Monday, September 29, 2014

Adat Kematian: Meringankan atau Memberatkan?



Oleh: Pdt Daniel T.A. Harahap

Saya sangat percaya adat Batak di sekitar peristiwa kematian pada dasarnya (awalnya) dibuat untuk menolong sesama yang sedang berduka. Orang yang kematian kekasih (ayah atau ibu, pasangan hidup, atau anak, atau saudara) sangatlah bersedih dan rapuh, sebab itu tidak boleh dibiarkan sendiri. Maka adat Batak (seperti adat-adat lainnya) mewajibkan kita  hadir dalam peristiwa kematian, mendampingi dan mengelilingi sanak yang sedang berduka itu, agar tidak merasa sendirian menghadapi kematian yang menyakitkan itu.  Semakin banyak yang hadir semakin terhiburlah hati keluarga yang berduka itu. Sebab itulah kehadiran dalam peristiwa perkabungan dirasakan jauh lebih penting dan bermakna daripada kehadiran dalam pesta. Sebaliknya ketidakhadiran seseorang, apalagi yang diharapkan, pastilah menimbulkan kesedihan, kekecewaan dan luka mendalam.
Berhubung  HKBP beranggotakan mayoritas Batak,  dan bagi orang Batak peristiwa kematian itu adalah  amat sangat penting atau bahkan terpenting (melampaui kehidupan?),  maka gereja HKBP pun harus memberikan perhatian serius kepada peristiwa kematian anggotanya. Seingat saya di HKBP hanya ibadah minggu, sakramen dan pemberkatan nikah saja yang menyaingi pentingnya upacara kematian.  Satu lagi: sinode godang atau Rapat Pendeta. Jika Sinode atau Rapat Pendeta sedang berlangsung di Sipoholon, maka ikhlaslah jemaat jika yang memimpin upacara bukan pendeta. Namun itupun kalau sudah tak ada lagi pendeta pensiun atau pendeta gereja tetangga yang bisa dipinjam. :-)Segala jadwal gereja yang lain boleh dan harus digeser demi kebaktian perkabungan. Segala kegiatan lain pendeta di luar yang disebutkan di atas wajib didelay atau dicancel demi upacara permakaman. Jika tidak, maka jemaat bukan saja sangat kecewa namun bisa marah dan bikin gejolak.
Sebab itulah sebagai seorang pendeta HKBP saya sangat sadar  bahwa kehadiran saya benar-benar ditunggu  oleh keluarga yang berduka bahkan oleh seluruh anggota jemaat  HKBP yang hadir dalam upacara perkabungan itu. Dan saya pikir tuntutan jemaat itu wajar-wajar dan sah-sah saja. Sebagai seorang pendeta apalagi pimpinan jemaat sangat pantas saya hadir dan sungguh-sungguh hadir dalam peristiwa kematian yang dipandang sakral dan agung ini.
Jauh di lubuk hati, jujur, saya tidak suka menjadi pusat perhatian orang banyak, namun  sebagai pendeta apa boleh buat saya selalu merasa menjadi sorotan dan pusat perhatian di rumah duka, tentunya selain yang berduka itu sendiri dan orang-orang terkemuka yang datang melayat. Sebab itulah saya selalu mengingatkan diri saya agar bersikap  tenang dan takzim di rumah duka maupun di tempat pemakaman agar tidak melakukan kesalahan  memalukan atau malah fatal.
Saya beruntung sehari-hari sangat menyukai pakaian warna gelap dan jas konservatif, sebab itu seingat saya dalam hampir dua puluh tahun menjadi pendeta saya hanya satu kali saja “salah kostum” ke rumah duka (mengenakan pakaian terang berbunga). Itupun karena tidak sempat ke rumah. Saya juga bersyukur karena sikap tepat waktu sudah menjadi bagian darah dan daging saya sehingga sampai sejauh ini saya belum pernah satu kali pun terlambat datang ke acara penutupan peti jenazah dan pemakaman. Yang lebih sering malah datang terlalu awal, karena biasanya anggota jemaat dan sintua HKBP sangat senang dan berlomba-lomba mengingatkan pendetanya agar tidak terlambat memimpin acara (bahwa acara adat yang nanti berkepanjangan dan lewat waktu kesepakatan itu lain hal). :-) Saya juga beruntung dikaruniai Tuhan wajah tiris penuh bulu, sehingga “mecing” dengan suasana duka.  Hanya satu hal yang kadang (sayangnya sering terlambat) saya sesali: karena merasa sangat dekat dengan anggota jemaat kadang saya suka lupa diri sehingga ikut larut dalam canda tawa para pelayat yang pada dasarnya budiman (namun bosan menunggu) di bawah tenda depan rumah duka. Seandainya dilihat dan didengar (karena terekam kamera apalagi video) oleh keluarga tentunya itu tak pantas. Ya sudahlah. Moga-moga itu masih bisa diperbaiki. :-)
