Sunday, March 22, 2015

Menkes: Beban Pembiayaan Penyakit Tidak Menular Terus Meningkat


Menteri Kesehatan, Nila Farid Moeloek berfoto bersama staf dan sejumlah pemimpin redaksi media massa nasional, di Kantor Kemkes, Jakarta, Rabu (25/2/). Hadir pula dalam pertemuan ini, Pimred Harian Suara Pembaruan, Investor Daily dan Beritasatu.com, Primus Dorimulu.[Istimewa]
Menteri Kesehatan, Nila Farid Moeloek berfoto bersama staf dan sejumlah pemimpin redaksi media massa nasional, di Kantor Kemkes, Jakarta, Rabu (25/2/). Hadir pula dalam pertemuan ini, Pimred Harian Suara Pembaruan, Investor Daily dan Beritasatu.com, Primus Dorimulu.[Istimewa]

 Sejak diberlakukannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada awal Januari 2014 lalu, angka berobat ke fasilitas kesehatan juga melonjak drastis. Ini karena insurance effect atau efek asuransi, di mana mereka yang tadinya terkendala biaya, kini mendapatkan kesempatan terbuka untuk berobat tanpa uang muka dan biaya mahal.

Namun, kebanyakan dari mereka yang memanfaatkan JKN datang ke rumah sakit sudah stadium lanjut dan menderita penyakit yang membutuhkan biaya pengobatan mahal. Gagal ginjal adalah salah satu penyakit tidak menular yang paling banyak menyerap pembiayaan, dan jika tidak diintervensi beban pembiayaan akan terus bertambah.

BPJS Kesehatan mencatat baru 6 bulan pertama JKN diberlakukan, yaitu Januari-Juni 2014, penderita gagal ginjal menyerap anggaran hampir menyentuh angka Rp 16 triliun. Penderita gagal ginjal pada rentan waktu tersebut mencapai 889,356 orang dan menelan biaya sebesar Rp 869 miliar lebih. Untuk rawat inap penderita gagal ginjal sebanyak 138,779 orang dengan biaya sebesar mencapai Rp 750 miliar lebih.

"Jika dibiarkan masyarakat jatuh sakit, biaya kesehatan akan semakin meningkat," kata Menteri Kesehatan, Nila Farid Moeloek, di sela-sela pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi media massa nasional, di Kantor Kemkes, Jakarta, Rabu (25/2/). Hadir pula dalam pertemuan ini, Pimred Harian Suara Pembaruan, Investor Daily dan Beritasatu.com, Primus Dorimulu.

Lebih jauh Menkes mengatakan, beban pembiayaan akan terus meningkat seiring dengan perubahan pola epidemiologi, dari yang dulunya penyakit menular, sekarang didominasi penyakit tidak menular. Bahkan, jumlah kasus penyakit tidak menular meningkat jauh lebih tinggai dari penyakit menular, yaitu sebanyak 37% pada tahun 1990 menjadi 58% di tahun 2010.

Bahkan, data Global Burden of Disease tahun 2014 menyebutkan, 10 penyakit yang menduduki peringat teratas kasus terbanyak dan menimbulkan beban terbesar adalah penyakit tidak menular, yaitu stroke, kecelakaan lalu lintas, jantung iskemik, kanker, diabetes. Di tahun 1990, penyakit stroke di urutan keempat, sedangkan jantung iskemik serta diabetes masing-masing di peringkat 13 dan 16.

Perubahan peringat penyakit tidak menular ini mulai terjadi di tahun 2010. Kasus stroke mencapai urutan pertama sebagai penyakit yang menimbulkan beban paling besar, jantung iskemik di peringat kelima, dan diabetes keenam.

Beban penyakit di era JKN ini menjadi salah satu topik yang dibicarakan dalam pertemuan Menkes dengan Pimred, yang dihadiri pula oleh pejabat eselon 1 Kemkes, seperti Dirjen Bina Upaya Kesehatan Prof Akmal Taher, Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, Maura Linda Sitanggang, dan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Mohammad Subuh.

Menkes juga mengatakan,  jumlah masyarakat yang berobat menggunakan JKN tertinggi di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ini dikarenakan kemudahan akses dan ketersediaan layanan lebih memadai di Pulau Jawa.

"Sedangkan di daerah dengan kondisi geografis sulit, tingkat berobat masyarakat masih rendah. Sistem pembiayaan juga belum optimal untuk menolong masyarakat yang sedang sakit," kata Menkes.

 Masalah lain dalam pelaksanaan JKN yang juga disebutkan Menkes adalah sistem rujukan atau pengobatan berjenjang belum berjalan baik. Ini karena masyarakat belum menyadari adanya sistem ini.

Seharusnya, kata Menkes, pasien peserta JKN berobat secara berjenjang, dimulai dari  layanan primer, baru kemudian dirujuk ke rumah sakit sekunder bila diperlukan. Rumah sakit tersier hanya untuk penderita yang penuh komplikasi dan tersedianya tenaga kesehatan yang subspesialistik, bukan terbuka untuk setiap penyakit yang seharusnya dapat diatasi di layanan primer.

Jika fasilitas kesehatan primer, seperti puskesmas, klinik, dan dokter praktek mandiri, dapat mengatasi sebagian besar penyakit, diharapkan hanya sekitar 10% sampai 20% yang ditangani di layanan sekunder, dan lebih sedikit lagi di layanan tersier.

"Keadaan saat ini masih terbalik, di mana banyaknya penderita yang perlu ditangani di layanan sekunder dan tersier," kata Menkes. [http://sp.beritasatu.com]

No comments:

Post a Comment