Sunday, December 1, 2013

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia

Sepasang Tangan yang Serba Bisa

Kebijaksanaan dan kerisauan itu tak ubahnya seperti telapak dan punggung tangan, keduanya merupakan bagian tangan yang sama.
Tetapi punggung tangan tak mampu mengambil sesuatu.
Sebaliknya, dengan telapak tangan, apapun dapat dilakukan.

Membantu yang Kurang Mampu, Mendidik yang Mampu
Di manakah letak kebahagiaan di dunia ini? Dalam kehidupan, tak diragukan lagi, yang dicari oleh manusia adalah kebahagiaan. Bahagia, tampaknya bukan hal yang sulit untuk orang-orang yang mampu secara ekonomi. Namun untuk orang miskin, maka kata ini terasa sangat jauh dari jangkauan.
Keterangan Gambar: Di Vihara Pu Ming, Master Cheng Yen dan murid-muridnya mulai memberikan bantuan sesuai kebutuhan masyarakat tidak mampu saat itu.
Langkah pertama Tzu Chi dimulai dari Misi Amal. Dalam perenungannya, Master Cheng Yen menyadari bahwa niat baik harus diwujudkan dengan berbuat baik pada sesama. Rasa empatinya pada orang-orang miskin dan menderita, membuatnya bertekad untuk berbuat sesuatu demi membantu mereka.
Berpusat di Vihara Pu Ming, Master Cheng Yen dan murid-muridnya mulai memberi bantuan pada orang-orang yang membutuhkan. Jenis bantuan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat kebanyakan saat itu, diantaranya meliputi bantuan keuangan dan sembako untuk keluarga berpenghasilan rendah, bantuan biaya pengobatan, pendampingan saat pengobatan, bantuan bencana, dan pengadaan upacara kematian untuk orang-orang yang hidup sebatang kara dan tidak mampu.
Untuk membiayai semua bantuan tersebut, Master Cheng Yen mendorong para pengikutnya untuk mengumpulkan dana sedikit demi sedikit setiap harinya. Dengan demikian Master Cheng Yen mengajak agar orang-orang yang mampu membagi kebahagiaan mereka dengan orang-orang yang tidak mampu, menghapuskan kemiskinan material dan spiritual umat manusia. Di sisi lain, ketika orang-orang kaya membagi kebahagiaan mereka, kebahagiaan itu bukannya berkurang, namun justru bertambah dengan rasa bahagia yang sejati.
Keterangan Gambar: Sejak awal pun, Master Cheng Yen kerap terjun langsung menjenguk dan menentramkan hati pasien layaknya anggota keluarga sendiri.
Di Indonesia, perjalanan Tzu Chi juga diawali lewat misi Amal. Secara umum, ada 4 hal yang ditangani: bantuan bencana, pasien dengan penanganan khusus, anak asuh, dan bantuan hidup jangka panjang.
Keempat hal di atas mulai ditangani Tzu Chi setelah melalui beberapa jalur, baik informasi dari relawan, permintaan dari instansi/lembaga/ pemerintah, atau yang mendaftar sendiri setelah mendengar kegiatan Tzu Chi. Semua pengajuan yang masuk melalui tahap survei oleh relawan Tzu Chi. Hasil dari survei kemudian dibahas dalam rapat untuk memutuskan apakah permohonan ini akan ditindaklanjuti atau tidak. Dasar pertimbangan pemberian bantuan Tzu Chi harus langsung, tepat sasaran, dan memiliki manfaat yang nyata.
Memanusiakan Manusia
Seorang relawan Tzu Chi pernah berkata, “Saya belajar menjadi manusia itu di Tzu Chi!” Apakah ini berarti sebelumnya ia bukan seorang manusia? Tentu tidak. “Manusia” yang ia maksud adalah manusia yang lengkap dengan sisi kemanusiaannya. Perkembangan zaman yang semakin canggih dan modern memang menjanjikan kemudahan dalam seribu satu hal, namun sayangnya tidak serta-merta diikuti peningkatan dalam sisi kualitas batin manusia. Sebaliknya, di sana-sini justru terjadi kemerosotan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Orang-orang “berduit” cenderung membangun dunia mereka sendiri. Dunia dengan benteng yang indah. Di dalam benteng itu, siang-malam mereka menikmati bermacam-macam kesenangan, baik dalam makanan, minuman, hiburan, ataupun harta benda. Tentu tak ada yang salah selama kekayaan itu diperoleh dengan cara-cara yang benar, namun, inikah kehidupan seorang yang disebut “manusia”?
