Insiden
runtuhnya bangunan pabrik garmen Rana Plaza di Bangladesh bisa memberikan
kesempatan bagi Indonesia untuk berkaca: sudahkan industri garmen di Indonesia
memperketat standar keselamatan dan kesehatan pekerja?
Klik
Runtuhnya Rana Plaza menjadi salah satu kecelakaan pabrik paling buruk yang
mengejutkan dunia. Dalam insiden yang terjadi enam bulan lalu itu, lebih dari
1.000 pekerja garmen tewas dan ribuan lainnya luka.
Ribuan
orang lantas turun ke jalan menuntut perbaikan kelayakan tempat kerja. Produsen
asal Eropa dan AS yang menjadi klien utama pabrik di Rana Plaza juga dikecam
karena tidak menunjukan komitmennya dalam memastikan kesejahteraan buruh.
Lalu
bagaimana dengan Indonesia, yang mayoritas hasil garmennya juga di ekspor ke luar
negeri? Apakah target pemerintah untuk menciptakan tertib berbudaya keselamatan
dan kesehatan kerja (K3) pada 2015 bisa terwujud?
Walau tak
sepilu Bangladesh, penerapan keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia
nyatanya masih sering diabaikan baik oleh pengusaha, pemerintah, bahkan pekerja
itu sendiri.
Yaman
Suyaman, 54, bekerja lebih dari 30 tahun sebagai buruh di PT Triyudia Busana
Mas, Bandung.
Dengan upah
sekitar Rp1,5 juta per bulan, Yaman bekerja sebagai operator jahit untuk
memenuhi kebutuhan istri dan enam anaknya.
Yaman
mengaku keselamatan kerja di pabrik garmen bukan menjadi persoalan yang cukup
penting. Dari hal kecil, seperti memakai masker misalnya, pekerja kadang
mengabaikan walau fasilitas sudah diberikan oleh perusahaan.
"Kalau
banyak debu kain ya dipakai, tapi kalau lagi ngerjain blue jeans yang debunya
sedikit, ya tidak dipakai," akunya kepada BBC.
"Kalau
saya, kadang pakai kadang tidak. Soalnya suka pengap, bicara tidak bebas. Tapi
kita memang menyadari risikonya, teman banyak yang sudah kena [penyakit]
paru-paru. Untungnya saya tidak, paru-paru bagus cuma suka darah tinggi
saja," sambung Yaman sambil disela tawa.
Kurangnya
perhatian terhadap keselamatan kerja ini diakui oleh Bayu Murniyanto, pegiat
Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI).
Dia
mengatakan risiko kerja pada buruh pabrik garmen memang relatif lebih rendah
dibandingkan dengan buruh yang bekerja di sektor lain, tetapi tidak berarti
mereka bebas risiko.
"Kasus
yang banyak terjadi adalah masalah kesehatan terkait infeksi saluran nafas
(ISPA). Ini karena abu kain yang dihirup selama bekerja, dampaknya memang tidak
langsung, tetapi setelah berpuluh-puluh tahun baru terasa."
FSBI
menaksir, separuh dari pekerja di bagian penjahitan dan pemotongan kain
berpotensi besar terkena ISPA. Dalam beberapa kasus, mereka juga menduga abu
tekstil ini berdampak pada kurang produktifnya air susu ibu (ASI) buruh
perempuan.
Sayang,
seperti Yaman, banyak pekerja yang kurang menyadari dampak negatif itu dan
cenderung mengabaikan kesehatan mereka.
Sebagian
pekerja masih mengabaikan aturan pemakaian masker di pabrik garmen.
Masih rendah
Namun,
menurut Wakil Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kota
Bandung, M Sidharta, masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan hal
yang kompleks.
"Kebijakan otonomi daerah yang
diterapkan saat ini membuat sistem pengawasan ketenagakerjaan jadi komoditas
politik saja. Kita jadi seperti main bola tanpa wasit."
Pasalnya,
tanggung jawab untuk memberikan kesadaran akan keselamatan kerja ada di pundak
pengusaha dan pemerintah, yang sampai saat ini sayangnya malah cenderung
mengabaikannya.
"Untuk
pabrik menengah dan besar biasanya memang sudah menerapkan standar yang baik,
karena mereka mengerti kalau K3 ini penting untuk meningkatkan
produktivitas," katanya.
