RSU dr Soetomo
Surabaya memastikan pembayaran klaim BPJS Kesehatan selama ini tidak
pernah ada kendala. Karenanya, pihak rumah sakit berharap masyarakat tak
perlu mengkhawatirkan adanya isu jika BPJS terancam bangkrut akibat
membengkaknya klaim yang harus ditanggung.
"Selama ini pembayaran
yang kami rasakan selalu lancar. Tiap awal bulan BPJS selalu mencairkan
klaimnya tepat waktu. Jumlah klaim BPJS dari RSU dr Soetomo tiap
bulannya sekitar Rp 40 miliar," kata Direktur RSU dr Soetomo Surabaya,
dr Dodo Anondo MPH ketika dkonfirmasi, Sabtu (28/2/2015).
Menurut
Dodo, jumlah klaim BPJS dari RSU dr Soetomo sekitar Rp 40 miliar itu
merupakan biaya pengobatan dan perawatan bagi sekitar lima ribuan
peserta BPJS Kesehatan yang dirawat di RSU dr Soetomo.
Sesuai
dengan Undang-undang nomor 24 tahun 2011 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional, klaim kepada rumah sakit harus dibayar sebelum tanggal 10
setiap bulannya. Untuk RSU dr Soetomo, klaim juga tidak pernah
terlambat.
Sementara itu, Jamaluddin Koordinator BPJS Watch Jatim
mengatakan, apapun kondisinya BPJS memang harus membayarkan klaim
kepada rumah sakits esuai jadwal yang ditentukan. "Tiap tahun anggaran
BPJS dari pemerintah selalu mencukupi," kata Jamaluddin.
Menurut
dia, untuk tahun 2014 misalnya, dari kepesertaan Penerima Bantuan Iuran
(PBI) pemerintah memberikan dana sebesar Rp 19 triliun. Dana sebesar ini
untuk mengcover sebanyak 86,4 juta peserta. Selain itu, juga masih ada
tambahan dana kepesertaan PBI dari Kementerian Sosial sebesar Rp 420
miliar untuk kepesertaan 1,8 juta orang. "Ini baru yang sumbangan
peserta, belum lagi yang iuran dari peserta mandiri yang jumlahnya jauh
lebih besar lagi," imbuhnya.
Kalaupun masih kurang, ujarnya, BPJS
sebenarnya juga masih punya aset lebih dari Rp 100 triliun limpahan
aset dari PT Askes dan PT Jamsostek. [http://beritajatim.com]
Sistem rujukan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional yang
dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan belum maksimal.
Hingga triwulan pertama 2015, tercatat 9,5 persen dari total jumlah
pasien yang jadi peserta program ternyata dianggap salah rujukan, yakni
berupa rujukan nonspesialistik yang bisa diselesaikan di fasilitas
kesehatan tingkat pertama.
"Sistem
rujukan berjalan, tetapi belum maksimal," kata Ketua Dewan Jaminan
Sosial Nasional Chazali Husni Situmorang dalam diskusi yang digelar
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan "Memahami Lebih
Dalam Sistem Rujukan dan Pola Pembayaran BPJS", Kamis (26/3), di
Jakarta.
Acara itu dihadiri Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Akmal Taher, Direktur Pelayanan BPJS
Kesehatan Fajriadinur, dan perwakilan dari Majelis Pertimbangan
Kesehatan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Widyastuti.
Data
BPJS Kesehatan menyebutkan, pada triwulan pertama 2015 ada 14.619.528
kunjungan di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Dari data itu,
2.236.379 kunjungan dirujuk dari pelayanan primer ke tingkat pelayanan
sekunder, 214.706 kunjungan di antaranya merupakan rujukan
nonspesialistik, yang berarti seharusnya tak perlu dirujuk dan bisa
diselesaikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Kapasitas SDM
Salah
satu penyebab munculnya kasus rujukan nonspesialistik adalah kapasitas
sumber daya manusia di tingkat pelayanan primer belum memadai. "Kami
sudah merancang pembentukan sistem rujukan regional. Tentu dengan sumber
daya manusia dan keuangan dari Kemenkes," kata Akmal Taher.
Tingginya
angka rujukan yang tidak perlu itu mengakibatkan penumpukan pasien di
rumah sakit yang sampai kini masih terjadi. Pelayanan menjadi terganggu
karena antrean panjang pasien. Sementara sumber daya manusia di rumah
sakit terbatas.
"Idealnya hanya 10 persen pasien yang dirujuk ke
pelayanan sekunder dari 155 penyakit," ujar Akmal Taher. Namun, saat
ini jumlah rujukan ke pelayanan sekunder mencapai 15,3 persen.
"Kami
akan meningkatkan koordinasi dengan mitra. Beberapa di antaranya,
seperti RSCM (Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo), sudah aktif
memberi umpan balik kepada pasien yang seharusnya dirujuk balik (ke
pelayanan primer)," ujar Fajriadinur.
Penambahan peserta
Meski
sistem rujukan berjenjang belum optimal, tahun ini BPJS Kesehatan
menargetkan peningkatan peserta pekerja penerima upah (PPU) JKN BPJS
Kesehatan sebanyak 29 juta peserta dari peserta yang saat ini ada
sejumlah 33,9 juta. Untuk mengimbangi, BPJS akan meningkatkan jumlah
jejaring mitra rumah sakit hingga 1.700 rumah sakit.
"Undang-undang
memastikan bahwa jaminan kesehatan wajib. Semua karyawan wajib
didaftarkan oleh perusahaannya," kata Irfan Humaidi dari Humas BPJS
Kesehatan saat ditemui, Rabu (25/3), di Jakarta. Sasaran utama
penambahan peserta itu adalah badan usaha swasta.
Untuk itu, badan
usaha diberi kemudahan mendaftarkan karyawan. Rekonsiliasi data peserta
dan iuran badan usaha bisa dilakukan lewat sistem elektronik data badan
usaha (e-Dabu). Perusahaan bisa mengedit data karyawan jika ada
perubahan tanpa perlu ke kantor BPJS.
Saat ini, peserta BPJS PPU mencapai 33,9 juta peserta, terdiri dari PPU swasta, PPU PNS, TNI, dan Polri aktif, serta pensiunan. (http://print.kompas.com)
Kejaksaan Negeri (Kejari) Kraksaan,
Kabupaten Probolinggo, memeriksa 19 puskesmas dari 36 puskesmas yang
ada, terkait dugaan penyalahgunaan dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
anggaran 2014.
Dana JKN yang diambil dari APBN khusus jasa
medis bagi para tenaga kesehatan di seluruh Indonesia, itu sampai saat
ini masih dalam tahap penyelidikan.
Kepala Seksi Pidana Khusus
(Kasi Pidsus) Kejari Kraksaan, Isradul Ichwan mengatakan, saat ini
pihaknya masih memeriksa masing-masing perwakilan dari tiap puskesmas.
Yakni para kepala Puskesmas serta bendaharanya. Sedangkan, pihak pelapor
pihaknya tidak bisa memberikan keterangan apapun dengan alasan
keamanan.
"Sejauh ini kami masih melakukan proses pemeriksaan ada
tidaknya dugaan penyalagunaan, berdasarkan laporan yang kami terima.
Kami belum bisa menentukan korupsi yang dimaksud apa dilakukan selama
kurun waktu 1 tahun atau hanya beberapa bulan saja," kata Ichwan kepada
wartawan di kantornya, Kamis (26/3/2015).
Ichwan menuturkan, pemeriksaan terus dilanjutkan secara bertahap hingga semua selesai.
"Kalaupun
ada yang menyimpang dan merugikan uang negara, maka kami angkat ke
penyelidikan, terkait mekanisme aliran dananya," tambahnya.
Sementara
kepala dinas kesehatan setempat saat dikonfirmasi via telepon tidak
menjawab dan beberapa kali dihubungi tidak direspon. Rencananya,
pemeriksaan lanjutan akan dilakukan minggu depan.
