dapat merasakan rasa lapar yang kerapkali diderita oleh saudara-saudaranya yang
kesusahan (kelaparan). Dengan harapan, supaya mereka yang mampu senantiasa
membantu saudara-saudaranya yang kurang mampu. Dari puasa kita dapat belajar
saling memberi, saling berbagi dan saling menyayangi. Karena dari hal-hal
seperti inilah asas-asas sebuah masyarakat majemuk itu dibangun. Jika manusia di muka bumi ini dapat memahami
hikmah dan fungsi di balik ibadah puasa secara baik, niscaya kesejahteraan
masyarakat yang selama ini diidam-idamkan akan dapat diwujudkan.
4. Begitu pula, melalui ibadah puasa,
Allah SWT tengah mengajarkan kepada kita tentang betapa penting menjaga diri,
berkomitmen dengan keyakinan dan juga tentang pentingnya arti sebuah kesabaran.
5. Terakhir, dilihat dari sudut
pandang metafisik, puasa adalah salah satu bentuk aktivitas untuk menjaga hawa
nafsu manusia sekaligus menyucikan jiwanya.
Kelima hal tersebut merupakan
sebagian besar dari hikmah-hikmah dan fungsi-fungsi puasa yang selama ini
ditulis dan disampaikan oleh para pemikir kepada masyarakat umum. Tetapi dalam
kenyataannya, kehidupan manusia --khususnya umat Muslim-- belumlah
memaksimalkan sepenuhnya nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah puasa.
Umat Islam dewasa ini justru
semakin menjauh dari nilai-nilai keislaman. Umat Islam tertinggal jauh dari
bangsa Barat. Nilai elastisitas dalam kehidupan umat Islam seolah tercoreng.
Data statistik kesehatan umat Islam jauh di bawah bangsa-bangsa Barat.
Fenomena yang sering kita saksikan
akhir-akhir ini adalah di lingkungan umat Islam sedang terjangkit rasa ketidak-pedulian
dan telah mengalami degradasi moral. Orang-orang kaya yang beragama Islam tidak
lagi memberikan sebagian hartanya untuk kepentingan pendidikan. Seharusnya dari
sumbangsih mereka terhadap pendidikan inilah orang-ornag miskin bisa mengenyam
pendidikan secara gratis. Bahkan, yang paling ekstrim, mereka tidak lagi mempedulikan
keadaan lingkungan sekitarnya. Mereka tidak lagi berlomba-lomba melakukan
hal-hal yang berkaitan dengan kebaikan. Namun justru rumah dan gedung-gedung
mereka tertutup rapat, sehingga kaum fakir-miskin pun jangankan memasuki
pekarangan rumahnya, melihat dari luar saja mereka tak sanggup lantaran pagar
yang menjulang terlampau tinggi.
Orang-orang kaya dari golongan umat
Islam belakangan ini justru bertingkah semakin aneh. Mereka bukannya
menyedekahkah hartanya demi kepentingan umat, justru menginsvestasikan
harta-hartanya ke Negara-negara Eropa. Disadari atau tidak, tindakan seperti
inilah yang menjadikan ekonomi umat Islam mengalami stagnasi, bahkan mundur dan
tidak berkembang. Di lain pihak, mereka malah bertaruh buat memenangkan
perjudian, seperti yang sering terjadi di setiap even perlombaan dunia. Atau barangkali
berebut tender untuk menghadirkan penyanyi-penyanyi top kelas dunia sekaligus
penari latarnya. Mereka lupa bahwa dalam harta mereka terdapat hak-hak para
saudaranya yang sedang dalam keadaan lapar, haus dan kedinginan. Pada akhirnya,
mereka semakin menjauh dari jalan-jalan kebaikan dan kebenaran.
Dalam sikapnya mengenai puasa, Imam
Syafi’i r.a. mengatakan bahwa puasa bukanlah untuk mengetahui sebuah kualitas atau kesederhanaan
dan kedermawanan seorang hamba. Namun, katanya, dengan berpuasa seorang hamba
diharapkan akan mampu mengetahui derajat kualitas ibadahnya, serta dapat
mengukur untuk terus menigkatkan kualitas ibadahnya. Dengan bahasa yang lugas Imam
Syafi’i menyatakan:
“Yang paling dicintai oleh seorang
hamba dalam puasa Ramadhan adalah mendapatkan nilai lebih kualitas ibadahnya.
Dengan harapan
ini, berarti ia
telah mampu mengikuti dan mengamalkan sunah Rasulullah Saw. Dan itu berarti,
mereka lebih memperbanyak dan meluangkan waktunya buat beribadah daripada harus
bersibuk dengan pekerjaannya semata.”
