Sunday, August 4, 2013

Masyarakat Membutuhkan Pelayanan Kesehatan Dasar yang Bermutu

Oleh A. A. Gde Muninjaya
Pengamat pelayanan kesehatan masyarakat



Lebih dari 9.000 pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan jejaringnya sudah dibangun di seluruh Indonesia sejak dicanangkannya tahun 1971. Puskesmas dibangun dengan tiga peran utama sebagai pusat pelayanan kesehatan dasar (centre for primary health care services), sebagai pusat pembangunan berwawasan kesehatan (centre for health oriented development), dan sebagai pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan (centre for community health empowerment). Pemerintah membangun puskesmas untuk dijadikan centre point pengembangan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu sesuai dengan strata sistem



Sejauh mana penerapan UU BPJS awal tahun 2014 dan tahun politik 2013/2014 mampu mempercepat perubahan paradigma sakit yang berkembang di masyarakat menjadi paradigma hidup sehat? Apakah jaminan pelayanan kesehatan yang akan mencakup seluruh masyarakat (universal coverage) mampu meningkatkan akses masyarakat ke institusi pelayanan kesehatan dasar yang lebih bermutu?

Kebijakan otonomi daerah yang dikembangkan tahun 2001 tetap fokus pada pengembangan ketiga peran Puskesmas. Sebagai unit pelaksana teknis (UPT) Dinas Kesehatan Kab/kota, puskesmas wajib melaksanakan program pokok dan beberapa program pengembangan (inovasi) sesuai dengan kebutuhan masyarakat di wilayahnya. Pada era otonomi daerah, program pokok puskesmas sudah disederhanakan dari basic 12 menjadi basic 6. Penyederhanaan ini adalah kewenangan pemerintah untuk menyeragamkan pelayanan kesehatan dasar di seluruh wilayah tanah air.

Keenam program pokok puskesmas terdiri dari 1) program kesehatan ibu dan anak - Keluarga Berencana; 2) program pemberantasan penyakit; 3) program kesehatan lingkungan; 4) program penyuluhan kesehatan masyarakat; 5) program gizi masyarakat, dan 6) program pengobatan dasar. Meskipun program pokok puskesmas sudah disederhanakan, tetapi tampaknya pemerintah daerah belum tertarik mengembangkan peran puskesmas sebagai unjung tombak dan penggerak pembangunan berwawasan kesehatan di daerahnya. Kebanyakan pemerintah daerah bangga memiliki RSUD dibandingkan puskesmas yang bermutu. Puskesmas dibiarkan saja melaksanakan pengobatan dasar di balai (klinik) pengobatan sehingga staf puskesmas cenderung hanya memanfaatkan waktu kerjanya untuk melaksanakan pengobatan dan menunggu pasien di dalam gedung puskesmas. Masyarakat diposisikan sebagai konsumen obat.

Pola pelayanan kesehatan seperti ini menandakan kebijakan desentralisasi pembangunan kesehatan belum mampu mengembalikan format awal puskesmas. Para penyedia pelayanan kesehatan dan masyarakat dibiarkan terjebak pola pikir yang berorientasi penyakit (paradigma sakit). Pengelolaan puskesmas menjadi tidak efisien. Promosi kesehatan dan pencegahan penyakit hanya menjadi wacana tetapi minim tindakan nyata. Paradigma hidup sehat yang menjadi tanggung jawab dan kewenangan Bupati/Wali Kota di tingkat pelayanan kesehatan dasar akhirnya tidak berkembang.

Sindroma paradigma sakit yang berkembang saat ini di masyarakat sudah menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi mahal. Kejadian sakit di masyarakat dijadikan komoditas pengobatan sehingga masyarakat diposisikan sebagai konsumen obat dan harus membayar sendiri pengobatan yang dibutuhkan (out of pocket services).



Revitalisasi Pelayanan Kesehatan Dasar

Salah satu strategi reformasi pelayanan kesehatan yang belum berhasil diwujudkan oleh pemerintah daerah sejak kebijakan otonomi daerah diterapkan tahun 2001 adalah mengembalikan ketiga peran puskesmas sesuai dengan konsep awal pendirian puskesmas. Strategi otonomi daerah yang seharusnya diadopsi oleh pemerintah daerah untuk mengembangkan ketiga peran tersebut adalah melakukan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar (RPKD). Strategi ini harus intensif diperkenalkan kepada masyarakat luas dengan melibarkan petugas kesehatan di daerah didukung kerja sama lintas sektor. Tujuan pengembangan strategi RPKD adalah mencegah ekses negatif konsumerisme di bidang pelayanan kesehatan. BPJS yang mulai efektif bekerja awal Januari tahun 2014 seharusnya mengadvokasi pemerintah daerah segera menerapkan RPKD.

