Tuesday, December 31, 2013

Detik-detik Khalifah Abu Bakar al-Shidiq Saat Menjemput Ajal


Tiba saatnya kita mengulas detik-detik sakaratul maut khalifah pertama Islam Abu Bakar al-Shidiq r.a. Kepergian beliau meninggalkan kesedihan luar biasa bagi umat Islam, keluarga, dan sanak familinya. Hingga di balik kematiannya, sampai saat ini masih menyisakan sejumlah perbedaan terkait dengan sebab-sebab kematiannya. Para sejarawan dan ulama pun berselisih pendapat mengenai hal ini.
Dalam catatan sejarah dikisahkan, di saat-saat genting menghadapi kematian, sayyidina Abu Bakar tidak lupa menyempatkan diri membaca al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an yang beliau lantunkan itu terdengar sampai ke telinga Sayyidah ‘Aisyah r.a.
Suatu hari, Ummul Mukminin Aisyah r.a. bercerita tentang ayahnya, Sayyidina Abu Bakar. Dia berkata, Ketika itu, ayah mendatangiku. Aku lalu berkata kepadanya melalui satu bait syair milik Khatim yang berbunyi, Sungguh engkau tidak akan mampu menambah kekayaan pemuda itu jika suatu hari nanti dadamu terasa sesak dan engkau telah sekarat.”
Sayyidina Abu Bakar kemudian menjawab syair yang dibaca putrinya itu dengan mengatakan, “Jangan sekali-kali engkau mengatakan hal itu, wahai putriku! Tetapi katakanlah:
Akan datang sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.” (QS Qâf [50]:19).
Juga khalifah Islam pertama ini pernah berkata kepada para sahabatnya, “Wahai sahabatku! Lihatlah kedua selendang ini. Jika aku nanti mati, cucilah keduanya dan kafanilah aku dengannya. Sungguh mereka yang masih hidup lebih butuh pakaian yang baru ketimbang mereka yang mati.”[1]
Sayyidina Abu Bakar berkata lagi pada putrinya, “Wahai putriku! Sepertinya aku pernah menghadiahimu sepetak kebun. Jika aku masih berhak atas kebun itu, maka serahkanlah kebun itu ke Baitul Mal.”
Sayyidah Aisyah r.a. menjawab, “Ya, ayah. Akan aku serahkan kebun itu ke Baitul Mal.”
Setelah itu, Sayyidina Abu Bakar melanjutkan perkatannya, “Selama aku menjabat sebagai khalifah, aku sekeluarga tidak pernah makan sedikitpun dari dinar ataupun dirham milik kaum Muslimin. Kami hanya memakan roti keras sebagai hidangan sehari-hari. Dan kami hanya memakai pakaian usang yang tertempel di badan seperti yang kalian lihat saat ini. Kami juga tidak sedikitpun mengambil harta kaum Muslimin. Yang aku miliki hanya satu budak habsyi,[2] satu ekor keledai bunting, dan sehelai kain beludru yang usang ini. Jika nanti aku mati, maka kirimkanlah semuanya pada sahabatku Umar bin Khattab. Sehingga engkau wahai putriku, terbebas dari semua tanggungan ini.”
“Setelah ayahku selesai berkata, aku langsung melaksanakan perintah beliau,” pungkas Sayyidah Aisyah r.a.
Ketika seorang utusan datang kepada Sayyidina Umar, dan menyampaikan pesan yang ditugaskan Aiysah r.a. kepadanya, ia pun langsung menangis hingga air matanya jatuh ke tanah. Beliau berkata pada utusan itu, “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Sungguh masaku (memimpin) akan lebih susah daripada masa Abu Bakar.” Beliau mengulanginya hingga tiga kali.”
Abdurrahman bin Auf yang sedang bersama Sayyidina Umar ketika itu berkata pada utusan itu, “Nak, tolong perlihatkan padaku apa yang kamu bawa!”