Keterangan Gambar: Ferry, bocah laki-laki 8 tahun penderita rakhitis, menjadi pasien penanganan khusus Tzu Chi Indonesia yang pertama pada tahun 1994.
Bertolak belakang dengan itu, orang-orang dari kalangan menengah ke bawah hampir selalu terlilit kesulitan dalam berbagai hal. Yang beruntung dapat tinggal di rumah ilegal ekstra sempit, bersaing dengan matahari membanting tulang untuk penghasilan yang sedikit, anak-anaknya bermimpi dapat sekolah untuk memperbaiki hidup. Saat penyakit menyerang, mereka terpaksa menahan diri selama bertahun-tahun karena tidak mampu mengobatinya. Ini pulakah kehidupan seorang yang disebut “manusia”?
Arena pembagian beras Tzu Chi tampak bagai taman berseminya manusia-manusia baru seutuhnya. Bagi relawan yang berpartisipasi ataupun penerima beras, ini adalah pengalaman yang tidak biasa. Relawan Tzu Chi memanggul beras seberat 20 kg, sambil menggandeng tangan si penerima beras. Demikianlah Tzu Chi menjalin jodoh di antara orang-orang yang sangat berbeda status sosial, dan mengenalkan pada mereka cara hidup yang lebih baik sebagai seorang manusia. Pembagian beras, kesempatan terbaik untuk berinteraksi langsung dan membantu orang-orang yang kekurangan.
Keringat mengucur deras dan senyum merekah senantiasa mewarnai momen pembagian beras Tzu Chi. Pembagian sembako mulai dilakukan Tzu Chi sejak tahun 1998 ketika terjadi krisis moneter di Indonesia. Selanjutnya pada tahun 2003, Tzu Chi Taiwan mengirimkan 50.000 ton beras cinta kasih untuk seluruh masyarakat Indonesia, dan 2 tahun kemudian sejumlah 32.000 ton untuk korban bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Dari 32.000 ton beras yang dikirim terakhir, tidak seluruhnya dialokasikan ke Aceh karena banyak lembaga lain yang telah memberikan bantuan serupa, hingga bantuan ini dialihkan ke seluruh masyarakat Indonesia.
Keterangan Gambar: Yang membantu dan yang dibantu tersenyum sambil bergandengan tangan. Keduanya berbagi kebahagiaan.
Keluarga seharusnya menjadi tempat utama untuk memperoleh kehangatan. Namun sungguh pahit untuk para lanjut usia (lansia) yang tinggal di panti jompo. Di usia yang sudah tidak produktif lagi, mata mulai kabur, tangan mulai gemetar, dan gigi ompong, mereka justru harus terpisah dari keluarga. Sejak Mei 1994, secara rutin Tzu Chi Indonesia melakukan kunjungan ke panti-panti jompo. Melebihi hal yang lain, lansia ini membutuhkan perhatian dan sentuhan cinta kasih.
Bagi relawan Tzu Chi, mengunjungi para ‘sesepuh’ di panti jompo, seperti berkunjung ke rumah orangtua sendiri. Relawan menggunting rambut, kuku, memandikan, dan yang terpenting bercakap-cakap dengan warga panti. Sesekali mereka juga membawa tim dokter untuk memeriksa kesehatan para lansia. Sebagian relawan mungkin dapat memandang lansia ini sebagai pengganti orangtua yang sudah tiada, sedangkan relawan yang juga sudah berusia lanjut, mereka dapat bersyukur karena mereka memiliki keluarga yang hangat dan peduli.
