Sunday, August 4, 2013

KUNCINYA, MEMAHAMI EKSPEKTASI CUSTOMER

* PT Tigaraksa Satria Tbk
         
         
Persaingan di bisnis distribusi sangat ketat. Tigaraksa Satria berhasil mengatasinya dengan memahami betul keinginan customer-nya melalui aplikasi knowledge management.    

PERSONAL DIGITAL ASSISTANT (PDA) menjadi salah satu peranti yang wajib dibawa oleh salesman PT Tigaraksa Satria Tbk (TRS) saat berada di lapangan. Dengan peranti itu, saat mendistribusikan barang, sang salesman juga bisa langsung meng-input data hasil penjualan dari sejumlah outlet yang dikunjunginya. Melalui PDA, data itu kemudian ia kirimkan ke server TRS. Data ini bisa diolah menjadi informasi penjualan by product (seperti, produk apa saja yang paling laku dan kurang laku), by geography (di daerah mana saja suatu produk paling laku dan kurang laku) dan by channel (lebih laku di hypermarket, minimarket atau pasar tradisional).
          Setelah data dikirim, hari itu juga jajaran manajemen TRS di kantor pusat dapat mengakses informasinya dari server komputer, sehingga mereka bisa mengetahui kinerja penjualan dari beragam produk yang didistribusikan oleh perusahaannya. Berbekal informasi tersebut, manajemen pun bisa mengambil keputusan-keputusan strategis terkait produk yang didistribusikan oleh Tigaraksa.

PDA sebagai peranti kerja para salesman
Sumber: irenaishiteru89.wordpress.com

          Meski begitu persaingan dalam bisnis distribusi sangat ketat. Hampir setiap produsen untuk memilih mendirikan perusahaan distribusi sendiri. Misalnya, Grup Kalbe Farma memiliki perusahaan distribusi sendiri, yakni PT Enseval Mega Trading Tbk. Lalu, perusahaan makanan dan minuman Garudafood pun memiliki PT Sinar Niaga Sejahtera yang menjadi distributornya. Atau, Grup Dexa Medica yang memiliki PT Anugrah Argon Medica sebagai perusahaan distribusinya. Ketatnya persaingan jelas semakin menekan margin perusahaan-perusahaan distribusi, yang sejatinya sudah sangat tipis. Maka, mereka harus mengembangkan keunggulannya masing-masing agar tetap mampu bersaing di bisnis distribusi.
          Kondisi semacam ini juga dihadapi oleh TRS. Bagaimana mereka menyiasati ketatnya persaingan bisnis? Sejauh mana knowledge management (KM) memainkan peranannya dalam menghadapi persaingan bisnis tersebut?

PT TIGARAKSA SATRIA Tbk merupakan salah satu perusahaan distribusi fast moving consumer goods (FMCG) terbesar dengan wilayah distribusi yang menyebar ke seluruh Indonesia. Perusahaan ini pada mulanya adalah salah satu dari  beberapa unit bisnis yang menangani penjualan dan distribusi barang-barang produksi Grup Tigaraksa (TIRA Group), sebuah kelompok usaha yang didirikan oleh Johnny Widjaja. Salah satu usaha yang dimiliki oleh Tigaraksa adalah PT Sari Husada, produsen makanan dan minuman untuk ibu dan anak, seperti susu dengan merek SGM, VITALAC, Lactamil dan VITA-NOVA.
          Pada tahun 1987, para pemegang saham memutuskan untuk melepas unit-unit bisnis penjualan dan distribusi yang ada di Tigaraksa dan mengkonsolidasikannya ke dalam satu perusahaan yang terpisah. Maka, pada 1998 berdirilah PT Tigaraksa Satria (TRS), perusahaan yang secara khusus menangani bisnis penjualan dan distribusi FMCG tak hanya produk-produk Tigaraksa, tetapi produk dari perusahaan lain. Pesatnya perkembangan bisnis dan perlunya memperkuat dukungan permodalan membuat TRS pada 1990 memutuskan untuk menjual sebagian sahamnya ke masyarakat dengan go public di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (yang kini menjadi Bursa Efek Indonesia).
          Selain menjadi perusahaan distributor, saat ini TRS juga mengelola tiga bidang bisnis yang lain, yaitu pemasaran langsung buku-buku pendidikan anak (dikelola oleh Educational Product Division), layanan manufaktur produk susu bubuk melalui pabrik yang ada di Sleman, Yogyakarta, dan menangani produksi, distribusi dan pemasaran kompor gas dan perlengkapan dapur berikut layanan isi ulang gas elpiji melalui PT Blue Gas Indonesia.