Setelah diperlihatkan, Abdurrahman kaget dan berkata padanya lagi, “Maha Suci Allah, sungguh engkau telah merampas harta milik keluarga khalifah Abu Bakar. Yang engkau bawa ini berupa satu budak Habsyi, satu ekor keledai bunting, dan sehelai kain beludru seharga 5 dirham.”
Utusan itu bingung dan berkata, “Lalu apa yang engkau perintahkan padaku wahai Abdurrahman?”
Abdurrahman menjawab, “Kembalikan semua ini kepada keluarganya!”
Umar kemudian menyahut percakapan mereka seraya berkata, “Jangan wahai Abdurrahman! Demi Dzat yang mengutus Nabi Muhamad Saw dan selama hal ini bukan kehendakku. Sahabatku Abu Bakar telah rela dengan kematiannya dan ingin menyerahkan semua ini kepadaku. Bagaimana mungkin aku malah mengembalikan peninggalan ini kepada keluarganya? Biarkanlah semua ini ada padaku. Sungguh saat ini kematian lebih dekat dengannya.”[3]

Kesaksian Wafatnya Khalifah Abu Bakar al-Shidiq r.a.
Para sejarawan Islam klasik berselisih pendapat tentang penyebab wafatnya khalifah Abu Bakar. Sebagian berpendapat, beliau wafat karena terserang sakit demam saat cuaca dingin. Sebagian lagi berpendapat beliau dibunuh oleh salah seorang dari kaum Yahudi yang sengaja menaruh racun di dalam nasinya. Dan, sebagian yang lain berpendapat beliau terkena racun melalui daging yang dimakannya.
Lalu, manakah yang benar di antara ragam pendapat tersebut? Mengenai riwayat kedua, yang berpendapat bahwa beliau wafat karena diracun oleh salah seorang dari kaum Yahudi, hal itu merupakan pendapat yang bila dilihat dari proses periwayatannya (sanad) tidaklah shahih. Setiap orang Muslim tidak boleh berhujah dengan pendapat ini.[4] Sedangkan dalam riwayat ketiga terdapat riwayat lain yang lebih tepat. Suatu hari, beliau dan Harits bin Kildah makan daging pemberian secara bersama-sama. Sebelum mereka memakannya, Harits berkata, “Angkat tanganmu wahai khalifah Rasulullah! Aku berani bersumpah bahwa dalam makanan ini terdapat racun dari beruang betina. Jika kita sampai memakannya, maka dalam sehari saja kita akan mati.”
Dalam kisah lain dituturkan, “Mereka berdua sakit sebab racun ganas yang telah dicampurkan di dalam daging yang mereka makan. Namun, saat racun itu hendak dikeluarkan dari dalam tubuh mereka, mereka sudah keburu meninggal. Sehingga pada hari itu juga mereka meninggal secara bersamaan.” Hanya saja, yang perlu diketahui bahwa periwayatan (sanad) hadits ini juga tidak shahih.[5]
Mengenai hal ini, Abdullah bin Umar r.a. berkata, “Sungguh, penyebab wafatnya khalifah Abu Bakar sama dengan baginda Rasulullah Saw. Badan beliau juga masih terasa lemas sesaat setelah menghembuskan nafas terakhir.”
Pada riwayat yang lain, Ibn Umar berkata, “Penyebab wafatnya Abu Bakar sama dengan wafatnya Rasulullah Saw. Beliau terlalu sedih selepas ditinggalkan Rasulullah. Tubuhnya pun masih terasa lemas sesaat setelah menghembuskan nafas terakhirnya.”[6]
Adapun saya sendiri lebih condong mengatakan, “Bahwa sayyidah Aisyah r.a. sendiri pernah menceritakan bagaimana ayahnya, Abu Bakar, meninggal. Beliau bercerita bahwa ayahnya hanya terserang sakit biasa, dan segera setelah itu, Abu Bakar berwasiat kepadanya mengenai harta dan tugas yang harus dijalankan oleh Sayyidah Aisyah selepas beliau meninggal. Sayyidah Aisyah tidak pernah mengatakan penyebab meninggalnya ayahnya karena diracun ataupun bersedih ditinggalkan Rasulullah Saw.”
