Tuesday, March 31, 2015

Klaim BPJS Kesehatan di RSU dr Soetomo Per Bulan Rp 40 M

Monday, March 30, 2015

Sistem Rujukan BPJS Belum Maksimal

 Sistem rujukan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan belum maksimal. Hingga triwulan pertama 2015, tercatat 9,5 persen dari total jumlah pasien yang jadi peserta program ternyata dianggap salah rujukan, yakni berupa rujukan nonspesialistik yang bisa diselesaikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Warga menunggu  pelayanan kesehatan di Puskesmas Setiabudi, Jakarta, Selasa (3/2). Untuk menyukseskan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama secara bertahap diperkuat hingga 2019. Saat ini, rujukan dalam program JKN dinilai belum maksimal. Hingga triwulan pertama 2015, tercatat 9,5 persen dari total jumlah pasien dianggap salah rujukan, yakni berupa rujukan nonspesialistik ke rumah sakit. Padahal,  sebenarnya bisa diselesaikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Kompas/Yuniadhi AgungWarga menunggu pelayanan kesehatan di Puskesmas Setiabudi, Jakarta, Selasa (3/2). Untuk menyukseskan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama secara bertahap diperkuat hingga 2019. Saat ini, rujukan dalam program JKN dinilai belum maksimal. Hingga triwulan pertama 2015, tercatat 9,5 persen dari total jumlah pasien dianggap salah rujukan, yakni berupa rujukan nonspesialistik ke rumah sakit. Padahal, sebenarnya bisa diselesaikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
"Sistem rujukan berjalan, tetapi belum maksimal," kata Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional Chazali Husni Situmorang dalam diskusi yang digelar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan "Memahami Lebih Dalam Sistem Rujukan dan Pola Pembayaran BPJS", Kamis (26/3), di Jakarta.
Acara itu dihadiri Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Akmal Taher, Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Fajriadinur, dan perwakilan dari Majelis Pertimbangan Kesehatan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Widyastuti.
Data BPJS Kesehatan menyebutkan, pada triwulan pertama 2015 ada 14.619.528 kunjungan di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Dari data itu, 2.236.379 kunjungan dirujuk dari pelayanan primer ke tingkat pelayanan sekunder, 214.706 kunjungan di antaranya merupakan rujukan nonspesialistik, yang berarti seharusnya tak perlu dirujuk dan bisa diselesaikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Kapasitas SDM
Salah satu penyebab munculnya kasus rujukan nonspesialistik adalah kapasitas sumber daya manusia di tingkat pelayanan primer belum memadai. "Kami sudah merancang pembentukan sistem rujukan regional. Tentu dengan sumber daya manusia dan keuangan dari Kemenkes," kata Akmal Taher.
Tingginya angka rujukan yang tidak perlu itu mengakibatkan penumpukan pasien di rumah sakit yang sampai kini masih terjadi. Pelayanan menjadi terganggu karena antrean panjang pasien. Sementara sumber daya manusia di rumah sakit terbatas.
"Idealnya hanya 10 persen pasien yang dirujuk ke pelayanan sekunder dari 155 penyakit," ujar Akmal Taher. Namun, saat ini jumlah rujukan ke pelayanan sekunder mencapai 15,3 persen.
"Kami akan meningkatkan koordinasi dengan mitra. Beberapa di antaranya, seperti RSCM (Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo), sudah aktif memberi umpan balik kepada pasien yang seharusnya dirujuk balik (ke pelayanan primer)," ujar Fajriadinur.
Penambahan peserta
Meski sistem rujukan berjenjang belum optimal, tahun ini BPJS Kesehatan menargetkan peningkatan peserta pekerja penerima upah (PPU) JKN BPJS Kesehatan sebanyak 29 juta peserta dari peserta yang saat ini ada sejumlah 33,9 juta. Untuk mengimbangi, BPJS akan meningkatkan jumlah jejaring mitra rumah sakit hingga 1.700 rumah sakit.
"Undang-undang memastikan bahwa jaminan kesehatan wajib. Semua karyawan wajib didaftarkan oleh perusahaannya," kata Irfan Humaidi dari Humas BPJS Kesehatan saat ditemui, Rabu (25/3), di Jakarta. Sasaran utama penambahan peserta itu adalah badan usaha swasta.
Untuk itu, badan usaha diberi kemudahan mendaftarkan karyawan. Rekonsiliasi data peserta dan iuran badan usaha bisa dilakukan lewat sistem elektronik data badan usaha (e-Dabu). Perusahaan bisa mengedit data karyawan jika ada perubahan tanpa perlu ke kantor BPJS.
Saat ini, peserta BPJS PPU mencapai 33,9 juta peserta, terdiri dari PPU swasta, PPU PNS, TNI, dan Polri aktif, serta pensiunan. (http://print.kompas.com)

Sunday, March 29, 2015

Kejari Probolinggo Periksa 19 Puskesmas Dugaan Korupsi Dana JKN

Kejaksaan Negeri (Kejari) Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, memeriksa 19 puskesmas dari 36 puskesmas yang ada, terkait dugaan penyalahgunaan dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) anggaran 2014.

Dana JKN yang diambil dari APBN khusus jasa medis bagi para tenaga kesehatan di seluruh Indonesia, itu sampai saat ini masih dalam tahap penyelidikan.

Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Kraksaan, Isradul Ichwan mengatakan, saat ini pihaknya masih memeriksa masing-masing perwakilan dari tiap puskesmas. Yakni para kepala Puskesmas serta bendaharanya. Sedangkan, pihak pelapor pihaknya tidak bisa memberikan keterangan apapun dengan alasan keamanan.

"Sejauh ini kami masih melakukan proses pemeriksaan ada tidaknya dugaan penyalagunaan, berdasarkan laporan yang kami terima. Kami belum bisa menentukan korupsi yang dimaksud apa dilakukan selama kurun waktu 1 tahun atau hanya beberapa bulan saja," kata Ichwan kepada wartawan di kantornya, Kamis (26/3/2015).

Ichwan menuturkan, pemeriksaan terus dilanjutkan secara bertahap hingga semua selesai.

"Kalaupun ada yang menyimpang dan merugikan uang negara, maka kami angkat ke penyelidikan, terkait mekanisme aliran dananya," tambahnya.

Sementara kepala dinas kesehatan setempat saat dikonfirmasi via telepon tidak menjawab dan beberapa kali dihubungi tidak direspon. Rencananya, pemeriksaan lanjutan akan dilakukan minggu depan.

(http://news.detik.com)

