Sunday, March 30, 2014

Ranch Market, Berupaya Menjadi Rumah Ketiga



Suatu siang, seorang perempuan 30-an tahun tampak begitu sigap mengambil berbagai jenis produk segar yang terpajang di gondola Ranch Market Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ivone, demikian nama perempuan itu, ditemani pembantunya yang mendorong troli. Ia cuma butuh waktu sekitar 15 menit untuk membeli beragam produk makanan, sayuran dan buah-buahan. Padahal, troli yang sebenarnya berukuran cukup besar itu hampir terisi penuh.
“Saya setiap pekan rutin berbelanja ke sini. Selain karena jaraknya yang dekat dengan rumah, semua kebutuhan yang saya perlukan tersedia di sini,” tutur Ivone sembari menambahkan, “Kondisi produknya juga selalu bagus dan segar. Itu salah satu daya tarik yang membuat saya datang ke Ranch Market, walaupun harga produknya memang lebih mahal dibandingkan harga di supermarket yang lain.”
Ketersediaan, kualitas, dan kesegaran produk memang merupakan kelebihan yang selalu digembar-gemborkan Ranch Market (RM) kepada segenap konsumennya. Sejak awal, RM berupaya agar barang yang dibutuhkan customer selalu ada di rak. Tentunya, dengan kualitas bagus dan kondisi segar. RM pun membanggakan diri sebagai satu-satunya supermarket di Indonesia yang telah memperoleh sertifikasi keamanan makanan Hazard Analytical Critical Control Point dan ISO 9000 sejak tahun 2004 silam. Perolehan ini menjadi jaminan bahwa produk-produk yang dijual RM aman dikonsumsi.
Dengan positioning sebagai supermarket yang menjual produk bermutu dan senantiasa segar, RM menjual banyak produk --terutama daging, ikan, buah-buahan dan sayuran—harus pandai-pandai mengelola karena masa kedaluwarsa sangat pendek. Bahan makanan segar merupakan produk andalan RM dibandingkan dengan makanan kering dan produk non-makanan. Perbandingannya, 50:50. Di ritel modern lain, makanan segar paling banter cuma memberikan kontribusi 20%, bahkan di hypermarket tak sampai 10%.  Implikasi dari mengandalkan produk makanan segar, manajemen RM harus mampu menangani produk semacam itu secara bagus, memenuhi standar kualitas dan spesifikasi tertentu, serta memerhatikan perputaran inventorinya yang relatif cepat.
Selain kualitas produk yang terjamin, manajemen RM pun memanjakan konsumen dengan menghadirkan suasana serasa di rumah sendiri. Bagi konsumen yang merasa kesulitan memasak produk-produk yang dibelinya, manajemen RM memberi solusi dan membuka diri memberikan pengetahuan dengan menghadirkan pakar kuliner yang mumpuni. Dengan begitu ada kerinduan setiap konsumen untuk balik lagi ke RM lantaran ada sesuatu yang hanya bisa ditemukan di supermarket yang semula merupakan waralaba RanchMarket USA itu.

Lengkap, Eksklusif dan Unik
Dari catatan historis, Ranch Market (RM) didirikan pada 1984 oleh Roger H. Chen di Westminster (Little Saigon), California, Amerika Serikat (USA). Pada akhir 2001, divisi supermarket mereka memiliki 21 toko layanan penuh di California, dan satu toko di Washington. RM juga telah membuka toko berlisensi yang independen di Nevada, Hawaii, Arizona dan Indonesia.
Di Indonesia, dengan pola waralaba Ranch Market USA, RM dibuka pada Januari 1998 di bawah payung PT Supra Boga Lestari (SBL) – dengan komposisi pemilik saham, antara lain, Grup Hoka-Hoka Bento (35%) dan keluarga pemilik properti Mega Mal Pluit (35%). Tidak seperti Giant, Makro, Hypermart, Hero, atau Indomaret yang umumnya menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari dalam produksi massal. Produk yang disediakan oleh RM tidak dibuat massal. RM memang menggarap ceruk pasar khusus di medan bisnis ritel di Indonesia, yakni A dan A+. RM tidak sembarang menerima pasokan barang. Untuk produk-produk yang sangat massal, deterjen Rinso atau Daia  misalkan, ia tolak. Setidaknya ada 10 pemasok terbesar di supermarket lain yang tidak masuk ke RM.  