Most
retirement advice focuses on how to save enough money for your later years and
how to make the best use of your pension (if you’re lucky enough to have one).
For many Americans, however, the most confusing part of retirement planning is
their Social Security benefits.
When it
comes to Social Security, Americans certainly plan on tapping it. More than
half of Americans intend to fund their retirement with their Social Security
payments – making this government entitlement program more popular as a funding
source than 401(k)s, pensions or investment portfolios, according to a recent
survey by ShareBuilder by Capital One.
Taking
Social Security benefits at the right time – which will vary for people
depending on their situation – can be worth hundreds of thousands of dollars
throughout a lifetime. For many people, it’s the only retirement income stream
designed to increase with inflation.
Still,
misperceptions about the benefits persist. Here’s the truth about six common
Social Security myths:
MYTH #1: The
Social Security Administration will guide you through the process. While most
Social Security workers will do their best to help you, the decision to claim
the benefit is notoriously complicated and there’s no one-size-fits-all
solution. “Many people inside the Social Security Administration do not
understand their own rules, do not understand all the benefit choices and often
give people incomplete or wrong advice,” says Philip Moeller, co-author of Get What’s Yours: The Secrets to Maxing Out Your Social
Security.
To make the
right move, you’ll need to do your own research and potentially hire a
financial planner or consultant who specializes in helping individuals and
couples craft a Social Security plan.
MYTH #2: You
should enroll in Social Security as soon as you’re eligible.
You can start receiving retirement benefits as early as age 62, but financial
planners say doing so is usually a big mistake. Every year that you wait
through age 70 will make your monthly checks worth more. A worker retiring this
year at full retirement age, for example, would be eligible for a maximum
monthly benefit of $2,663 – while a 62-year-old taking benefits this year would
only receive $1,997 per month.
Continuing
to delay collecting Social Security until after your full retirement age will
net you 8 percent more a year. That’s a guaranteed return
you’re not likely to find anywhere else. On average, a man reaching age 65
today can expect to live until 84, according
to the Social Security Administration, while one in every four
65-year-olds will live past age 90.
Of course,
waiting until age 70 to take benefits is not right for everyone. If you can’t
live without the cash or if you have a health problem or family history of
dying young, you may want to take benefits earlier, since you may not live long
enough to realize that 8 percent return.
MYTH #3: You
can’t get Social Security if you haven’t worked outside the home.
Even if you never once paid into the Social Security system, you can still get
benefits equal to half your spouse’s benefits. You’re eligible for spousal
benefits even if you’re currently divorced, as long as you were married for 10
years and haven’t remarried.
MYTH #4: You
can spend your entire Social Security check. Even in your
golden years you can’t escape Uncle Sam. If your annual income is above $34,000
(if you file taxes individually) or $44,000 if you are married and filing
jointly, you’ll owe taxes on 85 percent of your provisional income, which includes
income from tax-free municipal bonds. There are also a handful of states that impose a tax on Social
Security benefits.
MYTH #5:
Social Security will fully fund your retirement.
Social Security was always meant to supplement Americans’ retirement income –
and even at current levels it’s not nearly enough to sustain a pre-retirement
lifestyle. The average monthly benefit in January was about $1,260, amounting to just over
$15,000 annually. That’s just higher than the poverty level of about
$12,000 per year.
MYTH #6:
There won’t be any Social Security money left by the time millennials retire. Given the
funding problems with Social Security, it’s easy for workers, especially
younger millennials, to write off the system entirely. Most experts, however,
say that some form of Social Security payment will always be there, even if
it’s a smaller check that arrives at a later age. “There’s no politician out
there that’s going to look at the camera and say ‘I’m going to cut Social
Security benefits entirely,’” says Anthony LoCascio, a certified financial
planner and tax specialist in Clinton, N.J.
- See more
at:
http://www.thefiscaltimes.com/2015/03/26/6-Popular-Social-Security-Myths-Busted#sthash.mwqYcUpt.dpuf
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk
selangkah lagi akan menjadi pemilik 80 persen saham asuransi kesehatan
Inhealth, setelah pemilik sebelumnya yakni PT Askes (Persero),
bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan.
Sejauh ini, bank pelat
merah ini baru menguasai 60 persen saham di Inhealth dan sisanya 20
persen masih dipegang BPJS Kesehatan. Ditargetkan, sisa saham tersebut
menjadi milik Bank Mandiri dalam hitungan hari.
"Minggu depan
sisa 20 persen saham lagi milik BPJS Kesehatan akan dilepas ke Bank
Mandiri," kata Direktur Mandiri Inhealth Dikdik Yustandi, Rabu
(4/3/2015).
Menurut Dikdik, skema pelepasan ini akan dilakukan
secara langsung dengan membeli seluruh saham milik BPJS Kesehatan.
Nilainya mencapai Rp 340 miliar.
Nantinya setelah Bank Mandiri
memperbesar kepemilikan saham, Mandiri Inhealth akan meningkatkan
sinergi bisnis dengan induk usahanya ini. Di antaranya, memanfaatkan
nasabah Bank Mandiri untuk menjadi nasabah mereka, baik di segmen
individu maupun kumpulan.
Sementara itu, sisa 20 persen
kepemilikan saham di Mandiri Inhealth akan tetap dipegang dua perusahaan
BUMN lainnya, PT Kimia Farma (Persero) Tbk dan PT Asuransi Jasa
Indoensia (Persero). Keduanya masing-masing memiliki 10 persen saham di
perusahaan asuransi kesehatan tersebut. (http://bisniskeuangan.kompas.com)
LANGKAH MAJU: Gubernur
Hamengku Buwono X (dua dari kiri) saat mendengarkan penjelasan dari Jasa
Raharja tentang keberadaan Pos Layanan Terpadu di RSUD Sardjito,
kemarin (26/3).
Gubernur DIJ Hamengku Buwono
X menyambut positif hadir-nya layanan pos pelayanan terpadu milik PT
Jasa Raharja, di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sardjito. Di-harapkan,
hadirnya pos layanan tersebut bisa mempercepat, sekaligus mempermudah
layanan bagi para korban kecelakaan lalu lintas.“Hadirnya pos layanan
terpadu ini, merupakan langkah maju dalam memberikan pelayanan, sehingga
pantas untuk diapresiasi,” kata HB X saat meresmikan pos layanan
ter-padu penanganan korban kecelaka-an lalu lintas di RSUD Sardjito,
ke-marin (26/3)
Menurut HB X, keberadaan pos terpadu
akan membantu masya-rakat. Apalagi, pos pelayanan terpadu ini bertujuan
memberi-kan layanan medis berupa pengo-batan, layanan hukum penguru-san
berita acara pemeriksaan (BAP), atau laporan polisi (LP) untuk
pengurusan asuransi.“Setiap peristiwa kecelakaan, seharusnya dapat
dimonitor melalui jaringan komputer ter-padu di Kantor Lalu Lintas Polda
DIJ. Sehingga, setiap korban lalu lintas dengan cepat bisa ditanga-ni,
mulai dari rumah sakit, hing-ga pengurusan santunan ke Jasa Raharja,”
harap HB X.Selain itu, Raja Keraton Jogja ini meminta kepada manajemen
RSUD Sardjito membuat ja-ringan sistem online yang lang-s ung terhubung
dengan pos pelayanan terpadu. Sehingga, warga yang mengalami
kecelaka-an, bisa langsung diberikan pe nanganan medis. Dan biaya
perawatan dapat ditagihkan ke PT Jasa Raharja.“UU Nomor 22 Tahun 2009
mengamanatkan bahwa seluruh stakeholders bertanggung jawab atas
keselamatan lalu lintas di jalan raya,” ingat HB X.