Begitu pula dengan para sahabat yang menjenguk khalifah Abu Bakar saat beliau masih dalam kondisi sakit. Tidak ada satu pun di antara mereka yang membicarakan penyebab meninggalnya Abu Bakar baik itu karena diracun maupun kesedihan yang sangat dalam ditinggal Rasulullah. Hal ini merupakan persoalan yang sangat jelas. Sakit yang menyerang beliau sejak awal terlihat begitu lumrah. Masih ada beberapa riwayat lain yang shahih yang menceritakan kondisi khalifah Abu Bakar al-Sidiq mulai sejak beliau sakit hingga detik menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Al-Sya’bi berkata, “Sungguh apa yang terjadi di dunia ini merupakan kehinaan. Baginda Rasulullah Saw diracun, khalifah Abu Bakar al-Sidiq juga bernasib sama. Lalu khalifah Umar dibunuh. Begitu pula yang terjadi pada khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kesemuanya wafat karena dibunuh. Sedangkan Hasan putra Ali bin Abi Thalib juga ikut diracun dan Husein juga turut serta dibunuh.”[7]
Menurut pandangan saya, hadits ini tidak dapat digunakan sebagai hujjah mengenai kebenaran penyebab wafatnya Abu Bakar lantaran hadits ini tidak shahih. Adapun hadits yang diperbolehkan dijadikan sebagai hujjah adalah hadits yang diriwayatkan Ummul Mukminin, Asiyah r.a. Dia berkata, “Mula-mula ayahku merasakan sakit sesaat setelah beliau selesai mandi. Saat itu bertepatan pada hari Senin tanggal 7 Jumadil akhir. Hari itu cuaca sedang dingin sekali. Saking dinginnya, beliau lalu terserang demam selama 15 hari dan tidak keluar rumah untuk mengimami shalat jamaah. Beliau meminta Umar bin Khattab supaya menggantikannya menjadi imam shalat bagi umat Islam. Setelah selesai shalat, para sahabat datang menjenguk beliau yang sedang terbaring sakit. Yang beliau rasakan, semakin bertambah hari, maka bertambah pula sakitnya. Di sela-sela kondisi sakitnya itu, beliau menyempatkan diri menyinggahi rumah yang ditinggalkan Rasulullah Saw. Pada hari yang sama, beliau juga menyempatkan mengunjungi Sayyidina Utsman bin Affan. Setelah Utsman bin Affan tahu bahwa beliau sakit, beliau mewajibkan seluruh kaum Muslim untuk menjenguk khalifah mereka yang sedang terbaring sakit.”
Akhirnya, khalifah Abu Bakar al-Sidiq r.a. wafat pada hari Senin sore menjelang malam. Saat itu bertepatan di hari ke-8 bulan Jumadil akhir pada tahun ke-13 Hijriah atau sekitar 2 tahun lebih setelah Nabi wafat.
Beliau menjabat sebagai khalifah Islam yang pertama selama 2 tahun, 3 bulan ditambah 10 hari.[8]
Semoga Allah selalu meridhainya dan memasukkan kita ke dalam golongan hambanya yang saleh serta mematikan kita dengan cinta-Nya.