Demikian pula dengan orang-orang yang ditampung di panti kusta. Selama bertahun-tahun mereka dikucilkan oleh masyarakat yang takut tertular penyakit mengerikan yang menyebabkan daging mati rasa, mengerut, dan berakhir dengan salah satu anggota tubuh harus diamputasi. Tak jarang mereka diabaikan oleh masyarakat, bahkan oleh keluarganya, dimasukkan dalam penampungan dan dilupakan. Pengucilan tidak menyembuhkan penderita kusta ini. Sebaliknya hanya membuat mereka merasa rendah diri, malu, dan kesepian. Karena itu, relawan Tzu Chi memberikan bantuan dan perhatian pada penghuni Panti Kusta Dr. Sitanala, Tangerang sejak Januari 2002. Dalam kunjungan-kunjungannya, para relawan mengajak mereka untuk bernyanyi dan bergembira, membagi secercah senyum di wajah mereka.
Keterangan Gambar: Cinta kasih tak berhubungan dengan ikatan darah melainkan dengan ikatan hati. Relawan Tzu Chi mengasihi lansia di panti jompo seperti orang tua mereka.
Perubahan Hidup
Tahun 2002 diawali dengan banjir besar yang melanda Jakarta. Sejak itu pula, nama Kali Angke mencuat ke permukaan, sebab banyak sekali warga bantaran kali ini yang menjadi korban banjir. Air telah menghanyutkan rumah dan harta benda para warga. Daerah bantaran kali memang rawan banjir, di samping sering pula menjadi korban gusuran. Namun apa daya, kepadatan penduduk di Jakarta memaksa sebagian orang untuk tinggal di tempat-tempat seperti ini.
Saat banjir menghanyutkan segalanya, Tzu Chi mulai memberi bantuan ke daerah ini. Master Cheng Yen menaruh perhatian besar pada penduduk di Kali Angke, ia mendorong Tzu Chi Indonesia untuk melakukan 5P: Pembersihan sampah, Penyedotan air, Pembasmian racun, Pengobatan amal, dan Pembangunan perumahan. Hal ini menjadi titik awal dibangunnya Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi yang pertama di Cengkareng, Jakarta Barat, tanggal 8 Juli 2002. Di atas lahan seluas 5 hektar dari pemerintah daerah DKI Jakarta, dibangun rumah susun yang dapat menampung 1.100 KK.
Setahun kemudian, tanggal 25 Agustus 2003, Perumahan Cinta Kasih Cengkareng diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Kehidupan ribuan warga yang dulu tinggal di bantaran Kali Angke, berubah sejak itu. Mereka mendapat hak untuk menempati perumahan ini. Warga setiap bulan cukup membayar uang pengelolaan sebesar Rp 90 ribu, sedangkan iuran listrik dan air dibayar sesuai pemakaian. Perumahan yang dibangun di atas pondasi cinta kasih ini, dilengkapi dengan fasilitas sekolah, poliklinik, kios/lapak, pasar, dan pusat daur ulang. Saat diserahkan, setiap rumah dengan luas 36 m2 tersebut telah diisi dengan perabotan meja, kursi, dan tempat tidur.
Keterangan Gambar: Patung 'keluarga bahagia' di pintu gerbang Perumahan Cinta Kasih, mewakili harapan Tzu Chi untuk setiap keluarga yang tinggal di sini.
Terdapatnya sekolah, poliklinik, dan pusat daur ulang dalam komplek perumahan, menjadi tempat untuk memberdayakan warga perumahan, terutama para ibu rumah tangga. Dengan demikian mereka dapat memanfaatkan waktunya untuk menambah nafkah sekaligus dapat mengurus rumah tangga mereka.
Perubahan yang terpenting bukan pada apa yang tampak di luar, namun apa yang terjadi di dalam. Tak hanya kehidupan warga pindah dari ‘pinggiran’ menjadi ‘gedongan’, namun cara hidup warga juga mulai bergeser menjadi lebih memperhatikan kebersihan, pendidikan, dan ketertiban.