Dalam kesempatan ini, HB X diundang
hadir untuk meres-mikan pos pelayanan terpadu penanganan korban
kecelakaan lalu lintas di RSUD Sardjito. Dengan diresmikannya pos
ter-sebut, kini korban kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan yang
menjalani perawatan di RSUD Sardjito, tak perlu lagi bingung memikirkan
biaya pe-rawatan. Sebab, biaya perawatan di rumah sakit, langsung
ditang-gung PT Jasa Raharja.“PT Jasa Raharja akan mem-bayar biaya
perawatan korban kecelakaan lalu lintas hingga Rp 10 juta. Jika biaya
perawatan lebih dari Rp 10 juta, sisanya akan dibayar BPJS Kesehatan
atau Jamkesos/Jamkesda,” kata Di-rektur Operasional PT Jasa Rahar-ja,
Budi Raharjo dalam lauching pos pelayanan terpadu ini, ke-marin
(26/3).Menurut Budi, pendirian pos pelayanan terpadu di RSUD Sardjito
merupakan implemen-tasi Perpres 111 Tahun 2014, dan amanat kerja sama
antara PT Jasa Raharja pusat dengan BPJS Kesehatan pusat.
Harapannya, pos pelayanan terpadu dapat
meningkatkan kualitas layanan bagi korban kecelakaan lalu lin-tas, agar
lebih cepat dan tepat.“Setiap tahun, jumlah santunan yang dibayarkan
Jasa Raharja secara nasional, mencapai Rp 1,5 triliun. Kami memiliki
komit-men, pembayaran santunan bagi korban kecelakaan yang meninggal
dunia maksimal enam hari. Bagi cabang atau perwaki-lan yang tidak dapat
menjalankan program tersebut, akan diberi sanksi,” tambah Budi.Di tempat
yang sama, Kapolda DIJ Kombes Pol Erwin Triwanto mengatakan, kepolisian
meru-pakan gerbang utama penguru-san santunan bagi korban ke-celakaan
lalu lintas. Karena itu, ia meminta masyarakat yang menjadi korban
kecelakaan, sesegera mungkin melaporkan musibah yang dialaminya ke
kepolisian terdekat. Sebab, tanpa ada laporan, kepolisian tidak dapat
membuat berita acara pemeriksaan peristiwa kecelakaan tersebut, dan
me-nerbitkan laporan polisi (LP).“Pada hal, LP merupakan sya-rat utama
ketika akan mengurus santunan ke Jasa Raharja,” kata Erwin. (http://www.radarjogja.co.id)
Direktur Perencanaan, Pengembangan dan Teknologi Informasi PT Taspen
(Persero) Faisal Rachman mengungkapkan, saat ini perusahaan sedang
menyiapkan segala aspek yang berkaitan dengan upaya peningkatan
kesejahteraan pegawai negeri sipil (PNS). Salah satunya menambah produk Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).
Saat
ini, PNS sudah dikelola JKK dan JKM oleh PT Taspen melalui PP 12 tahun
1981. Namun, dengan lahirnya UU nomor 24 tahun 2014, Taspen diberikan
kesempatan pada pasal 57 UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS, bahwa
perseroan dapat melakukan tambahan produk, serta tambahan peserta hingga
membuat roadmap.
"Pada tahun 2029 nanti akan dilihat produk mana
saja yang sesuai UU Jaminan Sosial sebagai payung dari UU sistem SJSN
itu, baru dialihkan. Saat ini, kami sedang menyiapkan Rancangan
Peratutan Pemerintah (RPP) maupun aturan teknis berkaitan dengan JKK dan
JKM khusus untuk PNS," paparnya, saat sosialisasi di hadapan PNS
Balaikota Depok, Selasa (24/3/2015).
PT Taspen (Persero) telah
menyelesaikan roadmap 2014-2029 dalam rangka memenuhi UU Nomor 24 tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Pasal 65 ayat 2 yang
mengamanatkan, PT Taspen menyelesaikan penyusunan roadmap transformasi.
Faisal
menuturkan, sejak dulu PNS sudah menerima jaminan kesehatan melalui
Jaminan Hari Tua dan lainnya yang diatur dalam UU. Sedikitnya ada lima
jaminan, di antaranya jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua,
pensiun, dan kematian.
"Kami akan ajukan JKK dan JKM dorong ke
Kemenko Perekonomian mudah-mudahan terealisasi dan dapat dinikmati PNS,
sistemnya akan diubah," ungkapnya.
Dalam meningkatkan
kesejahteraan para Pegawai Negeri Sipil (PNS), Badan Kepegawaian Negara
(BKN) sedang membangun sistem pensiun baru yang disebut Fully Funded guna menggantikan sistem lama Pay as You Go. Adapun dana pensiun tahun ini mencapai Rp93 triliun, terdiri dari pensiun PNS dan TNI/Polri.
"Kecenderungannya
angka terus naik. Dalam jangka panjang membebani keuangan negara, dana
pensiun tak bisa dikelola. Kita menginginkan pelimpahan itu biayai
kebutuhan dana pensiun," ujar Wakil Menteri Pemberdayaan Aparatur
Negara-Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Eko Prasojo. (http://ekbis.sindonews.com/)
Anggota Komisi E DPRD Riau, Ade Hartati mengatakan banyak warga yang
tidak paham dan belum mengetahui bagaimana program BPJS Kesehatan secara
utuh. Ia melihat sosialisasinya masih kurang.
"BPJS harus memberikan pemahaman kepada masyarakat, bahwa pelayanan
tingkat dasar itu ada di Puskesmas. Kalau tidak bisa di-cover di
Puskesmas, baru diarahkan ke rumah sakit. Sehingga masyarakat tidak
menumpuk di rumah sakit, dan rumah sakit pun bisa maksimal memberikan
pelayanan terhadap masyarakat," paparnya.
Ade juga meminta rumah sakit pemerintah atau pun swasta agar
memberikan pelayanan sebaik- baiknya kepada seluruh masyarakat, termasuk
peserta BPJS.
"Rumah sakit jangan hanya berorientasi kepada keuntungan, tapi juga
harus memiliki orientasi sosial. Jangan sampai masyarakat merasa
terabaikan, dan pusing sendiri dengan persoalan yang mereka hadapi.
Karena pada dasarnya adanya layanan BPJS itu memang untuk memberikan
jaminan kepada masyarakat dalam masalah kesehatan," terangnya.
Menurut Ade, bagaiamana pun persoalannya kemudian, muaranya tetap
saja pada masalah sosialisasi. Kata dia, harus ada pemahaman yang sama
antara BPJS, pemerintah dan masyarakat. Kalau sekarang yang terjadi,
pikir masyarakat seluruh masalah kesehatan itu ditanggung oleh BPJS.
Item-item apa saja yang ditanggung, itu masyarakat masih banyak yang
tidak mengetahui, karena terbatasnya informasi.
"Masyarakat harus mengetahui, layanan apa saja yang bisa diterima,
baik di layanan Puskesmas atau pun rumah sakit tingkat lanjut. Sehingga
tidak ada saling tuding, rumah sakit tidak melayani, kemudian pihak
rumah sakit juga mengatakan over kapasitas, dan masyarakat mengatakan
kami tidak mendapat pelayanan maksimal," tuturnya.
"Akhirnya muncullah kasus-kasus seperti saudara kita yang sampai
membayar Rp 40 juta karena terpaksa menggunakan jalur pasien umum,
padahal ia peserta BPJS. Karena mungkin tidak mengetahui, dan BPJS juga
kurang memberikan sosialisasi atau pun edukasi terhadap masyarakat,"
imbuhnya. (Tribun Pekanbaru Cetak)
Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kabupaten Gresik memberikan bantuan kepada 20
pekerja kebersihan berupa bantuan kecelakaan kerja dan jaminan kematian,
Selasa (24/3/2015).
Bantuan tersebut diberikan langsung kepada pekerja kebersihan oleh
Bupati Gresik Sambari Halim Radianto dan Wakil Bupati Mohamad Qosim
disaksikan Kepala BPJS Ketenagakerjaan Kabupaten Gresik Ainul Kholid,
saat perayaan Hari Jadi Kota Gresik ke 528 dan Hari Ulang Tahun (HUT)
Pemkab Gresik ke 41.