Usia Abu Bakar al-Shidiq Ketika Wafat
Abu Bakar al-Sidiq r. a. wafat di hari ke-8 bulan Jumadil Akhir tahun ke-13 Hijriah.  Saat beliau wafat, usianya sama dengan saat Rasulullah wafat, yaitu 63 tahun. Jarir bin Abdillah r.a. menceritakan, “Saat aku sedang bersama Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dia berkata, Saat Nabi wafat, beliau berusia 63 tahun. Abu Bakar pun wafat pada usia yang sama dengan Nabi. Begitu pula dengan usia Umar yang meninggal karena terbunuh.”[9]
Anas bin Malik r.a. berkata, “Sayyidina Abu Bakar adalah sesepuhnya para sahabat.”[10]
Memang sudah selayaknya Sayyidina Abu Bakar sebagai manusia akan habis masa hidupnya. Begitu pula dengan para sahabat Rasulullah Saw yang lain, seperti Umar bin Khattab yang dijuluki ‘al-Faruq.’ Beliau wafat dalam batasan usia yang sama dengan Abu Bakar dan Rasulullah.
Abu Ishak al-Sabi’i berkata, “Aku pernah duduk bersama dengan Abdullah bin ‘Utbah. Ia mengutarakan usia Rasulullah Saw saat beliau wafat.” Sebagian riwayat yang lain juga mengatakan, “Usia Abu Bakar saat beliau wafat sedikit lebih tua ketimbang Rasulullah Saw.”
Abdullah bin ‘Utbah berkata, “Rasulullah Saw wafat saat beliau berusia 63 tahun. Begitu pula dengan sahabatnya Abu Bakar al-Sidiq, dan Umar bin Khattab yang meninggal karena dibunuh.”
Dalam riwayat yang lain, ada salah seorang dari suatu kelompok yang mengatakan tentang usia Sayyidina Abu Bakar waktu beliau wafat. Ada yang meriwayatkan bahwa orang tersebut adalah ‘Amir bin Sa’ad. Riwayat ini berasal dari Jarir, dia bercerita, “Kami pernah duduk bersama Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Mereka berbincang-bincang tentang usia Nabi ketika beliau wafat. Mu’awiyah mengatakan, Rasulullah Saw. wafat saat beliau berusia 63 tahun. Begitu pula dengan rekannya Abu Bakar al-Shidiq dengan usia yang sama ketika beliau meninggal. Juga Umar bin Khattab dengan usia 63 tahun saat terbunuh.”[11]

Seruan untuk Menerima Qadha dan Qadar
Umar bin al-Khattab adalah seorang khalifah yang merasa takut akan terjadinya perselisihan dalam masalah qadha, qadar dan agama. Beliau sempat menyaksikan masalah-masalah semacam ini berkecamuk saat Rasulullah Saw masih hidup dan tatkala Abu Bakar al-Shidiq masih menjabat sebagai khalifah.
Ketakukan Umar ini cukup berasalan. Lantaran fitnah yang terjadi di dalam tubuh umat Islam ketika itu sangatlah merebak. Terlebih, hal ini telah ditegaskan oleh sabda Rasulullah Saw jauh-jauh hari sebelum beliau wafat.
Hudzaifah bin Yaman r.a. menceritakan, “Suatu ketika, kami duduk bersama Umar bin Khattab. Beliau tiba-tiba bertanya, ‘Siapa di antara kalian yang paling banyak menghafal hadits Nabi mengenai fitnah?’ Aku menjawab, ‘Aku wahai Amirul Mukminin.’ Beliau berkata, ‘Sungguh engkau terlalu berani mengatakan seperti itu.’ Aku lalu melanjutkan, ‘Di antara fitnah tersebut adalah fitnah seseorang kepada keluarga, anak, dan tetangganya yang menyebabkan mereka memalingkan shalat, sadaqah ataupun seruan untuk berbuat baik dan meninggalkan kemungkaran’. Umar lalu berkata lagi, ‘Bukan jawaban seperti ini yang aku inginkan. Akan tetapi fitnah yang bergelombang seperti ombak di lautan.’ Aku menimpali, ‘Engkau tidak akan sempat menjumpainya wahai Amirul Mukminin. Pintumu dengannya telah tertutup rapat.’ Umar kembali berkata, ‘Apakah pintu itu sewaktu-waktu bisa terbuka kembali?’ ’Tentunya masih bisa terbuka kembali wahai Amirul Mukminin’, jawabku. Akhirnya beliau mendapat kesimpulan dengan berkata, ‘Jadi pintu (fitnah) itu tidak akan tertutup selamanya.”
