Oleh A.
A. Gde Muninjaya
Pengamat
pelayanan kesehatan masyarakat
Lebih
dari 9.000 pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan jejaringnya sudah
dibangun di seluruh Indonesia sejak dicanangkannya tahun 1971. Puskesmas
dibangun dengan tiga peran utama sebagai pusat pelayanan kesehatan dasar
(centre for primary health care services), sebagai pusat pembangunan berwawasan
kesehatan (centre for health oriented development), dan sebagai pusat
pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan (centre for community health
empowerment). Pemerintah membangun puskesmas untuk dijadikan centre point
pengembangan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu sesuai dengan strata sistem
Sejauh
mana penerapan UU BPJS awal tahun 2014 dan tahun politik 2013/2014 mampu
mempercepat perubahan paradigma sakit yang berkembang di masyarakat menjadi
paradigma hidup sehat? Apakah jaminan pelayanan kesehatan yang akan mencakup
seluruh masyarakat (universal coverage) mampu meningkatkan akses masyarakat ke
institusi pelayanan kesehatan dasar yang lebih bermutu?
Kebijakan
otonomi daerah yang dikembangkan tahun 2001 tetap fokus pada pengembangan
ketiga peran Puskesmas. Sebagai unit pelaksana teknis (UPT) Dinas Kesehatan
Kab/kota, puskesmas wajib melaksanakan program pokok dan beberapa program
pengembangan (inovasi) sesuai dengan kebutuhan masyarakat di wilayahnya. Pada
era otonomi daerah, program pokok puskesmas sudah disederhanakan dari basic 12
menjadi basic 6. Penyederhanaan ini adalah kewenangan pemerintah untuk
menyeragamkan pelayanan kesehatan dasar di seluruh wilayah tanah air.
Keenam
program pokok puskesmas terdiri dari 1) program kesehatan ibu dan anak -
Keluarga Berencana; 2) program pemberantasan penyakit; 3) program kesehatan
lingkungan; 4) program penyuluhan kesehatan masyarakat; 5) program gizi
masyarakat, dan 6) program pengobatan dasar. Meskipun program pokok puskesmas
sudah disederhanakan, tetapi tampaknya pemerintah daerah belum tertarik
mengembangkan peran puskesmas sebagai unjung tombak dan penggerak pembangunan
berwawasan kesehatan di daerahnya. Kebanyakan pemerintah daerah bangga memiliki
RSUD dibandingkan puskesmas yang bermutu. Puskesmas dibiarkan saja melaksanakan
pengobatan dasar di balai (klinik) pengobatan sehingga staf puskesmas cenderung
hanya memanfaatkan waktu kerjanya untuk melaksanakan pengobatan dan menunggu
pasien di dalam gedung puskesmas. Masyarakat diposisikan sebagai konsumen obat.
Pola
pelayanan kesehatan seperti ini menandakan kebijakan desentralisasi pembangunan
kesehatan belum mampu mengembalikan format awal puskesmas. Para penyedia
pelayanan kesehatan dan masyarakat dibiarkan terjebak pola pikir yang
berorientasi penyakit (paradigma sakit). Pengelolaan puskesmas menjadi tidak
efisien. Promosi kesehatan dan pencegahan penyakit hanya menjadi wacana tetapi
minim tindakan nyata. Paradigma hidup sehat yang menjadi tanggung jawab dan
kewenangan Bupati/Wali Kota di tingkat pelayanan kesehatan dasar akhirnya tidak
berkembang.
Sindroma
paradigma sakit yang berkembang saat ini di masyarakat sudah menyebabkan
pelayanan kesehatan menjadi mahal. Kejadian sakit di masyarakat dijadikan komoditas
pengobatan sehingga masyarakat diposisikan sebagai konsumen obat dan harus
membayar sendiri pengobatan yang dibutuhkan (out of pocket services).
Revitalisasi
Pelayanan Kesehatan Dasar
Salah
satu strategi reformasi pelayanan kesehatan yang belum berhasil diwujudkan oleh
pemerintah daerah sejak kebijakan otonomi daerah diterapkan tahun 2001 adalah
mengembalikan ketiga peran puskesmas sesuai dengan konsep awal pendirian
puskesmas. Strategi otonomi daerah yang seharusnya diadopsi oleh pemerintah daerah
untuk mengembangkan ketiga peran tersebut adalah melakukan revitalisasi
pelayanan kesehatan dasar (RPKD). Strategi ini harus intensif diperkenalkan
kepada masyarakat luas dengan melibarkan petugas kesehatan di daerah didukung
kerja sama lintas sektor. Tujuan pengembangan strategi RPKD adalah mencegah
ekses negatif konsumerisme di bidang pelayanan kesehatan. BPJS yang mulai
efektif bekerja awal Januari tahun 2014 seharusnya mengadvokasi pemerintah
daerah segera menerapkan RPKD.
Enam
kebijakan strategis yang dapat dikembangkan oleh pemerintah daerah untuk segera
mewujudkan RPKD di wilayahnya masing-masing.