Saturday, March 28, 2015

6 Popular Social Security Myths Busted



Most retirement advice focuses on how to save enough money for your later years and how to make the best use of your pension (if you’re lucky enough to have one). For many Americans, however, the most confusing part of retirement planning is their Social Security benefits.
When it comes to Social Security, Americans certainly plan on tapping it. More than half of Americans intend to fund their retirement with their Social Security payments – making this government entitlement program more popular as a funding source than 401(k)s, pensions or investment portfolios, according to a recent survey by ShareBuilder by Capital One.
Taking Social Security benefits at the right time – which will vary for people depending on their situation – can be worth hundreds of thousands of dollars throughout a lifetime. For many people, it’s the only retirement income stream designed to increase with inflation.
Still, misperceptions about the benefits persist. Here’s the truth about six common Social Security myths:
MYTH #1: The Social Security Administration will guide you through the process.
While most Social Security workers will do their best to help you, the decision to claim the benefit is notoriously complicated and there’s no one-size-fits-all solution. “Many people inside the Social Security Administration do not understand their own rules, do not understand all the benefit choices and often give people incomplete or wrong advice,” says Philip Moeller, co-author of Get What’s Yours: The Secrets to Maxing Out Your Social Security.
To make the right move, you’ll need to do your own research and potentially hire a financial planner or consultant who specializes in helping individuals and couples craft a Social Security plan.
MYTH #2: You should enroll in Social Security as soon as you’re eligible.
You can start receiving retirement benefits as early as age 62, but financial planners say doing so is usually a big mistake. Every year that you wait through age 70 will make your monthly checks worth more. A worker retiring this year at full retirement age, for example, would be eligible for a maximum monthly benefit of $2,663 – while a 62-year-old taking benefits this year would only receive $1,997 per month.
Continuing to delay collecting Social Security until after your full retirement age will net you 8 percent more a year. That’s a guaranteed return you’re not likely to find anywhere else. On average, a man reaching age 65 today can expect to live until 84, according to the Social Security Administration, while one in every four 65-year-olds will live past age 90.
Of course, waiting until age 70 to take benefits is not right for everyone. If you can’t live without the cash or if you have a health problem or family history of dying young, you may want to take benefits earlier, since you may not live long enough to realize that 8 percent return.
MYTH #3: You can’t get Social Security if you haven’t worked outside the home.
Even if you never once paid into the Social Security system, you can still get benefits equal to half your spouse’s benefits. You’re eligible for spousal benefits even if you’re currently divorced, as long as you were married for 10 years and haven’t remarried.
MYTH #4: You can spend your entire Social Security check.
Even in your golden years you can’t escape Uncle Sam. If your annual income is above $34,000 (if you file taxes individually) or $44,000 if you are married and filing jointly, you’ll owe taxes on 85 percent of your provisional income, which includes income from tax-free municipal bonds. There are also a handful of states that impose a tax on Social Security benefits.
MYTH #5: Social Security will fully fund your retirement.
Social Security was always meant to supplement Americans’ retirement income – and even at current levels it’s not nearly enough to sustain a pre-retirement lifestyle. The average monthly benefit in January was about $1,260, amounting to just over $15,000 annually. That’s just higher than the poverty level of about $12,000 per year.
MYTH #6: There won’t be any Social Security money left by the time millennials retire.
Given the funding problems with Social Security, it’s easy for workers, especially younger millennials, to write off the system entirely. Most experts, however, say that some form of Social Security payment will always be there, even if it’s a smaller check that arrives at a later age. “There’s no politician out there that’s going to look at the camera and say ‘I’m going to cut Social Security benefits entirely,’” says Anthony LoCascio, a certified financial planner and tax specialist in Clinton, N.J.
- See more at: http://www.thefiscaltimes.com/2015/03/26/6-Popular-Social-Security-Myths-Busted#sthash.mwqYcUpt.dpuf

Bank Mandiri Segera Kuasai 80 Persen Saham Asuransi InHealth


Baihaki/KONTAN Asuransi InHealth

 PT Bank Mandiri (Persero) Tbk selangkah lagi akan menjadi pemilik 80 persen saham asuransi kesehatan Inhealth, setelah pemilik sebelumnya yakni PT Askes (Persero), bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan.

Sejauh ini, bank pelat merah ini baru menguasai 60 persen saham di Inhealth dan sisanya 20 persen masih dipegang BPJS Kesehatan. Ditargetkan, sisa saham tersebut menjadi milik Bank Mandiri dalam hitungan hari.

"Minggu depan sisa 20 persen saham lagi milik BPJS Kesehatan akan dilepas ke Bank Mandiri," kata Direktur Mandiri Inhealth Dikdik Yustandi, Rabu (4/3/2015).

Menurut Dikdik, skema pelepasan ini akan dilakukan secara langsung dengan membeli seluruh saham milik BPJS Kesehatan. Nilainya mencapai Rp 340 miliar.

Nantinya setelah Bank Mandiri memperbesar kepemilikan saham, Mandiri Inhealth akan meningkatkan sinergi bisnis dengan induk usahanya ini. Di antaranya,  memanfaatkan nasabah Bank Mandiri untuk menjadi nasabah mereka, baik di segmen individu maupun kumpulan.

Sementara itu, sisa 20 persen kepemilikan saham di Mandiri Inhealth akan tetap dipegang dua perusahaan BUMN lainnya, PT Kimia Farma (Persero) Tbk dan PT Asuransi Jasa Indoensia (Persero). Keduanya masing-masing memiliki 10 persen saham di perusahaan asuransi kesehatan tersebut. (http://bisniskeuangan.kompas.com)

Friday, March 27, 2015

Biaya yang Ditanggung Jasa Raharja hingga Rp 10 Juta


Biaya yang Ditanggung Jasa Raharja hingga Rp 10 Juta
GUNTUR AGA TIRTANA/RADAR JOGJA
LANGKAH MAJU: Gubernur Hamengku Buwono X (dua dari kiri) saat mendengarkan penjelasan dari Jasa Raharja tentang keberadaan Pos Layanan Terpadu di RSUD Sardjito, kemarin (26/3).
 
Gubernur DIJ Hamengku Buwono X menyambut positif hadir-nya layanan pos pelayanan terpadu milik PT Jasa Raharja, di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sardjito. Di-harapkan, hadirnya pos layanan tersebut bisa mempercepat, sekaligus mempermudah layanan bagi para korban kecelakaan lalu lintas.“Hadirnya pos layanan terpadu ini, merupakan langkah maju dalam memberikan pelayanan, sehingga pantas untuk diapresiasi,” kata HB X saat meresmikan pos layanan ter-padu penanganan korban kecelaka-an lalu lintas di RSUD Sardjito, ke-marin (26/3)
Menurut HB X, keberadaan pos terpadu akan membantu masya-rakat. Apalagi, pos pelayanan terpadu ini bertujuan memberi-kan layanan medis berupa pengo-batan, layanan hukum penguru-san berita acara pemeriksaan (BAP), atau laporan polisi (LP) untuk pengurusan asuransi.“Setiap peristiwa kecelakaan, seharusnya dapat dimonitor melalui jaringan komputer ter-padu di Kantor Lalu Lintas Polda DIJ. Sehingga, setiap korban lalu lintas dengan cepat bisa ditanga-ni, mulai dari rumah sakit, hing-ga pengurusan santunan ke Jasa Raharja,” harap HB X.Selain itu, Raja Keraton Jogja ini meminta kepada manajemen RSUD Sardjito membuat ja-ringan sistem online yang lang-s ung terhubung dengan pos pelayanan terpadu. Sehingga, warga yang mengalami kecelaka-an, bisa  langsung diberikan pe nanganan medis. Dan biaya perawatan dapat ditagihkan ke PT Jasa Raharja.“UU Nomor 22 Tahun 2009 mengamanatkan bahwa seluruh stakeholders bertanggung jawab atas keselamatan lalu lintas di jalan raya,” ingat HB X.
Dalam kesempatan ini, HB X diundang hadir untuk meres-mikan pos pelayanan terpadu penanganan korban kecelakaan lalu lintas di RSUD Sardjito. Dengan diresmikannya pos ter-sebut, kini korban kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan yang menjalani perawatan di RSUD Sardjito, tak perlu lagi bingung memikirkan biaya pe-rawatan. Sebab, biaya perawatan di rumah sakit, langsung ditang-gung PT Jasa Raharja.“PT Jasa Raharja akan mem-bayar biaya perawatan korban kecelakaan lalu lintas hingga Rp 10 juta. Jika biaya perawatan lebih dari Rp 10 juta, sisanya akan dibayar BPJS Kesehatan atau Jamkesos/Jamkesda,” kata Di-rektur Operasional PT Jasa Rahar-ja, Budi Raharjo dalam lauching pos pelayanan terpadu ini, ke-marin (26/3).Menurut Budi, pendirian pos pelayanan terpadu di RSUD Sardjito merupakan implemen-tasi Perpres 111 Tahun 2014, dan amanat kerja sama antara PT Jasa Raharja pusat dengan BPJS Kesehatan pusat.
Harapannya, pos pelayanan terpadu dapat meningkatkan kualitas layanan bagi korban kecelakaan lalu lin-tas, agar lebih cepat dan tepat.“Setiap tahun, jumlah santunan yang dibayarkan Jasa Raharja secara nasional, mencapai Rp 1,5 triliun. Kami memiliki komit-men, pembayaran santunan bagi korban kecelakaan yang meninggal dunia maksimal enam hari. Bagi cabang atau perwaki-lan yang tidak dapat menjalankan program tersebut, akan diberi sanksi,” tambah Budi.Di tempat yang sama, Kapolda DIJ Kombes Pol Erwin Triwanto mengatakan, kepolisian meru-pakan gerbang utama penguru-san santunan bagi korban ke-celakaan lalu lintas. Karena itu, ia meminta masyarakat yang menjadi korban kecelakaan, sesegera mungkin melaporkan musibah yang dialaminya ke kepolisian terdekat. Sebab, tanpa ada laporan, kepolisian tidak dapat membuat berita acara pemeriksaan peristiwa kecelakaan tersebut, dan me-nerbitkan laporan polisi (LP).“Pada hal, LP merupakan sya-rat utama ketika akan mengurus santunan ke Jasa Raharja,” kata Erwin. (http://www.radarjogja.co.id)