Saya lebih bahagia lagi karena gereja kami HKBP Serpong (sebelumnya HKBP Jatiwaringin dan Rawamangun) tidak lagi datang ke rumah duka dengan tangan kosong.  Gereja wajib memberikan sejumlah uang senilai dua juta rupiah sebagai “singkat ni batang” (ganti peti) atau “tangis ni huria” (air mata gereja) kepada keluarga anggota jemaat yang meninggal tanpa memandang tua-muda, besar-kecil atau baru-lama. Pokoknya jika ada anggota jemaat meninggal maka gereja segera mengeluarkan dua juta rupiah. Jika yang meninggal orangtua jemaat (yang bukan anggota HKBP Serpong) kami memberikan uang duka Rp 300 ribu (sebagai ganti krans bunga). Saya dan kawan2 sudah bertekad di rapat jemaat yang akan datang jumlah uang duka ini harus dinaikkan. Sebab dengan naiknya tarif dasar listrik (TDL) dan tarif tol dan harga-harga (termasuk kopi dan cabai)  maka pastilah beban jemaat yang berduka semakin besar. Tiga juta rupiah? Sementara bolehlah. Nanti jika keuangan gereja lebih membaik jumlah itu bisa dinaikkan lagi.
Namun sebaliknya, hadir dalam acara kedukaan  bagi saya tidak seluruhnya menyenangkan. Salah satu yang acap saya keluhkan dan pusingkan adalah bertele-telenya acara. Sebagaimana kita sama-sama tahu dan lakukan, dalam peristiwa kematian Batak, orang-orang datang ke rumah duka tidak hanya sekadar menyalam, melihat dan memberi penghormatan terakhir kepada jenazah, namun juga melakukan serial acara menyampaikan kata-kata penghiburan per kelompok. Sebagaimana saya singgung di atas, menurut saya pada dasarnya ini adalah adat yang baik. Orang yang berduka memang harus dilawat, dikelilingi dan disapa agar kuat. Namun masalahnya yang terjadi sekarang kata-kata yang dinamakan penghiburan itu seringkali sudah terlalu banyak dan klise namun tetap  dijejalkan ke telinga yang berduka sampai tengah malam. Akibatnya tentu sangat melelahkan bagi keluarga yang berduka (walaupun biasanya mereka hanya diam  dan merunduk saja dekat jenazah dengan wajah kosong).  Dan celakanya para pelayat tidak tahu atau tidak mau tahu dengan kelelahan, kedukaan dan kerapuhan keluarga yang berduka. Alih-alih fokus kepada perasaan yang berduka dan karena itu  memadatkan kata-katanya, banyak pelayat malah semakin bergaya dan banyak bicara. Lantas selesai gilirannya, meninggalkan yang berduka, pulang ke rumah atau pergi dulu mampir makan bakmi. Sementara itu kelompok lain sudah menggantikan memidatoi dan menggurui yang kematian itu.
Kematian  memang sangat menguras air mata, perasaan, tenaga dan juga dana keluarga. Dan hal ini agaknya disadari penuh oleh nenek moyang orang Batak. Karena itulah selain melalui kehadiran dan ratapan (andung-andung) keikutsertaan berduka juga harus ditunjukkan melalui sokongan dana dan beras. Pada dasarnya tidak ada orang yang boleh datang ke rumah duka “melenggang kangkung” atau tanpa membawa apa-apa. Jika tidak uang ya beras. Atau tenaga. Semuanya itu tentu dengan maksud meringankan beban yang berduka. Sebab itu jugalah dapat kita pahami mengapa adat Batak melarang upacara besar dan megah dalam peristiwa kematian anak-anak, pemuda atau orang-orang setengah baya yang belum purna melakukan tanggungjawabnya.  Anak-anak dan orang muda harus dikubur cepat-cepat tentu salah satu maksudnya adalah untuk menghemat biaya selain tenaga. Namun apa yang terjadi sekarang?
Bukan hanya kehidupan, melainkan kematian pun telah menjadi beban berat.  Banyak orang Batak masa kini bukan hanya harus berpikir keras untuk hidup namun juga untuk mati. Kehadiran banyak orang dalam peristiwa kematian masa kini, khususnya di kota-kota besar, kadang hanya sekadar memberi kebanggaan semu kepada keluarga yang berduka bahwa yang mati atau sanaknya adalah orang baik, bergaul dan terhormat) sebab itu dilayat banyak orang. (Satu lagi kebanggaan semu itu: jumlah krans bunga atau bunga papan imitasi!). Ada pertanyaan: apakah yang  diberikan orang banyak itu (termasuk gereja) kepada keluarga yang berduka? Atau, apakah yang harus diberikan keluarga yang berduka itu kepada orang banyak itu (termasuk gereja)?