RM jelas bukan ritel biasa. Ia tidak menjual barang yang sama dengan barang-barang yang dipajang di rak-rak kompetitor. Dengan begitu ada poin yang membuat orang ingin datang dan datang lagi ke sini. Bahkan, pada kartu nama setiap karyawan tertulis “The Super Market”. Kata “Super” ditulis dengan huruf dan warna yang berbeda. Ini seakan-akan mempertegas bahwa RM berbeda dari kebanyakan ritel yang lain.
Saat ini, RM memiliki 14 gerai di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Dan tahun 2014 RM ingin menambah 16 gerai lagi. Selain RM, sejak tahun 2007 SBL –lewat anak usaha PT Bahagia Nuaga Lestari (BNL)-- juga mengembangkan Farmers Market. Berbeda dibandingkan RM, Farmers Market mengusung konten lokal lebih banyak dan produk impor cuma berupa produk umum dengan margin 19%, lebih kecil daripada Ranch Market yang mencapai 28%-38%. Sampai akhir 2012 lalu, SBL mempunyai lima gerai Farmers Market (FM). Investasi tiap gerai rata-rata sekitar Rp10 miliar di area 4.000 meter persegi.
Berbeda dengan RM yang menyasar level atas (A dan A+), FM lebih ditujukan bagi konsumen yang berada di level menengah (B). “Diferensiasi FM terletak pada strategi pemasaran dan promosi yang mengedepankan kreativitas,” terang Meshvara Kanjaya, Chief Operating Officer PT Bahagia Niaga Lestari (BNL).
Yang dimaksud dengan kreativitas, antara lain, membuka dapur pembuatan tahu dan tempe itu. Di tengah persaingan bisnis ritel modern yang semakin ketat dan sengit, FM harus punya identitas khas yang mampu menceritakan “pengalaman” kepada konsumennya. Sebuah riset dan focus group discussion menyebutkan bahwa 93% konsumen masih menganggap belanja itu rekreasi.
Pengalaman Ranch Market yang sukses merajai segmen menengah-atas merupakan salah satu modal utama BNL dalam mengembangkan FM. Kelengkapan produk masih menjadi pertimbangan utama konsumen. Karena itu, produk yang dijual di FM berbeda dibanding produk yang dijual di supermarket lain. FM menjual produk-produk unggulan yang tidak ada di supermarket lain, antara lain cumi-cumi raksasa Bangka, anggur mutiara, tersimon dan apel Fuji besar.
Kembali ke cerita awal RM di Indonesia. Kisah bermula dari SBL membuka gerai pertama RM pada Januari 1998 di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ketika itu, dengan pola waralaba, Ranch Market USA menempatkan sejumlah orangnya untuk membidani Ranch Market Indonesia di Kebon Jeruk.
Malang tak dapat ditolak, untung tak bisa diraih. Tekanan rakyat untuk mengganti pucuk pemerintahan RI, Presiden Soeharto, mencapai klimaksnya pada bulan Mei 1998. Berpuncak pada aksi huru-hara yang akrab disebut Tragedi Mei 1998 yang membuat Jakarta bagai lautan api. Porak poranda. Mencekam. Penjarahan marak di mana-mana. Gerai pertama RM yang baru buka pada bulan Januari tidak lepas dari aksi jarahan massa. Semua isi gerai dijarah. Habis. Bersyukur, bangunan gerai tidak sampai dibumi-hanguskan seperti nasib pusat perkulakan GORO di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. “Bayi” pun RM harus merugi sampai Rp6 miliar.
SBL di bawah kepemimpinan Presiden Direktur Nugroho Setiadharma tidak mau berlama-lama meratapi nestapa Tragedi Mei 1998. Dengan tekad kuat, RM membuka kembali gerainya di Kebon Jeruk. Memang, Nugroho Setiadharma mengakui pemegang saham SBL sempat merasa khawatir bilamana tiba-tiba kerusuhan melanda lagi Ibukota Jakarta. Nugroho meyakinkan pemegang saham bahwa Jakarta akan aman-aman saja karena tuntutan rakyat telah tercapai. Sekali lagi dengan tekad yang kuat, pada Oktober 1998, gerai RM Kebon Jeruk kembali dibuka. Dan, pembukaan gerai itu berjalan lancar. Bahkan, melihat trend pengunjung yang seolah tak mengenal krisis, awal 1999 manajemen RM menambah satu gerai lagi di Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Senantiasa ada berkah di balik musibah. Pasca Tragedi Mei 1998, orang-orang yang ditempatkan Ranch Market USA di gerai RM Kebon Jeruk tidak pernah balik. Nugroho Setidharma pun terpaksa terbang ke AS untuk membicarakan masa depan dan kelanjutan pola waralaba dengan Ranch Market USA. Hasilnya, Ranch Market USA tetap mengizinkan SBL mengusung nama Ranch Market tanpa harus membayar royalti lagi dengan sejumlah kesepakatan. Salah satu kesepakannya bahwa SBL tidak boleh membawa nama RM keluar dari teritori Republik Indonesia.