Taspen Dorong PNS Peroleh Jaminan Kesehatan dan Kematian

* Belanja Pensiun Rp93 T

Taspen Dorong PNS Peroleh Jaminan Kesehatan dan Kematian


 
 Direktur Perencanaan, Pengembangan dan Teknologi Informasi PT Taspen (Persero) Faisal Rachman mengungkapkan, saat ini perusahaan sedang menyiapkan segala aspek yang berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan pegawai negeri sipil (PNS). Salah satunya menambah produk Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).

Saat ini, PNS sudah dikelola JKK dan JKM oleh PT Taspen melalui PP 12 tahun 1981. Namun, dengan lahirnya UU nomor 24 tahun 2014, Taspen diberikan kesempatan pada pasal 57 UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS, bahwa perseroan dapat melakukan tambahan produk, serta tambahan peserta hingga membuat roadmap.

"Pada tahun 2029 nanti akan dilihat produk mana saja yang sesuai UU Jaminan Sosial sebagai payung dari UU sistem SJSN itu, baru dialihkan. Saat ini, kami sedang menyiapkan Rancangan Peratutan Pemerintah (RPP) maupun aturan teknis berkaitan dengan JKK dan JKM khusus untuk PNS," paparnya, saat sosialisasi di hadapan PNS Balaikota Depok, Selasa (24/3/2015).

PT Taspen (Persero) telah menyelesaikan roadmap 2014-2029 dalam rangka memenuhi UU Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Pasal 65 ayat 2 yang mengamanatkan, PT Taspen menyelesaikan penyusunan roadmap transformasi.

Faisal menuturkan, sejak dulu PNS sudah menerima jaminan kesehatan melalui Jaminan Hari Tua dan lainnya yang diatur dalam UU. Sedikitnya ada lima jaminan, di antaranya jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian.

"Kami akan ajukan JKK dan JKM dorong ke Kemenko Perekonomian mudah-mudahan terealisasi dan dapat dinikmati PNS, sistemnya akan diubah," ungkapnya.

Dalam meningkatkan kesejahteraan para Pegawai Negeri Sipil (PNS), Badan Kepegawaian Negara (BKN) sedang membangun sistem pensiun baru yang disebut Fully Funded guna menggantikan sistem lama Pay as You Go. Adapun dana pensiun tahun ini mencapai Rp93 triliun, terdiri dari pensiun PNS dan TNI/Polri.

"Kecenderungannya angka terus naik. Dalam jangka panjang membebani keuangan negara, dana pensiun tak bisa dikelola. Kita menginginkan pelimpahan itu biayai kebutuhan dana pensiun," ujar Wakil Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Eko Prasojo. (http://ekbis.sindonews.com/)

Thursday, March 26, 2015

BPJS Harus Beri Pemahaman ke Masyarakat Tentang Alur Pelayanan

BPJS Harus Beri Pemahaman ke Masyarakat Tentang Alur Pelayanan
Istimewa
Ade Hartati

 Anggota Komisi E DPRD Riau, Ade Hartati mengatakan banyak warga yang tidak paham dan belum mengetahui bagaimana program BPJS Kesehatan secara utuh. Ia melihat sosialisasinya masih kurang.
"BPJS harus memberikan pemahaman kepada masyarakat, bahwa pelayanan tingkat dasar itu ada di Puskesmas. Kalau tidak bisa di-cover di Puskesmas, baru diarahkan ke rumah sakit. Sehingga masyarakat tidak menumpuk di rumah sakit, dan rumah sakit pun bisa maksimal memberikan pelayanan terhadap masyarakat," paparnya.
Ade juga meminta rumah sakit pemerintah atau pun swasta agar memberikan pelayanan sebaik- baiknya kepada seluruh masyarakat, termasuk peserta BPJS.
"Rumah sakit jangan hanya berorientasi kepada keuntungan, tapi juga harus memiliki orientasi sosial. Jangan sampai masyarakat merasa terabaikan, dan pusing sendiri dengan persoalan yang mereka hadapi. Karena pada dasarnya adanya layanan BPJS itu memang untuk memberikan jaminan kepada masyarakat dalam masalah kesehatan," terangnya.
Menurut Ade, bagaiamana pun persoalannya kemudian, muaranya tetap saja pada masalah sosialisasi. Kata dia, harus ada pemahaman yang sama antara BPJS, pemerintah dan masyarakat. Kalau sekarang yang terjadi, pikir masyarakat seluruh masalah kesehatan itu ditanggung oleh BPJS. Item-item apa saja yang ditanggung, itu masyarakat masih banyak yang tidak mengetahui, karena terbatasnya informasi.
"Masyarakat harus mengetahui, layanan apa saja yang bisa diterima, baik di layanan Puskesmas atau pun rumah sakit tingkat lanjut. Sehingga tidak ada saling tuding, rumah sakit tidak melayani, kemudian pihak rumah sakit juga mengatakan over kapasitas, dan masyarakat mengatakan kami tidak mendapat pelayanan maksimal," tuturnya.
"Akhirnya muncullah kasus-kasus seperti saudara kita yang sampai membayar Rp 40 juta karena terpaksa menggunakan jalur pasien umum, padahal ia peserta BPJS. Karena mungkin tidak mengetahui, dan BPJS juga kurang memberikan sosialisasi atau pun edukasi terhadap masyarakat," imbuhnya. (Tribun Pekanbaru Cetak)

Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian untuk Petugas Kebersihan

 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kabupaten Gresik memberikan bantuan kepada 20 pekerja kebersihan berupa bantuan kecelakaan kerja dan jaminan kematian, Selasa (24/3/2015). Bantuan tersebut diberikan langsung kepada pekerja kebersihan oleh Bupati Gresik Sambari Halim Radianto dan Wakil Bupati Mohamad Qosim disaksikan Kepala BPJS Ketenagakerjaan Kabupaten Gresik Ainul Kholid, saat perayaan Hari Jadi Kota Gresik ke 528 dan Hari Ulang Tahun (HUT) Pemkab Gresik ke 41.
“Usaha yang berbadan hukum wajib mendaftarkan seluruh pekerjanya untuk mendapatkan perlindungan jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan kematian dan jaminan pensiun. Termasuk per Juli 2015 pekerja bukan penerima upah yaitu tukang ojek, pedagang pasar dan lain-lain berhak mendapatkan jaminan sosial,” kata Ainul Kholid.
Pegawai Negeri Sipil (PNS), seluruh Anggota DPRD, Kepolisian dan TNI per Juni 2015 juga mendapatkan perlindungan jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian.
“Salah satu kepedulian BPJS Ketenagakerjaan Kabupaten Gresik yaitu memberikan iuran selama Bulan Maret 2015 kepada 20 pekerja kebersihan Pemkab Gresik diikutkan program jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian,” katanya. (http://surabaya.tribunnews.com)