“Usaha yang berbadan hukum wajib mendaftarkan seluruh pekerjanya
untuk mendapatkan perlindungan jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari
tua, jaminan kematian dan jaminan pensiun. Termasuk per Juli 2015
pekerja bukan penerima upah yaitu tukang ojek, pedagang pasar dan
lain-lain berhak mendapatkan jaminan sosial,” kata Ainul Kholid.
Pegawai Negeri Sipil (PNS), seluruh Anggota DPRD, Kepolisian dan TNI
per Juni 2015 juga mendapatkan perlindungan jaminan kecelakaan kerja dan
jaminan kematian.
“Salah satu kepedulian BPJS Ketenagakerjaan Kabupaten Gresik yaitu
memberikan iuran selama Bulan Maret 2015 kepada 20 pekerja kebersihan
Pemkab Gresik diikutkan program jaminan kecelakaan kerja dan jaminan
kematian,” katanya. (http://surabaya.tribunnews.com)
Premi asuransi kesehatan dan kecelakaan melorot 6,2% menjadi Rp5,66 triliun pada tahun ini.
Padahal,
berdasarkan data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), pada 2012 dan
2013, premi asuransi kesehatan dan kecelakaan tercatat meningkat Rp5,17
triliun, dan Rp6,04 triliun.
“Premi bruto asuransi kesehatan dan
kecelakaan mulai turun signifikan pada kuartal IV/2014. Sebagian besar
memang dikarenakan sejumlah pemegang polis kumpulan masih wait and see pada periode ini akibat BPJS Kesehatan,” ungkap Direktur Eksekutif AAUI Julian Noor di Jakarta, Selasa (10/3/2015).
Seperti
diketahui, asuransi kesehatan merupakan lahan bisnis yang sama-sama
bisa digarap oleh perusahaan asuransi jiwa dan umum. Khusus asuransi
umum, pangsa pasar asuransi kesehatan dan kecelakaan mencapai 10,3%
sepanjang tahun lalu.
Masih berdasarkan data yang sama, klaim
asuransi kesehatan juga naik 8,3% menjadi 3,9 triliun jika dibandingkan
pada 2013. “Kenaikan klaim tersebut lebih disebabkan oleh turunnya premi
bruto asuransi kesehatan dan kecelakaan,” tambahnya.
Penurunan
premi bruto asuransi kesehatan memang sudah diprediksi oleh sebagian
pelaku industri perasuransian yang bermain di sektor tersebut. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, beberapa perusahaan asuransi mulai
bernovasi, mulai dari menyasar segmen ritel hingga mendesain produk
premium.
Sebut saja, PT Asuransi Multi Artha Guna Tbk. (AMAG)
dan PT Asuransi Sinar Mas yang baru-baru ini meluncurkan produk
ritelnya. Sebaliknya, PT Asuransi Reliance Indonesia (Reliance
Indonesia) dan PT Avrist Assurance (Avrist Life) justru merilis produk
yang ditujukan sebagai pelengkap BPJS Kesehatan. (http://finansial.bisnis.com)
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
telah membentuk Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB) program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) se-Provinsi Aceh pada akhir Desember
tahun lalu. Tim ini sudah bekerja sejak dibentuk dan diketuai oleh drg
Saifuddin Ishak, M.Kes, PKK.
Tim independen ini bertugas untuk mengendalikan mutu dan biaya
melalui sosialisasi kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan
praktik profesi sesuai dengan kompetensi serta pembinaan etika dan
disiplin profesi kepada tenaga kesehatan. “TKMKB merupakan tim yang
terdiri atas organisasi profesi, yaitu IDI, PDGI, IAI, IBI, PPNI, dan
juga melibatkan akademisi dan pakar klinis yang terbagi dalam tim
koordinasi dan tim teknis,” kata Manajer BPJS Kesehatan Kanwil Aceh Dra
Rita Masyita Ridwan, Apt,M.Kes dalam siaran persnya kepada Serambi,
kemarin. Penjelasan ini, kata Rita, juga sekaligus untuk menjawab
harapan banyak pihak terkait perlunya pengawasan program JKN,
sebagaimana ditulis dalam laporan eksklusif di Serambi Indonesia, dua
pekan lalu.
Disebutkan, pada kasus tertentu tim kendali mutu dan kendali biaya
dapat meminta informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit,
riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan peserta dalam bentuk salinan/
fotokopi rekam medis kepada fasilitas kesehatan sesuai dengan
kebutuhan.
BPJS Kesehatan juga telah memfasilitasi penyelenggaraan kegiatan
lokakarya TKMKB program JKN se-Aceh di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh,
Sabtu (14/2) dua pekan lalu. Kegiatan tersebut dibuka oleh Kepala Dinas
Kesehatan Aceh dr M Yani, M.Kes.PKK . Sedangkan Prof Dr Ascobat Gani MPH
selaku Ketua TKMKB Pusat ikut menjadi pemateri terkait peran dan fungsi
TKMKB dalam mengawal pelaksanaan JKN. (http://aceh.tribunnews.com)
USA TODAY’s retirement columnist Rodney Brooks talks to Jeanne
Thompson, a vice president at Fidelity about saving aggressively for
retirement.
(MONEY, USA TODAY)
Financial
planners often tell stories about 50-somethings who come to them for
help and have saved little or nothing for their retirement.
There are millions of people like that out there.
"It's
really common for people to never plan for retirement," says Nancy
Coutu, financial planner with Money Managers Financial Group in Oak
Brook, Ill. "They are so busy planning their everyday lives — first
they go to college, get a job, then they get married, have kids and buy a
house. All of a sudden they are 50-something and it's like, 'holy
cow.'"
"I see these 50-somethings all the time," she says. "They
say, 'How do we figure this out? We saved a little in a 401(k) and some
in an IRA.' But they have no clue how to figure out how much they need
for retirement."
According
to the Center for Retirement Research at Boston College, the average
retirement savings for households nearing retirement — those with head
of households aged 55-64 — is about $110,000. That means more than half
of today's households won't have enough retirement income to maintain
their pre-retirement standard of living, even if they work to age 65. The center says its survey clearly indicates that "many Americans need to save more and/or work longer."
And
according to TIAA-CREF, a financial services organization, less than a
quarter of people in its new survey even contribute to an IRA.
So,
if you're in this situation, having saved little or nothing for
retirement, here are some tips from financial planners to help you get
there. 1. Do a budget. Get a plan. "Planning
is the first thing," says Coutu. "I tell them in order to see if you've
saved enough, we have to first see how much you spend," she says. "Going through expenses is sometimes painful." Coutu says
most people miss badly when they estimate how much their monthly
expenses are. "Everybody has this magic number of $4,000 a month," she
says. I ask where that number came from. And sometimes (the real number)
is several thousand dollars more. They forgot the incidentals. They
forget those repairs. They say, 'We don't do something to the house
every year,' but I say, 'Yes, you will.' Or they didn't budget for
vacations, or gifts they give to their children or grandchildren." People think about things such as gas bills, electric bills and real estate taxes, Coutu says, but
forget to think about what happens if they buy a new car, or that they
must pay for their own health insurance, which could cost $1,000 a
month. "Most overspenders
have no idea what a monthly budget is," says Rick Foster, president and
founder of Guardian Financial Management in Lewisville, Texas. "When I
talk to these folks, many don't know how to make a monthly budget. You
take a journal or a notebook and for 30 days write down everything you
spend. Then we can look and see if there are areas in their lives that
can be cut back." 2. Have a plan for Social Security. Kyle
O'Dell, president of secure Wealth Strategies in Denver, says he just
did a Social Security seminar with 100 people ages 50 to 65, and not one
had done a Social Security analysis. That's a huge mistake, he says.
"Most
people think they just need to figure out the age," he says. "For
married people there are 587 ways to file for Social Security. You can
increase the payout by about 32% if you do it properly."
O'Dell
says one study shows that families that did file for Social Security
properly will see their other savings and retirement accounts last 5½
years longer. "To get that analysis done, meet with an adviser that has a
Social Security analysis tool."
