* PT Tigaraksa Satria Tbk
Persaingan
di bisnis distribusi sangat ketat. Tigaraksa Satria berhasil mengatasinya
dengan memahami betul keinginan customer-nya
melalui aplikasi knowledge management.
PERSONAL DIGITAL ASSISTANT (PDA) menjadi
salah satu peranti yang wajib dibawa oleh salesman
PT Tigaraksa Satria Tbk (TRS) saat berada di lapangan. Dengan peranti itu, saat
mendistribusikan barang, sang salesman
juga bisa langsung meng-input data
hasil penjualan dari sejumlah outlet
yang dikunjunginya. Melalui PDA, data itu kemudian ia kirimkan ke server TRS. Data
ini bisa diolah menjadi informasi penjualan by
product (seperti, produk apa saja yang paling laku dan kurang laku), by geography (di daerah mana saja suatu
produk paling laku dan kurang laku) dan by
channel (lebih laku di hypermarket,
minimarket atau pasar tradisional).
Setelah data dikirim, hari itu juga
jajaran manajemen TRS di kantor pusat dapat mengakses informasinya dari server
komputer, sehingga mereka bisa mengetahui kinerja penjualan dari beragam produk
yang didistribusikan oleh perusahaannya. Berbekal informasi tersebut, manajemen
pun bisa mengambil keputusan-keputusan strategis terkait produk yang
didistribusikan oleh Tigaraksa.
PDA
sebagai peranti kerja para salesman
Sumber:
irenaishiteru89.wordpress.com
Meski begitu persaingan dalam bisnis
distribusi sangat ketat. Hampir setiap produsen untuk memilih mendirikan
perusahaan distribusi sendiri. Misalnya, Grup Kalbe Farma memiliki perusahaan
distribusi sendiri, yakni PT Enseval Mega Trading Tbk. Lalu, perusahaan makanan
dan minuman Garudafood pun memiliki PT Sinar Niaga Sejahtera yang menjadi
distributornya. Atau, Grup Dexa Medica yang memiliki PT Anugrah Argon Medica
sebagai perusahaan distribusinya. Ketatnya persaingan jelas semakin menekan
margin perusahaan-perusahaan distribusi, yang sejatinya sudah sangat tipis.
Maka, mereka harus mengembangkan keunggulannya masing-masing agar tetap mampu
bersaing di bisnis distribusi.
Kondisi semacam ini juga dihadapi oleh
TRS. Bagaimana mereka menyiasati ketatnya persaingan bisnis? Sejauh mana knowledge management (KM) memainkan
peranannya dalam menghadapi persaingan bisnis tersebut?
PT TIGARAKSA SATRIA Tbk
merupakan salah satu perusahaan distribusi fast
moving consumer goods (FMCG) terbesar dengan wilayah distribusi yang
menyebar ke seluruh Indonesia. Perusahaan ini pada mulanya adalah salah satu
dari beberapa unit bisnis yang menangani
penjualan dan distribusi barang-barang produksi Grup Tigaraksa (TIRA Group),
sebuah kelompok usaha yang didirikan oleh Johnny Widjaja. Salah satu usaha yang
dimiliki oleh Tigaraksa adalah PT Sari Husada, produsen makanan dan minuman untuk
ibu dan anak, seperti susu dengan merek SGM, VITALAC, Lactamil dan VITA-NOVA.
Pada tahun 1987, para pemegang saham memutuskan untuk melepas
unit-unit bisnis penjualan dan distribusi yang ada di Tigaraksa dan
mengkonsolidasikannya ke dalam satu perusahaan yang terpisah. Maka, pada 1998
berdirilah PT Tigaraksa Satria (TRS), perusahaan yang secara khusus menangani
bisnis penjualan dan distribusi FMCG tak hanya produk-produk Tigaraksa, tetapi
produk dari perusahaan lain. Pesatnya perkembangan bisnis dan perlunya
memperkuat dukungan permodalan membuat TRS pada 1990 memutuskan untuk menjual
sebagian sahamnya ke masyarakat dengan go
public di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (yang kini menjadi
Bursa Efek Indonesia).