Mendengar cerita ini, Masruq al-Tabi’i berkata, “Kami pernah bertanya pada Hudzaifah, ‘Apakah Sayyidina Umar tahu siapa yang menjadi pintu pembuka fitnah itu?’ Hudzaifah menjawab, ‘Ya, beliau  tahu tanpa harus menunggu datangnya besok malam. Aku bisa menyimpulkan demikian, karena kemarin aku telah berbincang dengannya tanpa ada kesalahan.’ Setelah mendengar cerita Hudzaifah, kami penasaran ingin tahu siapakah orang yang akan membuka pintu fitnah itu. Lalu  bertanya pada khalifah Umar bin Khattab. Maka aku akhirnya bertanya pada beliau, ‘Siapakah orang yang menjadi pintu terbukanya fitnah itu wahai Amirul Mukminin?’ Beliau menjawab, ‘Umar bin al-Khattab.”[12]
Khalifah Umar telah lama merasa akan munculnya berbagai fitnah di masa kepemimpinannya. Beliau kemudian memperbanyak doa kepada Allah SWT agar umat Islam terlindung dari fitnah yang membahayakan itu. Di antara isi doa beliau adalah agar umat Islam dengan ikhlas menerima ketentuan Qadha dari Allah SWT:
الَّلهُمَّ قَدْ ضَعُفَتْ قُوَّتِي  وَكَبُرَتْ سِنِّي وَ انْتَشَرَتْ رَعِيَّتِي فَاقْبِضْنِي إِلَيْكَ غَيْرَ مُضَيَّعٍ وَلَا مُقَصَّرٍ
 “Ya Allah, kekuatanku telah melemah, umurku juga semakin menua dan penglihatanku sudah mulai pudar. Cabut saja nyawaku ini tanpa Engkau sia-siakan dan lalaikan – dalam riwayat lain, “Tanpa rasa sakit dan dicela.”[13]
Sesudah itu beliau hanya mampu hidup hingga akhir bulan, dan kemudian wafat.
Sementara doa seperti apa yang khalifah Umar bin Khattab panjatkan untuk menerima Qadar dari Allah SWT? Amru bin Maimun berkata, “Aku mendengar bahwa Sayyidina Umar sering memanjatkan doa seperti ini:
 الَّلهُمَّ تَوَفَّنِي مَعَ الأَبْرَارِ وَلَا تُخَالِفْنِى فِي الأَشْرَارِ وَ قِنِي عَذَابَ النَّارِ وَ أَلْحِقْنِي بِالأَخْيَارِ
 “Ya Allah, cabutlah nyawaku bersama mereka yang taat. Janganlah Engkau mematikan aku bersama mereka yang mendurhakai-Mu. Jauhkanlah aku dari siksa api neraka. Dan pertemukanlah aku dengan orang-orang saleh pilihan-Mu.”[14]
Dalam pelbagai riwayat dikatakan bahwa khalifah Umar sendiri yang menginginkan wafat dalam keadaan syahid di jalan-Nya. Beliau juga memohon supaya dimatikan di kota Madinah dan dimakamkan bersama baginda Rasulullah Saw.
Hafsah binti Umar mengisahkan, “Ketika ayahku berdoa, Ya Allah, karunialah aku dengan mati di jalan-Mu dan mati di kota Nabi-Mu. Maka aku berkata pada beliau, Apakah aku akan mendapatkan itu juga? Beliau membalasku, Sungguh Allah akan berbuat apa saja sesuai kehendak yang diinginkan-Nya.” [15]
Allah pun akhirnya membalas doa Sayyidina Umar bin Khattab. Beliau wafat dalam keadaan syahid di kota Madinah dan kemudian dimakamkan di samping Rasulullah. Alangkah senangnya beliau saat dikabulkan doanya.