Foster says "overspenders" are
the main ones who think they need to take Social Security earlier. But
knowing the proper time to file can make a difference of up to $300,000. 3. Sixty-two is not a magic retirement number. "A
50-year-old says, 'I will retire at 63,'" says Coutu. "I ask why. They
say, 'Because that's what my parents did. That's when I'm eligible.'
It's my job to figure out how they get from where they are today to
where they will be at 62 and have an income stream they can't outlive."
"If
you do the numbers and find out that you can't retire at 62, you need
to do some serious lifestyle adjustments, or work longer," says Coutu.
"You can't just retire and maybe run out of money. People look at their
401(k) and it has $500,000 or $1 million. And then we find that it costs
them $100,000 (a year) to live. They may live for a long time." 4. Work longer. "I
tell people to remember that when they go to retire, they still have
time," says Paul Saganey, president of Integrated Financial Partners in
Boston. "Instead of looking at retirement as 'I'm 65 and retired, and
now I'm in trouble,' look at retirement in a series of five-year
increments. And when you break the pie into bite-sized pieces, if they
don't have enough today, we can help them make some adjustments. Maybe
it's getting them back to the workplace, but they still have time to
make their money work for them." 5. Stop paying for your grown children. "Stop
putting the needs of kids ahead of their own needs," says Saganey.
"Everyone wants to help their children. I still see people in retirement
still paying off their children's college loans, even though the kids
are doing well. People are still doing things for their children instead
of saving for retirement."
"They are very focused on taking care
of their kids," says O'Dell. "They are hurting their retirement by
helping their kids out with college. I hear it from families all the
time. 'I don't want my kids to have student loans.' I tell them you need
to get your financial house in order before you take care of everyone
else. Spending too much money on your kids' college education can really
impact your retirement down the road."
Other tips:
•
If you have a term life insurance policy that is convertible, says Don
Cloud of Cloud Financial in Huntsville, Ala., don't let it expire when
you can't afford the premiums. Sell it. There are companies that pay the
premiums and give you a lump sum (depending on your life expectancy)
that could be $35,000 or $40,000 on a $500,000 policy. "You have
created wealth based on your mortality."
• Instead of keeping
$10,000 in a no-interest savings account, pay off that $3,000 credit
card balance charging 18% interest," says Coutu. "Instead of keeping an
emergency fund, use your credit card for emergencies."
• Don't
think because you are behind in savings that you have to take outsized
risks, says Foster. "The myth is if you have waited too long, you have
to take bigger risks to catch up."
USA TODAY retirement columnist Rodney Brooks is the author of a new e-book, Is One Million Dollars Enough? A guide to planning for and living through a successful retirement. The book is available at major online book stores, including Amazon, Barnes & Noble, iBooks, Google Playand Kobo.
Siapa pengelola program Jaminan Kecelakaan
Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi pegawai negeri sipil menjadi
tanda tanya saat ini.
Hal ini sehubungan dengan digulirkan rencana pengelolaan program ini
kepada PT Taspen Persero. Sementara, Badan Penyelenggaran Jaminan
Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan merasa masih mendapat mandat untuk
mengelola dua program ini.
Kepala Cabang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan Bukittinggi, Zulferis, Kamis (19/3) menilai, ikut
sertanya PT Taspen (Persero) dalam mengelola Jaminan Kecelakaan Kerja
(JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi PNS adalah hal yang tak mungkin
atau keliru. Sebab secara nasional program PT Taspen untuk JKK dan JKM
tidak ada. Ia merasa kaget dengan pemberitaan media lokal yang menyebut
PT Taspen Cabang Padang yang menyatakan semester II 2015 ini, Taspen
mulai mengurusi JKK dan JKM.
"Saya tidak setuju PT Taspen ikut mengelola JKK dan JKM bagi PNS
karena dengan dasar apa mereka untuk mengelola JKK dan JKM," ungkapnya.
Ia menjelaskan, permasalahan ini sudah pernah dibicarakan oleh
Kakanwil BPJS Ketenagakerjaan Sumbar Riau terkait surat PT Taspen Nomor
SRT-413/C.2.4/102014 perihal penjelasan pelaksanaan program JPN, JHT,
JKK dan JKM bagi aparatur sipil negara berdasarkan UU nomor 5 tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) tanggal 8 Desember 2014 lalu.
Lebih jauh Zulferis menjelaskan, dengan keluarnya UU Nomor 40 tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Nasional dan UU nomor 2004 tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial serta Peraturan Presiden (PP)
nomor 109 tahun 2013 menegaskan bahwa tahapan dimulainya pendaftaran
bagi pekerja yang bekerja pada penyelenggara negara dilakukan program
JKK dan JKM paling lambat satu Juli 2015.
Selanjutnya UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS untuk
menyelenggarakan jaminan sosial itu, maka dibentuklah suatu badan
hukum yang diberi nama BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Selanjutnya BPJS Ketenagakerjaan menjalankan fungsinya sebagai
penyelenggara JKK, JKM, JPN dan JHT.
"Sampai saat ini belum ada penunjukkan badan penyelenggara lain oleh
undang-undang selain BPJS Ketenagakerjaan untuk menyelenggarakan
program JKK dan JKM bagi PNS," tutur Zulferis yang juga pengemar batu
akik.
Ia menambahkan sesuai dengan UU nomor 24 tahun 2011 ayat 2 disebutkan
PT Taspen diminta menyelesaikan pengalihan program Tabungan Hari Tua
(THT) dan program Pembayaran Pensiun kepada BPJS Ketenagakerjaan paling
lambat tahun 2029.
Saat ini PT Taspen jelas Zulferis, masih berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas (PT), oleh sebab itu tidak boleh menyelenggarakan
program JKK, JKM, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kesehatan dan Jaminan
Pensiun. Sebab berdasarkan UU Nomor 40 tahun 2004 pasal 5 ayat 1
menyatakan bahwa BPJS harus dibentuk dengan UU untuk menyelenggarakan
lima produk jaminan di atas.
Terkait dengan telah terlindunginya PNS di lingkungan pemerintah
kota dan kabupaten di Sumbar dalam program JKK dan JKM secara mandiri
atau suka rela, hal itu tidaklah melanggar ketentuan yang berlaku.
Bahkan ini perlu mendapat apresiasi mengingat adanya kekosongan
perlindungan sebelum 1 Juli 2015.
Informasi pengelolaan program JKK dan JKM ini sudah diterima di
sejumlah cabang PT Taspen di Sumatera Barat. Bahkan juga sudah dirilis
dalam laman taspen. com pada 18 Maret lalu.
Kepala PT Taspen Cabang Padang Jhon Irwan juga telah menerima
informasi ini dan sedang melakukan sosialisasi ke sejumlah stakeholder
seperti BKD Pemprov Sumbar. Begitu juga dengan PT Taspen Cabang
Bukittinggi. Sejumlah sosialisasi juga sudah dilakukan untuk meminta
masukan dari stakeholder.
Kepala PT Taspen Cabang Bukittinggi Ratmo mengatakan, saat ini
Taspen sedang menyiapkan segala aspek yang berkaitan dengan upaya
peningkatan kesejahteraaan para PNS. Salah satunya menambah produk
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).
"Sebenarnya, saat ini PNS telah memperoleh JKM yang dalam hal ini
berbentuk Asuransi Kematian dari PT Taspen (Persero) tanpa membayar
iuran, karena merupakan pengembangan dari Program THT PNS. Untuk JKK
PNS ini telah diatur dalam PP Nomor 12 Tahun 1981," kata Ratmo.
Ia menyebutkan, dalam Pasal 57 huruf f UU Nomor 24 Tahun 2011 telah
disebutkan, PT Taspen (Persero) tetap menyelenggarakan Program THT dan
pembayaran pensiun termasuk penambahan peserta baru. Dalam hal ini,
Taspen diminta membuat Roadmap untuk tahun 2014-2029.