Wednesday, March 25, 2015

Premi Asuransi Kesehatan Merosot, Ini Jurus Pebisnis Mendongkrak Premi

 Premi asuransi kesehatan dan kecelakaan melorot 6,2% menjadi Rp5,66 triliun pada tahun ini.
Padahal, berdasarkan data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), pada 2012 dan 2013, premi asuransi kesehatan dan kecelakaan tercatat meningkat Rp5,17 triliun, dan Rp6,04 triliun.
 “Premi bruto asuransi kesehatan dan kecelakaan mulai turun signifikan pada kuartal IV/2014. Sebagian besar memang dikarenakan sejumlah pemegang polis kumpulan masih wait and see pada periode ini akibat BPJS Kesehatan,” ungkap Direktur Eksekutif AAUI Julian Noor di Jakarta, Selasa (10/3/2015).
Seperti diketahui, asuransi kesehatan merupakan lahan bisnis yang sama-sama bisa digarap oleh perusahaan asuransi jiwa dan umum. Khusus asuransi umum, pangsa pasar asuransi kesehatan dan kecelakaan mencapai 10,3% sepanjang tahun lalu.
Masih berdasarkan data yang sama, klaim asuransi kesehatan juga naik 8,3% menjadi 3,9 triliun jika dibandingkan pada 2013. “Kenaikan klaim tersebut lebih disebabkan oleh turunnya premi bruto asuransi kesehatan dan kecelakaan,” tambahnya.
Penurunan premi bruto asuransi kesehatan memang sudah diprediksi oleh sebagian pelaku industri perasuransian yang bermain di sektor tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut, beberapa perusahaan asuransi mulai bernovasi, mulai dari menyasar segmen ritel hingga mendesain produk premium.
Sebut saja, PT Asuransi Multi Artha Guna Tbk. (AMAG) dan  PT Asuransi Sinar Mas yang baru-baru ini meluncurkan produk ritelnya. Sebaliknya, PT Asuransi Reliance Indonesia (Reliance Indonesia) dan PT Avrist Assurance (Avrist Life) justru merilis produk yang ditujukan sebagai pelengkap BPJS Kesehatan. (http://finansial.bisnis.com)

BPJS Bentuk Tim Kendali Mutu di Aceh


Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah membentuk Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB) program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) se-Provinsi Aceh pada akhir Desember tahun lalu. Tim ini sudah bekerja sejak dibentuk dan diketuai oleh drg Saifuddin Ishak, M.Kes, PKK.
Tim independen ini bertugas untuk mengendalikan mutu dan biaya melalui sosialisasi kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik profesi sesuai dengan kompetensi serta pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan. “TKMKB merupakan tim yang terdiri atas organisasi profesi, yaitu IDI, PDGI, IAI, IBI, PPNI, dan juga melibatkan akademisi dan pakar klinis yang terbagi dalam tim koordinasi dan tim teknis,” kata Manajer BPJS Kesehatan Kanwil Aceh Dra Rita Masyita Ridwan, Apt,M.Kes dalam siaran persnya kepada Serambi, kemarin. Penjelasan ini, kata Rita, juga sekaligus untuk menjawab harapan banyak pihak terkait perlunya pengawasan program JKN, sebagaimana ditulis dalam laporan eksklusif di Serambi Indonesia, dua pekan lalu.
Disebutkan, pada kasus tertentu tim kendali mutu dan kendali biaya dapat meminta informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan peserta dalam bentuk salinan/ fotokopi rekam medis kepada fasilitas kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
BPJS Kesehatan juga telah memfasilitasi penyelenggaraan kegiatan lokakarya TKMKB program JKN se-Aceh di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Sabtu (14/2) dua pekan lalu. Kegiatan tersebut dibuka oleh Kepala Dinas Kesehatan Aceh dr M Yani, M.Kes.PKK . Sedangkan Prof Dr Ascobat Gani MPH selaku Ketua TKMKB Pusat ikut menjadi pemateri terkait peran dan fungsi TKMKB dalam mengawal pelaksanaan JKN. (http://aceh.tribunnews.com)

Tuesday, March 24, 2015

Tips for people behind in retirement savings


USA TODAY’s retirement columnist Rodney Brooks talks to Jeanne Thompson, a vice president at Fidelity about saving aggressively for retirement. (MONEY, USA TODAY)
Financial planners often tell stories about 50-somethings who come to them for help and have saved little or nothing for their retirement.
There are millions of people like that out there.
"It's really common for people to never plan for retirement," says Nancy Coutu, financial planner with Money Managers Financial Group in Oak Brook, Ill. "They are so busy planning their everyday lives — first they go to college, get a job, then they get married, have kids and buy a house. All of a sudden they are 50-something and it's like, 'holy cow.'"
"I see these 50-somethings all the time," she says. "They say, 'How do we figure this out? We saved a little in a 401(k) and some in an IRA.' But they have no clue how to figure out how much they need for retirement."
According to the Center for Retirement Research at Boston College, the average retirement savings for households nearing retirement — those with head of households aged 55-64 — is about $110,000. That means more than half of today's households won't have enough retirement income to maintain their pre-retirement standard of living, even if they work to age 65. The center says its survey clearly indicates that "many Americans need to save more and/or work longer."
And according to TIAA-CREF, a financial services organization, less than a quarter of people in its new survey even contribute to an IRA.


So, if you're in this situation, having saved little or nothing for retirement, here are some tips from financial planners to help you get there.
1. Do a budget. Get a plan. "Planning is the first thing," says Coutu. "I tell them in order to see if you've saved enough, we have to first see how much you spend," she says. "Going through expenses is sometimes painful."
Coutu says most people miss badly when they estimate how much their monthly expenses are. "Everybody has this magic number of $4,000 a month," she says. I ask where that number came from. And sometimes (the real number) is several thousand dollars more. They forgot the incidentals. They forget those repairs. They say, 'We don't do something to the house every year,' but I say, 'Yes, you will.' Or they didn't budget for vacations, or gifts they give to their children or grandchildren."
People think about things such as gas bills, electric bills and real estate taxes, Coutu says, but forget to think about what happens if they buy a new car, or that they must pay for their own health insurance, which could cost $1,000 a month.
"Most overspenders have no idea what a monthly budget is," says Rick Foster, president and founder of Guardian Financial Management in Lewisville, Texas. "When I talk to these folks, many don't know how to make a monthly budget. You take a journal or a notebook and for 30 days write down everything you spend. Then we can look and see if there are areas in their lives that can be cut back."
2. Have a plan for Social Security. Kyle O'Dell, president of secure Wealth Strategies in Denver, says he just did a Social Security seminar with 100 people ages 50 to 65, and not one had done a Social Security analysis. That's a huge mistake, he says.
"Most people think they just need to figure out the age," he says. "For married people there are 587 ways to file for Social Security. You can increase the payout by about 32% if you do it properly."
O'Dell says one study shows that families that did file for Social Security properly will see their other savings and retirement accounts last 5½ years longer. "To get that analysis done, meet with an adviser that has a Social Security analysis tool."
Foster says "overspenders" are the main ones who think they need to take Social Security earlier. But knowing the proper time to file can make a difference of up to $300,000.
3. Sixty-two is not a magic retirement number. "A 50-year-old says, 'I will retire at 63,'" says Coutu. "I ask why. They say, 'Because that's what my parents did. That's when I'm eligible.' It's my job to figure out how they get from where they are today to where they will be at 62 and have an income stream they can't outlive."
"If you do the numbers and find out that you can't retire at 62, you need to do some serious lifestyle adjustments, or work longer," says Coutu. "You can't just retire and maybe run out of money. People look at their 401(k) and it has $500,000 or $1 million. And then we find that it costs them $100,000 (a year) to live. They may live for a long time."
4. Work longer. "I tell people to remember that when they go to retire, they still have time," says Paul Saganey, president of Integrated Financial Partners in Boston. "Instead of looking at retirement as 'I'm 65 and retired, and now I'm in trouble,' look at retirement in a series of five-year increments. And when you break the pie into bite-sized pieces, if they don't have enough today, we can help them make some adjustments. Maybe it's getting them back to the workplace, but they still have time to make their money work for them."
5. Stop paying for your grown children. "Stop putting the needs of kids ahead of their own needs," says Saganey. "Everyone wants to help their children. I still see people in retirement still paying off their children's college loans, even though the kids are doing well. People are still doing things for their children instead of saving for retirement."
"They are very focused on taking care of their kids," says O'Dell. "They are hurting their retirement by helping their kids out with college. I hear it from families all the time. 'I don't want my kids to have student loans.' I tell them you need to get your financial house in order before you take care of everyone else. Spending too much money on your kids' college education can really impact your retirement down the road."
Other tips:
• If you have a term life insurance policy that is convertible, says Don Cloud of Cloud Financial in Huntsville, Ala., don't let it expire when you can't afford the premiums. Sell it. There are companies that pay the premiums and give you a lump sum (depending on your life expectancy) that could be $35,000 or $40,000 on a $500,000 policy. "You have created wealth based on your mortality."
• Instead of keeping $10,000 in a no-interest savings account, pay off that $3,000 credit card balance charging 18% interest," says Coutu. "Instead of keeping an emergency fund, use your credit card for emergencies."
• Don't think because you are behind in savings that you have to take outsized risks, says Foster. "The myth is if you have waited too long, you have to take bigger risks to catch up."