Dalam hadits yang diriwayatkan Zaid bin Aslam, Sayyidina Umar berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ شَهَادَةً فِي سَبِيْلِكَ وَوَفَاةً بِبَلَدِ رَسُوْلِكَ [16]
 “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu supaya mati dalam keadaan syahid di jalan-Mu dan berada di kota Nabi-Mu.”
Wafatnya Sayyidina Umar benar-benar terjadi seperti yang beliau minta. Para sahabat juga bermimpi demikian sebelum beliau wafat. Bagaimana semua itu bisa terjadi?
Abu Musa al-‘Asyari berkata, “Auf bin Malik pernah bermimpi melihat segerombolan manusia dalam satu tempat. Ada salah seorang di antara mereka yang naik ke tempat yang lebih tinggi sekitar 3 hasta (ukuran tangan). Lalu Auf bin Malik bertanya kepada salah satu di antara mereka, Siapa orang yang naik itu? Orang itu menjawab, Ia adalah Umar bin Khattab ‘Auf bertanya lagi, Mengapa orang-orang itu mendudukkannya ke tempat yang lebih tinggi? Orang itu menjawab, Karena ia memiliki tiga keutamaan. Pertama, ia adalah orang yang tidak pernah takut kepada orang yang mencela Allah. Kedua, ia mati dalam keadaan syahid, dan yang ketiga, ia menjadi khalifah Rasulullah.”
Setelah itu, Auf mendatangi khalifah Abu Bakar dan memberitahukan mimpinya. Beliau meminta ‘Auf supaya mengunjungi Sayyidina Umar dan memberitahukan kabar baik ini. Khalifah Abu Bakar berpesan kepada ‘Auf, “Ceritakan mimpimu ini pada Umar!” Ketika ‘Auf mulai bercerita dan sampai pada kata ‘khalifah pengganti’, Sayyidina Umar langsung terdiam.
Selanjutnya, ketika Sayyidina Umar mulai memimpin kekhalifahan, ia pergi ke kota Syam. Sesaat sampai di kota itu, beliau mulai berkhutbah kepada rakyat Syam. Di tengah-tengah khutbahnya, beliau melihat ‘Auf bin Malik. Beliau pun memanggilnya. ‘Auf mendatangi mimbar tempat beliau berkhutbah. Khalifah Umar berkata padanya, “Ceritakan mimpimu yang dulu itu  wahai ‘Auf!”
‘Auf lalu menceritakan apa yang dimimpikannya saat itu. Setelah ‘Auf bercerita, Umar akhirnya meneruskan khutbahnya, “Saat ‘Auf bermimpi bahwa aku tidak takut kepada siapapun yang mencela Allah, aku berdoa semoga Allah memasukkanku ke dalam golongan itu. Sedangkan saat ia sampai pada kalimat ‘khalifah pengganti’, maka sekarang ini aku telah menjadi khalifah kalian. Adapun matiku secara syahid, memang aku selalu meminta kepada Allah supaya dimatikan dalam keadaan syahid. Dan sungguh atas Dzat yang menempatkan semenanjung Arab di antara dadaku, aku tidak akan memerangi orang-orang yang ada di sekitarku.”
Beliau kemudian melanjutkan, “Celakalah aku! celakalah aku! Semoga Allah berkehendak terhadap apa yang aku inginkan.”[17] Dan masih banyak lagi cerita tentang mimpi-mimpi para sahabat mengenai Umar. Semoga Allah selalu meridhainya.


[1]Hadits Hasan, HR Imam Ahmad dalam ‘al-Zuhdi’ hlm. 136, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât kubrâ’, Juz III, hlm. 196,  Ibn Jarir dalam ‘Tafsîr Ibn Jarîr’, Juz XXVI, hlm. 100.
