* SATU
Matahari
tidak pernah lelah memancarkan sinarnya. Sang Pencipta telah menentukan
“takdirnya”. Matahari selalu memberi, diminta ataupun tidak diminta. Dengan
memberi, ia sendiri tak pernah merasa kehilangan. Dengan memberi, ia justru
mengokohkan eksistensinya sebagai pemasok energi terbesar sepanjang sejarah
manusia. Dengan memberikan sinarnya, matahari melayani kebutuhan alam raya akan
energi.
Andrias Harefa, Penulis Buku “Berguru
pada Matahari”,
1998
Dia adalah sosok kepala daerah
(bupati) yang tidak pernah bercita-cita akan menjadi bupati. Dia merupakan
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sangat setia mengabdi pada negeri sekalipun
sekali waktu pangkatnya pernah mentok di IIId dan jabatannya berputar-putar di
eselon yang sama. Dia berusaha arif menyikapi setiap episode perjalanan hidup
anak manusia. Dia berupaya tulusa hati menerima setiap suratan tangan. “Hidup
ini mengalir seperti air,” ujarnya suatu waktu.
Kendati mengalir bagai air, bukan
berarti dia hanya pasif menunggu nasib mengikuti aliran air yang entah bermuara
di mana. Dia tetap aktif belajar dari rona kehidupan alam semesta sehingga
tidak hanyut oleh pusaran arus air mengalir yang bisa bermuara di tempat
pembuangan limbah atau tempat-tempat kotor yang lain. Masa kecilnya yang amat
dekat dengan kehidupan gereja menjadikannya demikian kuat dalam mengarungi air
kehidupan yang terus mengalir tanpa kita tahu di mana bakal berhenti.
Sosok yang satu ini termasuk sosok
yang cerdas dan selalu belajar di setiap jengkal waktu. Kendati sibuk oleh
aktivitas karir PNS misalkan, tahun 2002, dia masih menyempatkan diri menimba
ilmu manajemen pada program pascasarjana di Universitas Sumatera Utara (USU) dan
baru tuntas tahun 2012. Kecerdasannya sebagai putera asli Samosir telah
melahirkan visi Kabupaten Samosir (2005-2010), yakni “Terwujudnya Samosir sebagai
kabupaten pariwisata yang indah, damai, dan berbudaya dengan agrobisnis
berwawasan lingkungan menuju masyarakat yang lebih sejahtera”.
Tidak sebatas cerdas secara
intelektual, dia juga cerdas secara sosial dan spiritual. Dia termasuk kepala
daerah yang mampu mengakrabi kehidupan berbasis akar sosial-kultural lokal dan
nuansa spiritual wilayah yang mayoritas penduduknya penganut agama Kristen itu.
Dia berusaha senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat –baik dalam suka
maupun duka. Tak segan-segan, bersama masyarakat adat, dia larut dalam tarian
tradisional adat Batak Samosir. Keakrabannya itu tidak terlepas dari gaya
kepemimpinannya yang jauh dari kesan formal dan prosedural.
Begitulah sosok Mangindar Simbolon
yang dalam rentang sekitar delapan tahun belakangan memimpin Kabupaten Samosir
(2005-2010, 2010-2015).
Ketika kami kali pertama berjumpa
Mangindar, terlihat benar betapa pemimpin daerah yang satu ini jauh dari kesan angker
dan ribet dengan protokoler. Dia demikian menyatu dan cair pada lingkungan yang
baru dimasukinya. Sapa akrab cepat muncul dari sosok yang sepanjang karirnya
sebagai PNS berputar-putar di wilayah Sumater Utara ini. Bahkan, dalam satu
kesempatan, kami yang belum terlalu mengenal sosoknya sempat sedikit kesulitan
lantaran sang bupati berbalut pakaian yang tak berbeda dengan warga masyarakat
kebanyakan. Tak ada emblem kebesaran bupati melekat di kantong kanan kemeja. Benar-benar
sederhana bersahaja.
Tentu bukanlah hal mudah berlaku
sederhana ketika seseorang berada di puncak karir sebagai orang nomor satu
Kabupaten Samosir. Berkat kesederhanaannya itulah, dia kini menjadi panutan
bagi 3.802 PNS di jajaran Pemerintah Kabupaten Samosir dan ‘bapak’ bagi 145.119
jiwa rakyat Samosir. Sebagai pemimpin daerah, dia mampu memposisikan dirinya
sebagai pamong ngemong, bukan pangreh yang selalu sok kuasa. Saat
berkomunikasi dengan rakyatnya, dia berusaha menempatkan diri pada posisi siapa
yang tengah dihadapinya. Gaya bahasanya sederhana, intonasinya terjaga namun
tetap mengguratkan ketegasan sikap seorang pemimpin.