Kita bersyukur bahwa sampai sekarang, persekutuan-persekutuan adat dan sosial setempat masih banyak yang berperan aktif dalam peristiwa kematian membantu keluarga yang berduka. Jika kita perhatikan di acara-acara kedukaan  para pengurus marga atau parsahutaon masih tampak sibuk mengedarkan buku tulis berisi daftar sumbangan, walaupun banyak urusan konsumsi, penyediaan peti dan ambulans sudah diserahkan kepada yayasan atau lembaga profesional.  Semua itu tentu melegakan hati kita di jaman yang sangat kompleks, super sibuk, penuh pamrih, dan individualistis ini. Namun tetap  ada pertanyaan:  Kita tahu di kota-kota besar hampir semua hal (termasuk dalam kematian) mesti dibayar dan sering mahal: ambulans, tanah makam, konsumsi, tenda, organ tunggal, bunga, peti jenazah dan bunga, pendeta (?), ulos dari hula-hula (?) dan lain-lain.  Apakah dana yang dikumpulkan kelompok-kelompok itu ditambah sumbangan lain (termasuk dari gereja) cukup signifikan menutupi biaya kematian yang sangat besar di perkotaan? Apakah masih ada sisanya yang bisa digunakan keluarga atau justru keluarga masih harus menggadaikan barang atau menghutang?
Melalui tulisan ini saya mau mengajak semua pihak yang berkepentingan agar serius memikirkan ulang adat dan upacara kematian Batak Kristen kita ini.  Sudah waktunya kita harus kembali ke rel atau khittah awal adat kematian diwariskan leluhur kita dan sesuai dengan iman kita: adat kematian itu diciptakan untuk menolong dan bukan menyusahkan, untuk meringankan beban dan bukan untuk memberatkan, untuk menguatkan dan bukan malah melemahkan. Dengan bahasa lain: adat kematian itu adalah ungkapan kasih dan hormat kita kepada yang meninggal dan keluarga yang ditinggalkan, bukan sarana peninggian, pementingan dan penyenangan diri sendiri.
***
Agar tidak sekadar wacana atau holan hata, mari kita lakukan tindak nyata. Bagi orang Batak Kristen ada dua pihak yang dipandang sangat terhormat dan karena itulah kita harapkan menjadi pelopor dari pembaharuan adat kematian ini. Pertama: hula-hula. Pihak hula-hula selalu didengarkan oleh keluarga besar yang berduka. Sebab itu jika Saudara dan saya sedang berada dalam posisi hula-hula lakukanlah sesuatu yang nyata untuk menjadikan adat kematian itu tidak memberatkan namun sebaliknya meringankan dan melegakan. Bagaimana caranya? Banyak sekali: antara lain, laranglah keluarga memotong babi untuk menghormati hula-hula saat mangarapot (hurufiah: mengikat dan melem peti jenazah) malam hari, apalagi bila yang meninggal bukan dalam keadaan saur matua. Berikanlah ulos tujung dan ulos saput dengan ikhlas (tanpa harus diganti dengan uang). Janganlah tuntut keluarga memotong sapi atau kerbau jika secara ekonomi mereka pas-pasan (walaupun semua anaknya sudah menikah dan subur).  Satu lagi: tidak usahlah suruh keluarga yang berduka berdiri menyambut Saudara. Mereka sudah terlalu letih raga dan jiwa.
Kedua: pendeta dan penatua. Hadirlah lebih awal dalam peristiwa kematian. Lihatlah apa keadaan sesungguhnya keluarga. Organisirlah unit-unit gereja untuk memberikan bantuan tenaga. Ajarlah anggota jemaat dalam acara perkabungan  hemat bicara namun banyak berderma. Anggarkanlah biaya kematian anggota jemaat dalam anggaran gereja, termasuk uang duka dalam jumlah siginifikan. Masukkan dalam anggaran gereja ongkos dan bensin serta tol untuk upacara penguburan. Jangan minta dan jangan terima uang apapun dari anggota jemaat yang kematian. Kecuali yang mati saur matua, kaya raya, dan titik kikir, bolehlah terima jika diberi, itupun jangan pernah diminta secara halus atau kasar.
Apa lagi?  Jaga kesehatan, stop merokok dan berdoalah agar panjang umur. Sebab kehidupan lebih penting daripada kematian. Horas. :-) (http://rumametmet.com/)

No comments:

Post a Comment