Pertama,
mengembangkan paradigma hidup sehat di bidang pelayanan kesehatan dasar,
menggantikan paradigma sakit yang cenderung merugikan masyarakat. Untuk maksud
tersebut, Bupati/Wali Kota perlu mengeluarkan surat keputusan/peraturan kepala
daerah yang diperkuat dengan Peraturan Daerah (Perda).
Kedua,
memperkuat struktur organisasi pelayanan kesehatan di daerah. Strategi ini
merupakan bagian dari reformasi kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten/kota dan
RSUD. Kewenangan kedua institusi pelayanan kesehatan ini perlu diatur kembali
dengan peraturan daerah untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dasar di
daerahnya masing-masing, termasuk meningkatkan peran serta keluarga dan
kelompok-kelompok masyarakat memelihara kesehatannya sendiri.
Ketiga,
mengefektifkan kerja sama lintas sektor yang lebih antisipatif terhadap masalah
kesehatan masyarakat yang potensial berkembang di daerah. Upaya promosi
kesehatan dan pencegahan penyakit seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab
dan kewenangan Dinas Kesehatan dan RSUD. Semua sektor terkait harus dilibatkan
untuk menanggulangi masalah kesehatan masyarakat yang potensial berkembang di
daerahnya masing-masing. Kerja sama seperti ini akan memperkuat realisasi
pembangunan berwawasan kesehatan yang bertujuan untuk mengurangi faktor risiko
(perilaku dan lingkungan) berkembangnya penyakit menular dan tidak menular di
masyarakat. Determinan sosial masalah kesehatan seperti pengangguran, rendahnya
pendapatan keluarga, keterbatasan transportasi, kuatnya adat dan sistem
kepercayaan di bidang kesehatan) juga perlu diidentifikasi untuk mengendalikan
berbagai jenis penyakit rakyat yang berkembang di daerah.
Keempat,
memaksimalkan pemanfaatan dana BOK (biaya operasional kesehatan). Setiap tahun,
pemerintah menyediakan BOK antara Rp 60-90 juta per puskesmas. Dana yang
bersumber dari pemerintah ditujukan untuk mendorong staf puskesmas agar lebih
proaktif melakukan pendampingan keluarga dan kelompok-kelompok masyarakat.
Fokus kegiatannya adalah mengembangkan promosi dan lingkungan hidup sehat untuk
pencegahan penyakit. Strategi ini akan menjadi efektif kalau Bupati/Wali Kota
juga mengeluarkan surat keputusan atau peraturan kepala daerah yang mendorong
pemerintah desa lebih proaktif mendukung pembangunan kesehatan dasar di
wilayahnya dan memanfaatkan alokasi dana khusus pembangunan desa yang bersumber
dari APBD II.
Kelima,
mengefektifkan sistem jaminan pelayanan kesehatan (jamkesmas, askesj Jaminan
sosial kesehatan daerah dsb.). Kebijakan ini akan membuka peluang masyarakat
mengakses pelayanan pengobatan dasar (aspek kuratif) yang lebih bermutu,
termasuk pelayanan kesehatan alternatif/tradisonal. Untuk itu, Bupati/Wali Kota
harus mendorong pimpinan RS dan Dinas Kesehatan lebih intensif berkoordinasi
menyusun prosedur tetap (protap) pengembangan mutu pengobatan dasar di
wilayahnya. Standar tarif, standar terapi, standar prosedur berbagai jenis
pelayanan, standar pengawasan dan sebagainya akan menjadi bagian dari
standardisasi mutu pengobatan dasar dan mekanisme rujukan yang lebih terbuka di
daerah. Dengan strategi ini, masyarakat akan lebih mudah mengakses pengobatan
dasar yang holistik, menyeluruh, dan bermutu.
Keenam,
mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan kesehatan berbasis penduduk.
Strategi ini harus disinkronkan dengan sistem e-KTP. Kedua kebijakan strategis
ini akan memperkuat sistem inovasi daerah, dan akan membantu pemerintah daerah
mampu menyusun rencana strategis pembangunan kesehatan daerah sesuai dengan
masalah kesehatan yang potensial berkembang di wilayahnya.
Masih
ada celah waktu sampai akhir tahun ini untuk menerapkan keenam strategi
pengembangan RPKD. Pemerintah daerah dituntut segera memanfaatkan kewenangannya
mengubah paradigma sakit yang cendrung merugikan masyarakat menjadi paradigma
hidup sehat yang lebih berpihak pada masyarakat luas. Strategi ini juga akan
mencegah kecenderungan masyarakat menjadi konsumen obat.
Tahun
2013/2014 adalah tahun politik. Para elite politik seharusnya mengembangkan
kepekaan sosialnya dan lebih cerdas menyikapi kebutuhan rakyat terkait dengan
pelayanan kesehatan dasar yang lebih bermutu. (www.balipost.com)
No comments:
Post a Comment