"Pada Tahun 2029 nanti akan dilihat produk mana saja yang sesuai
dengan Undang-undang Jaminan Sosial (UU Nomor 40 tahun 2004). Apabila
ada yang sesuai baru akan dialihkan. Sebenarnya sejak dulu PNS sudah
menerima jaminan kesejahteraan melalui Tabungan Hari Tua dan Jaminan
Pensiun yang semua sudah diatur dalam undang-undang," tambah Ratmo. (http://www.harianhaluan.com)
Tidak bangkrut, BPJS Kesehatan cuma missmacth. (Foto: Okezone)
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan menepis tudingan bahwa saat ini lembaganya mengalami
kebangkrutan akibat tingginya pembayaran klaim dibandingkan pembayaran
iuran.
"Saya ingin menipis tanggapan bahwa BPJS bangkrut, itu salah sama sekali. Itu jika ada missmatch (ketidakcocokan),
negara akan hadir dengan bisa berikan dana tambahan, suntikan modal
sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 87," ungkap Direktur Pelayanan BPJS
Kesehatan Fajriadinur, di Jakarta, Sabtu (21/3/2015).
Menurut Fajriadinur, saat ini BPJS Kesehatan memang mengalami
ketidakcocokan hasil realisasi anggaran yang diaudit pada 2014. Namun,
hal tersebut bukan defisit anggaran.
"Bukan defisit, itu saya bilang missmatch, kalau defisit itu artinya
itu tidak tahu dari awal bahwa akan terjadi pengeluaran pada tahun
pertama akan lebih tinggi dibandingkan pembayaran iuran. Tentunya di
situ ada payung hukumnya di PP Nomor 87," imbuhnya.
Ia mengakui, perbedaan ini dikarenakan pada awal tahun pertama pihak
BPJS Kesehatan tidak menyangka akan ada banyak sekali animo masyarakat
yang mendaftar sebagai peserta mandiri untuk mengikuti program ini.
"Kan kita sudah hitung sekian, untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI)
sudah dihitung. Namun, peserta ini yang melonjak tinggi. Jadi, ada missmatch," paparnya.
Guna menyelesaikan masalah ini, BPJS Kesehatan melalui Dewan Jaminan
Sosial Nasional (DJSN) mengusulkan kenaikan iuran PBI untuk tahun
anggaran 2016. Namun besarannya masih disosialisasikan dengan pihak
terkait.
Sekadar informasi, total premi yang belum diaudit hingga Desember
2014 tercatat Rp41,06 triliun, sementara biaya manfaat (klaim) sebesar
Rp42,6 triliun. Sehingga, ada missmatch (ketidakcocokan), rasio klaim
sampai 103,88 persen pada 2014.
Menteri Kesehatan, Nila Farid Moeloek berfoto
bersama staf dan sejumlah pemimpin redaksi media massa nasional, di
Kantor Kemkes, Jakarta, Rabu (25/2/). Hadir pula dalam pertemuan ini,
Pimred Harian Suara Pembaruan, Investor Daily dan Beritasatu.com, Primus
Dorimulu.[Istimewa]
Sejak diberlakukannya sistem Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada awal Januari 2014 lalu, angka
berobat ke fasilitas kesehatan juga melonjak drastis. Ini karena
insurance effect atau efek asuransi, di mana mereka yang tadinya
terkendala biaya, kini mendapatkan kesempatan terbuka untuk berobat
tanpa uang muka dan biaya mahal.
Namun, kebanyakan dari mereka
yang memanfaatkan JKN datang ke rumah sakit sudah stadium lanjut dan
menderita penyakit yang membutuhkan biaya pengobatan mahal. Gagal ginjal
adalah salah satu penyakit tidak menular yang paling banyak menyerap
pembiayaan, dan jika tidak diintervensi beban pembiayaan akan terus
bertambah.
BPJS Kesehatan mencatat baru 6 bulan pertama JKN
diberlakukan, yaitu Januari-Juni 2014, penderita gagal ginjal menyerap
anggaran hampir menyentuh angka Rp 16 triliun. Penderita gagal ginjal
pada rentan waktu tersebut mencapai 889,356 orang dan menelan biaya
sebesar Rp 869 miliar lebih. Untuk rawat inap penderita gagal ginjal
sebanyak 138,779 orang dengan biaya sebesar mencapai Rp 750 miliar
lebih.
"Jika dibiarkan masyarakat jatuh sakit, biaya kesehatan
akan semakin meningkat," kata Menteri Kesehatan, Nila Farid Moeloek, di
sela-sela pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi media massa
nasional, di Kantor Kemkes, Jakarta, Rabu (25/2/). Hadir pula dalam
pertemuan ini, Pimred Harian Suara Pembaruan, Investor Daily dan
Beritasatu.com, Primus Dorimulu.
Lebih jauh Menkes mengatakan,
beban pembiayaan akan terus meningkat seiring dengan perubahan pola
epidemiologi, dari yang dulunya penyakit menular, sekarang didominasi
penyakit tidak menular. Bahkan, jumlah kasus penyakit tidak menular
meningkat jauh lebih tinggai dari penyakit menular, yaitu sebanyak 37%
pada tahun 1990 menjadi 58% di tahun 2010.
Bahkan, data Global
Burden of Disease tahun 2014 menyebutkan, 10 penyakit yang menduduki
peringat teratas kasus terbanyak dan menimbulkan beban terbesar adalah
penyakit tidak menular, yaitu stroke, kecelakaan lalu lintas, jantung
iskemik, kanker, diabetes. Di tahun 1990, penyakit stroke di urutan
keempat, sedangkan jantung iskemik serta diabetes masing-masing di
peringkat 13 dan 16.
Perubahan peringat penyakit tidak menular
ini mulai terjadi di tahun 2010. Kasus stroke mencapai urutan pertama
sebagai penyakit yang menimbulkan beban paling besar, jantung iskemik di
peringat kelima, dan diabetes keenam.
Beban penyakit di era JKN
ini menjadi salah satu topik yang dibicarakan dalam pertemuan Menkes
dengan Pimred, yang dihadiri pula oleh pejabat eselon 1 Kemkes, seperti
Dirjen Bina Upaya Kesehatan Prof Akmal Taher, Dirjen Bina Farmasi dan
Alat Kesehatan, Maura Linda Sitanggang, dan Dirjen Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan, Mohammad Subuh.
Menkes juga
mengatakan, jumlah masyarakat yang berobat menggunakan JKN tertinggi di
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ini dikarenakan kemudahan akses
dan ketersediaan layanan lebih memadai di Pulau Jawa.
"Sedangkan
di daerah dengan kondisi geografis sulit, tingkat berobat masyarakat
masih rendah. Sistem pembiayaan juga belum optimal untuk menolong
masyarakat yang sedang sakit," kata Menkes.
Masalah lain dalam
pelaksanaan JKN yang juga disebutkan Menkes adalah sistem rujukan atau
pengobatan berjenjang belum berjalan baik. Ini karena masyarakat belum
menyadari adanya sistem ini.
Seharusnya, kata Menkes, pasien
peserta JKN berobat secara berjenjang, dimulai dari layanan primer,
baru kemudian dirujuk ke rumah sakit sekunder bila diperlukan. Rumah
sakit tersier hanya untuk penderita yang penuh komplikasi dan
tersedianya tenaga kesehatan yang subspesialistik, bukan terbuka untuk
setiap penyakit yang seharusnya dapat diatasi di layanan primer.
Jika
fasilitas kesehatan primer, seperti puskesmas, klinik, dan dokter
praktek mandiri, dapat mengatasi sebagian besar penyakit, diharapkan
hanya sekitar 10% sampai 20% yang ditangani di layanan sekunder, dan
lebih sedikit lagi di layanan tersier.
"Keadaan saat ini masih
terbalik, di mana banyaknya penderita yang perlu ditangani di layanan
sekunder dan tersier," kata Menkes. [http://sp.beritasatu.com]
Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) membantah bila disebut-sebut sudah bangkrut.