Merunut perjalanan hidup seorang
Mangindar Simbolon yang lahir 21 Juni 1957 ini cukuplah kaya dengan warna
kehidupan yang lekat paduan etos kerja keras dengan spirit tulus hati dari sosok-sosok
yang amat dekat sedari kecil. Ibunya yang petani pekerja keras penuh
perhitungan berpadu dengan ayahnya yang guru agama yang lekat dengan sikap
tindak religius sebagai gembala Tuhan Yang Maha Kasih. Katanya, sedari
kanak-kanak dia sangat lekat dengan nilai kerja keras dan memberi manfaat serta
mengalir bagai air mengikuti takdir.
A.
Anak Sulung yang Rajin Membantu
Orang Tua
Mangindar Simbolon lahir sebagai
sulung dari delapan orang bersaudara anak pasangan M.W. Simbolon (Guru agama,
Pengurus Gereja) dan T. boru Malau (petani pekerja keras). Dari pasangan ini
lahir delapan anak masing-masing Ir. Mangindar Simbolon, MM (Bupati Samosir
2005-2010 & 2010-2015); Siti Simbolon (lulusan IKIP, Guru SMP sembari mengabdi
sebagai pengurus gereja di Cilangkap, Jakarta Timur); Alfared D. Simbolon (Sarjana
Kehutanan, PNS pada Dinas Kehutanan Samarinda, Kaltim); Resty Simbolon (sekolah
agama tidak sampai lulus, Ibu Rumah Tangga di Bengkulu); Montiana Simbolon (lulusan
IKIP, Guru SMA di Balige); Teksin Oberia Simbolon (Kepala Sekolah SMP di
Rianiate, Kabupaten Samosir); Lastuana Simbolon (Guru/Sekretaris Dinas
Pendidikan Kabupaten Samosir); dan Jogar Simbolon (kader Partai Hanura yang
kini menjadi anggota DPRD Kabupaten Samosir).
Bersama tujuh adik-adiknya, Mangindar
menghabiskan masa kecil di Desa Hutanamora, Kecamatan Pangururan, yang dulu di
masa awal kemerdekaan masuk dalam wilayah Kenagarian Rianiate. Di masa lalu
Kenagarian Rianiate lebih populer daripada nama Desa Hutanamora dan Kecamatan
Pangururan. Masa kecil yang penuh keakraban dan kerja keras di ladang dan sawah
milik keluarga.
Di masa kanak-kanak, Mangindar
tampaknnya bukan tipe anak yang lekat dengan kenakalan anak-anak. Dia termasuk
anak yang penurut, tidak neko-neko, tidak terlalu banyak permintaan dan taat
pada orang tua.
Sebagai anak seorang guru agama yang
juga pengurus gereja, dia lebih awal mengenal lembaga pendidikan. Sebelum masuk
SD Negeri 1 Rianiate tahun 1965, dia sudah kerap mengikuti ayahnya yang mengajar
Sekolah Minggu di gereja. Kebetulan rumah tempat tinggal keluarga M.W. Simbolon
berdekatan dengan gereja.
Jauh sebelum masuk sekolah dasar,
M.W. Simbolon memberi landasan spiritual pada Mangindar kecil melalui keaktifan
mengikuti Sekolah Minggu. Sejak dini Mangindar menerima pengajaran nilai-nilai rohani
yang biasanya sangat mempengaruhi kehidupan anak manusia di masa-masa
berikutnya. Peletakan pondasi rohani yang cukup dini ternyata kurang seiring
dengan masa Mangindar memasuki dunia sekolah formal. Dia masuk ke SD Negeri 1
Rianiate pada usia lebih dari tujuh tahun lantaran badannya relatif kecil. Tak
mengapa sedikit terlambat, dia jadi jauh lebih matang dibandingkan
teman-temannya sekelas dan berhasil menjadi pemuncak (juara).