Hal yang sama terulang ketika pada Februari 2004 Tzu Chi mulai membangun Perumahan Cinta Kasih di Muara Angke. Kali ini perumahan tersebut diperuntukkan bagi para nelayan yang tinggal di bantaran Kali Adem, bagian hilir Kali Angke. Bentuk dan model perumahan ini persis sama dengan Perumahan Cinta Kasih Cengkareng. Bedanya, karena luas lahan eks rawa-rawa yang tersedia hanya 1,8 hektar, maka di sini dibangun 600 unit rumah susun, sedang fasilitas lain akan disediakan di luar area tersebut. Perumahan ini diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, pada 17 Juli 2005. Meski penduduk di kedua perumahan ini memiliki latar belakang yang berbeda, Tzu Chi memperlakukan mereka dengan cara yang sama, dengan perhatian dan cinta kasih, menuntun warga ke arah hidup yang lebih baik dan manusiawi.
Saat Tzu Chi sedang menyelesaikan pembangunan perumahan di Muara Angke, terjadi bencana besar di ujung barat Indonesia. Gempa bumi dan tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagian Sumatera Utara. Akibat bencana ini, ratusan ribu masyarakat Aceh kehilangan tempat tinggal. Rehabilitasi tentu bukan hal yang mudah. Tzu Chi menuntaskan tahap rehabilitasi terakhir yaitu memulihkan kehidupan dengan membangun Perumahan Cinta Kasih di 3 tempat: Banda Aceh, Aceh Besar, dan Meulaboh.
Meski didaulat sebagai Perumahan Cinta Kasih ke-3, 4, dan 5 setelah Cengkareng dan Muara Angke, namun model perumahan di sini tidak dibangun bersusun ke atas, melainkan mendatar. Setiap rumah memiliki lahan seluas 150 m2, sedang luas bangunannya 40 m2. Dari ketiga perumahan, yang paling pertama diresmikan adalah yang berdiri di Panteriek, Banda Aceh. Tepat satu tahun setelah terjadinya tsunami, Perumahan Cinta Kasih Panteriek diresmikan oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono.
Membalut Luka
Alam, punya kuasa yang jauh lebih besar dibanding manusia. Namun seperti yang pernah dikatakan oleh Master Cheng Yen, seringkali manusia menentang alam. Di samping itu, sikap manusia yang mengeksploitasi hasil dan kekayaan alam tanpa mengimbanginya dengan pemeliharaan dan perawatan, menimbulkan kerusakan alam yang kian parah. Pada akhirnya, manusia sendiri yang menuai akibatnya. Bermacam bencana melanda.
Bencana alam selalu menelan sejumlah korban, baik sedikit atau banyak. Meski satu, seratus, seribu jiwa yang melayang, duka yang dialami keluarga yang ditinggalkan selalu sama besarnya. Sejak awal dimulai, Tzu Chi Indonesia memberikan bantuan pada korban meletusnya Gunung Merapi di akhir tahun 1994. Setahun berikutnya, saat terjadi gempa bumi di Gunung Kerinci, Tzu Chi juga menyempatkan diri bertandang ke sana. Demikian pula dengan bencana kekeringan, banjir, tanah longsor, ataupun tsunami yang pernah melanda berbagai wilayah di Indonesia, Tzu Chi berusaha mengirimkan bantuan.
Keterangan Gambar: Meski sehari-hari Susan Yeoh hidup nyaman di depan kamera sebagai presenter Da Ai Tv, Taiwan, ia tak segan untuk ikut mengangkat karung beras.
Seolah masih kurang bencana yang diakibatkan proses alam, manusia baik sengaja ataupun tidak juga tak henti menciptakan bencana. Misalkan bencana bom di Kedutaan Besar Australia pada 9 September 2004, bom di Bali pada 1 Oktober 2005, ataupun bencana kebakaran di berbagai kecamatan di Jakarta. Tzu Chi turut bersimpati pada semua korban yang tertimpa bencana tersebut dan memandang ini sebagai kesempatan yang baik untuk mengulurkan bantuan.
