Saturday, August 17, 2013

Cita-cita Proklamasi

Tiga puluh dua tahun lagi, kemerdekaan RI genap 100 tahun. Sudah banyak yang kita capai pada ulang tahun ke-68 ini. Tapi, jika cita-cita proklamasi dijadikan ukuran, masih jauh lebih banyak yang belum kita gapai. Mayoritas rakyat negeri ini belum melihat manfaat kemerdekaan bagi diri mereka. Mereka baru merdeka dari penjajahan, belum dari kemiskinan, keterpurukan, dan ketidakadilan. Tujuan utama kemerdekaan adalah tercapainya kesejahteraan umum. Sejahtera secara ekonomi dan sosial. Menjadi manusia Indonesia yang bermartabat.

Pada Pembukaan UUD 1945 jelas disebutkan, pemerintah negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Penggunaan kata "kesejahteraan umum" melewati perdebatan panjang. Diksi ini diambil karena pengertiannya lebih lengkap, mencakup kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Kesejahteraan paripurna, kesejahteraan sebagai manusia seutuhnya.

Indikator kemajuan bangsa bukan hanya pertumbuhan ekonomi, melainkan kemajuan di berbagai bidang kesejahteraan umum. Pertumbuhan ekonomi boleh melaju kencang. Tapi, tidak banyak manfaatnya bagi negara bangsa jika kesenjangan ekonomi kian lebar dan ketimpangan pembangunan antarwilayah makin besar. Investasi langsung boleh melejit menyundul langit. Namun, tak gunanya bagi negara bangsa jika rakyat setempat--sekitar lokasperkebunan, lokasi pertambangan, dan lokasi pabrik--hidup merana dan kerusakan lingkungan kian parah.

Kita tidak boleh merendahkan kemampuan bangsa dan menyepelekan semua kemajuan yang sudah kita capai. Seperti kata Bung Karno, kita tidak boleh menjadi bangsa yang mencabik-cabik diri sendiri. Bangsa yang menghina diri sendiri dan hanya melihat kelemahan. Kita jangan menjadi bangsa minder dan pesimistis. Namun, kita juga tidak boleh menjadi bangsa yang tidak mampu melihat kelemahan sendiri. Bangsa yang tidak objektif dan mudah terlena oleh pujian.

Kita perlu bangga dengan laju pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen selama 2010-2012 saat negara maju hanya bertumbuh 1-2 persen, bahkan minus. Pada 2008, ketika banyak negara maju mencatat pertumbuhan minus, ekonomi Indonesia justru melaju 6,2 persen. Kita juga bangga dengan masuknya Indonesia pada Group-20, kelompok negara dengan ekonomi terbesar berdasarkan produk domestik bruto (PDB). Tahun ini, PDB Indonesia menembus US$ 900 miliar atau berada di peringkat ke-15 dunia.

Tapi, kita pun tidak boleh menutup mata terhadap ketertinggalan kita setelah 68 tahun merdeka. Posisi PDB per kapita Indonesia baru US$ 4.000 dan berada di peringkat ke-110 dunia. Kalah dari Malaysia. Negeri serumpun yang merdeka 15 tahun kemudian sudah memiliki PDB per kapita di atas US$ 10.000. Korsel, negara yang hanya dua hari lebih dahulu memproklamasikan kemerdekaan dan pada tahun 1960 berada di level ekonomi yang sama dengan Indonesia, kini sudah meraih PDB per kapita di atas US$ 25.000.

Meski sudah menurun, penduduk miskin Indonesia masih 27 juta atau 12 persen dari penduduk. Pengangguran terbuka masih 7,2 juta atau 6,1 persen. Sekitar 70 persen dari 121 juta angkatan kerja Indonesa berada di sektor informal. Mereka umumnya tenaga kerja tidak terampil dengan tingkat pendidikan 55 persen maksimal SD. Sebagian dari mereka menjadi pembantu rumah tangga (PRT) di luar negeri, khususnya di Malaysia, Timur Tengah, Malaysia, dan Hong Kong. Banyak kejadian yang menimpa PRT yang menyayat hati kita sebagai manusia dan menganggu harga diri kita sebagai bangsa merdeka.