USA TODAY retirement columnist Rodney Brooks is the author of a new e-book, Is One Million Dollars Enough? A guide to planning for and living through a successful retirement. The book is available at major online book stores, including Amazon, Barnes & Noble, iBooks, Google Playand Kobo.

Monday, March 23, 2015

PT Taspen dan BPJS Ketenagakerjaan Saling Klaim





* PENGELOLAAN JKK DAN JKM JADI TANDA TANYA

 Siapa pengelola program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi pegawai negeri sipil menjadi tanda tanya saat ini.
Hal ini sehubungan dengan digulirkan rencana pengelo­laan program ini kepada PT Taspen Persero. Sementara, Badan Penyelenggaran Jami­nan Sosial (BPJS) Ketenaga­kerjaan merasa masih men­dapat mandat untuk mengelola dua program ini.
Kepala Cabang Badan Pe­nye­lenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Bu­kit­tinggi, Zulferis, Kamis (19/3) menilai, ikut sertanya PT Taspen (Persero) dalam me­ngelola Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi PNS adalah hal yang tak mungkin atau keliru. Sebab secara nasio­nal program PT Taspen untuk JKK dan JKM tidak ada. Ia merasa kaget dengan pem­beritaan media lokal yang menyebut PT Taspen Cabang Padang yang menyatakan se­mes­ter II 2015 ini, Taspen mulai mengurusi JKK dan JKM.
"Saya tidak setuju PT Tas­pen ikut mengelola JKK dan JKM bagi PNS karena dengan dasar apa mereka untuk me­ngelola JKK dan JKM," ungkapnya.
Ia menjelaskan, permasa­lahan ini sudah pernah dibi­carakan oleh Kakanwil BPJS Ketenagakerjaan Sumbar Riau terkait surat PT Taspen No­mor SRT-413/C.2.4/102014 perihal penjelasan pelaksanaan program JPN, JHT, JKK dan JKM bagi aparatur sipil negara berdasarkan UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) tanggal 8 Desember 2014 lalu.
Lebih jauh Zulferis menje­laskan, dengan keluarnya UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional dan UU nomor 2004 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial serta Peraturan Presiden (PP) nomor 109 tahun 2013 menegaskan bahwa tahapan dimulainya pen­daf­taran bagi pekerja yang bekerja pada penyelenggara negara dilakukan program JKK dan JKM paling lambat satu Juli 2015.
Selanjutnya UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS untuk menyelenggarakan jami­nan sosial itu, maka diben­tuklah suatu badan hukum yang diberi nama BPJS Kese­hatan dan BPJS Ketenaga­kerjaan. Selanjutnya BPJS Ketenagakerjaan menjalankan fungsinya sebagai penyeleng­gara JKK, JKM, JPN dan JHT.
"Sampai saat ini belum ada penunjukkan badan penye­lenggara lain oleh undang-undang selain BPJS Ketenaga­kerjaan untuk menyelengga­rakan program JKK dan JKM bagi PNS," tutur Zulferis yang juga pengemar batu akik.
Ia menambahkan sesuai dengan UU nomor 24 tahun 2011 ayat 2 disebutkan PT Taspen diminta menyelesaikan pengalihan program Tabungan Hari Tua (THT) dan program Pembayaran Pensiun kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.
Saat ini PT Taspen jelas Zulferis, masih berbentuk badan hukum Perseroan Ter­batas (PT), oleh sebab itu tidak boleh menyelenggarakan pro­gram JKK, JKM, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kesehatan dan Jaminan Pensiun. Sebab berdasarkan UU Nomor 40 tahun 2004 pasal 5 ayat 1 menyatakan bahwa BPJS ha­rus dibentuk dengan UU un­tuk menyelenggarakan lima produk jaminan di atas.
Terkait dengan telah terlin­du­nginya PNS di lingkungan pemerintah kota dan kabu­paten di Sumbar dalam pro­gram JKK dan JKM secara mandiri atau suka rela, hal itu tidaklah melanggar ketentuan yang berlaku. Bahkan ini perlu mendapat apresiasi mengingat adanya kekosongan perlindu­ngan sebelum 1 Juli 2015.
Informasi pengelolaan pro­gram JKK dan JKM ini sudah diterima di sejumlah cabang PT Taspen di Sumatera Barat. Bahkan juga sudah dirilis dalam laman taspen. com pada 18 Maret lalu.
Kepala PT Taspen Cabang Padang Jhon Irwan juga telah menerima informasi ini dan sedang melakukan sosialisasi ke sejumlah stakeholder se­perti BKD Pemprov Sumbar. Begitu juga dengan PT Taspen Cabang Bukit­tinggi. Sejumlah sosialisasi juga sudah dilaku­kan untuk meminta masukan dari stakeholder.
Kepala PT Taspen Cabang Bukittinggi Ratmo menga­takan, saat ini Taspen sedang menyiapkan segala aspek yang berkaitan dengan upaya pe­ningkatan kesejahteraaan para PNS. Salah satunya menambah produk Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).
"Sebenarnya, saat ini PNS telah memperoleh JKM yang dalam hal ini berbentuk Asu­ransi Kematian dari PT Taspen (Persero) tanpa membayar iu­ran, karena merupakan pe­ngem­bangan dari Program THT PNS. Untuk JKK PNS ini telah diatur dalam PP No­mor 12 Tahun 1981," kata Ratmo.
Ia menyebutkan, dalam Pasal 57 huruf f UU Nomor 24 Tahun 2011 telah disebut­kan, PT Taspen (Persero) tetap menyelenggarakan Program THT dan pembayaran pensiun termasuk penambahan peserta baru. Dalam hal ini, Taspen diminta membuat Roadmap untuk tahun 2014-2029.
"Pada Tahun 2029 nanti akan dilihat  produk mana saja yang sesuai dengan Undang-undang  Jaminan Sosial  (UU Nomor 40 tahun 2004). Apa­bila ada yang sesuai  baru akan dialihkan. Sebenarnya sejak dulu PNS sudah menerima jaminan kesejahteraan melalui Tabungan Hari Tua dan Ja­minan Pensiun yang semua sudah diatur dalam undang-undang," tambah Ratmo. (http://www.harianhaluan.com)

Sunday, March 22, 2015

Tidak Bangkrut, BPJS Kesehatan Cuma Missmatch

Tidak Bangkrut, BPJS Kesehatan Cuma Missmatch
Tidak bangkrut, BPJS Kesehatan cuma missmacth. (Foto: Okezone)