Selain menjadi perusahaan distributor, saat ini TRS juga mengelola
tiga bidang bisnis yang lain, yaitu pemasaran langsung buku-buku pendidikan
anak (dikelola oleh Educational Product Division), layanan manufaktur produk
susu bubuk melalui pabrik yang ada di Sleman, Yogyakarta, dan menangani
produksi, distribusi dan pemasaran kompor gas dan perlengkapan dapur berikut
layanan isi ulang gas elpiji melalui PT Blue Gas Indonesia.
Kantor
cabang Tigaraksa Satria di Surabaya
Sumber:
www.isurabaya.net
Seiring dengan konsolidasi usaha, TIRA Group kemudian
beralih menjadi Sintesa Group. Maka, kini TRS pun menjadi bagian dari Sintesa
Group yang dipimpin oleh Shinta Widjaja Kamdani. Kelompok usaha tersebut kini
mengelola empat bidang usaha, yaitu properti, industri, energi dan
produk-produk konsumsi. TRS termasuk dalam kelompok produk-produk konsumsi,
bersama dengan PT Cipta Sintesa Mustika dan PT Biolina Trio Sintesa.
Sebagai perusahaan distribusi, independensi menjadi faktor penting.
Beberapa produsen yang produknya didistribusikan oleh suatu perusahaan
distribusi tentu merasa kurang nyaman jika distributor itu juga
mendistribusikan produk miliknya sendiri atau milik kelompok usahanya. Ada
kekhawatiran bahwa produk produsen tersebut menjadi dinomorduakan. Pertimbangan
inilah yang membuat TRS kemudian memutuskan untuk melepas kepemilikan sahamnya
di Sari Husada.
Bagi
TRS, langkah ini bukan hanya strategis, akan tetapi sekaligus juga kritikal.
Dulu, sebagai pemilik, TRS seakan-akan memiliki captive market dan masih bisa “mempengaruhi” Sari Husada untuk
tetap memakai jasa mereka dalam mendistribusikan produk-produknya. Setelah
tidak lagi menjadi pemilik, kewenangan tersebut tentu tidak ada lagi. Keputusan
Sari Husada untuk tetap memakai TRS kini sepenuhnya didasarkan oleh
pertimbangan profesional.
Namun, TRS sukses melewati tahap kritikal ini. “Kami
berhasil membuat mereka sangat puas dengan kinerja kami,” ungkap Siannie
Widjaja, Presiden Direktur TRS. “Ini membuat kami pada awal tahun 2013 menjadi
satu-satunya perusahaan distribusi yang dapat menaikkan margin usaha.”
KEBERHASILAN TERSEBUT TAK
LEPAS kepiawaian TRS dalam mengelola tiga aspek penting, yaitu teknologi, SDM
dan proses bisnis, yang kesemuanya diorientasikan pada kepuasan pelanggan (customer).
Untuk teknologi, sebagai backbone TRS mengaplikasikan solusi Enterprise Resource Planning (ERP) dari vendor SAP asal Jerman pada
tahun 2004. ERP adalah solusi yang mengintegrasikan seluruh sumber daya
perusahaan. Melalui solusi ini, TRS mampu dengan cepat mengubah data menjadi
informasi. Keberhasilan TRS dalam mengaplikasikan solusi ERP bahkan membuat
perusahaan itu menjadi benchmarking
perusahaan-perusahaan lain yang ingin mengaplikasikan solusi serupa.
Mengaplikasikan solusi ERP memang tidak mudah. Misalnya,
seorang karyawan tak bisa lagi sembarangan meng-input data. Ia harus disiplin dan
data yang di-input pun harus benar-benar akurat. Apa jadinya bila karyawan
tersebut tidak disiplin atau datanya tidak akurat? Hampir pasti manajemen akan
keliru dalam mengambil keputusan. Itu sebabnya aplikasi solusi ERP memang
menuntut perubahan perilaku dan budaya kerja dari segenap karyawan TRS.
Berbekal data yang akurat dan informasi yang benar,
manajemen TRS mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Inilah yang
menjadi andalan TRS dalam melayani kebutuhan customer-nya dan sekaligus membedakan TRS dengan perusahaan
distribusi lainnya.
KM memainkan
peran penting dalam pengelolaan sumber daya manusia di TRS, terutama pada
kriteria kedua dari delapan kriteria Most
Admired Knowledge Enterprise (MAKE), yakni mengembangkan knowledge worker melalui kepemimpinan
manajemen senior. Melalui aplikasi
KM, TRS bertekad menjadikan seluruh karyawannya, termasuk para salesman, sebagai knowledge worker. Apa itu knowledge
worker?