Para pakar agama menilai bahwa
kesabaran yang terkandung dalam ibadah puasa bukanlah kesabaran yang kembali
hanya sebatas pada orang yang sedang berpuasa. Ia juga akan mengajarkan kepada
mereka yang tidak berpuasa untuk menguji sejauh manakah kesabaran mereka ketika
menghormati orang-orang yang berpuasa. Tetapi kebanyakan yang terjadi, baik
yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa, kerapkali justru sama-sama tidak
sabar.
*****
Berdasarkan ulasan di atas,
sebagian pemikir secara tegas menyatakan bahwa kita sebagai manusia tidak akan
bisa sepenuhnya mengetahui dan memahami hikmah-hikmah puasa secara utuh dan sempurna.
Ini karena puasa merupakan bentuk ritual peribadatan, sementara ibadah
sebagaimana yang kita ketahui, memiliki banyak perincian yang tentu tidak dapat
kita ketahui semua hikmah yang terkandung di dalamnya. Misalkan, dapatkah kita
memahami hikmah di balik dua rakaat shalat subuh; mengapa shalat subuh harus
dua rakaat; dan waktunya pun saat pagi hari? Sementara shalat dzuhur empat
rakaat, dan waktunya juga tepat ketika manusia sedang dalam keadaan puncak kesibukan?
Tentu tidak bukan!
Adapun puasa –sebagai sebuah
ibadah– pasti memiliki hikmah dan fungsinya tersendiri. Hanya saja, sebagai
manusia biasa kita tidak akan mampu memahaminya secara utuh dan menyeluruh.
*****
Sekiranya, perlu kita tegaskan
bahwa kita di sini tidak sedang mencoba mencari titik akhir terkait
hikmah-hikmah di balik ibadah puasa. Kita tidak ingin pula mengulangi apa yang
telah disampaikan oleh sebagian pemikir seperti di atas. Namun, secara
sederhana, kita akan melakukan upaya pemahaman menggunakan ayat-ayat al-Qur’an
yang membicarakan tentang ibadah puasa. Dari sana, kita akan dapat memahami
hikmah-hikmahnya. Jika diamati secara teliti, maka kita akan menemukan sebuah
pemahaman yang dapat menerangkan kepada kita secara jelas dan terperinci
mengenai perintah dan hikmah di balik ibadah puasa. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 183).
Dari ayat tersebut, dapat kita pahami bahwa Allah SWT
mewajibkan kepada kita berpuasa dengan tujuan tertentu, yaitu agar kita menjadi
hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Ini tersurat secara jelas dalam redaksi firman-Nya.
(ötbqà)Gs? Nä3ª=yès9). Penggunaan kata ‘لَعَلَّ’ (la’alla)
pada ayat tersebut tidak diputus dengan kata selanjutnya, yaitu ‘ötbqà)Gs?’ (tattaqûn). Ini menandakan
bahwa buah dari ibadah puasa bukanlah hal yang mustahil. Dengan ungkapan lain, jika
seorang hamba mampu melakukan
puasa secara baik dan benar, maka kualitas ketakwaannya akan semakin meningkat.
Karena puasa merupakan upaya persiapan bagi seorang Muslim untuk meningkatkan
ketakwaannya kepada Allah SWT.
Ibadah puasa yang dipahami sebagai
upaya persiapan seorang hamba menuju ketakwaaan, dapat diibaratkan dengan
seorang petani yang telah menyiapkan sebidang tanah untuk ia tanami. Jika ia
menjaga sebidang tanah tersebut secara baik, niscaya tanamannya akan tumbuh secara
baik dan tidak diganggu oleh rumput-rumput liar. Semua ini kembali kepada diri
si petani itu sendiri. Bila ia menelantarkan sawahnya, mengabaikan sistem
perairannya, serta acuh terhadap rumput-rumput liar yang dapat mengganggu
perkembangan tanamannya, maka ia tidak akan memperoleh hasil yang baik saat
waktu panen tiba. Sehingga, kualitas tanaman yang akan didapat saat panen nanti
sangat bergantung bagaimana cara si petani tersebut menjaga dan merawat
tanamannya. Begitu pula keadaan seorang hamba ketika ia menjalankan ibadah
puasanya. Semua pemaknaan seperti ini, dapat kita pahami melalui firman-Nya dalam
kalimat (ötbqà)Gs? Nä3ª=yès9).
Dari penjelasan tadi, minimal dapat kita jadikan sebagai kunci pemahaman untuk membuka pintu-pintu hadits Rasulullah Saw tentang tema-tema puasa. Semua hadits tentang puasa tidak akan
dapat kita pahami secara benar, bilaman kita tidak memposisikan puasa sebagai
upaya pengujian bagi seorang hamba.
Diriwayatkan bahwa suatu hari Abu Amamah r.a. bertanya
kepada Rasulullah Saw tentang amal apakah yang paling diridhai oleh Allah SWT. Rasulullah
menjawab, “Engkau harus berpuasa, ketahuilah bahwa tidak ada keadilan yang
lebih adil kecuali ibadah puasa.” Abu Amamah pun merasa belum puas, hingga
akhirnya ia bertanya lagi kepada Rasulullah Saw dengan pertanyaan yang sama.
