* GMF
AeroAsia
Garuda Maintenance
Facility (GMF) AeroAsia siap bersaing di tingkat regional atau global. GFM
mengaku Singapura, Malaysia, Hongkong, Taipei dan China menjadi pesaing utama dalam
tender global. SDM berkemampuan intelektual kuat menjadi kunci memenangkan
persaingan ini.
SEKALI waktu Direktur Utama PT GMF
AeroAsia Richard Budihadianto turun langsung di bengkel perawatan pesawat.
Melihat langsung teknisi GMF yang tengah melakukan perawatan rutin pesawat
Airbus milik Garuda. Richard bukannya tidak percaya pada teknisi di lapangan.
Dia tidak ingin insiden kecil, sekadar contoh nose landing gear terlipat karena karena tidak mengikuti tahap demi
tahap pelepasan, terulang. Kepatuhan teknisi lapangan mengikuti maintenance manual menjadi titik
perhatian utama Richard.
Bagi Richard, seorang teknisi
prawatan pesawat GMF harus menjadi knowledge
worker. Untuk itu dia mesti memiliki pengetahuan yang lengkap tentang
hal-ihwal perawatan dan perbaikan pesawat terbang dan harus mampu membaca setiap
maintenace manual secara cermat dan benar. Ini bukan hanya agar sang teknisi
dapat melakukan pekerjaan tanpa cacat dan selamat, akan tetapi juga agar mampu bekerja
lebih efisien. Dengan begitu customer menaruh trust dan menjalin kontrak kerjasama secara berkelanjutan.
Banyak insiden kecil terjadi
lantaran mengabaikan maintenance manual. Peristiwa semacam ini tidak hanya
terjadi di area line maintenance dan base maintenance. Tapi, juga pernah
terjadi di shop yang mengakibatkan hasil maintenance tidak sesuai dengan
standar.
Selain mesti taat azaz pada
maintenance manual, teknisi GMF mesti mengantongi lisensi atau ceritficate of competency (C of C) agar
dapat bekerja sesuai prosedur dan berpikir lebih bijak melaksanakan
pekerjaannya. Hal ini berbeda dengan seseorang yang bekerja hanya berdasarkan
pengalaman dan tidak mengetahui SOP (Standard
Operation Procedure) pekerjaannya. Beberapa saat lalu, sebagaimana dilansir
oleh Bagian Safety Performance Monitoring/TQY GMF, pernah terjadi hal yang
sangat memprihatinkan menimpa salah seorang teknisi yang terjepit keranjang
elevator aiicho (Condor). Dari hasil investigasi, ditemukan salah satu fakta
bahwa si operator yang mengendalikan alat tersebut tidak memiliki certificate
of competency kendati sudah beberapa kali mengoperasikan alat tersebut dengan
melihat pengalaman seniornya.
Di sinilah GMF berusaha
mengembangkan dan melatih kayawan berdasarkan konsep dan perangkat modal
intelektual si karyawan. “Di lingkungan industri perawatan pesawat terbang
dibutuhkan keahlian khusus dalam menjalankan perintah yang diterima. Keahlian
tersebut akan diakui bila seseorang telah memiliki certificate of competency.
Tidak hanya demi keselamatan diri si pekerja, tapi juga akan mempermudah
seorang atasan memberikan perintah kerja kepada orang yang berkompeten di
bidangnya,” tegas Richard Budihadianto. Richard tidak ingin tragedi itu
berulang. Dia mengajak semua teknisi dan engineer
GMF lebih aware mengenai kemampuan/pengetahuan
yang dituangkan dalam certificate of competency.
Teknisi perawatan pesawat
bersertifikat ini kini menjadi salah satu kekuatan GMF dalam memuaskan
customernya. Berkat SDM yang berkemampuan intelektual mumpuni dan berkompeten, mulai
April 2013 GMF memperoleh kepercayaan dari otoritas penerbangan sipil
Australia, Civil Aviation Safety Authority, untuk merawat pesawat-pesawat di
bawah registrasi Australia.