Praktis, pimpinan dan karyawan SBL hanya seumur jagung memperoleh arahan bisnis dari pengalaman orang-orang Ranch Market USA. Padahal, RM di Indonesia masih butuh arahan agar bidikan ceruk pasar kalangan ekspatriat tidak meleset dan melebar yang ujung-ujungnya RM tiada beda dengan para kompetitor. Karena pengetahuan yang relatif minim, sampai-sampai, manajemen SBL ingin melepas bisnis ini. Nugroho Setiadharma dan segenap karyawan SBL merasa belum memiliki pengetahuan yang cukup ihwal  bagaimana target pasar, konsep toko (gerai), dan sebagainya. Bahkan, SBL sempat mengonsep kembali gerai RM Pondok Indah. Gerai kedua ini sudah konsep ulang.
Semula, RM menargetkan pasar ekspatriat. Kemudian, ketika membuka gerai RM Pondok Indah, target pasar tidak sebatas ekspatriat tapi dilebarkan pula ke kalangan high end. Dengan konsep ini, RM Pondok Indah harus menyuguhkan produk berkualitas bagus dan memberikan pelayanan prima.
Mengingat target pasar kaum ekspatriat dan kalangan high end, RM kemudian menerapkan visi bagaimana orang berbelanja mendapatkan suasana yang nyaman dan menyenangkan. RM menciptakan bagaimana suasana berbelanja menjadi hiburan. Dari visi semacam itu, RM lalu mengkristalisasikannya menjadi sebuah nilai yang selanjutnya diimplementasikan ke dalam action (aksi) lengkap dengan budaya perusahaan (corporate culture).
Untuk memberikan nilai tambah (added value) ke pelanggan berkelas A dan A+, berbekal visi, nilai dan corporate culture,  manajemen RM lalu memformulasikan tiga strategi yang harus dipahami segenap karyawan yang menjadi ujung tombak pelayanan gerai. Pertama, diferensiasi produk. RM membuat defferentiation produk dengan tujuan akhir agar pembeli ada keinginan datang kembali lantaran di tempat lain tidak ada yang jual.
Manajemen RM menawarkan sesuatu bagi pelanggan yang tak lagi tertarik pada produk yang sudah umum. Ambil contoh pada kategori kecap. RM tidak menjual kecap Bango yang sudah sangat familiar, melainkan kecap Mirama yang hanya dikenal di Jawa Tengah, namun berkualitas bagus. Dengan diferensiasi produk seperti itu, Nugroho Setiadharma mengakui, pasarnya memang jauh lebih kecil daripada peritel konvensional namun loyalitas akan terjaga. Manajemen RM sadar benar, RM tidak akan menjadi satu-satunya supermarket bagi pelanggannya. Untuk kebutuhan umum, biarlah pelanggan pergi ke tempat lain.
 Lantaran sering menjual produk yang berbeda, RM kerap menjadi test market bagi beberapa produsen. Beberapa tahun lalu, kopi Starbucks kemasan botol cuma ada di gerai RM dan ClubStore, tapi sekarang produk sejenis juga tersedia di Carrefour, Hero, dan supermarket yang lain. Kalau sudah demikian adanya, maka produk tersebut akan didegradasi dari rak-rak gerai RM. Dan, manajemen RM sangat memperhatikan daur hidup setiap merek. Bilamana sebuah mereka sudah menjadi common product, manajemen RM berupaya keras mencari lagi produk baru yang spesifik. Seperti dikejar-kejar saja, nature-nya seperti itu. Mesti berlari terus, tidak boleh berhenti.