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menepis tudingan bahwa saat ini lembaganya mengalami kebangkrutan akibat tingginya pembayaran klaim dibandingkan pembayaran iuran.
"Saya ingin menipis tanggapan bahwa BPJS bangkrut, itu salah sama sekali. Itu jika ada missmatch (ketidakcocokan), negara akan hadir dengan bisa berikan dana tambahan, suntikan modal sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 87," ungkap Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Fajriadinur, di Jakarta, Sabtu (21/3/2015).
Menurut Fajriadinur, saat ini BPJS Kesehatan memang mengalami ketidakcocokan hasil realisasi anggaran yang diaudit pada 2014. Namun, hal tersebut bukan defisit anggaran.
"Bukan defisit, itu saya bilang missmatch, kalau defisit itu artinya itu tidak tahu dari awal bahwa akan terjadi pengeluaran pada tahun pertama akan lebih tinggi dibandingkan pembayaran iuran. Tentunya di situ ada payung hukumnya di PP Nomor 87," imbuhnya.
Ia mengakui, perbedaan ini dikarenakan pada awal tahun pertama pihak BPJS Kesehatan tidak menyangka akan ada banyak sekali animo masyarakat yang mendaftar sebagai peserta mandiri untuk mengikuti program ini.
"Kan kita sudah hitung sekian, untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) sudah dihitung. Namun, peserta ini yang melonjak tinggi. Jadi, ada missmatch," paparnya.
Guna menyelesaikan masalah ini, BPJS Kesehatan melalui Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengusulkan kenaikan iuran PBI untuk tahun anggaran 2016. Namun besarannya masih disosialisasikan dengan pihak terkait.
Sekadar informasi, total premi yang belum diaudit hingga Desember 2014 tercatat Rp41,06 triliun, sementara biaya manfaat (klaim) sebesar Rp42,6 triliun. Sehingga, ada missmatch (ketidakcocokan), rasio klaim sampai 103,88 persen pada 2014.
(http://economy.okezone.com)

Menkes: Beban Pembiayaan Penyakit Tidak Menular Terus Meningkat


Menteri Kesehatan, Nila Farid Moeloek berfoto bersama staf dan sejumlah pemimpin redaksi media massa nasional, di Kantor Kemkes, Jakarta, Rabu (25/2/). Hadir pula dalam pertemuan ini, Pimred Harian Suara Pembaruan, Investor Daily dan Beritasatu.com, Primus Dorimulu.[Istimewa]
Menteri Kesehatan, Nila Farid Moeloek berfoto bersama staf dan sejumlah pemimpin redaksi media massa nasional, di Kantor Kemkes, Jakarta, Rabu (25/2/). Hadir pula dalam pertemuan ini, Pimred Harian Suara Pembaruan, Investor Daily dan Beritasatu.com, Primus Dorimulu.[Istimewa]

 Sejak diberlakukannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada awal Januari 2014 lalu, angka berobat ke fasilitas kesehatan juga melonjak drastis. Ini karena insurance effect atau efek asuransi, di mana mereka yang tadinya terkendala biaya, kini mendapatkan kesempatan terbuka untuk berobat tanpa uang muka dan biaya mahal.

Namun, kebanyakan dari mereka yang memanfaatkan JKN datang ke rumah sakit sudah stadium lanjut dan menderita penyakit yang membutuhkan biaya pengobatan mahal. Gagal ginjal adalah salah satu penyakit tidak menular yang paling banyak menyerap pembiayaan, dan jika tidak diintervensi beban pembiayaan akan terus bertambah.

BPJS Kesehatan mencatat baru 6 bulan pertama JKN diberlakukan, yaitu Januari-Juni 2014, penderita gagal ginjal menyerap anggaran hampir menyentuh angka Rp 16 triliun. Penderita gagal ginjal pada rentan waktu tersebut mencapai 889,356 orang dan menelan biaya sebesar Rp 869 miliar lebih. Untuk rawat inap penderita gagal ginjal sebanyak 138,779 orang dengan biaya sebesar mencapai Rp 750 miliar lebih.

"Jika dibiarkan masyarakat jatuh sakit, biaya kesehatan akan semakin meningkat," kata Menteri Kesehatan, Nila Farid Moeloek, di sela-sela pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi media massa nasional, di Kantor Kemkes, Jakarta, Rabu (25/2/). Hadir pula dalam pertemuan ini, Pimred Harian Suara Pembaruan, Investor Daily dan Beritasatu.com, Primus Dorimulu.

Lebih jauh Menkes mengatakan, beban pembiayaan akan terus meningkat seiring dengan perubahan pola epidemiologi, dari yang dulunya penyakit menular, sekarang didominasi penyakit tidak menular. Bahkan, jumlah kasus penyakit tidak menular meningkat jauh lebih tinggai dari penyakit menular, yaitu sebanyak 37% pada tahun 1990 menjadi 58% di tahun 2010.

Bahkan, data Global Burden of Disease tahun 2014 menyebutkan, 10 penyakit yang menduduki peringat teratas kasus terbanyak dan menimbulkan beban terbesar adalah penyakit tidak menular, yaitu stroke, kecelakaan lalu lintas, jantung iskemik, kanker, diabetes. Di tahun 1990, penyakit stroke di urutan keempat, sedangkan jantung iskemik serta diabetes masing-masing di peringkat 13 dan 16.

Perubahan peringat penyakit tidak menular ini mulai terjadi di tahun 2010. Kasus stroke mencapai urutan pertama sebagai penyakit yang menimbulkan beban paling besar, jantung iskemik di peringat kelima, dan diabetes keenam.

Beban penyakit di era JKN ini menjadi salah satu topik yang dibicarakan dalam pertemuan Menkes dengan Pimred, yang dihadiri pula oleh pejabat eselon 1 Kemkes, seperti Dirjen Bina Upaya Kesehatan Prof Akmal Taher, Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, Maura Linda Sitanggang, dan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Mohammad Subuh.

Menkes juga mengatakan,  jumlah masyarakat yang berobat menggunakan JKN tertinggi di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ini dikarenakan kemudahan akses dan ketersediaan layanan lebih memadai di Pulau Jawa.

"Sedangkan di daerah dengan kondisi geografis sulit, tingkat berobat masyarakat masih rendah. Sistem pembiayaan juga belum optimal untuk menolong masyarakat yang sedang sakit," kata Menkes.

 Masalah lain dalam pelaksanaan JKN yang juga disebutkan Menkes adalah sistem rujukan atau pengobatan berjenjang belum berjalan baik. Ini karena masyarakat belum menyadari adanya sistem ini.

Seharusnya, kata Menkes, pasien peserta JKN berobat secara berjenjang, dimulai dari  layanan primer, baru kemudian dirujuk ke rumah sakit sekunder bila diperlukan. Rumah sakit tersier hanya untuk penderita yang penuh komplikasi dan tersedianya tenaga kesehatan yang subspesialistik, bukan terbuka untuk setiap penyakit yang seharusnya dapat diatasi di layanan primer.

Jika fasilitas kesehatan primer, seperti puskesmas, klinik, dan dokter praktek mandiri, dapat mengatasi sebagian besar penyakit, diharapkan hanya sekitar 10% sampai 20% yang ditangani di layanan sekunder, dan lebih sedikit lagi di layanan tersier.

"Keadaan saat ini masih terbalik, di mana banyaknya penderita yang perlu ditangani di layanan sekunder dan tersier," kata Menkes. [http://sp.beritasatu.com]

Saturday, March 21, 2015

BPJS Bangkrut? Direktur Pelayanan Bantah

BPJS Bangkrut? Direktur Pelayanan Bantah
TRIBUNNEWS.COM/ HERUDIN
Kartu anggota BPJS. 

 Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) membantah bila disebut-sebut sudah bangkrut.
Direktur Pelayanan BPJS, Fajriadinur, mengatakan keuangan BPJS sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 87 tahun 2013 tentang pengelolaan aset jaminan sosial kesehatan.
"Terkait anggaran saya ingin tepis mungkin satu pemikiran bahwa BPJS dalam kondisi bangkrut. Itu salah sama sekali. Saya ingin sampaikan di dalam PP 87 disebutkan apabila terjadi misalnya missmatch, itu pemerintah akan hadir," ujar Fajri saat diskusi bertajuk 'Mau Sehat Kok Repot' di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabut (21/3/2015).
Ketentuan tersebut, kata Fajri, semisal melalui penentuan besaran iuran atau suntikan dana dan penyesuaian manfaat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
"Sehingga jangan khawatir untuk hal tersebut selama kita masih bergotong royong mari kita lakukan itu bersama-sama," ujar Fajri. (http://www.tribunnews.com)

Bidan Mandiri yang Berjejaring dengan BPJS Kesehatan Sedikit

Bidan Mandiri yang Berjejaring dengan BPJS Kesehatan Sedikit Pasien menyusun berkas klaim berobat menggunakan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan, Jakarta, Kamis, 30 Oktober 2014. (CNN Indoensia/Safir Makki)
 
  Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia Emi Nurjasmi menyatakan, jumlah bidan praktik mandiri yang sudah berjejaring dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih kurang dari 5 persen. Saat ini ada sekitar 47 ribu bidan yang berpraktik secara mandiri.

