Wednesday, September 24, 2014

Keistimewaan Jaminan Kesehatan Pejabat Dikritik


Seharusnya jaminan kesehatan diselenggarakan sepenuhnya oleh BPJS. Presiden memutuskan mencabut dua Perpres.

Keistimewaan Jaminan Kesehatan Pejabat Dikritik
Salah satu pelayanan BPJS Kesehatan di rumah sakit. Foto: RES
Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengecam penyelenggaraan jaminan kesehatan bagi pejabat pemerintah karena tidak selaras dengan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Timboel menengarai jaminan kesehatan pejabat tertentu tidak diselenggarakan BPJS Kesehatan.

Menurut Timboel, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 167/PMK.02/2014, yang ditugaskan menggelar jaminan pemeliharaan kesehatan bagi pejabat negara tertentu adalah PT Jasindo. Ia menduga Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi pejabat pemerintah  dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui publik.

Ketika pemerintah menerbitkan peraturan serupa beberapa waktu lalu yaitu Perpres No.105 Tahun 2013 tentang Jaminan Pelayanan Kesehatan bagi  Menteri dan Pejabat Tertentu mendapat protes keras dari masyarakat. Ujungnya, setelah dua hari diterbitkan, Perpres No. 105 Tahun 2013 dicabut lewat Perpres No. 16 Tahun 2014.

Masyarakat menolak keras Perpres No. 105 Tahun 2013 karena memanjakan pejabat negara. Sebab, program JPK yang diatur dalam regulasi itu membolehkan pejabat pemerintah dan keluarganya berobat ke luar negeri. Tidak perlu mengikuti mekanisme yang diatur dalam UU SJSN dan BPJS. Sialnya, aturan serupa kembali hadir lewat Perpres No.68 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Keuangan No.167/PMK.02/2014.

“Pemerintah SBY meniadakan peran dan fungsi BPJS Kesehatan yang diamanatkan UU SJSN dan BPJS untuk melayani jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia termasuk pejabat negara,” kata Timboel kepada hukumonline di Jakarta, Kamis (12/9).

Bagi Timboel, JPK bagi pejabat pemerintah harusnya digelar oleh BPJS Kesehatan. Jika membutuhkan ruang perawatan yang lebih baik seperti VIP atau VVIP, maka dapat menggunakan mekanisme manfaat tambahan atau Coordination of Benefit (COB) yang ada di BPJS Kesehatan. Mekanisme COB itu telah diatur dalam Perpres No. 111 Tahun 2013 Jo Perpres No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Pelayanan Kesehatan Nasional.

Selain itu penentuan perusahaan asuransi swasta yang digunakan untuk COB harus dilakukan lewat tender, bukan ditunjuk langsung seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 167 Tahun 2014. Lewat proses tender, Timboel yakin alokasi iuran untuk JPK pejabat pemerintah bakal lebih rendah, sehingga dapat menghemat APBN. Dengan begitu maka pejabat pemerintah ikut menjalankan salah satu asas penyelenggaraan BPJS Kesehatan yakni gotong royong.

“Presiden SBY harus patuh pada mekanisme pelayanan jaminan kesehatan yang diatur dalam UU SJSN dan BPJS serta regulasi operasional BPJS Kesehatan lainnya,” tukasnya.

Menanggapi itu Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Purnawarman Basundoro, menjelaskan para pejabat negara itu termasuk sebagai peserta BPJS Kesehatan. Tapi, untuk pelayanan lebih diserahkan kepada asuransi lain. “Untuk pelayanan 'on top' dari manfaat JKN diasuransikan ke asuransi swasta,” ujarnya.

Kepala Departemen Humas BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi, mengatakan BPJS Kesehatan melayani semua lapisan masyarakat, termasuk pejabat pemerintah. Sekalipun telah menjadi peserta BPJS Kesehatan, tidak ada masalah bagi pejabat pemerintah mendapat manfaat tambahan yang digelar lewat perusahaan asuransi lain. “Jadi pejabat pemerintah punya dua asuransi yaitu BPJS Kesehatan dan asuransi yang diselenggaran PT. Jasindo,” pungkasnya.

Presiden SBY telah memutuskan mencabut Perpres No. 105 Tahun 2013 dan Perpres No. 106 Tahun 2013. Kedua perpres ini memberikan pelayanan kesehatan lebih kepada para pejabat negara tertentu. (www.hukumonline.com)

No comments:

Post a Comment