Laiknya pasar modern yang lain, manajemen RM terus berpikir bagaimana memaksimalkan ruangan agar memberikan return terbaik. Tak mengherankan, turnover produk di RM menjadi lebih dinamis. Bila dalam waktu enam bulan ternyata satu produk tidak ada penjualan, maka manajemen RM cepat-cepat mengganti dengan produk lain. Demikian pula untuk barang yang sudah menjadi common products. Dengan ruangan yang tidak terlalu besar (1.000-2.000 meter persegi) sangat mahal bagi RM untuk menahan produk umum lebih lama. Pasalnya, margin yang diperoleh sangat tipis. Setiap rak yang ada di RM diisi produk-produk unik yang memberikan margin lebih tebal.
Strategi kedua, produk yang lengkap, eksklusif dan unik. Untuk mendapatkan produk semacam itu, manajemen RM tidak mau pasif menunggu pemasok datang. Awak RM tidak boleh cuma duduk-duduk di belakang meja bagai dokter yang menunggu kedatangan pasien. Awak RM terus aktif turun mencari produk sampai ke pasar-pasar. Jadi, produk itu benar-benar mendalam dan lengkap. Sekadar contoh, gerai RM sampai menyediakan daun pisang dan daun kecipir.
Mengenai produk yang eksklusif, manajemen RM menyambangi langsung pemasok untuk memesan dan menciptakan produk yang betul-betul eksklusif. Misalnya, suatu waktu manajemen RM mendatangi pemasok daging dari Australia yang memiliki peternakan sapi. Manajemen RM langsung meminta kesanggupan pemasok tersebut menyediakan daging dari sapi yang khusus makan gandum. Sebab itulah, manajemen RM memiliki departemen pelatihan untuk para pemasok, khususnya para pemasok yang membutuhkan pelatihan agar mampu memenuhi permintaan produk sesuai standar eksklusivitas RM.
Dan straegi ketiga, pemasok khusus yang sanggup menyediakan produk-produk terbatas. Sekadar contoh, pemasok belimbing madu dari Tuban, Jawa Timur. Memang tidak mudah menjaga kontinyuitas pasok belimbing madu. Manajemen RM harus benar-benar memberikan pembinaan dan bantuan karena mereka sempat memilih putus karena ongkos transportasi yang mahal. Bahkan, dengan perjuangan ekstra keras, manajemen RM menjadikan pemasok semacam ini sebagai mitra yang tumbuh-kembang bersama.
Strategi yang dijalankan manajemen RM ini, jelas Nugroho Setiadharma, dihindari oleh banyak kompetitor. Berbisnis produk segar --seperti buah, sayur, daging, dan ikan-- membutuhkan pengelolaan khusus dan potensi kerugian sangat tinggi.
Menjalani bisnis produk segar ini membuat manajemen RM menanggung konsekuensi harus aktif mendatangi dan secara langsung memilih barang segar dari para pemasok. Untuk bisnis produk  lain boleh jadi cukup menugaskan karyawan level lapangan. Selain itu, manajemen RM pun harus mengambil sertifikasi food safety. Tahun 2003 RM berhasil mengambil sertifikasi food safety dari dari Australia yang kemudian ditingkatkan menjadi ISO 22000 pada tahun 2007.

Organik nan Sehat
Sebagai supermarket yang mengkhususkan diri pada produk-produk segar, pada tahun 2006, manajemen RM memperkenalkan konsep baru kepada pelanggan dengan menawarkan makanan sehat, seperti produk bebas gula, rendah sodium, bebas glutan dan rendah karbohidrat. “Market-nya memang kecil, tapi kami adalah pelopor produk organik sejak 1999, dimulai dari sayur tanpa pestisida. Sekarang kebutuhan makanan sehat semakin tumbuh,” jelas Nugroho Setiadharma. RM ingin selalu menjadi trendsetter. Terbukti, RM menjadi yang pertama dan satu-satunya yang mendapat sertifikat Hazard Analysis Critical Control Point dari Australia.
Awalnya tidaklah mudah memperkenalkan sayuran organik di Indonesia. Bahkan, manajemen RM sempat merugi. Namun, seiring dengan edukasi yang secara terus-menerus diberikan, pelanggan kelas atas yang terdidik baik kemudian cepat menerima. Belakangan, daging organik dari hewan yang makan rumput segar dan asupan sehat lainnya tanpa hormon pun mudah diterima pasar. Padahal, harganya 30%-40% lebih mahal dibandingkan daging biasa.