Sementara jumlah keseluruhan bidan di Indonesia sekitar 300 ribu orang. "Dari 300 ribu bidan, yang sudah kerja sama dengan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sekitar 80 ribu, sedangkan yang praktik di desa 50 ribu," kata Emi di Jakarta.


Emi mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan bidan yang berjejaring dengan BPJS Kesehatan minim. Salah satu alasannya, ada Puskesmas yang tidak mau berjejaring karena melihat bidan sebagai saingan.

Padahal, lanjut Emi, puskesmas seharusnya memanfaatkan potensi daerah dengan melakukan kerja sama dengan bidan di daerah. Faktor lain yaitu formula kesepakatan berjejaring antara BPJS Kesehatan dengan bidan belum jelas.

Selain itu, masyarakat juga cenderung sudah punya referensi bidan yang dipercaya sehingga tidak menggunakan hak sebagai peserta BPJS Kesehatan. "Ujung-ujungnya mereka keluar uang sendiri. Seharusnya mereka bisa mendapatkan hak sebagai peserta BPJS Kesehatan," kata Emi.

Untuk dapat mendorong kenaikan jumlah bidan yang mau berjejaring dengan BPJS Kesehatan, Emi berpendapat perlu ada regulasi. Usul Emi, Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2013 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan direvisi.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris berpendapat konsep berjejaring sangat penting untuk sistem asuransi sosial seperti BPJS Kesehatan.

"Namun harus diingat bahwa konsep berjejaring itu bukan berarti bagi-bagi uang. Apalagi kalau itu terjadi di fasilitas kesehatan pemerintah, saya kira itu tidak wajar," ujar Fachmi.

Hal senada diungkapkan Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Fajriadinur. Dia mengatakan, akan ada regulasi untuk mengatur kebijakan berjejaring yaitu melakukan peninjauan ulang untuk perpres maupun permenkes.

"Konsep berjejaring menitikberatkan pada kualitas pelayanan. Bagaimana caranya, supaya pelayanan itu dilihat sebagai tim," kata Fajriadinur. (http://www.cnnindonesia.com)

Friday, March 20, 2015

Ibu Hamil Perlu Daftarkan Janinnya Sebagai Peserta BPJS Kesehatan

Ibu Hamil Perlu Daftarkan Janinnya Sebagai Peserta BPJS Kesehatan
NET
Ilustrasi janin dalam kandungan 
 

BPJS Kesehatan mendorong ibu hamil mendaftarkan janinnya sebagai peserta BPJS Kesehatan untuk memperoleh perlindungan sejak dini.
"Ini dilakukan mengingat janin yang ada di dalam kandungan berisiko mengalami gangguan kesehatan atau memerlukan penanganan khusus saat lahir," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris di sela-sela penandatanganan Kesepakatan Bersama Ikatan Bidan Indonesia (IBI) di Jakarta, Kamis (19/3/2015).
Fachmi menyebut bayi dalam kandungan harus memiliki proteksi karena kemungkinan bayi lahir ada masalah dan perlu pendampingan pembiyaan.
"Untuk itu, sejak bulan November kami sudah sosialisasi sejak kandungan didaftarkan bayinya," katanya.
Fahcmi menyebut janin yang bisa didaftarkan menjadi peserta BPJS Kesehatan adalah bayi yang keberadaan terditeksi adanya denyut jantung.
"Secara medis janin itu bisa dibuktikan keberadaan detak jantung dengan pemeriksaan petugas medis dan melampirkan surat keterangan dokter," katanya.
Pendaftaran bisa dilakukan di kantor cabang BPJS Kesehatan dengan besaran nominal iuran, untuk kelas 1 : Rp 59.500/jiwa/bulan, kelas 2 : Rp 42.500/jiwa/bulan dan klas 3 : Rp 25.500/jiwa/bulan.
Program kesehatan untuk janin hanya berlaku bagi calon anak pertama hingga ketiga. (http://www.tribunnews.com)

Thursday, March 19, 2015

Evaluasi Menyeluruh Implementasi JKN

Evaluasi menyeluruh terhadap implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional harus dilakukan sebelum membahas perubahan besaran iuran kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Dengan evaluasi, akan diketahui apa saja yang perlu dibenahi, termasuk masih pantaskah besaran iuran kepesertaan saat ini.
Warga menunggu  pelayanan kesehatan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (10/3). Iuran kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola  Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan akan dinaikkan. Perubahan itu disebabkan besaran iuran dinilai tidak mencukupi  bagi fasilitas kesehatan untuk memberikan layanan sesuai dengan manfaat yang dijamin.
Kompas/YUNIADHI AGUNGWarga menunggu pelayanan kesehatan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (10/3). Iuran kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan akan dinaikkan. Perubahan itu disebabkan besaran iuran dinilai tidak mencukupi bagi fasilitas kesehatan untuk memberikan layanan sesuai dengan manfaat yang dijamin.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Ermalena saat dihubungi di Jakarta, Rabu (11/3). Ermalena mengatakan, evaluasi yang harus dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak hanya terkait dengan iuran. Banyak hal lain yang harus ditinjau ulang dan dikaji.
"Kalau belum dievaluasi, rencana perubahan iuran nanti dulu. Evaluasi ini justru untuk mengetahui apa saja yang jadi masalah dalam JKN (Jaminan Kesehatan Nasional)," ujarnya.
Menurut Ermalena, pola penyakit yang berubah, animo masyarakat yang tinggi untuk berobat, ketersediaan dan kualitas fasilitas kesehatan, sistem rujukan berjenjang, serta manfaat apa saja yang dijamin adalah beberapa di antara sekian banyak hal yang harus dievaluasi.
Hasil evaluasi tersebut, ujar Ermalena, akan menentukan apakah iuran peserta BPJS Kesehatan naik atau tidak. Jika memang diperlukan kenaikan iuran, kenaikan yang ditetapkan memiliki dasar yang kuat.
Salah satu aspek yang mendapat sorotan Ermalena ialah pelayanan bagi bayi baru lahir dari peserta penerima bantuan iuran (PBI). Menurut Ermalena, bayi yang lahir dari peserta PBI harus dipastikan ditanggung JKN.
Target Maret
Sebelumnya diberitakan, pemerintah terus mengkaji rencana kenaikan iuran kepesertaan program JKN yang dikelola BPJS Kesehatan. Rancangan kenaikan iuran ditargetkan rampung akhir Maret 2015 untuk mengejar batas waktu usulan pagu anggaran ke Kementerian Keuangan.
Menurut Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek, Selasa, di Makassar, Sulawesi Selatan, pemerintah akan menaikkan besaran iuran kepesertaan JKN. Saat ini, besaran iuran dinilai tidak mencukupi bagi fasilitas kesehatan untuk memberikan layanan sesuai dengan manfaat yang dijamin.
content
,,,
"Sampai kini belum ada penentuan besaran angka karena masih dalam hitungan. Kami berharap secepatnya rampung. Kenaikan iuran tak bisa lagi ditunda karena penyakit makin beragam dan berat," ujar Menkes.
Ia mencontohkan, dulu penyakit yang banyak diderita masyarakat hanya alergi, cacingan, dan batuk. Kini kian banyak penderita penyakit berat, seperti gagal jantung, gagal ginjal, dan stroke.
Makin beragamnya penyakit, kata Nila, membuat penyelenggara harus berhitung kembali besaran dana kesehatan yang berdampak pada kenaikan iuran. "Tentu kenaikan iuran itu akan dibarengi peningkatan layanan kesehatan. Kami belum menemukan angka pasti kenaikan iuran. Ada banyak variabel yang jadi pertimbangan," katanya.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris menjelaskan, pihaknya terus membahas rencana kenaikan iuran JKN BPJS Kesehatan dengan sejumlah pihak terkait, termasuk praktisi dan akademisi. "Masih dibicarakan dan dihitung. Kami harap akhir Maret rampung dan sudah ada angka karena mengejar batas usulan pagu anggaran ke Kementerian Keuangan," katanya.
Fahmi membenarkan bahwa alasan rencana kenaikan iuran tak lepas dari pola perkembangan penyakit dan demografi. Perhitungan iuran JKN juga mempertimbangkan manfaat yang diterima peserta, pola penyakit dan mutu pelayanan. Saat ini data sedang dikumpulkan.
Namun, peningkatan kualitas layanan kesehatan bagi peserta JKN tak mudah. Nila mencontohkan, puskesmas masih dianggap sebagai tempat berobat warga miskin. Untuk layanan kesehatan di daerah terpencil, diharapkan warga lokal mengusulkan layanan seperti apa yang harus disediakan karena program pemerintah kerap tidak sesuai dengan kondisi lokal.
Batas atas
Secara terpisah, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar serta Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany menyatakan, batas atas perhitungan iuran kepesertaan pekerja penerima upah (PPU) BPJS Kesehatan perlu dinaikkan. Tujuannya, agar iuran yang dihimpun bertambah dan unsur gotong royong dalam jaminan kesehatan lebih terasa. Hal tersebut mesti diikuti peningkatan mutu layanan.
Pembahasan iuran PPU tak bisa dipisahkan dari iuran peserta PBI tahun 2016. Itu karena iuran yang terhimpun dari PPU diharapkan bisa menjadi sumber subsidi silang antarpeserta.
Timboel menilai, iuran JKN bagi PPU 5 persen (berlaku 1 Juli 2015) dari gaji per bulan sudah cukup. Namun, dasar perhitungan maksimal iuran PPU perlu dinaikkan, dari dua kali penghasilan tak kena pajak (PTKP) status keluarga 1, menjadi empat kali PTKP.
Besaran iuran dari rumus 2 x PTKP status keluarga K1 adalah Rp 4.725.000. Saat ini, hal itu menjadi batas atas perhitungan iuran. Jadi, sebesar apa pun gaji seseorang tetap dihitung 5 persen dari Rp 4.725.000. Iuran itu untuk menanggung lima orang, termasuk anak hingga anak ketiga.
"Agar keberlanjutan program JKN terjaga, iuran harus lebih besar dari klaim," ujarnya. Kenaikan batas atas iuran untuk menjangkau PPU bergaji besar. Adapun iuran peserta mandiri tak perlu dinaikkan karena lebih tinggi daripada PPU.
Hasbullah mengusulkan kenaikan batas atas iuran PPU jadi 7 kali PTKP. Batas bawah perhitungan iuran untuk PPU perlu ditetapkan berdasarkan upah minimum provinsi.(http://print.kompas.com)