“Saya masuk sekolah sudah lebih dari
tujuh tahun karena waktu kecil badan saya juga termasuk kecil. Mungkin pernah pula
sakit-sakitan. Gara-gara badan kecil, jadi cenderung agak lama masuk
sekolahnya. Barangkali karena sudah terbiasa di Sekolah Minggu dan usia relatif
lebih matang, saya waktu itu termasuk mudah belajar di sekolah. Saya masih
ingat waktu itu, walau secara formal tidak disebutkan juara kelas, tapi mulai
kelas satu itu saya dianggap pemuncak. Jadi bisa cepat belajar lah,” ujar
Mangindar sembari menambahkan bahwa satu kelas di SDN 1 Rianiate dijejali sekitar
30 murid.
Namun, Mangindar tidak secara
tiba-tiba menjadi pemuncak. Pada mula masuk sekolah, dia lebih banyak diam. Dia
kurang berani memulai sesuatu untuk proaktif. Tentang masa-masa awal sekolah, dia
berkisah:
“Saya melihat dulu,
menunggu, terlebih dulu belajar dari keadaan. Ya, mungkin itu tipe saya. Di
awal masa sekolah SD itu, secara visual, guru melihat saya tidak terlalu
menonjol. Di tahun kedua, kelas dua, tiga, dan seterusnya, guru sudah tahu
kemampuan saya yang sesungguhnya. Ada pengalaman-pengalaman yang waktu itu bagi
saya sebenarnya mendebarkan sekaligus juga ada tantangan. Waktu duduk di kelas
dua atau kelas tiga, saya dipanggil oleh Pak Malau, guru kelas lima atau kelas empat
yang tengah mengajar aljabar. Beliau marah-marah pada muridnya karena kurang
mampu mencerna apa yang diajarkan. Saya kemudian disuruh mengajar di kelas
empat atau kelas lima tersebut. ‘Coba dulu kamu ajari, bodoh-bodoh ini orang’. Saya
sempat bingung juga, baru kelas dua kok disuruh mengajar kelas lima. Tapi saya punya
logika-logika yang sudah dipelajari di kelas dua waktu itu. Ternyata beberapa
soal aljabar itu bisa saya pecahkan. Saya masih sempat dengar Pak Malau marah-marah,
‘eh ini Mangindar baru kelas dua bisa mengerjakan, kalian kok nggak tahu’. Sebenarnya
saya malu juga. Ini sesuatu yang mendebarkan, tantangan, karena saya dianggap
melebihi murid-murid yang lain. Ada pertimbangan guru seperti itu ya. Bagi saya
itu malah menjadi beban sekaligus dorongan untuk belajar lebih serius. Ini pengalaman
tak terlupakan di SD dulu.”
Di sela-sela senggang masa sekolah,
Mangindar tidak banyak menghabiskan waktunya untuk bermain-main dengan teman-teman
sebaya. Dia lebih banyak membantu orang-tuanya di ladang dan sawah milik
keluarga. Kadang mencangkul lahan yang hendak ditanami, kadang pula memberi
makan atau memandikan kerbau. Juga membantu pekerjaan-pekerjaan domestik rumah
tangga ibunya. Sampai-sampai, Mangindar kecil sudah pintar memasak kuliner
tradisional Batak Samosir. Dia memang agak berbeda dibandingkan kebanyakan anak
seumurannya yang lebih banyak mengisi waktu luang buat bermain-main.
“Di sela-sela aktivitas sekolah di
SD itu saya lebih condong sering membantu orang tua di ladang, di sawah, dan di
rumah. Saya pintar masak lho dulu. Karena saya selalu memperhatikan setiap apa
yang dikerjakan oleh orang lain. Pelan-pelan belajar, menyimak setiap hal yang
dilakukan oleh orang lain. Tidak sulit bagi saya untuk mengikuti. Bisa masak,
pekerjaan di ladang, macul itu saya kerjakan. Itu barangkali yang membuat diri
saya berbeda persepsinya soal masa kanak-kanak. Misalkan pulang sekolah, makan
siang, siang-sorenya ke ladang membantu orang tua. Saya senang dan menikmati semua
aktivitas itu. Sambil membantu orang tua di ladang dan di sawah, saya merefleksi
pelajaran di sekolah. Saya ulang dalam pikiran, saya mengingat-ingat kembali.
