Friday, August 2, 2013

AAM Kuat dalam Mengeksplorasi Pasar

* V. Hery Sutanto, President Director PT Anugrah Argon Medica


V. Hery Sutanto menjabat President Director PT Anugrah Argon Medica (AAM) mulai Januari 2013. Sebelum menjadi President Director, Hery telah cukup lama berkarir di AAM. Di bawah kepemimpinannya, AAM bertekad mengejar mimpi-mimpi yang dicanangkan President Director sebelumnya, Erwin Tenggono. Tahun 2006 dan 2012, AAM memenangi ajang Indonesia Most Admired Knowledge Enterprise (MAKE) Award. Banyak keunggulan AAM dalam penerapan knowledge, di antaranya dari sisi menciptakan lingkungan berbagi pengetahuan. Untuk menggali soal ini, akhir Mei 2013, tim Dunamis mewawancarai Hery Sutanto di kantornya di kawasan Bintaro, Tangerang. Dalam wawancara itu dia didampingi Komisaris PT AAM Erwin Tenggono dan Officer Knowledge Management Budiman Halim. Petikannya:

Tanya (T): Kabarnya AAM mulai masuk ke consumer healthcare yang mau tak mau harus mengedukasi pekerja front-line costumer, bagaimana cara melakukannya?
Jawab (J): Dulu ketika kami hanya fokus ke distribusi ethical dan medical devices, kami hanya kenal bagian pembelian. Karena ethical tidak dipajang di depan. Saat kami mulai masuk ke consumer healthcare, kami harus mengenal karyawan front-line sebagai ujung tombak penjualan. Mereka rata-rata baru lulus SMA atau SMK. Kami undang mereka dalam satu gathering dan menghadirkan trainer profesional. Tidak sekadar kami beri product konwledge, tapi benar-benar training.
Sejak Januari 2011, sharing knowledge dan edukasi buat para pekerja front-line ini kami wadahi dalam program AAM’s Knowledge Sharing for Customer (AKAR). Melalui AKAR, kami mengedukasi penjaga toko atau karyawan front-line, terutama customer apotik. Program ini membawa misi meng-upgrade pengetahuan mereka.
T: Apa nilai tambah yang diperoleh AAM dari mengedukasi pekerja front-line?
J: Pertama, prinsipal melihat kami mempromosikan produknya ke para pekerja front-line yang langsung berhubungan dengan pemakai produk. Level kepuasan mereka bertambah. Dari situlah bisnis sebenarnya bermula.
Kedua, hubungan kami dengan pekerja front-line jadi sangat dekat. Kami cepat tahu kemauan konsumen. Kami punya database 4.000 tenaga front-line. Kami merapat ke depan, dengan harapan pengetahuan pasar kami benar-benar berbeda. Dan prinsipal pun betah dengan knowledge yang kami kuasai.
T: Pengetahuan pasar macam apa yang didapat dari kedekatan dengan pekerja front-line?
J: Sekarang kami punya database customer sampai wilayah kecamatan. Kami jadi tahu obat diabet paling banyak dikonsumsi di daerah mana. Kami lebih tahu dibandingkan Kementerian Kesehatan. Kuncinya sederhana, jalinan relasi yang kuat dengan penjual obat diabet. Lebih jauh kami tahu prevalensi penyakit di Indonesia. Prinsipal mau launch obat di Yogya, nah kami tahu obat apa yang laku di sana. Kami kuat di situ. Suatu waktu prinsipal Pakistan datang, mereka percaya langsung kami menguasai pasar dan mempercayakan produknya kami pasarkan. Kami jadi tuan di negeri sendiri.
T: Sudah relatif mapan di ethical, mengapa AAM serius menggarap consumer healthcare?
J: Memang, sebagian besar orang AAM sudah merasa berada di zona nyaman. Banyak yang bertanya-tanya mengapa kami harus masuk ke situ. Kami lebih melihat ke depan, apakah perusahaan ini akan tetap hidup bilamana bermain di ethical yang cenderung hanya di kota besar. Kami tidak ingin berhenti di kota besar, harus masuk ke kota-kota kecil. Hal ini akan lebih mudah dilakukan dengan menggarap consumer healthcare.