[2]Sebutan untuk penduduk yang berasal dari kota Habsyah.
[3]Hadits Hasan, HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’ Juz III, hlm. 196,  Imam Thabari dalam ‘Tafsîr al-Thabary’, Juz XXVII, hlm. 100.
[4]HR Imam Thabari dalam‘Târîkh al-Thabari’ , Juz III, hlm. 419. 
[5]HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 198, Imam Hakim dalam ‘Al-Mustadrak ala al-Shahîhain’, Juz III,  hlm. 64, Ibn al-Jauzi ‘Sifat al-Safwah’, Juz I, hlm. 263.
[6]HR Imam Hakim dalam ‘Al-Mustadrak ala al-Shahîhain’, Juz III, hlm. 63-64, Ibn al-Jauzi dalam ‘Sifat al-Safwah’, Juz I, hlm. 263.
[7]HR Imam al-Hakim dalam ‘Al-Mustadrak ala al-Shahîhain’, Juz III, hlm. 64. 
[8]Hadits Dzaif, HR Ibnu Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 201- 202, Imam al-Hakim dalam ‘Al-Mustadrak ala al-Shahîhain’, Juz III, hlm. 63, Imam al-Thabari dalam ‘Târîkh al-Thabari’, Juz III,  hlm. 419-420 Imam al-Dzahabi dalam‘Siyaru A’lâmi al-Nubalâ’, Juz IX, hlm. 469
[9]Hadits shahih, HR Imam Bukhari dalam ‘al-Târîkh al-Shaghîr’, Juz I, hlm. 30, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 202, Imam Thabari dalam ‘Târîkh Thabari’, Juz III, hlm. 420.
[10]Hadits shahih, HR Imam Bukhari dalam ‘al-Târîkh al-Shaghîr’, Juz I, hlm. 31, Imam Muslim dalam ‘Shahîh Muslim’ no. 2348.
[11]Hadits shahih, HR Imam Muslim dalam ‘Shahîh Muslim’ no. 2352, Imam Ahmad dalam ‘Musnad Ahmad’, Juz IV, hlm. 96, 97, 100, Imam Tirmidzi dalam ‘Sunan al-Tirmidzy’ no. 3733.
[12]Hadits shahih, HR Imam Bukhari dalam ‘Shahîh Bukhâri’ no. 7096, Imam Muslim dalam ‘Shahîh Muslim’ no. 144, Imam Tirmidzi dalam ‘Sunan al-Tirmîdzy’ no. 2257, Ibnu Majah dalam ‘Sunan Ibn Mâjah’ no. 3955, Ibn Abi Syaibah dalam ‘Mushannif’-nya , Juz VIII, no. 595, Ibn ‘Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 284.
[13]Hadits shahih, HR Imam Malik dalam ‘Muwatta’, no. 1601, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 335, Imam Abd al-Raziq dalam ‘Mushannif’ no. 20638, Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’, Juz I, no. 54, Ibn al-Atsir dalam ‘Asad al-Ghâbah’, Juz IV, hlm. 171.
[14]Hadits shahih, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’ , Juz III, hlm. 330-331.
[15]Hadits shahih, Imam Malik dalam ‘Muwatta’ no. 1601, Imam Bukhari dalam ‘Shahîh Bukhâri’ no. 1890, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 331, Ibn Syabah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz III, hlm. 872.
[16]Hadits shahih, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 331, Ibn Syabbah dalam ‘Târikh al-Madînah’, Juz III, hlm. 787.
[17]Hadits shahih, HR Ibn Sa’ad  dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 331, Ibn Syabbah dalam ‘Târikh al-Madînah’, Juz III, hlm. 869-870, Ibn ‘Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’, Juz 52, hlm. 346.

No comments:

Post a Comment