Tidak bawa buku, saya bisa mengatur konsentrasi. Saya ingat-ingat apa yang disampaikan
guru di kelas. Orang melihat saya seperti tidak pernah belajar serius. Formal
kelihatannya tidak belajar. Tapi. kok ujian selalu bisa,” papar Mangindar
mengenang masa kecil yang akrab dengan dunia tani dan ladang. Dia termasuk anak
yang tidak terlalu terpaku belajar di belakang meja. Dia mampu belajar pada
berbagai kondisi dan situasi. Sebuah kemampuan yang sangat menguntungkan
baginya.
Itulah sebabnya pula, kendati larut
di dunia tani dan ladang, sebenarnya masa kecil Mangindar tidak lantas jauh
dari dunia anak-anak yang lekat dengan dunia main-main. Tanah warisan keluarga
Simbolon lumayan luas, ada sedikit sawah untuk padi dan ladang buat tanam ubi. Memang
tidak sampai puluhan hektar. Tanah warisan sang kakek yang termasuk keturunan
raja-raja di Samosir. Dari dunia ladang dan sawah, dia justru mampu menikmati
masa main-main yang mewarnai dunia kanak-kanak. Berkat dunia ladang dan sawah,
dia mampu meramu aktivitas belajar pada alam dan permainan di balik kegiatan
bertani dan berladang. Bisa membantu orang tua, memahami pekerjaan-pekerjaan
lain dan pelajaran sekolah pun tidak ketinggalan. Sebuah aktivitas yang sungguh
menyenangkan buat dinikmati. Buah dari sesuatu yang terpaksa harus diikuti.
Mangindar menikmati betul aktivitas
bekerja, belajar sekaligus bermain. Dia menceritakan:
“Barangkali itu
keunikan tersendiri masa kanak-kanak saya. Saya menikmati aktivitas bekerja
sambil belajar sejak kecil. Tidak ada unsur keterpaksaan. Umumnya sepulang
sekolah, kadang juga sebelum berangkat ke sekolah. Saya masuk sekolah jam 07.30.
Pada masa tanam sekitar bulan November-Desember, petani masanya membajak sawah
dengan kerbau. Tugas saya menarik atau mengarahkan kerbaunya di depan. Karena
badan saya kecil, tak mungkin memegang bajaknya. Fisik jadi terlatih di udara
pagi yang begitu dingin. Kaki kerbau tendang air, kena badan saya, sudah dingin
lapar lagi. Kadang ada pekerjaan yang rasanya tanggung padahal saya harus buru-buru
ke sekolah. Kadang nggak sempat
mandi, hanya cuci kaki yang penuh lumpur, jadi tidak bersih betul. Pada masa
itu, musim tanam di daerah kami hanya sekali setahun, karena belum ada irigasi.
Sore hari saya, kadang-kadang bersama adik-adik, ke ladang membantu ibu saya
yang memang petani pekerja keras. Ikut menanam
kacang dan ubi. Itu yang umum di ladang kami. Mungkin zaman telah berubah
sekarang, anak-anak cuma diarahkan ke sekolah.
Lalu di mana saya bisa
bermain? Di masa saya kecil dulu, banyak orang Batak yang menugaskan
anak-anaknya untuk ngangon kerbau.
Saya sih tidak terlalu berpengalaman, karena kerbau milik orang tua tidak
banyak lagi, hanya 3-4 ekor. Di tempat penggembalaan ternak itu, teman-teman
cerita lebih susah lagi, panas terik kering kerontang, harus jagain kerbau. Kerbau kami dulu sudah
pakai tali. Hanya sekali-sekali memandikann kerbau. Di saat masa membajak
sawah, sore hari saya bermain-main menarik kerbau yang kotor ke sungai terdekat
untuk dimandikan.
Permainan yang
digandrungi teman-teman sebaya saya waktu itu tidak banyak. Kebanyakan dari
teman saya menyukai sepak bola. Bola yang dipakai bukan bola yang asli. Ada
bola palstik atau jeruk bali. Yang banyak sih
bola plastik. Tapi terus terang saya tidak punya banyak waktu untuk bermain
bola. Karena banyak membantu orang tua, terutama ibu yang petani. Sedangkan ayah
saya yang bekerja sebagai guru, hanya sekali-sekali ikut ke ladang.”
B.
SMP yang Mengubah Alam Pikir
Landasan spiritual yang kuat dari
ayah dan etos kerja keras dari ibu membuat Mangindar cukup matang memasuki
bangku SMP. Selepas SD Negeri 1 Rianiate tahun 1970, dia melanjutkan ke SMP
Negeri 1 Pangururan. Berjarak sekitar tujuh kilometer dari rumah tempat tinggal
di Desa Hutanamora. Saban hari, dia pergi-pulang sekolah naik sepeda, sesekali
waktu saja dia berjalan kaki ke sekolah.