Lebih jauh, memasuki kota kecil, kami tidak hanya jualan. Kami ingin menguasai betul pengetahuan kemauan pasar. Inilah modal besar saat AFTA dibuka tahun 2015, ketika orang akan ramai-rami masuk Indonesia karena pasarnya sangat besar. Dengan pengetahuan pasar yang bagus, kami akan kuat mengeksplorasi pasar. Kami tidak merasa takut atau terancam. Di tengah isu ketahanan nasional, distribusi asing tidak boleh langsung masuk, kami benar-benar siap di negeri sendiri, siap memagari negeri ini dari serbuan distributor asing. Ada amanah, ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar bisnis.
T: Sejauh mana kesiapan AAM memasuki consumer healthcare?
J: Dengan masuk ke sini, kami mesti mengubah kultur (culture). Farma is compliance, semuanya diatur dan harus sesuai dengan standar. Soal obat, kita bisa ngomong bahwa outlet ini tidak butuh obat tertentu karena tidak ada dokter yang merekomendasikannya. Sedangkan consumer, naluri bisnisnya harus hidup. Vitamin misalkan, orang minum atau tidak minum harus di-create. Kami sedang mempersiapkan orang-orang yang akan menangani consumer healthcare.    
T: Bagaimana AAM membangun kultur pengetahuan yang amat berbeda tersebut?           
J: Cara kerja dan pola pikir (mindset) memang mesti berubah. Kami sampai merekrut kepala cabang dari luar, namun hanya 20 persen yang berhasil. Alasannya, kami dianggap terlalu ribet. Di bisnis obat, tukar barang misalkan, tidak gampang. Takut ada kontaminasi. Sedangkan, tukar barang cukup memperlihatkan fakturnya. Kami terbiasa dengan sistem yang tertib, sudah bertahun-tahun terlatih. Tiba-tiba harus menghadapi orang atau pelanggan yang gampangan, orang pasar. Kami coba tanamkan terus pengetahuan cara kerja dan pola pikir yang memang berbeda tersebut melalui berbagai forum sharing yang ada di AAM.
T: Bagaimana perkembangannya?
J: Sekarang sudah bagus. Bahkan, jenderal lapangan kami kini orang consumer. Sudah kami siapkan lima tahun lalu. Tentu orang consumer yang mengerti ethical. Di bawahnya tetap orang-orang ethical. Kami mengedukasi karyawan yang belum banyak pengalaman di ethical bahwa mengirim barang ethical itu tidak mudah. Misalkan mengirim vaksin, perlu suhu khusus sekitar 2-8 derajat C dan gudang kami selalu terjaga. Kami tidak mau pasien menggunakan vaksin yang kualitasnya tidak bagus. Sedangkan pengiriman barang consumer healthcare cukup dengan truk kosong. Kami belum terbiasa dengan hal seperti ini.
T: Apa tantangan AAM beberapa tahun ke depan?
J: Pertama, SJSN. Hanya masalah waktu, akan menjadi massal, masuk ke kota-kota kecil. Di kota kecil, kalau orang sakit, minum jamu dulu, setelah terkapar baru kemudian digotong ke rumah sakit. Nanti, warga masyarakat Indonesia akan ke klinik atau rumah sakit karena mereka diasuransikan. Sebab itu, kami harus siap distribusi sampai kota-kota kecil (secondary city).
Kedua, pilar manajemen risiko (risk management). Apa yang bisa membuat perusahaan ini goyang? Yaitu, kalau suatu saat terjadi kontrol harga sebagaimana terjadi di beberapa negara lain. Bila hal ini sampai terjadi, apa yang mesti dilakukan oleh AAM. Kami harus membangun pilar yang secara relatif tidak terlalu diatur (non-regulated), yakni consumer healthcare. Kami telah mempersiapkan diri lima tahun terakhir dan mungkin masih butuh waktu lima sampai 10 tahun ke depan.
***


No comments:

Post a Comment