Siannie
memaparkan, knowledge worker adalah
orang yang bekerja menggunakan data dan informasi, bukan lagi intuisi atau perkiraan-perkiraan.
Mereka bisa juga disebut pekerja yang berpengetahuan alias pekerja cerdas. Sebagai
seorang knowledge worker, setiap
usulan atau rencana penjualan seorang salesman
mesti didasarkan pada data dan informasi. Misalnya, jika seorang salesman mengusulkan penambahan
penjualan suatu produk di outlet
tertentu, usulannya itu mesti didukung data dan informasi. Itu sebabnya sang salesman mesti tahu betul kinerja dari
setiap produk yang dijualnya, kinerja dari setiap outlet yang berada di bawahnya supervisinya, dan kinerja penjualan
wilayah yang ditanganinya. Bahkan, ia juga mesti tahu kinerja dari produk yang
menjadi kompetitornya. Penguasaan atas informasi semacam inilah yang membedakan
salesman TRS dengan salesman dari perusahaan distribusi
lainnya.
Kata Budy
Purnawanto, Direktur SDM Tigaraksa,
“Kami semua bercita-cita ingin menjadi knowledge
worker. Jadi semua divisi dituntut untuk mengubah proses kerjanya dari yang
semula serba manual menjadi yang berbasis informasi.”
Budy Purnawanto
Sumber:
www.intipesan.co.id
Perubahan
semacam itu tentu membutuhkan dukungan solusi teknologi informasi (TI) yang
canggih. Sungguh beruntung TRS sudah mengaplikasikan solusi TI yang cukup powerful dari SAP. Papar Budy, “Informasi
yang begitu banyak menjadi tak ada gunanya kalau tidak dipergunakan. Intinya,
kami ingin segenap karyawan menggunakan informasi dalam melakukan pekerjaannya,
dan itu harus menjadi knowledge yang
melekat di benak setiap karyawan, sehingga dia bisa bekerja dengan lebih baik
lagi.”
Dalam
praktek, para knowledge worker ini
dipimpin oleh knowledge leader. Misalnya,
para salesman sebagai knowledge worker, dipimpin oleh supervisor yang menjadi knowledge leader. Lalu, para supervisor ini juga sekaligus knowledge worker yang dipimpin oleh
seorang manajer yang menjadi knowledge
leader, dan seterusnya. Masing-masing atasan akan berperan sebagai people manager. Dia mesti membimbing para
bawahannya supaya sukses dalam menangani pekerjaannya.
Salah satu
ukuran keberhasilan seorang knowledge
leader adalah bila timnya berhasil atau bahkan melampaui target penjualan yang
ditetapkan perusahaan dan capaian itu terdistribusi merata ke segenap salesman. Jadi, bukan hanya satu salesman saja yang kinerjanya cemerlang,
tetapi kinerja salesman lainnya di
bawah target. Kalau itu yang terjadi, knowledge
leader tadi dianggap tidak berhasil dalam memimpin timnya.
Untuk itu dalam membina bawahannya tadi, para knowledge leader dibekali dengan ajaran dari Ki Hajar Dewantoro,
yakni ing ngarso sung tuladha, ing madya
mangun karso dan tut wuri handayani. Jadi pemimpin harus
bisa memberikan teladan, menjadi teman serta memberikan dorongan dan semangat
kepada para bawahannya. Atau, dalam bahasa yang lain peran pemimpin adalah visioning,
integrating
dan motivating.
Boks
Menerapkan Ajaran Ki Hajar
Dewantoro
MENARIK MELIHAT Tigaraksa Satria
menerapkan ajaran ini untuk mengelola bisnisnya. Untuk ajaran ing ngarso sung tuladha, setiap awal
tahun CEO TRS memberikan arahan dalam bentuk President Message. Para pimpinan di tingkat kedua meng-cascade down arahan tersebut ke seluruh
karyawan. Lalu, pada rapat awal tahun selalu ada sesi strategic direction yang dibawakan oleh CEO, yang kemudian
diturunkan lagi oleh pimpinan atau wakil pimpinan cabang di setiap cabang.