Salah satu yang terbesar adalah gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagian Sumatera Utara, tanggal 26 Desember 2004. Gempa terjadi di dasar laut dengan kekuatan 8,6 skala richter, dan pengaruhnya meluas hingga 12 negara. Dalam bencana yang terjadi pada Minggu pagi tersebut, tak kurang dari 150 ribu jiwa menjadi korban, sementara ratusan ribu masyarakat Aceh yang selamat, harus hidup dalam kondisi darurat untuk jangka yang cukup lama.
Dalam setiap pemberian bantuan bencana, Tzu Chi memegang prinsip Langsung, Prioritas, dan Menghargai Jiwa. Prinsip ‘langsung’ mengkondisikan relawan untuk berinteraksi langsung dengan penerima bantuan. Prinsip ‘prioritas’ menjadi pegangan relawan saat harus menentukan pihak yang dibantu. Tzu Chi lebih mengutamakan untuk membantu orang-orang yang benar-benar layak dibantu dan memiliki harapan berubah lebih baik. Sedangkan prinsip ‘menghargai jiwa’ menunjukkan bahwa Tzu Chi tidak hanya memandang penerima bantuan sebagai obyek, tapi memperhatikan fisik dan batinnya.
Saat mengirimkan bantuan ke Aceh, Tzu Chi menetapkan 3 tahap rehabilitasi: menentramkan raga, menentramkan jiwa, dan memulihkan kehidupan. Pada tahap yang pertama, Tzu Chi mengirimkan bantuan makanan, obat-obatan, dan tim medis sebagai tanggap darurat pascabencana. Tiga bulan kemudian, dibangun Kampung Tenda Cinta Kasih yang layak dan nyaman sebagai tempat penampungan sementara. Satu tahun setelah itu, korban dipindahkan ke Perumahan Cinta Kasih dan dapat mulai menjalani hidup mereka seperti sebelum bencana terjadi.
Keterangan Gambar: Ribuan orang mengungsi ke sebuah stadion olahraga dari kejaran Badai Katrina yang melanda di New Orleans dan sekitarnya, Amerika Serikat.
Menghantar Cinta Kasih Ke Seberang Lautan
Usaha-usaha Tzu Chi untuk memberi bantuan pada orang-orang yang menderita tidak pilih-pilih negara, baik di tempat tersebut ada kantor cabang Tzu Chi atau tidak. Misalnya saja, anak-anak yang kekurangan gizi dan kedinginan di Mongolia. Pada tahun 2000, Tzu Chi mengirimkan bantuan makanan dan pakaian kepada para yatim piatu, orang tua, dan anak-anak dengan orangtua tunggal di sana.
Selama 8 tahun terakhir, Tzu Chi telah mendirikan 500 tempat pelatihan menjahit di Afrika Selatan. Berkat pelatihan ini, 14.000 penduduk miskin di daerah tersebut dapat melepaskan diri dari kemiskinan dan meningkatkan pendapatan keluarga.
Saat terjadi gempa bumi di El Salvador pada Januari 2001, Tzu Chi mengirimkan bantuan pangan dan pengobatan selama 1 bulan untuk para korban. Selanjutnya dibangun Perumahan Cinta Kasih yang turut mengilhami dibangunnya Perumahan Cinta Kasih di Indonesia.
Setelah peristiwa serangan teror 11 September 2001, Afghanistan mendapat serangan militer tentara AS bertubi-tubi yang mengorbankan jutaan rakyat tak bersalah. Bekerja sama dengan organisasi kemanusiaan Knightbridge International, Tzu Chi membagikan keperluan sehari-hari dan obat-obatan. Proses pemberian bantuan ini cukup berbahaya, namun penderitaan yang dialami oleh rakyat setempat membuat relawan Tzu Chi yang sempat melihat secara langsung kondisi di sana sangat prihatin.
Begitu pula saat terjadi bencana gempa di Iran, topan di Taiwan, tsunami di Sri Lanka, ataupun badai Katrina di New Orleans, Amerika Serikat. Tzu Chi sedapat mungkin tidak absen dalam memberikan bantuan.

No comments:

Post a Comment