Dan Rasulullah menjawab, “Engkau harus berpuasa, ketahuilah bahwa tidak ada
yang bisa menyamai pahala puasa.” Hingga akhirnya, Abu Amamah bertanya kepada Rasulullah
Saw dengan pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya. Rasulullah Saw pun tidak
mengubah jawabannya. Beliau tetap memberikan jawaban yang sama; yaitu ia harus
puasa jika ingin mendapatkan ridha dari Allah SWT.
Dengan demikian, tidak perlu kita ragukan lagi bahwa tidak
ada keadilan yang lebih adil kecuali ibadah puasa. Dan tidak ada bentuk pahala
yang dapat menandingi ibadah puasa ketika seorang hamba mempersiapkan diri
untuk sampai pada sebuah derajat ketakwaan. Barangsiapa yang berhasil melewati
masa ujian (puasa) dan sampai pada tujuan hakiki dari ujian (puasa) tersebut
maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Hal ini ditegaskan Rasulullah Saw melalui
sabdanya, “Barangsiapa yang menjalankan ibadah puasa atas dasar keimanan, niscaya
Allah SWT akan mengampuni segala dosa-dosanya yang telah lampau.”
Dari sini, kita dapat memahami tentang hakikat makna hadits,
“Setiap amal kebaikan anak keturunan Nabi Adam a.s. akan dilipat-gandakan sebanyak
sepuluh kali lipat. Dan dari kelipatan sepuluh tersebut akan dilipat-gandakan
lagi sebanyak tujuh ratus kali lipat.”
Di dalam hadits Qudsi, Allah SWT juga berfirman, “Ketahuilah
dan ingatlah bahwa ibadah puasa merupakan ibadah untuk-Ku. Dan Aku sendirilah yang akan memberikan balasan pahalanya.” (HR Imam Bukhari
dan Imam Muslim).
Dalam redaksi agak berbeda, Imam Bukhari meriwayatkan
bahwa Allah Swt berfirman, “Setiap amal ibadah anak-cucu Adam a.s. akan menjadi
hak pribadinya kecuali ibadah puasa. Ketahuilah bahwa ibadah puasa murni
milik-Ku dan hanya Aku sendirilah yang akan memberikan ganjaran pahalanya.”
Jadi, Allah SWT akan memberikan pahala puasa bagi hamba-Nya
secara terus-menerus hingga tujuh ratus kali lipat. Pernyataan ini dapat
dibenarkan jika pada kenyataanya seorang hamba memang telah benar-benar
menjalankan puasanya secara baik dan benar serta bertakwa kepada Allah SWT.
Adapun mereka yang tidak menjalankan ibadah puasa secara benar serta tidak pula
bertakwa kepada Allah SWT, sejatinya mereka tidak memperoleh apa-apa kecuali
hanya haus dan lapar belaka. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Betapa banyak
jumlah orang yang berpuasa, namun dari puasanya mereka tidak mendapatkan
apa-apa kecuali hanya lapar dan dahaga semata.” (HR Imam Nasa’i dan Imam Ibnu
Majah)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa
yang tidak bisa meninggalkan perkataan kotor dan bahkan melakukan tindakan
buruk, maka Allah SWT tidak akan merasa perlu membalas mereka (memberi pahala),
meskipun mereka berupaya keras menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum.”
(HR Imam Bukhari).
Ibadah puasa tidak akan sampai pada tujuan hakiki pensyari’atannya
sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT kecuali dijalankan dengan niat yang
tulus dan penuh keimanan. Dengan kata lain, ketika perintah puasa diberlakukan
pada hamba-Nya, maka ia akan benar-benar menjalankannya dengan penuh kebahagiaan,
menghiasi diri dengan akhlak mulia, tidak membencinya dan tidak pula merasa
berat melakukannya. Dengan begitu, sudah sewajarnya bila dalam menjalankan
ibadah puasa tersebut seorang hamba harus benar-benar karena Allah SWT dan diiringi
dengan niat yang tulus dan kemauan yang kuat demi mendapatkan keridhaan dari Allah
SWT.
Jika semua perkara di atas bisa terpenuhi, maka segala hal
yang telah dikatakan oleh para ulama tentang hikmah-hikmah dan fungsi-fungsi
puasa akan dapat terwujud. Sebaliknya, bila tidak dapat dipenuhi, sebagaimana
yang telah ditegaskan di atas, maka ibadah puasa akan menjadi sia-sia, tidak
mendapatkan apa-apa, kecuali hanya lapar dan dahaga belaka. Semoga Allah SWT
senantiasa menjaga kita dari semua amal ibadah kita.
No comments:
Post a Comment