"Tetapi
secara umum, penerapan K3 masih rendah. Banyak kasus yang kami temui, pekerja
yang menuntut fasilitas K3 pada akhirnya dipecat karena dianggap terlalu
vokal."
"Di
sisi lain, pemerintah daerah kurang mengawasi pengusaha-pengusaha yang lalai.
Kebijakan otonomi daerah yang diterapkan saat ini membuat sistem pengawasan
ketenagakerjaan jadi komoditas politik saja. Kita jadi seperti main bola tanpa
wasit."
"Jadi
ini adalah persoalan yang kompleks. Peran aktif pemerintah sangat penting untuk
menanamkan pentingnya K3 bagi perusahaan dan pekerja," sambungnya.
Soal komitmen
Lalit mengatakan
penerapan K3 yang baik harus diawali dengan kesadaran bahwa keselamatan adalah
hal uang paling utama.
Direktur
perusahaan di sektor garmen PT Trisula International Tbk, Lalit Matai,
mengatakan penerapan K3 sebetulnya bisa dimulai dari komitmen perusahaan untuk
mensejahterakan pekerjanya. "Tidak ada kompromi tentang keselamatan
pekerja. Kita berinvestasi di sini dengan komitmen untuk menjaga pekerja dan
kualitas produk," katanya.
Dia
mengatakan salah jika ada perusahaan yang mengorbankan anggaran keselamatan
pekerja untuk berhemat dan memperbesar keuntungan.
Pasalnya,
anggaran tersebut secara total tidak berpengaruh signifikan terhadap laba.
Anggaran K3, katanya, tidak lebih dari 5% dari keseluruhan biaya produksi.
Kuncinya adalah pengusaha harus menantang diri mereka sendiri untuk melakukan
efisiensi.
"Investasi
di awal depan mungkin besar karena harus menyediakan bangunan yang layak,
sistem yang baik, tetapi untuk selebihnya, tidak terlalu besar, mungkin di
bawah lima persen," jelasnya.
Selain itu,
Lalit mengatakan tiap pihak perlu mengubah pandangan dan perilaku. "Sangat
penting untuk menekankan pada semua orang bahwa keselamatan adalah nomor satu,
dan yang lain bisa mengikuti di belakangnya."
AD
Mustikawati Direktur Trisula Garmindo Manufacturing (TGM - anak usaha Trisula
International) merinci bagaimana perusahaannya menerapkan standar keselamatan.
"Siapkan
metal glove, needle guard, eye guard, sesuai kebutuhan masing-masing. Bangunan
dan prasarana harus digunakan sesuai peruntukan. Pelatihan juga dilakukan. Jika
terjadi risiko, kami sosialisasikan rencana evakuasi yang berkelanjutan dan
cara-cara antisipasi masalah."
"Intinya
adalah komitmen perusahaan. Percuma kalau disiapkan tapi tidak dilakukan dan
didisiplinkan. Manajemen perusahaan juga harus tegas kepada pekerja agar mereka
patuh terhadap standar yang diterapkan," kata Kevin Oen, Direktur TGM.
Namun
sayang, BBC Indonesia tidak diperkenankan untuk mewawancarai buruh pabrik
garmen TGM ketika BBC berkunjung awal Oktober 2013 kemarin.
TGM sendiri
merupakan pabrik garmen yang 95% produknya ditujukan untuk pasar ekspor ke AS,
Eropa, dan Asia Pasifik dengan merek-merek pesanan seperti Hugo Boss,
Debenhams, H&M, Esprit, Zara, dan GAP. Adapun per bulannya, TGM dapat
memproduksi hingga 210.000 potong pakaian.
Ambruknya
Rana Plaza menjadi salah satu tragedi industri garmen terburuk di dunia.
Belajar dari Rana Plaza
Sementara
itu, Direktur Jenderal Bina Pengawas Tenaga Kerja Kemenakertrans, T Saut
Siahaan, mengatakan sistem pengawasan yang dilakukan pemerintah saat ini
sebetulnya sudah dibangun dengan landasan yang baik. Ada Undang-Undang 170 yang
mengatur tentang keselamatan pekerja, Peraturan Presiden No.21 tentang
pengawasan ketenagakerjaan dan PP 50 tahun 2012 tentang sistem manajemen K3.