Kantor cabang Tigaraksa Satria di Surabaya
Sumber: www.isurabaya.net

          Seiring dengan konsolidasi usaha, TIRA Group kemudian beralih menjadi Sintesa Group. Maka, kini TRS pun menjadi bagian dari Sintesa Group yang dipimpin oleh Shinta Widjaja Kamdani. Kelompok usaha tersebut kini mengelola empat bidang usaha, yaitu properti, industri, energi dan produk-produk konsumsi. TRS termasuk dalam kelompok produk-produk konsumsi, bersama dengan PT Cipta Sintesa Mustika dan PT Biolina Trio Sintesa.
          Sebagai perusahaan distribusi, independensi menjadi faktor penting. Beberapa produsen yang produknya didistribusikan oleh suatu perusahaan distribusi tentu merasa kurang nyaman jika distributor itu juga mendistribusikan produk miliknya sendiri atau milik kelompok usahanya. Ada kekhawatiran bahwa produk produsen tersebut menjadi dinomorduakan. Pertimbangan inilah yang membuat TRS kemudian memutuskan untuk melepas kepemilikan sahamnya di Sari Husada.
          Bagi TRS, langkah ini bukan hanya strategis, akan tetapi sekaligus juga kritikal. Dulu, sebagai pemilik, TRS seakan-akan memiliki captive market dan masih bisa “mempengaruhi” Sari Husada untuk tetap memakai jasa mereka dalam mendistribusikan produk-produknya. Setelah tidak lagi menjadi pemilik, kewenangan tersebut tentu tidak ada lagi. Keputusan Sari Husada untuk tetap memakai TRS kini sepenuhnya didasarkan oleh pertimbangan profesional.
          Namun, TRS sukses melewati tahap kritikal ini. “Kami berhasil membuat mereka sangat puas dengan kinerja kami,” ungkap Siannie Widjaja, Presiden Direktur TRS. “Ini membuat kami pada awal tahun 2013 menjadi satu-satunya perusahaan distribusi yang dapat menaikkan margin usaha.”

KEBERHASILAN TERSEBUT TAK LEPAS kepiawaian TRS dalam mengelola tiga aspek penting, yaitu teknologi, SDM dan proses bisnis, yang kesemuanya diorientasikan pada kepuasan pelanggan (customer).
          Untuk teknologi, sebagai backbone TRS mengaplikasikan solusi Enterprise Resource Planning (ERP) dari vendor SAP asal Jerman pada tahun 2004. ERP adalah solusi yang mengintegrasikan seluruh sumber daya perusahaan. Melalui solusi ini, TRS mampu dengan cepat mengubah data menjadi informasi. Keberhasilan TRS dalam mengaplikasikan solusi ERP bahkan membuat perusahaan itu menjadi benchmarking perusahaan-perusahaan lain yang ingin mengaplikasikan solusi serupa.
          Mengaplikasikan solusi ERP memang tidak mudah. Misalnya, seorang karyawan tak bisa lagi sembarangan meng-input data. Ia harus disiplin dan data yang di-input pun harus benar-benar akurat. Apa jadinya bila karyawan tersebut tidak disiplin atau datanya tidak akurat? Hampir pasti manajemen akan keliru dalam mengambil keputusan. Itu sebabnya aplikasi solusi ERP memang menuntut perubahan perilaku dan budaya kerja dari segenap karyawan TRS.  
          Berbekal data yang akurat dan informasi yang benar, manajemen TRS mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Inilah yang menjadi andalan TRS dalam melayani kebutuhan customer-nya dan sekaligus membedakan TRS dengan perusahaan distribusi lainnya.
KM memainkan peran penting dalam pengelolaan sumber daya manusia di TRS, terutama pada kriteria kedua dari delapan kriteria Most Admired Knowledge Enterprise (MAKE), yakni mengembangkan knowledge worker melalui kepemimpinan manajemen senior. Melalui aplikasi KM, TRS bertekad menjadikan seluruh karyawannya, termasuk para salesman, sebagai knowledge worker. Apa itu knowledge worker?
Siannie memaparkan, knowledge worker adalah orang yang bekerja menggunakan data dan informasi, bukan lagi intuisi atau perkiraan-perkiraan. Mereka bisa juga disebut pekerja yang berpengetahuan alias pekerja cerdas. Sebagai seorang knowledge worker, setiap usulan atau rencana penjualan seorang salesman mesti didasarkan pada data dan informasi. Misalnya, jika seorang salesman mengusulkan penambahan penjualan suatu produk di outlet tertentu, usulannya itu mesti didukung data dan informasi. Itu sebabnya sang salesman mesti tahu betul kinerja dari setiap produk yang dijualnya, kinerja dari setiap outlet yang berada di bawahnya supervisinya, dan kinerja penjualan wilayah yang ditanganinya. Bahkan, ia juga mesti tahu kinerja dari produk yang menjadi kompetitornya. Penguasaan atas informasi semacam inilah yang membedakan salesman TRS dengan salesman dari perusahaan distribusi lainnya.
Kata Budy Purnawanto, Direktur SDM Tigaraksa, “Kami semua bercita-cita ingin menjadi knowledge worker. Jadi semua divisi dituntut untuk mengubah proses kerjanya dari yang semula serba manual menjadi yang berbasis informasi.”