Guna mendukung misi sebagai supermarket produk sehat, kebutuhan penderita autis yang sensitif terhadap bahan kimia ditawarkan pula di sini, antara lain sabun, sampo dan body lotion merek Ogrand. Dan, sebagai upaya komunikasi, RM bekerja sama dengan beberapa yayasan dan klinik autisme. Dengan Gramedia, RM bekerja sama menerbitkan buku Hidup Sehat dengan Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan Manusia. Buku yang ditulis oleh tujuh  ahli gizi Indonesia ini dilengkapi dengan 115 resep makanan sehat untuk bayi, dewasa sampai usia lanjut dari pakar kuliner. Setiap penjualan per buku, Rp10 ribu disumbangkan ke Unicef untuk peningkatan gizi anak-anak Indonesia. Ini sesuai dengan misi baru RM: Balance Life.
Manajemen RM bertekad Ranch Market menjadi the safest supermarket dan punya responsibility, bukan cuma mencetak uang, tapi juga memperhatikan kesehatan pelanggan. Untuk membangun awereness ke arah sana, manajemen RM kerap mensponsori kegiatan Women International Club dan Lion Club, mengadakan bazar di sekolah internasional serta melakukan pendekatan ke hampir semua sekolah internasional buat menggelar widyawisata lapangan, menunjukkan proses di dalam supermarket kepada para siswa. Departemen Kualitas Layanan RM yang memantau jadwal acara ini tiap minggu. Manajemen RM juga mengajak mereka ke perkebunan organik. Ini bentuk soft promotion mulai dari anak-anak. Manajemen RM tidak ingin menempuh strategi perang diskon seperti yang lain. 

Rumah Ketiga
Kompetensi adalah hal mutlak yang harus dikuasai oleh sekitar 2.200 karyawan RM. Kompetensi penguasaan pengetahuan produk-produk segar. Kompetensi berkomunikasi dengan para pemasok. Kompetensi menyapa pelanggan penuh kehangatan dan kepedulian. Selain itu, karyawan RM juga mesti memiliki pengetahuan budaya tiga rumah. Formulasi budaya tiga rumah, rumah pertama adalah rumah pelanggan dan keluarganya; rumah kedua adalah kantor; dan rumah ketiga adalah Ranch Market, tempat mereka rileks dan sharing bersama teman-teman. Sebab iu, manajemen RM berusaha menciptakan suasana santai agar dalam benak pelanggan tertancap  kuat moto "ini rumah saya".
Untuk mewujudkan rumah ketiga, model store supermarket dengan 500 karyawan ini di masing-masing gerai dibuat tidak seragam. Tidak ada yang standar. Manajemen RM punya visi menjadi bagian dari komunitas lokal dan ingin menjadi tempat bertemunya orang-orang. Gambaran sederhananya, lantaran di Kebon Jeruk banyak warga keturunan Tionghoa, layout gerai dibuat sesuai dengan selera mereka: terang, bersih dan mengkilap. Kemudian gerai di Pondok Indah lebih menonjolkan American style. Pertimbangannya, banyak warga di sana yang acap melancong ke AS dan tak sedikit anak mereka yang bersekolah di Negeri Abang Sam itu. Adapun gerai di Pejaten sangat kental dengan European style, lantaran banyak ekspat Eropa tinggal di sana.
Selain tampil berakrab-akrab diri dengan komunitas setempat, agar moto “ini rumah saya” semakin membumi, manajemen RM memberikan pelayanan yang excellent. Karyawan RM dituntut mampu memberikan pelayanan yang paripurna, tidak cukup sebatas ramah. Keramahan sudah banyak mewarnai pelayanan di banyak supermarket. Semua kompetitor berlomba-lomba menghadirkan pelayanan yang ramah. RM melihat masih ada celah bagaimana pelanggan kalangan high end merasa senang saat berbelanja, yakni memberi solusi. Kadang ada pelanggan yang tidak tahu hendak diapakan ketika membeli daging. Awak RM harus bisa memberikan masukan dan solusi. Artinya, awak RM harus tahu bagaimana melayani pelanggan dan menguasai product knowledge. Misalkan, kecap untuk sate dan cocol sate itu jelas berbeda. Ini harus diketahui segenap karyawan. Mereka harus bisa memberi solusi ke pelanggan. Kalau sampai mentok, maka mereka harus mencatat dan selanjutnya dikomunikasikan ke pemasok.