Direktur Pelayanan BPJS, Fajriadinur, mengatakan keuangan BPJS sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 87 tahun 2013 tentang pengelolaan aset jaminan sosial kesehatan.
"Terkait anggaran saya ingin tepis mungkin satu pemikiran bahwa BPJS
dalam kondisi bangkrut. Itu salah sama sekali. Saya ingin sampaikan di
dalam PP 87 disebutkan apabila terjadi misalnya missmatch, itu
pemerintah akan hadir," ujar Fajri saat diskusi bertajuk 'Mau Sehat Kok
Repot' di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabut (21/3/2015).
Ketentuan tersebut, kata Fajri, semisal melalui penentuan besaran
iuran atau suntikan dana dan penyesuaian manfaat sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
"Sehingga jangan khawatir untuk hal tersebut selama kita masih bergotong royong mari kita lakukan itu bersama-sama," ujar Fajri. (http://www.tribunnews.com)
Pasien menyusun berkas klaim berobat
menggunakan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan, Jakarta, Kamis, 30 Oktober
2014. (CNN Indoensia/Safir Makki)
Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia Emi Nurjasmi
menyatakan, jumlah bidan praktik mandiri yang sudah berjejaring dengan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih kurang dari 5
persen. Saat ini ada sekitar 47 ribu bidan yang berpraktik secara
mandiri.
Sementara jumlah keseluruhan bidan di Indonesia sekitar
300 ribu orang. "Dari 300 ribu bidan, yang sudah kerja sama dengan Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sekitar 80 ribu, sedangkan yang
praktik di desa 50 ribu," kata Emi di Jakarta.
Emi mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan bidan yang
berjejaring dengan BPJS Kesehatan minim. Salah satu alasannya, ada
Puskesmas yang tidak mau berjejaring karena melihat bidan sebagai
saingan.
Padahal, lanjut Emi, puskesmas seharusnya memanfaatkan
potensi daerah dengan melakukan kerja sama dengan bidan di daerah.
Faktor lain yaitu formula kesepakatan berjejaring antara BPJS Kesehatan
dengan bidan belum jelas.
Selain itu, masyarakat juga cenderung
sudah punya referensi bidan yang dipercaya sehingga tidak menggunakan
hak sebagai peserta BPJS Kesehatan. "Ujung-ujungnya mereka keluar uang
sendiri. Seharusnya mereka bisa mendapatkan hak sebagai peserta BPJS
Kesehatan," kata Emi.
Untuk dapat mendorong kenaikan jumlah bidan
yang mau berjejaring dengan BPJS Kesehatan, Emi berpendapat perlu ada
regulasi. Usul Emi, Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2013 tentang
Perubahan atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
direvisi.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris berpendapat
konsep berjejaring sangat penting untuk sistem asuransi sosial seperti
BPJS Kesehatan.
"Namun harus diingat bahwa konsep berjejaring
itu bukan berarti bagi-bagi uang. Apalagi kalau itu terjadi di fasilitas
kesehatan pemerintah, saya kira itu tidak wajar," ujar Fachmi.
Hal
senada diungkapkan Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Fajriadinur. Dia
mengatakan, akan ada regulasi untuk mengatur kebijakan berjejaring yaitu
melakukan peninjauan ulang untuk perpres maupun permenkes.
"Konsep
berjejaring menitikberatkan pada kualitas pelayanan. Bagaimana caranya,
supaya pelayanan itu dilihat sebagai tim," kata Fajriadinur.
(http://www.cnnindonesia.com)
BPJS Kesehatan
mendorong ibu hamil mendaftarkan janinnya sebagai peserta BPJS Kesehatan
untuk memperoleh perlindungan sejak dini.
"Ini dilakukan mengingat janin yang ada di dalam kandungan berisiko
mengalami gangguan kesehatan atau memerlukan penanganan khusus saat
lahir," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris di sela-sela
penandatanganan Kesepakatan Bersama Ikatan Bidan Indonesia (IBI) di
Jakarta, Kamis (19/3/2015).
Fachmi menyebut bayi dalam kandungan harus memiliki proteksi karena
kemungkinan bayi lahir ada masalah dan perlu pendampingan pembiyaan.
"Untuk itu, sejak bulan November kami sudah sosialisasi sejak kandungan didaftarkan bayinya," katanya.
Fahcmi menyebut janin yang bisa didaftarkan menjadi peserta BPJS
Kesehatan adalah bayi yang keberadaan terditeksi adanya denyut jantung.
"Secara medis janin itu bisa dibuktikan keberadaan detak jantung
dengan pemeriksaan petugas medis dan melampirkan surat keterangan
dokter," katanya.
Pendaftaran bisa dilakukan di kantor cabang BPJS Kesehatan dengan
besaran nominal iuran, untuk kelas 1 : Rp 59.500/jiwa/bulan, kelas 2 :
Rp 42.500/jiwa/bulan dan klas 3 : Rp 25.500/jiwa/bulan.
Program kesehatan untuk janin hanya berlaku bagi calon anak pertama hingga ketiga. (http://www.tribunnews.com)
Evaluasi menyeluruh terhadap implementasi program Jaminan Kesehatan
Nasional harus dilakukan sebelum membahas perubahan besaran iuran
kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Dengan
evaluasi, akan diketahui apa saja yang perlu dibenahi, termasuk masih
pantaskah besaran iuran kepesertaan saat ini.
Hal
itu disampaikan Wakil Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Ermalena
saat dihubungi di Jakarta, Rabu (11/3). Ermalena mengatakan, evaluasi
yang harus dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak hanya terkait dengan iuran.
Banyak hal lain yang harus ditinjau ulang dan dikaji.
"Kalau belum
dievaluasi, rencana perubahan iuran nanti dulu. Evaluasi ini justru
untuk mengetahui apa saja yang jadi masalah dalam JKN (Jaminan Kesehatan
Nasional)," ujarnya.
Menurut Ermalena, pola penyakit yang
berubah, animo masyarakat yang tinggi untuk berobat, ketersediaan dan
kualitas fasilitas kesehatan, sistem rujukan berjenjang, serta manfaat
apa saja yang dijamin adalah beberapa di antara sekian banyak hal yang
harus dievaluasi.
Hasil evaluasi tersebut, ujar Ermalena, akan
menentukan apakah iuran peserta BPJS Kesehatan naik atau tidak. Jika
memang diperlukan kenaikan iuran, kenaikan yang ditetapkan memiliki
dasar yang kuat.
Salah satu aspek yang mendapat sorotan Ermalena
ialah pelayanan bagi bayi baru lahir dari peserta penerima bantuan iuran
(PBI). Menurut Ermalena, bayi yang lahir dari peserta PBI harus
dipastikan ditanggung JKN.
Target Maret
Sebelumnya
diberitakan, pemerintah terus mengkaji rencana kenaikan iuran
kepesertaan program JKN yang dikelola BPJS Kesehatan. Rancangan kenaikan
iuran ditargetkan rampung akhir Maret 2015 untuk mengejar batas waktu
usulan pagu anggaran ke Kementerian Keuangan.
Menurut Menteri
Kesehatan Nila Djuwita Moeloek, Selasa, di Makassar, Sulawesi Selatan,
pemerintah akan menaikkan besaran iuran kepesertaan JKN. Saat ini,
besaran iuran dinilai tidak mencukupi bagi fasilitas kesehatan untuk
memberikan layanan sesuai dengan manfaat yang dijamin.
,,,
"Sampai
kini belum ada penentuan besaran angka karena masih dalam hitungan.
Kami berharap secepatnya rampung. Kenaikan iuran tak bisa lagi ditunda
karena penyakit makin beragam dan berat," ujar Menkes.
Ia
mencontohkan, dulu penyakit yang banyak diderita masyarakat hanya
alergi, cacingan, dan batuk. Kini kian banyak penderita penyakit berat,
seperti gagal jantung, gagal ginjal, dan stroke.