Di bangku SMP, Mangindar merasa
mengalami banyak perubahan yang memotivasi dirinya untuk belajar lebih giat
lagi. Karena, katanya, banyak ilmu-ilmu dasar yang diperolehnya yang kemudian
membekas dalam benaknya sampai sekarang. Misalkan pelajaran Geografi. Dari ilmu
ini, dia memperoleh pengetahuan tentang atol, karang yang berbentuk cincin. Juga
ilmu-ilmu dasar lain yang ternyata sangat bermanfaat sebagai modal dan bekal
buat menapaki bangku sekolah berikutnya.
Selain ilmu dasar, perubahan di bangku
SMP yang mampu mendorong dirinya adalah penataan dan manajemen siswa yang lebih
formal. Arti kata, sudah ada apresiasi resmi juara kelas dan juara umum sekolah.
Sejak kelas satu, tiap kali terima rapor, sudah diumumkan siapa yang tampil
sebagai juara kelas dan juara umum sekolah. Di kelas satu Mangindar berhasil tampil
sebagai juara kelas. Kemudian di kelas dua dan kelas tiga dia menyabet prestasi
juara umum.
Sebagai sosok siswa beprestasi,
Mangindar pun didaulat menjadi ketua kelas saat di bangku kelas dua.
Sebenarnya, di kelas satu dia sudah diarahkan menjadi ketua kelas tapi dia
menampik. “Waktu itu ada kecenderungan bahwa siswa yang agak pintar diarahkan
jadi ketua kelas. Tapi saya menyadari, badan saya kecil, dan teman-teman saya berbadan
besar. Jadi kurang pede. Di kelas dua, saya tidak bisa mengelak. Semua teman di
kelas dan guru mendorong saya untuk jadi ketua kelas. Saya lakoni dengan
tantangan juga. Sebagai ketua kelas, kan kita harus menjadi teladan, yang terbaik,
dan mampu mengurus hal-hal di luar pelajaran. Sepanjang hidup saya, pendidikan
yang paling nikmat itu SMP,” ujar lelaki yang kini dikaruniai empat orang anak
ini.
Benar memang, ketua kelas tak hanya
berkutat dengan urusan pelajaran formal bagi teman-temannya. Bahkan, ketua
kelas harus tampil di depan manakala ada duka menimpa salah seorang siswa.
Misalkan ketika temannya yang bernama Harapan Naibaho ditinggal meninggal
ibunya (marga Malau). Sebagaimana tradisi ritual kematian suku Batak (Samosir),
relasi dan kerabat yang datang wajib memberikan sepatah kata duka pada tuan
rumah yang tengah dirundung nestapa ditinggal orang terkasih.
Ketika melayat keluarga Harapan
Naibaho, Mangindari harus menyampaikan kata sambutan mewakili kawan-kawan sekolah.
Padahal, seumur-umur dia belum pernah berbicara di depan publik. Di ritual
kematian, tidak hanya datang teman sekolah Harapan Naibaho, banyak pula kerabat
dan orang tua tetangga sahibul musibah. Bagi Mangindar yang baru gedhe, tentu
bukal hal gampang berbicara di hadapan banyak orang.
Setelah beberapa kerabat dan tokoh
masyarakat setempat menyampaikan sepatah kata dukacita, dengan penuh rasa
tanggung jawab, Mangindar pun berbicara singkat namun sarat makna. “Saya
sampaikan antara lain bahwa kodrat manusia itu akan mati, hanya berbeda waktu,
dan seterusnya. Saya kutip beberapa ayat tentang kematian dari Alkitab yang pernah
saya pelajari. Saya sudah bisa ngomong begitu waktu itu. Saya tidak berbicara
adat, karena saya belum paham soal adat kematian. Banyak orang yang memeluk dan
menepuk-nepuk bahu saya ‘wah ini anak siapa kok pinter’. Saat mau pulang,
kawan-kawan juga menyalami, ‘wah bagus pak ketua, semua orang tua memuji’. Dan,
inilah salah satu pengalaman yang kemudian menjadi modal pengalaman di forum-forum
serupa berikutnya. Berangkat dari keterpaksaan sebagai ketua kelas, saya
semakin percaya diri tampil di muka umum, apalagi saya berpredikat sebagai
juara umum terus,” kata Mangindar mengenang peristiwa yang membuat dirinya
tersipu-sipu dalam rasa bangga.