Budy Purnawanto
Sumber: www.intipesan.co.id

Perubahan semacam itu tentu membutuhkan dukungan solusi teknologi informasi (TI) yang canggih. Sungguh beruntung TRS sudah mengaplikasikan solusi TI yang cukup powerful dari SAP. Papar Budy, “Informasi yang begitu banyak menjadi tak ada gunanya kalau tidak dipergunakan. Intinya, kami ingin segenap karyawan menggunakan informasi dalam melakukan pekerjaannya, dan itu harus menjadi knowledge yang melekat di benak setiap karyawan, sehingga dia bisa bekerja dengan lebih baik lagi.”
Dalam praktek, para knowledge worker ini dipimpin oleh knowledge leader. Misalnya, para salesman sebagai knowledge worker, dipimpin oleh supervisor yang menjadi knowledge leader. Lalu, para supervisor ini juga sekaligus knowledge worker yang dipimpin oleh seorang manajer yang menjadi knowledge leader, dan seterusnya. Masing-masing atasan akan berperan sebagai people manager. Dia mesti membimbing para bawahannya supaya sukses dalam menangani pekerjaannya.
Salah satu ukuran keberhasilan seorang knowledge leader adalah bila timnya berhasil atau bahkan melampaui target penjualan yang ditetapkan perusahaan dan capaian itu terdistribusi merata ke segenap salesman. Jadi, bukan hanya satu salesman saja yang kinerjanya cemerlang, tetapi kinerja salesman lainnya di bawah target. Kalau itu yang terjadi, knowledge leader tadi dianggap tidak berhasil dalam memimpin timnya.  
Untuk itu dalam membina bawahannya tadi, para knowledge leader dibekali dengan ajaran dari Ki Hajar Dewantoro, yakni ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso  dan tut wuri handayani. Jadi pemimpin harus bisa memberikan teladan, menjadi teman serta memberikan dorongan dan semangat kepada para bawahannya. Atau, dalam bahasa yang lain peran pemimpin adalah visioning, integrating dan motivating.