Kemajuan ekonomi Indonesia ditandai kesenjangan yang cukup lebar seperti tercermin pada rasio gini yang sudah 0,43 persen. Indonesia memiliki 60 juta kelas menengah dengan pengeluaran minimal Rp 4 juta sebulan. Dari jumlah itu ada sekitar satu juta orang Indonesia yang memiliki kekayaan minimal Rp 10 miliar dan 10.000 orang yang beraset bersih di atas Rp 100 miliar. Ketimpangan antarwailayah cukup besar. Lebih dari 75 persen PDB Indonesia disumbangkan oleh Jawa dan Sumatera.

Jaminan sosial penduduk Indonesia masih minim. Peserta jaminan sosial tenaga kerja dari sektor formal di PT Jamsostek baru 29 juta orang. Dari jumlah itu hanya 11,2 juta yang aktif. Sedang peserta asuransi kesehatan di PT Askes baru 11,6 juta dan itu pun didominasi PNS dan para pensiunan PNS. Mayoritas pekerja Indonesia hidup tanpa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan pensiunan.

Pemerintah sudah menyiapkan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Askes akan berubah menjadi BPJS Kesehatan, Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Kita berharap, dua BPJS ini mampu memberikan jaminan sosial meski saat ini banyak masalah yang belum terselesaikan.

Untuk memenuhi kebutuhan yang paling dasar--pangan dan papan--pun sebagian penduduk Indonesia masih merasakan masalah. Sebagian penduduk Indonesia masih hidup dengan gizi buruk dan tidak memiliki rumah layak. Tidak punya akses mendapatkan air bersih. Ini semua sangat terkait dengan lapangan pekerjaan yang minim dan strategi ekonomi negara

Kesejahteraan umum tidak hanya mengacu pada kesejahteraan ekonomi, namun juga kesejahteraan sosial, yakni memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan yang baik, jaminan sosial, kebebasan untuk menyatakan pendapat, berinteraksi dengan sesama, dan kepastian mendapatkan perlindungan dari negara. Rakyat baru disebut sejahtera jika kebutuhan fisik dan sosial mereka terpenuhi. Pada HUT ke-68 kemerdekaan RI masih ada sebagian warga yang hidup dalam ketakutan dan belum merasa merdeka di negeri sendiri.

Bagi para para pendiri bangsa, kesejahteraan umum adalah ultimate goal atau tujuan utama berdirinya negara bangsa. Pemerintah Indonesia dibentuk untuk memajukan kesejahteraan umum, bukan kesejahteraan perorangan atau kelompok. Pemerintah yang dimaksudkan bukan hanya eksekutif, melainkan semua penyelenggara negara, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Untuk bisa memajukan kesejahteraan umum dengan baik, pemerintah harus cakap dan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.


Tahun depan, 2014, adalah tahun seleksi pemimpin bangsa. Rakyat Indonesia memilih presiden baru dan para anggota legislatif, DPRD I dan DPRD II. Setiap tahun, ada pemilihan gubernur dan bupati/wali kota di berbagai wilayah Indonesia. Peran pemimpin sangat penting dalam memajukan kesejahteraan umum. Presiden SBY dalam pidato kenergaraan di hadapan anggota DPR dan DPD, Jumat (16/8), mengingatkan pentingnya pemilu yang jujur dan adil (jurdil) dan memenuhi semua standar internasional. Tanpa seleksi yang benar, Indonesia tidak mungkin bisa mendapatkan pemimpin yang memiliki kapasitas dan integritas dalam memajukan kesejaheteraan umum. Kita tidak mau cita-cita proklamasi sekadar hiasan yang dihafal anak-anak sekolah. (www.beritasatu.com)

No comments:

Post a Comment