Di SMP pula, Mangindar sudah
menggantungkan cita-cita. Dia bercita-cita melanjutkan pendidikan ke Sekolah
Teknik Menengah (STM) Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Siantar. Ihwal
cita-citanya mengkristal pada kelanjutan pendidikan di STM selulus SMP, dia
bertutur:
“Sejak kelas dua SMP,
saya bercita-cita melanjutkan ke STM. Karena sudah tahu kondisi petani itu
seperti apa, saya merasa teknk mesin itu banyak mengubah kehidupan dunia. Ketika
saya masih di SD dan juga di SMP ada pendeta kami di kecamatan kadang-kadang
datang ke gereja kami. Lantaran ayah saya juga pengurus gereja, kadang pendeta datang
ke rumah kami makan bersama. Tanpa sadar pendeta menilai saya. Pendeta ini
menilai dialog saya dengan ayah saya, ‘wah berbakat juga anak ini, nanti tamat
SMP masuk STM saja di Siantar ya’. Dulu di sana ada STM HKBP. Itu STM-nya
gereja juga, yayasan, tapi berkualitas. Waktu itu yang saya tangkap ceritanya
adalah siapa yang juara di STM itu akan diberi besasiswa untuk melanjutkan
kuliah ke luar negeri, ke Jerman. Itu yang terngiang di kepala saya, wah saya harus
ke Jerman untuk melanjutkan pendidikan teknik setelah selesai dari STM.”
Cita-cita tinggal cita-cita. Teman
Mangindar yang juga ingin melanjutkan ke STM di Siantar, Junimaha Sinaga, tidak
diizinkan oleh orangtuanya untuk menggapai cita-cita di Siantar. Padahal,
Mangindar sudah merancang rencana untuk bersama-sama melanjutkan sekolah ke STM
HKBP tersebut. Tak pelak, M.W. Simbolon --ayah Mangindar-- pun tidak memberi
izin. M.W. Simbolon merasa was-was melepas anak sulungnya ke Siantar yang di
masa itu terasa amat jauh dari Pangururan. Apalagi di sana harus indekos walau
ada asrama yang disediakan oleh yayasan.
C.
Memasuki SMA dengan Jiwa Kecewa
Mengindar benar-benar kecewa saat
lulus SMP Negeri 1 Pangururan tahun 1973 tidak diizinkan melanjutkan ke STM
HKBP di Siantar. Ayahnya tidak rela melepas Mangindar merantau ke Siantar
mengejar mimpi menjadi yang terbaik di STM HKBP agar dapat meraih beasiswa buat
melanjutkan kuliah di Jerman. Akibat ketiadaan izin ayahnya, dia hanya punya
satu pilihan melanjutkan sekolah, yakni mendaftarkan ke SMA Negeri Pangururan
–satu-satunya SMA negeri di Pangurusan ketika itu. Bersyukur, dia mulus-mulus
saja diterima di SMA kebanggaan warga Samosir terebut.
Pendek cerita, dengan hati dan jiwa
kecewa, Mangindar memasuki bangku SMA Negeri Pangururan di tahun ajaran 1974. Dia
melampiasakan kekecewaanya dengan bermalas-malasan berlajar di kelas satu.
Hasilnya, beberapa nilai merah mewarnai rapornya pada caturwulan I kelas satu
SMA. “Saya kecewa benar, kecewa berat. Saya kehilangan semangat bersekolah.
Karena sudah ada jiwa berontak di masa remaja, saya protes dengan sengaja mengacuhkan
semua pelajaran sekolah. Hasilnya, pada caturwulan I dan II ada nilai merah di
rapor saya. Ah ngapain sekolah di
sini, nggak sesuai dengan cita-cita. Beberapa
guru dan orang tua berusaha membesarkan hati saya, pada caturwulan III tidak
ada lagi nilai merah. Mungkin krisis sudah terlewati, tidak akan pindah, tetap
di SMA itu. Kembali potensi aslinya. Waktu kenaikan kelas, saya juara lagi,
juara kelas,” kenang Mangindar.
