Tuesday, January 21, 2014

Benteng Moral dari Lokalisasi Dolly

ALUNAN musik dangdut mengalun keras dari beberapa wisma. Kelap-kelip lampu diskotik tampak dari luar. Bau parfum dan bedak menusuk hidung. Beberapa pria kekar ganteng berdiri di wisma menyapa setiap lelaki yang lewat. “Ayo, sini Mas,” ajaknya penuh rayuan. Beberapa lelaki yang lewat tak menghiraukannya, meski ada juga yang menatap heran. Meski sebenarnya mereka paham arti ajakan itu.

Di beberapa gang, tampak beberapa perempuan berdandan menor mulai mejeng. Pakainya seksi memamerkan auratnya. Gayanya sensual mencoba menggoda setiap orang yang lewat.

“Mari Mas, kita ke wisma,” ujar wanita dengan dandanan menor.

Tak sedikit orang yang melihatnya sinis. Namun, ada pula beberapa orang yang senyum dan membunyikan klakson mobil. Melati pun hanya senyum sambil melambaikan tangan.

Wanita tadi, sebut saja Melati, beradal Sidoarjo, Jawa Timur. Ia adalah salah satu penghuni sebuah wisma di Lokalisasi Jarak, Surabaya.

Tak jauh dari gang tempat biasa Melati menjajakan dirinya, berdiri sebuah Madrasah Diniyah An Nahdliyah. Gedungnya cukup megah. Berlantai dua dan bercat hijau muda. Ukurannya kira-kira 7 x 10 meter persegi. Ketika itu, azan isya akan dikumandangkan. Sejumlah orang mengenakan sarung dan songkok tampak berdatangan satu per satu.

Selain berfungsi sebagai ngaji para santri, gedung ini juga biasa digunakan untuk shalat lima waktu. Letaknya di lantai dua. Ukurannya cukup luas. Menurut imam shalat musholla, Arifin, biasanya warga sekitar Jalan Jarak jika mau shalat berjamaah menggunakan mushola ini. Tapi, jumlahnya tidak banyak. Paling banter hanya satu shaf.

Jebolan pesantren Miftahul Huda Mojokerto, Jawa Timur, ini mengatakan, madrasah ini sengaja diadakan untuk jadi “benteng” anak-anak dari bahaya dunia hitam prostitusi.

Menurut Arifin, dia tak ingin anak-anak terlibat pada dunia hitam. Apalagi di sekeliling mereka tiap saat banyak hidung belang dan wanita-wanita penjaja seks itu terlihat di depan mana anak-anak.

Di Madrasah Diniyah An Nahdliyah, kata Arifin, ada sekitar seratus santri. Mereka mayoritas masih duduk di bangku TK dan SD. Dari jumlah itu, ada sebagian kecil anak pelacur dan mucikari.

“Sekitar empat puluh persen anak PSK dan mucikari,” katanya. Arifin mengetahui itu ketika mengunjungi rumahnya atau dari data siswa.

“Kendati ibunya penjaja seks, tapi sebenarnya mereka tidak mau jika anaknya mengikuti jejak mereka,” jelas Arifin.

Selain dirinya, Arifin dibantu empat tenaga pengajar. Dua di antaranya hafizh (hafal) al-Qur’an. “Keduanya itu suami istri. Mereka juga sama-sama hafal al-Qur’an,” katanya.

Masjid At-Taubah

Tak hanya di Lokalisasi Jarak, hampir di setiap lokalisasi itu bertebaran “benteng-benteng” iman bagi warga sekitar, khususnya untuk menyelamatkan anak-anak.

Sebut saja di lokalisasi paling besar, Gang Dolly. Tak jauh dari prostitusi ini, berdiri masjid yang cukup megah dengan tiga lantai. Tiap sore, nampak beberapa kelompok anak-anak sedang mengaji al-Qur’an. Lantunannya yang ramai dan merdu, seolah melupakan sekejap, bahwa di depan, samping dan belakang rumah Allah ini bertebaran pria hidung belang dan wanita penjaja seks dengan iringan musik-musik dan alkohol.

Ketua Takmir Masjid At Taubah, Ngadimin Wahab, mengatakan, masjid ini didirikan atas desakan warga sekitar. Dulunya hanya mushola kecil. Tapi, atas antusiasme mayarakat untuk membentengi anak-anak dari virus Dolly, didirikanlah masjid. Ngadimin pun orang yang pertama kali jadi khotib Jumat.

Selain masjid itu, Ngadimin sendiri berusaha menyelamatkan para penjaja seks di Gang Dolly. Sebagai orang yang dituakan, Ngadimin bahkan sering ikut mengobati pelacur yang kesurupan. Biasanya, kesempatan itulah digunakan Ngadimin untuk menyadarkan meraka.

“Sembari mengobati, saya ajak mereka untuk kembali ke jalan ilahi,” kata Wakil Ketua Syuriah Ranting NU Putat Jaya ini.

Dari usaha Petruk, demikian sapaan akrab Ngadimin, tak sedikit para penjaja seks yang bertobat.

“Sudah banyak yang kembali dan nikah di kampung,” katanya. Biasanya, kata Ngadimin, jika mereka tobat, ada yang datang ke rumahnya minta didoakan atau syukuran.

Mengabdikan diri sebagai penjaga moral anak-anak di lokaliasi seks menjadikan Arifin dan Petruk serasa berdiri di ujung tanduk. Setiap hari mereka diliputi perasaan was-was. Bukan apa-apa. Meski ia merasa berusaha membuat “benteng” moral bagi anak-anak dengan mengelolah sekolah agama, namun ia mengkhawatirkan, “benteng” itu bisa setiap saat jebol tak terhankan.

Mereka tahu benar, pemandangan dan situasi lingkungan lokalisasi bisa meruntuhkan moral anak-anak yang ia bisa semenjak usia dini.

Bahkan, menurut Ngadimin, pernah mantan santriwati-nya ikut terjerembab ke lembah nista ini. Umumnya, kata Ngadimin, mereka begitu karena faktor ekonomi.  

(sumber: ANS/Hidayatullah.com) 

No comments:

Post a Comment