Boks

Menerapkan Ajaran Ki Hajar Dewantoro

MENARIK MELIHAT Tigaraksa Satria menerapkan ajaran ini untuk mengelola bisnisnya. Untuk ajaran ing ngarso sung tuladha, setiap awal tahun CEO TRS memberikan arahan dalam bentuk President Message. Para pimpinan di tingkat kedua meng-cascade down arahan tersebut ke seluruh karyawan. Lalu, pada rapat awal tahun selalu ada sesi strategic direction yang dibawakan oleh CEO, yang kemudian diturunkan lagi oleh pimpinan atau wakil pimpinan cabang di setiap cabang.
Untuk ajaran ing madya mangun karsa, Robert Budi Widjaja, pendiri dan  pemilik TRS, aktif meng-upload tulisannya di portal, mengajak karyawan untuk berdiskusi. Pimpinan TRS dan tingkat manajerial pun turut aktif dalam program pengembangan karyawan. Contohnya dengan menjadi panelis dalam round tets para talent. Pimpinan TRS juga melakukan management by walking around, mengunjungi anak buah di tempat kerja sambil mendiskusikan hal-hal yang sekiranya perlu dibantu. Di sini pimpinan TRS secara berkala menjadi fasilitator di acara sharing session, dan membagikan buku kepada karyawan untuk menambah wawasan. Pimpinan TRS juga turut aktif dalam semua event yang melibatkan karyawan, seperti kompetisi futsal atau acara-acara keagamaan.
Melalui ajaran tut wuri handayani, para pimpinan TRS memberi kesempatan kepada karyawan untuk berani memberikan ide atau tampil di hadapan publik. Misalnya, dengan menjadi pembicara seminar mewakili perusahaan, atau ikut dalam ajang kompetisi berskala nasional. Ini sekaligus merupakan salah satu bentuk apresiasi kepada para knowledge leader.

Dalam menata proses bisnisnya agar lebih berorientasi kepada customer, TRS mengganti pendekatan pola pikir job description dengan model SIPOC (Supplier-Input-Process-Output-Customer). Dengan mengganti pola pikir ini diharapkan orientasi kepada customer menjadi lebih terlihat. SIPOC ini juga diharapkan mampu membongkar pola pikir yang semula berdasarkan fungsional, sehingga menciptakan silo-silo atau sekat-sekat sesuai fungsinya masing-masing, menjadi lebih berorientasi kepada customer.

SELAMA INI TRS MEMILIKI dua tipe customer. Pertama, para prinsipal sebagai produsen dan pemilik produk. Kedua, outlet-outlet yang memasarkan produk-produk milik prinsipal. Dua customer ini memiliki ekspektasi yang berbeda. Prinsipal, misalnya, ingin produknya terjual sebanyak-banyaknya. Sementara outlet-outlet ingin penjualan yang serendah mungkin. TRS berperan mempertemukan dua kepentingan yang saling bertolak belakang ini. Untuk itu TRS mengembangkan sistem Rolling Forecast (Rofo) merupakan kreasi dari tim Process Integrator (PI), tim yang bertugas melayani semua urusan dengan para prinsipal.
          Dari sisi proses bisnis, hal ini dilakukan dengan mengubah pola pikir karyawan dari yang berbasis job desciption menjadi SIPOC. Lalu, TRS juga menerapkan activity based costing (ABC) agar bisa mengukur cost of poor quality pada setiap proses dan memperkenalkan pola pikir DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve dan Control) sebagai acuan dalam menjalankan program perbaikan yang berkelanjutan. Terakhir, menerapkan struktur organisasi berbasis proses.
TRS sangat memahami harapan prinsipal, yaitu pencapaian penjualan sesuai target, pencapaian target distribusi/penyebaran, peningkatan service level kepada main outlet, menjaga stok barang pada level minimum, frekuensi transaksi outlet, serta tingkat retur barang yang terkendali. Sementara, harapan outlet adalah shelves turnover, return of investment, dan pemenuhan service level.
Pemahaman inilah yang membuat para panelis MAKE menilai TRS memang memiliki kekuatan dalam mengelola customer knowledge, yakni kriteria ketujuh dalam MAKE. TRS memanfaatkan pengetahuannya ini untuk meningkatkan kepuasan pelanggan, sehingga bisa mendorong terjadinya customer acquisition dan customer rentention. Kepuasan customer inilah yang pada akhirnya akan bisa membawa keuntungan bagi TRS, para pemegang saham maupun stakeholder. Ini tercermin, antara lain, pada pertumbuhan pendapatan perusahaan yang pada 2006 masih Rp2,9 triliun, untuk tahun 2011 sudah mencapai Rp6,5 triliun, atau tumbuh 124%.

                                               

                                                          *****

No comments:

Post a Comment