Penderita Kanker Serviks di Lumajang Terus Bertambah

Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Lumajang belakangan siaga dengan semakin bertambahnya penderita kanker serviks yang menyerang warganya. Siaga ini dilakukan dengan melakukan berbagai upaya, baik penyuluhan atau sosialisasi hingga pemeriksaan dini terhadap masyarakat. 


dr Triworo S Nadjieb Kepala Dinkes Kabupaten Lumajang kepada Sentral FM, Rabu (18/3/2015), mengatakan bahwa pemeriksaan dini kanker serviks bagi kalangan perempuan bisa dilakukan melalui Balai Pengobatan yang ada, baik Puskesmas maupun Rumah Sakit 

"Upaya ini kita lakukan karena penyakit mematikan bagi kaum perempuan ini, cukup banyak diidap warga Lumajang. Hanya saja, kami belum merinci data berapa banyak jumlah penderita dan sudah berapa yang membawa akibat sampai meninggal bagi penderitanya," katanya. 

Upaya deteksi dini terhadap penyakit kanker serviks tersebut dilakukan atas kerjasama antara Dinkes, Yayasan Kanker Lumajang yang diketuai dr Buntaran Supriyanto, Mkes Sekda Lumajang dan Badan KB." Setiap tahun, secara rutin kami mengadakan pemeriksaan dini terhadap kanker serviks bagi masyarakat," paparnya. 

Kegiatan pemeriksaan gratis ini dilaksanakan di masing-masing Puskesmas. Sasarannya adalah masyarakat miskin dengan biaya yang akan disokong penuh Program Kesehatan dan KB.

"Pemeriksaan dini kanker serviks ini, dilakukan baik untuk Pap Smear dan Tes IVA. Digratiskannya biaya pemeriksaan dini kanker serviks ini sangat membantu masyarakat, terutama yang miskin. Sebab, biaya untuk pemeriksaannya secara regular antara Rp100 ribu sampai Rp125 ribu setiap orang," paparnya. 

Upaya deteksi dini ini, lanjut Triworo S Nadjieb, juga sekaligus ditindaklanjuti dengan program pencegahan. Namun yang diutamakan oleh Dinkes adalah upaya deteksi dini. Sehingga penyakit ini bisa diketahui secara dini guna menghindarkan penderita dari kematian atau kesakitan sebagai dampaknya. 

"Yang terpenting adalah deteksi dini sehingga jika terjadi kanker serviks pada stadium dini, sudah bisa diketahui. Sehingga tidak menyebabkan kematian atau kesakitan yang menjadi orang yang tidak produktif," terangnya.

Ketika diketahui ada yang mengidap kanker serviks dalam pemeriksaan dini tersebut, selanjutnya akan dilakukan upaya pengobatan melalui dokter kandungan atau rumah sakit." Sebab untuk penanganan penderita kanker serviks tidak mungkin dilakukan di Puskesmas. Pasalnya, screaning untuk penyakit ini hanya bisa dilakukan di Puskesmas," jelasnya. 

Di Lumajang, lanjut Triworo S Nadjieb, penanganan bagi penderita kanker serviks bisa dilakukan di RSD dr Haryoto Lumajang. Untuk rumah sakit rujukannya, ketika penderita sudah memasuki stadium IV atau akut, maka bisa dibawa ke RSD dr Soebandi, Kabupaten Jember, RSD Malang atau ke RSUD dr Soetomo, Surabaya. 

Sementara untuk upaya pencegahan terhadap kanker serviks, masyarakat diimbau untuk mengetahui tanda-tanda penderitanya." Penyakit ini biasanya menyerang perempuan dalam waktu yang lama. Biasanya penderitanya baru tahu ketika sudah mengidap dalam waktu 15-20 tahun," ujarnya. 

Untuk itu, perempuan penting mengetahui tanda-tanda kanker serviks yang biasanya dimulai dengan keputihan yang terjadi secara terus-menerus." Jika mengalami keputihan yang terus-menerus, sebaiknya perempuan sudah harus memeriksakan diri. Ciri lainnya adalah kadang-kadang ada pendarahan di luar waktu haid. Juga terjadinya pendarahan pada waktu senggama karena seharusnya tidak mengakibatkan pendarahan," tuturnya. 

Sebagai upaya pencegahan, kalangan perempuan disarankan untuk selalu menjaga kebersihan organ-organ kewanitaannya. Selain itu, pada usia-usia 40 Tahun ke atas, setiap tahun disarankan melakukan screaning

�Sehingga, ketika terjadi perubahan-perubahan sel mulut rahim ke arah keganasan, maka akan segera diketahui sedini mungkin. Jika penyakit ini diketahui secara dini, maka pengobatan dini bisa dilakukan dan tidak sampai terjadi komplikasi yang lebih-lanjut,� pungkas dia. (http://www.suarasurabaya.net/)