"Khusus untuk industri garmen kita
lakukan pemantauan, belajar, dan menelaah atas apa yang terjadi di
Bangladesh."
Namun dari
sisi pengawasan, Saut mengakui bahwa Kemenakertrans kesulitan karena jumlah
tenaga pengawas tidak mampu mengikuti pertumbuhan jumlah perusahaan baru.
"Saat
ini masih tenaga pengawas kita berjumlah 1.258 sedangkan jumlah perusahaan yang
terdaftar saat ini sekitar 200.000. Pada 2016 kita memprediksi kebutuhan tenaga
pengawas bisa mencapai 3.300 orang," katanya.
"Jika
mau efektif satu pengawas idealnya melakukan inspeksi ke lima perusahaan dalam
satu bulan sehingga mampu memeriksa 60 perusahaan dalam satu tahun."
Untuk
mengatasi hal ini, Kemenakertrans sedang mewacanakan sistem pengawasan berbasis
teknologi informasi sehingga pengawasan bisa lebih efektif.
Sementara
itu, khusus untuk pabrik garmen, Saut mengaku pihaknya saat ini tengah melakukan
perbaikan, terutama setelah insiden runtuhnya bangunan pabrik Rana Plaza di
Bangladesh.
"Untuk
garmen kita lakukan pemantauan, belajar, dan menelaah atas apa yang terjadi di
Bangladesh. Sejak tiga tahun terakhir kita juga melakukan bekerja sama dengan
International Labour Organization (ILO) dalam program Better Work bagi pabrik
garmen di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah untuk melakukan pembenahan agar
perusahaan bisa cepat menerapkan standar K3."
"Sebagian
besar pabrik garmen sudah menerapkan K3 sesuai standar, tetapi banyak juga yang
belum."
Walau
kesulitan menghimpun data karena keterbatasan jumlah pengawas, Saut mengatakan
tingkat kecelakaan kerja di Indonesia saat ini cenderung meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah perusahaan. Indonesia sendiri menargetkan seluruh
industri sudah harus berbudaya K3 pada 2013 mendatang.
Perubahan perilaku
Sebanyak
1.200 orang meninggal dalam runruhnya Rana Plaza di Bangladesh.
Tak terasa,
enam bulan telah berlalu sejak peristiwa runtuhnya gedung Rana Plaza.
Bagi
Direktur Trisula International, Lalit Matai, yang juga berasal dari Asia
Selatan, India, peristiwa itu cukup membuatnya terkejut.
Dia
mengatakan insiden yang sangat hebat ini bisa menjadi refleksi bersama dan
pemerintah Bangladesh harus bisa melakukan perubahan besar untuk menjamin
keselamatan pekerja.
"Saya
pikir, mereka harus betul-betul berfikir sejauh mana mereka harus bertindak
untuk menghargai nyawa-nyawa yang hilang. Karena, bagi saya, ini bukan hanya
masalah industri, tetapi karakter bangsa-bangsa di Asia Selatan yang cenderung
kurang menghargai nyawa mereka sendiri."
"Saya
berasal dari India, dan saya merasakan sendiri bagaimana karakter kami berbeda
dengan negara-negara barat yang sangat menghargai kehidupan. Asia selatan,
cenderung hidup dengan keras, karena kita percaya yang kuat adalah yang menang,
survival of the fittest."
Namun di
sisi lain, Lalit juga ingin menantang negara-negara barat, khususnya para
pembeli (produsen) produk dari negara-negara barat.
"Di
satu sisi mereka ingin menjunjung tinggi rasa kemanusiaan dengan memastikan
pabrik garmen memiliki standar keselamatan kerja yang baik."
"Tetapi
di sisi lain mereka ingin harga produksi ditekan serendah mungkin."
"Saya
rasa harus ada keseimbangan untuk mencari solusinya. Perubahan perilaku.
Keuntungan tentu penting bagi perusahaan, tetapi mereka harus lebih menghargai
pabrik-pabrik yang sudah memiliki standar yang bagus dengan tidak menurunkan
harga serendah mungkin." (www.bbc.co.uk)
No comments:
Post a Comment