Makin beragamnya
penyakit, kata Nila, membuat penyelenggara harus berhitung kembali
besaran dana kesehatan yang berdampak pada kenaikan iuran. "Tentu
kenaikan iuran itu akan dibarengi peningkatan layanan kesehatan. Kami
belum menemukan angka pasti kenaikan iuran. Ada banyak variabel yang
jadi pertimbangan," katanya.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi
Idris menjelaskan, pihaknya terus membahas rencana kenaikan iuran JKN
BPJS Kesehatan dengan sejumlah pihak terkait, termasuk praktisi dan
akademisi. "Masih dibicarakan dan dihitung. Kami harap akhir Maret
rampung dan sudah ada angka karena mengejar batas usulan pagu anggaran
ke Kementerian Keuangan," katanya.
Fahmi membenarkan bahwa alasan
rencana kenaikan iuran tak lepas dari pola perkembangan penyakit dan
demografi. Perhitungan iuran JKN juga mempertimbangkan manfaat yang
diterima peserta, pola penyakit dan mutu pelayanan. Saat ini data sedang
dikumpulkan.
Namun, peningkatan kualitas layanan kesehatan bagi
peserta JKN tak mudah. Nila mencontohkan, puskesmas masih dianggap
sebagai tempat berobat warga miskin. Untuk layanan kesehatan di daerah
terpencil, diharapkan warga lokal mengusulkan layanan seperti apa yang
harus disediakan karena program pemerintah kerap tidak sesuai dengan
kondisi lokal.
Batas atas
Secara
terpisah, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar serta Ketua
Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany menyatakan, batas
atas perhitungan iuran kepesertaan pekerja penerima upah (PPU) BPJS
Kesehatan perlu dinaikkan. Tujuannya, agar iuran yang dihimpun bertambah
dan unsur gotong royong dalam jaminan kesehatan lebih terasa. Hal
tersebut mesti diikuti peningkatan mutu layanan.
Pembahasan iuran
PPU tak bisa dipisahkan dari iuran peserta PBI tahun 2016. Itu karena
iuran yang terhimpun dari PPU diharapkan bisa menjadi sumber subsidi
silang antarpeserta.
Timboel menilai, iuran JKN bagi PPU 5 persen
(berlaku 1 Juli 2015) dari gaji per bulan sudah cukup. Namun, dasar
perhitungan maksimal iuran PPU perlu dinaikkan, dari dua kali
penghasilan tak kena pajak (PTKP) status keluarga 1, menjadi empat kali
PTKP.
Besaran iuran dari rumus 2 x PTKP status keluarga K1 adalah
Rp 4.725.000. Saat ini, hal itu menjadi batas atas perhitungan iuran.
Jadi, sebesar apa pun gaji seseorang tetap dihitung 5 persen dari Rp
4.725.000. Iuran itu untuk menanggung lima orang, termasuk anak hingga
anak ketiga.
"Agar keberlanjutan program JKN terjaga, iuran harus
lebih besar dari klaim," ujarnya. Kenaikan batas atas iuran untuk
menjangkau PPU bergaji besar. Adapun iuran peserta mandiri tak perlu
dinaikkan karena lebih tinggi daripada PPU.
Hasbullah mengusulkan
kenaikan batas atas iuran PPU jadi 7 kali PTKP. Batas bawah perhitungan
iuran untuk PPU perlu ditetapkan berdasarkan upah minimum provinsi.(http://print.kompas.com)
Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Lumajang belakangan siaga dengan semakin bertambahnya penderita kanker serviks yang menyerang warganya. Siaga ini dilakukan dengan melakukan berbagai upaya, baik penyuluhan atau sosialisasi hingga pemeriksaan dini terhadap masyarakat.
dr Triworo S Nadjieb Kepala Dinkes Kabupaten Lumajang kepada Sentral FM, Rabu (18/3/2015), mengatakan bahwa pemeriksaan dini kanker serviks bagi kalangan perempuan bisa dilakukan melalui Balai Pengobatan yang ada, baik Puskesmas maupun Rumah Sakit
"Upaya ini kita lakukan karena penyakit mematikan bagi kaum perempuan ini, cukup banyak diidap warga Lumajang. Hanya saja, kami belum merinci data berapa banyak jumlah penderita dan sudah berapa yang membawa akibat sampai meninggal bagi penderitanya," katanya.
Upaya deteksi dini terhadap penyakit kanker serviks tersebut dilakukan atas kerjasama antara Dinkes, Yayasan Kanker Lumajang yang diketuai dr Buntaran Supriyanto, Mkes Sekda Lumajang dan Badan KB." Setiap tahun, secara rutin kami mengadakan pemeriksaan dini terhadap kanker serviks bagi masyarakat," paparnya.
Kegiatan pemeriksaan gratis ini dilaksanakan di masing-masing Puskesmas. Sasarannya adalah masyarakat miskin dengan biaya yang akan disokong penuh Program Kesehatan dan KB.
"Pemeriksaan dini kanker serviks ini, dilakukan baik untuk Pap Smear dan Tes IVA. Digratiskannya biaya pemeriksaan dini kanker serviks ini sangat membantu masyarakat, terutama yang miskin. Sebab, biaya untuk pemeriksaannya secara regular antara Rp100 ribu sampai Rp125 ribu setiap orang," paparnya.
Upaya deteksi dini ini, lanjut Triworo S Nadjieb, juga sekaligus ditindaklanjuti dengan program pencegahan. Namun yang diutamakan oleh Dinkes adalah upaya deteksi dini. Sehingga penyakit ini bisa diketahui secara dini guna menghindarkan penderita dari kematian atau kesakitan sebagai dampaknya.
"Yang terpenting adalah deteksi dini sehingga jika terjadi kanker serviks pada stadium dini, sudah bisa diketahui. Sehingga tidak menyebabkan kematian atau kesakitan yang menjadi orang yang tidak produktif," terangnya.
Ketika diketahui ada yang mengidap kanker serviks dalam pemeriksaan dini tersebut, selanjutnya akan dilakukan upaya pengobatan melalui dokter kandungan atau rumah sakit." Sebab untuk penanganan penderita kanker serviks tidak mungkin dilakukan di Puskesmas. Pasalnya, screaning untuk penyakit ini hanya bisa dilakukan di Puskesmas," jelasnya.
Di Lumajang, lanjut Triworo S Nadjieb, penanganan bagi penderita kanker serviks bisa dilakukan di RSD dr Haryoto Lumajang. Untuk rumah sakit rujukannya, ketika penderita sudah memasuki stadium IV atau akut, maka bisa dibawa ke RSD dr Soebandi, Kabupaten Jember, RSD Malang atau ke RSUD dr Soetomo, Surabaya.
Sementara untuk upaya pencegahan terhadap kanker serviks, masyarakat diimbau untuk mengetahui tanda-tanda penderitanya." Penyakit ini biasanya menyerang perempuan dalam waktu yang lama. Biasanya penderitanya baru tahu ketika sudah mengidap dalam waktu 15-20 tahun," ujarnya.
Untuk itu, perempuan penting mengetahui tanda-tanda kanker serviks yang biasanya dimulai dengan keputihan yang terjadi secara terus-menerus." Jika mengalami keputihan yang terus-menerus, sebaiknya perempuan sudah harus memeriksakan diri. Ciri lainnya adalah kadang-kadang ada pendarahan di luar waktu haid. Juga terjadinya pendarahan pada waktu senggama karena seharusnya tidak mengakibatkan pendarahan," tuturnya.
Sebagai upaya pencegahan, kalangan perempuan disarankan untuk selalu menjaga kebersihan organ-organ kewanitaannya. Selain itu, pada usia-usia 40 Tahun ke atas, setiap tahun disarankan melakukan screaning.
�Sehingga, ketika terjadi perubahan-perubahan sel mulut rahim ke arah keganasan, maka akan segera diketahui sedini mungkin. Jika penyakit ini diketahui secara dini, maka pengobatan dini bisa dilakukan dan tidak sampai terjadi komplikasi yang lebih-lanjut,� pungkas dia. (http://www.suarasurabaya.net/)