Monday, December 29, 2014

Setumpuk ‘Cacat’ BPJS Dibongkar


Setumpuk ‘Cacat’ BPJS Dibongkar
Istimewa

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan hampir satu tahun berjalan. Masalah dan keluhan marak terjadi dan diungkapkan masyarakat. Hal ini juga diakui oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebagai dewan pengawas pelaksanaan BPJS.

Bahkan, DJSN mengaku memiliki setumpuk catatan terkait ‘cacat’ atau permasalahan dalam pelaksanaan BPJS yang berjalan sejak 1 Januari 2014 ini. DJSN berharap adanya perbaikan agar program JKN yang bertujuan mulia ini bisa berjalan optimal.

Anggota DJSN, Bambang Purwoko, mengungkapkan, sejumlah masalah itu diantaranya terkait aspek obat, kerja sama antara rumah sakit dengan BPJS, sistem kepesertaan, kerja sama pemerintah daerah dengan pusat terkait jaminan kesehatan, sistem rujukan, dan revisi peraturan Direksi BPJS No. 4/2014 BPJS tentang Kepesertaan.

“Dari hasil pleno, masih perlu perbaikan dalam BPJS Kesehatan. Program ini (JKN) bagus untuk menjamin kesehatan masyarakat, tapi harus terus ada perbaikan," ungkapnya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (17/12/2014).

Bambang mengatakan, daftar obat-obatan yang disediakan BPJS  belum mencukupi kebutuhan pasien. Karenanya, perlu ada penambahan dan sosialisasi obat yang disediakan. Hal ini dimaksudkan agar obat para pengguna layanan BPJS Kesehatan tidak lagi mengeluarkan uang untuk obat-obat tertentu.

"Banyak yang belum memahami mengenai daftar obat ini," ungkapnya.

Subiyanto, anggota DJSN lainnya menambahkan, terdapat kecenderungan rumah sakit (RS) yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan belum mematuhi kontrak dengan baik. Mereka masih saja membebankan biaya deposit kepada peserta. Padahal, hal itu tidak boleh dilakukan.

Sedangkan bagi puskesmas, ditemukan masih banyak yang kerap merujuk pasiennya ke rumah sakit. "Hampir 20-40 persen dirujuk. Nah, kenapa jadi dirujuk semuanya? Kan sama saja. Tugas rumah sakit jadi banyak," jelasnya.

Masalah lainnya, terkait dengan iuran peserta. Subiyanto menuturkan, banyak dari masyarakat pedesaan yang kesulitan membayar iuaran. Hal ini dampak dari sistem pembayaran yang hanya bisa dilakukan di tiga bank besar, yakni Bank BNI, BRI dan Mandiri.

"Untuk mereka yang jauh dari akses (bank) harus diberikan solusi," katanya.

Sementara itu, anggota DJSN, Soeprayitno, menyarankan agar BPJS Kesehatan membereskan sejumlah kecemasan masyarakat, khususnya terkait status bayi baru lahir dalam kepesertaan BPJS Kesehatan yang tertuang dalam Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No4/2014.

Ia menyarankan, agar bayi yang baru dilahirkan akan masuk pada kepesertaan BPJS Kesehatan orang tuanya. Untuk mereka penerima bantuan iuran (PBI), maka biaya akan segera ditanggung ketika lahir.

"Namun untuk yang selain itu (PBI), tunggu tiga hari kemudian masa aktivasi. Peraturan itu sudah direvisi, karena beberapa komplain yang sampai," tuturnya.

Bambang Purwoko menambahkan, banyak ditemukan kasus-kasus baru yang harus dipertimbangkan lagi oleh pihak BPJS Kesehatan. Misalnya, seorang bayi terlahir kritis dari pasangan peserta mandiri BPJS yang kondisinya membutuhkan biaya besar. Atau, seorang bayi yang lahir dari keluarga yang tiba-tiba miskin dan belum terdaftar BPJS. "Ini termasuk kasus, orang tuanya bisa kontak lagi ke BPJS," tandas dia.

Untuk bayi dari orang tua peserta mandiri BPJS, Soeprayitno mengatakan orang tua harus mendaftarkan bayinya setelah tiga hari. "Sayangnya, banyak orang tua yang tidak segera mendaftarkan anaknya setelah tiga hari," katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan bayi-bayi yang baru lahir juga dapat masuk dalam perluasan peserta dari Kartu Indonesia Sehat (KIS). "Intinya, negara menjamin orang yang tidak mampu untuk berobat," ungkap dia.

(http://harianterbit.com)

No comments:

Post a Comment