Dengan predikat juara kelas,
Mangindar naik ke kelas dua SMA Negeri Pangururan. Krisis dan protes terhadap
rasa kecewa telah berlalu. Dia sangat bersyukur, krisis akibat rasa kecewa
tidak berkepanjangan. Kesadaran dirinya demikian kuat untuk melawan energi
negatif dari rasa kecewa. Dia bersyukur pada Tuhan yang memberikan multitalenta
kepada dirinya. Bersyukur pula dia memiliki orang tua (ayah) yang senantiasa
persuasif dalam mendekati anak-anaknya ketika ditimpa krisis spirit. Pun
bersyukur guru-guru di SMA Negeri Pangururan yang menyentil mental juara yang
ada dalam dirinya.
Pada dasarnya muncul kesadaran diri
untuk keluar dari krisis akibat kekecewaan tak dapat melanjutkan ke STM HKBP.
Kata Mengindar lebih lanjut:
“Rapor caturwulan I
banyak nilai merah, caturwulan II juga masih ada beberapa nilai merah. Melihat
keadaan ini tumbuh kesadaran sendiri. Orang tua pun tidak marah, beliau tidak
pernah melakukan pendekatan dengan kemarahan, lebih suka ke pendekatan
psikologis. Orang tua berusaha memulihkan saya. ‘Ya sudahlah, cita-cita itu kan
tidak selalu harus tercapai, banyak cara dan jalur lain yang bisa ditempuh’. Orang
tua, terutama ayah saya, berusaha membesarkan hati yang tengah kecewa. Saya
juga berproses. Guru-guru di SMA Negeri Panguruan pun relatif masih baru, rata-rata
sarjana tamatan IKIP, masih muda-muda. Mereka menyentil juga, ‘kau ini di SMP
juara umum kok begini hasil rapormu’. Saya diam sejenak, kemudian saya kasih
tahu bahwa sebenarnya saya tidak berniat melanjutkan sekolah di SMA. Akhirnya
guru-guru ikut memulihkan mental saya, ‘jalur menuju sukses itu kan tidak harus
jalur itu saja, boleh juga jalur yang ini, potensimu besar’. Berbagai dorongan
orang-orang terkasih itu, mental juara saya cepat pulih.”
Bersyukur Mangindar dikelilingi oleh
orang-orang yang mengerti dan memahami potensi –baik intelektual, mental maupun
spiritual. Terutama ayahnya yang berprofesi sebagai guru agama dan pengurus
gereja. Dari ayah tercinta dia memperoleh pondasi spiritual yang cukup kuat.
Ayahnya tidak sekadar mengajari ayat-ayat suci yang terasa tidak membumi. Ayahnya
mengajari melalui suri tauladan tindakan nyata dan seremoni-seremoni di gereja
yang benar-benar dirasakan oleh jemaat.
“Memang gaya pengajaran ayah saya
tidak bersifat dogmatis, lebih ke aplikasi tapi berbasis dogma agama. Itu yang
selalu ditekankan. Kalau sedang khutbah, yang mendengar langsung tergerak dan
tertarik. Persuasinya bagus dan selalu mengukur ke kehidupan sehari-hari.
Walaupun beliau mengulas berbagai hal dengan dogma agama, beliau selalu kembali
mengaitkan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Beliau jarang marah, jarang
menggurui, tapi sekali ngomong ada filosofi yang disampaikan. Itu sudah saya
tangkap,” jelas Mangindar yang senantiasa tersentuh oleh omongan ayahnya yang
sarat makna dan pesan moral.
Berkat makna dan pesan moral yang
menghunjam dalam benaknya secara terus-menerus, mental spiritual Mangindar
semakin kuat dan kian tahan terpaan krisis. Dan dia pun selalu mengambil hikmah
di balik segala sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan. Hikmah terbesar
di balik kegagalannya melanjutkan ke STM adalah terbitnya peraturan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan yang menegaskan bahwa lulusan STM tidak boleh melanjutkan ke
perguruan tinggi pada pertengahan tahun 1975. Ditambah lagi, pada pertengahan
1976, dia terpilih sebagai Juara Pelajar Teladan II tingkat Kabupaten Tapanuli
Utara serta memperoleh undangan masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui
jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK).
D.
Harmoni Kerja Keras dan Spirit Tulus
Hati
Tidak hanya sebatas kata-kata
bermakna filosofis dan pesan moral yang diajarkan ayahnya, M.W. Simbolon. Satu
pondasi yang juga menguatkan mentalitas dan spiritualitas seorang Mangindar.