Untuk ajaran ing madya
mangun karsa, Robert Budi Widjaja, pendiri dan pemilik TRS, aktif meng-upload tulisannya di portal, mengajak karyawan untuk berdiskusi.
Pimpinan TRS dan tingkat manajerial pun turut aktif dalam program pengembangan
karyawan. Contohnya dengan menjadi panelis dalam round tets para talent.
Pimpinan TRS juga melakukan management by
walking around, mengunjungi anak buah di tempat kerja sambil mendiskusikan
hal-hal yang sekiranya perlu dibantu. Di sini pimpinan TRS secara berkala
menjadi fasilitator di acara sharing
session, dan membagikan buku kepada karyawan untuk menambah wawasan.
Pimpinan TRS juga turut aktif dalam semua event
yang melibatkan karyawan, seperti kompetisi futsal atau acara-acara keagamaan.
Melalui ajaran tut wuri
handayani, para pimpinan TRS memberi kesempatan kepada karyawan untuk
berani memberikan ide atau tampil di hadapan publik. Misalnya, dengan menjadi
pembicara seminar mewakili perusahaan, atau ikut dalam ajang kompetisi berskala
nasional. Ini sekaligus merupakan salah satu bentuk apresiasi kepada para knowledge leader.
Dalam menata proses bisnisnya agar lebih berorientasi kepada customer, TRS mengganti pendekatan pola
pikir job description dengan model
SIPOC (Supplier-Input-Process-Output-Customer).
Dengan mengganti pola pikir ini diharapkan orientasi kepada customer menjadi lebih terlihat. SIPOC
ini juga diharapkan mampu membongkar pola pikir yang semula berdasarkan
fungsional, sehingga menciptakan silo-silo atau sekat-sekat sesuai fungsinya
masing-masing, menjadi lebih berorientasi kepada customer.
SELAMA
INI TRS MEMILIKI dua tipe customer. Pertama, para prinsipal sebagai produsen
dan pemilik produk. Kedua, outlet-outlet yang memasarkan
produk-produk milik prinsipal. Dua customer
ini memiliki ekspektasi yang berbeda. Prinsipal, misalnya, ingin produknya
terjual sebanyak-banyaknya. Sementara outlet-outlet
ingin penjualan yang serendah mungkin. TRS berperan mempertemukan dua kepentingan
yang saling bertolak belakang ini. Untuk itu TRS mengembangkan sistem Rolling Forecast (Rofo)
merupakan kreasi dari tim Process
Integrator (PI), tim yang bertugas melayani semua urusan dengan para prinsipal.
Dari sisi proses bisnis, hal ini
dilakukan dengan mengubah pola pikir karyawan dari yang berbasis job desciption menjadi SIPOC. Lalu, TRS
juga menerapkan activity based costing (ABC)
agar bisa mengukur cost of poor quality pada setiap proses dan memperkenalkan pola
pikir DMAIC (Define, Measure, Analyze,
Improve dan Control) sebagai acuan dalam menjalankan program perbaikan yang
berkelanjutan. Terakhir, menerapkan struktur organisasi berbasis proses.
TRS sangat
memahami harapan prinsipal, yaitu pencapaian penjualan sesuai target,
pencapaian target distribusi/penyebaran, peningkatan service level kepada main
outlet, menjaga stok barang pada level minimum, frekuensi transaksi outlet,
serta tingkat retur barang yang terkendali. Sementara, harapan outlet adalah shelves turnover, return of investment,
dan pemenuhan service level.
Pemahaman inilah yang membuat para panelis MAKE menilai TRS memang memiliki
kekuatan dalam mengelola customer
knowledge, yakni kriteria ketujuh dalam MAKE. TRS memanfaatkan
pengetahuannya ini untuk
meningkatkan kepuasan pelanggan, sehingga bisa mendorong terjadinya customer acquisition dan customer rentention. Kepuasan customer inilah yang pada akhirnya akan
bisa membawa keuntungan bagi TRS, para pemegang saham maupun stakeholder. Ini tercermin, antara lain,
pada pertumbuhan pendapatan perusahaan yang pada 2006 masih Rp2,9 triliun, untuk
tahun 2011 sudah mencapai Rp6,5 triliun, atau tumbuh 124%.
*****
No comments:
Post a Comment