Tidak semua pelanggan RM punya bekal keahlian kuliner untuk mengolah beragam bahan makanan unik yang dijajakan RM, seperti tauco Jepang dengan 7 aneka ragam dan saos-saos unik LiKumKhee yang memiliki beragam varian. Untuk itu, sejak 2004, RM Kebon Keruk dan RM Pejaten menggelar sekolah masak saban akhir pekan sebagai fasilitas pendukung. Dengan menunjukkan struk belanja dengan nominal tertentu, pelanggan bisa ikut sekolah masak secara gratis. Sebanyak 13 juru masak RM siap menularkan pengetahuan memasak dengan bahan produk yang dijual RM. Setiap pekan, tak kurang dari 30 orang mengikuti program ini. Bahkan ketika Wiliam Wongso tampil sebagai instruktur, jumlah peserta membludak hingga 60 orang.
Belakangan, program sekolah masak hampir tiap hari diselenggarakan. Namun, di luar hari Sabtu, peserta dikenakan biaya sekitar Rp125 ribu sampai Rp150 ribu (tergantung pada materi jenis masakan). Itu pun yang datang tidak pernah kurang dari 10 orang. Program ini bukan profit centre, hanya sebagai layanan tambahan.
Dengan keunikan yang ditawarkannya, pelanggan pun loyal dan berbelanja dengan frekuensi tinggi ke RM. Pelanggan hampir tiap hari datang karena makanan segarlah yang mereka cari.

Promosi yang Fokus
Walaupun relatif kecil, omset tahunan RM mampu mencapai Rp4 miliar sampai Rp6 miliar per gerai. Selain menyajikan produk-produk eksklusif berkualitas dan pelayanan yang paripurna, strategi ampuh RM yang lain adalah promosi yang terfokus. Untuk menjaring niche market, RM mengirimkan buletin di kedutaan-kedutaan, bekerja sama dengan bank-bank yang memiliki private banking dan sekolah-sekolah elite, dan sebagainya.
Strategi positioning RM memang jelas. RM sengaja memosisikan diri sebagai specialty store yang menyasar kelas A dan A+. Produk yang dijual agak berbeda dibandingkan supermarket biasa. Dalam beberapa hal mirip yang dikembangkan Kem Chick yang menjual produk Eropa atau Cosmo (supermarket Jepang di Grand Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan). RM merupakan perpaduan antara Kem Chick dan Cosmo. Selain menjual produk makanan segar, seperti daging, sayur dan ikan, RM menawarkan pula berbagai macam sambal dan saus. Jika di supermarket lain rata-rata hanya ada satu jenis rasa, di RM ada beberapa varian rasa.
Produk impor yang dijual pun lebih spesifik. Di RM Kebon Jeruk, misalnya, banyak tersedia produk dari Hong Kong, Cina dan Korea. Di RM Pondok Indah, dijual berbagai jenis keju khas Eropa. Produk impor ini tergantung lokasi.
Dengan langkah bisnis yang semakin mantap, Supra Boga Lestari (SBL) selalu pengelola RM pun merasa yakin melakukan penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO) pada Mei 2012. Dalam IPO itu, SBL menerbitkan saham sebanyak 20%-30% dari total modal disetor dan ditempatkan. Menargetkan dana sekitar Rp 200 miliar hingga Rp 300 miliar.
SBL memakai 60% dana hasil IPO untuk ekspansi, khususnya menambah gerai Ranch Market dan Farmers Market. Ekspansi ini dilakukan secara bertahap selama dua tahun mendatang (2013-2014). Di tahap awal, SBL menambah lima gerai pada tahun 2012. Selain di Jawa, SBL juga menyasar luar Jawa, salah satunya Balikpapan, Kalimantan Timur.
SBL ingin menambah 16 gerai baru hingga tahun 2014. Gerai mereka saat ini 14 unit. SBL akan fokus ke luar Jawa, terutama Kalimantan. Maklumlah, prospek kawasan ini cukup besar seiring merekahnya bisnis pertambangan. SBL pun ingin lebih menjangkau daerah baru mengingat 14 gerai saat ini “berkumpul” di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. (*)

No comments:

Post a Comment