Dalam keseharian diri ayahnya mengalir nilai-nilai kearifan anak manusia. Di
antaranya nilai bahwa setiap manusia wajib menjunjung dan mengembangkan sikap
mengasihi dan memberi pada sesama manusia.
“Prinsip memberi yang ada pada diri
ayah saya agak bertentangan dengan prinsip ibu saya yang pekerja keras, agak
cerewet, dan sedikit pelit. Bukan pelit sebenarnya, tapi hemat. Hemat sekali,
sampai terkadang dianggap pelit. Bapak saya agak bertentangan, kalau ada tamu
orang lain, apa yang ada di rumah harus dikasih atau dihidangkan. Ada kepuasan
batin ayah saya, bila siapa saja yang datang ke rumah bisa merasa puas. Sementara
ibu penuh perhitungan dan rasional. Ibu saya bekerja di ladang, sawah,
beternak, semuanya dikerjakan. Wajar saja bila ibu saya sangat perhitungan,
menghemat pengeluaran. Keduanya sering bertentangan prinsip walaupun bapak saya
selalu berusaha beradaptasi. Selalu keluar kata-kata beliau yang menyejukkan.
Akhirnya hati ibu saya lumer juga,” papar Mangindar Simbolon.
Dalam diri M.W. Simbolon juga
mengalir nilai tanggung jawab, teliti dan cermat. Berkat nilai-nilai tersebut,
M.W. Simbolon cukup lama dipercaya sebagai bendahara gereja. Bahkan, ketika
dirinya menjadi pemimpin jemaat ternyata diminta tetap sebagai bendahara.
Padahal, dari sisi organisasi modern, perangkapan jabatan seperti tidak boleh
terjadi.
Terang Mangindar, “Di urusan gereja,
bapak saya cukup lama dipercaya jadi bendahara. Yang saya salut, dia teliti dan
cermat soal uang. Dia sangat terbuka, akuntabel istilah sekarang. Pembukuannya
detil sekali. Beliau bilang ini uang gereja, tidak boleh diselipkan, tidak
boleh sampai salah hitung. Lebih baik uang pribadi kita yang keliru perhitungan
atau berkurang. Kalau uang gereja nggak
boleh. Ini satu ajaran tentang tanggung jawab. Di sana namanya panatua gereja,
melekat sekali namanya. Beliau juga punya jabatan lain, yakni bendahara dan pimpinan jemaat. Sebagai pemimpin jemaat,
mestinya tidak boleh merangkap jadi bendahara. Itu teori organisasi kan. Tapi
semua jemaat di sana mengatakan belum ada yang bisa mengganti. Merangkaplah dulu
yang sebenarnya salah secara organisasi. Saya bilang juga, waktu itu saya sudah
bekerja, ayah kan pimpinan jemaat kok masih merangkap bendahara. Diterangkan
lah panjang lebar ke saya. Ooo begitu, apa nggak
ada yang bisa dikader jadi bendahara? ‘Memang ada tapi tidak semudah itu, karena
banyak jemaat gereja yang trauma kalau pengurus tidak fair soal uang’. Itu bumerang di sana. Itu satu ajaran lagi dari
beliau, bahwa urusan ibadah ini nggak
boleh main-main, jangan coba-coba menyeleweng. Dulu kan banyak uang logam,
coin, banyak tuh di rumah saya. Minggu pagi-pagi beliau menghitung dan mencatat,
dikumpulkanlah pecahan yang sama. Tiap minggu beliau bikin laporan ke umat.
Banyak yang percaya. Semasa ayah saya jadi bendahara, pembangunan gereja cukup gencar
dan lancar. Banyak dana mengucur dari para perantau.”
Begitulah Mangindar benar-benar
bersyukur, ayahnya yang penuh tanggung jawab dan mengasihi sesama (dalam arti
murah hati memberi) berpadu dengan ibunya yang pekerja keras dan hemat. Sepintas
sosok kedua orang tua Mangindar tidak bisa menyatu. Ternyata, di mata
Mangindar, keduanya berpadu harmonis dan melahirkan sosok Mangindar yang
cerdas, hemat kata, penuh keteladanan, dan terbuka. Sosok yang mampu menjadi
pelita bagi masyarakat Samosir yang relatif tertinggal dibandingkan masyarakat
daerah lain di Propinsi Sumatera Utara. ***
No comments:
Post a Comment