Enam kebijakan strategis yang dapat dikembangkan oleh pemerintah daerah untuk segera mewujudkan RPKD di wilayahnya masing-masing.

Pertama, mengembangkan paradigma hidup sehat di bidang pelayanan kesehatan dasar, menggantikan paradigma sakit yang cenderung merugikan masyarakat. Untuk maksud tersebut, Bupati/Wali Kota perlu mengeluarkan surat keputusan/peraturan kepala daerah yang diperkuat dengan Peraturan Daerah (Perda).

Kedua, memperkuat struktur organisasi pelayanan kesehatan di daerah. Strategi ini merupakan bagian dari reformasi kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten/kota dan RSUD. Kewenangan kedua institusi pelayanan kesehatan ini perlu diatur kembali dengan peraturan daerah untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dasar di daerahnya masing-masing, termasuk meningkatkan peran serta keluarga dan kelompok-kelompok masyarakat memelihara kesehatannya sendiri.

Ketiga, mengefektifkan kerja sama lintas sektor yang lebih antisipatif terhadap masalah kesehatan masyarakat yang potensial berkembang di daerah. Upaya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab dan kewenangan Dinas Kesehatan dan RSUD. Semua sektor terkait harus dilibatkan untuk menanggulangi masalah kesehatan masyarakat yang potensial berkembang di daerahnya masing-masing. Kerja sama seperti ini akan memperkuat realisasi pembangunan berwawasan kesehatan yang bertujuan untuk mengurangi faktor risiko (perilaku dan lingkungan) berkembangnya penyakit menular dan tidak menular di masyarakat. Determinan sosial masalah kesehatan seperti pengangguran, rendahnya pendapatan keluarga, keterbatasan transportasi, kuatnya adat dan sistem kepercayaan di bidang kesehatan) juga perlu diidentifikasi untuk mengendalikan berbagai jenis penyakit rakyat yang berkembang di daerah.

Keempat, memaksimalkan pemanfaatan dana BOK (biaya operasional kesehatan). Setiap tahun, pemerintah menyediakan BOK antara Rp 60-90 juta per puskesmas. Dana yang bersumber dari pemerintah ditujukan untuk mendorong staf puskesmas agar lebih proaktif melakukan pendampingan keluarga dan kelompok-kelompok masyarakat. Fokus kegiatannya adalah mengembangkan promosi dan lingkungan hidup sehat untuk pencegahan penyakit. Strategi ini akan menjadi efektif kalau Bupati/Wali Kota juga mengeluarkan surat keputusan atau peraturan kepala daerah yang mendorong pemerintah desa lebih proaktif mendukung pembangunan kesehatan dasar di wilayahnya dan memanfaatkan alokasi dana khusus pembangunan desa yang bersumber dari APBD II.

Kelima, mengefektifkan sistem jaminan pelayanan kesehatan (jamkesmas, askesj Jaminan sosial kesehatan daerah dsb.). Kebijakan ini akan membuka peluang masyarakat mengakses pelayanan pengobatan dasar (aspek kuratif) yang lebih bermutu, termasuk pelayanan kesehatan alternatif/tradisonal. Untuk itu, Bupati/Wali Kota harus mendorong pimpinan RS dan Dinas Kesehatan lebih intensif berkoordinasi menyusun prosedur tetap (protap) pengembangan mutu pengobatan dasar di wilayahnya. Standar tarif, standar terapi, standar prosedur berbagai jenis pelayanan, standar pengawasan dan sebagainya akan menjadi bagian dari standardisasi mutu pengobatan dasar dan mekanisme rujukan yang lebih terbuka di daerah. Dengan strategi ini, masyarakat akan lebih mudah mengakses pengobatan dasar yang holistik, menyeluruh, dan bermutu.

Keenam, mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan kesehatan berbasis penduduk. Strategi ini harus disinkronkan dengan sistem e-KTP. Kedua kebijakan strategis ini akan memperkuat sistem inovasi daerah, dan akan membantu pemerintah daerah mampu menyusun rencana strategis pembangunan kesehatan daerah sesuai dengan masalah kesehatan yang potensial berkembang di wilayahnya.

Masih ada celah waktu sampai akhir tahun ini untuk menerapkan keenam strategi pengembangan RPKD. Pemerintah daerah dituntut segera memanfaatkan kewenangannya mengubah paradigma sakit yang cendrung merugikan masyarakat menjadi paradigma hidup sehat yang lebih berpihak pada masyarakat luas. Strategi ini juga akan mencegah kecenderungan masyarakat menjadi konsumen obat.

Tahun 2013/2014 adalah tahun politik. Para elite politik seharusnya mengembangkan kepekaan sosialnya dan lebih cerdas menyikapi kebutuhan rakyat terkait dengan pelayanan kesehatan dasar yang lebih bermutu. (www.balipost.com)




No comments:

Post a Comment