PERJALANAN GMF AeroAsia telah melewati fase
yang relatif panjang. Dimulai tahun 1949 sebagai Divisi Teknik Garuda Indonesia
Airlines. Tugas utama Divisi ini adalah merawat pesawat-pesawat milik Garuda.
Setelah tumbuh dan berkembang, tahun 1984, Garuda Indonesia mentransformasi
Divisi ini menjadi Garuda Maintenance Facility Support Center. Tujuannya, untuk
memaksimalkan peran dan distribusnya.
Kemudian, dari support center,
institusi ini dikembangkan menjadi Strategic Business Unit (SBU) yang disebut
SBU Garuda Maintenance Facility. Sebagai SBU, meski masih berada di bawah
Garuda Indonesia, GMF memiliki otonomi sendiri dalam mengelola keuangan dan
sumber daya manusia. Pada April 2002, SBU ini spin-off dari Garuda Indonesia dan bermetamorfose menjadi Garuda
Maintenance Facility AeroAsia.
Kini, dengan mengusung visi “Worldclass MRO of customer choice”, GMF
AeroAsia mampu memberikan pelayanan prima kepada costumer. Bahkan, GMF menjadi
salah satu perusahaan maintenance, repair and overhaul (MRO) terbesar di regional
Asia Tenggara.
Untuk menggapai visi menjadi
perusahaan MRO kelas dunia pilihan pelanggan, GMF AeroAsia berencana
mengembangkan usahanya di Bintan, Kepulauan Riau. GMF akan menyewa lahan
pemerintah daerah Pulau Bintan untuk membangun hanggar MRO guna membidik
pelanggan maskapai dari luar negeri. “Rencananya kami akan membangun sendiri.
Arahnya untuk menggaet pelanggan luar negeri,” jelas Direktur Utama GMF
AeroAsia Richard Budihadianto.
GMF sangat optimis untuk bisa
bersaing di tingkat regional, bahkan global. Hal ini tidak terlepas dari
pelayanan perawatan yang prima. Perawatan yang meliputi line maintenance, base maintenance, engine maintenance, component
maintenance dan engineering services.
Dan didukung sumber daya manusia yang menjunjung tinggi integritas (integrity), profesional, teamwork, concern for people dan customer
focused.
BILAMANA MELIHAT perjalanan historinya, learning organization menjadi kata kunci
bagi GMF untuk tumbuh dan berkembang lalu siap bersaing di kancah regional dan
global. GMF ingin bersaing dengan mengdepankan sumber daya manusia yang dikembangkan
melalui organisasi pembelajar. Contohnya, setiap karyawan GFM diwajibkan
menuliskan apa saja yang telah dikerjakan. Kata Richard Budihadianto, “Setiap
apa yang kami kerjakan, kami tulis. Kerusakan apapun ditulis. Karyawan senior harus
mensosialisasikan tulisan itu ke yang lebih yunior atau anak buahnya supaya
tidak terjadi lagi kesalahan serupa. Banyak hal simpel tapi menyebabkan pesawat
delay. Kalau tidak disosialisasikan, bisa kejadian lagi.”
Richard menyebut kini tidak hanya
menuliskan pengalaman untuk dijadikan pembelajaran karyawan di tempat lain. GMF
pun sudah memanfaatkan teknolgi informasi untuk menyebarkan pengetahuan yang
semula hanya merupakan pengalaman seorang karyawan. “Kami punya teknisi
tersebar di mana-mana, bersyukur, information
technology (IT) sekarang sudah bagus. Sekarang semuanya bisa online. Yang
lebih menggmbirakan, karyawan GMF sudah memvideokan pekerjaan mengganti engine. Bagi karyawan yang belum pernah mengerjakan
ganti engine, pekerjaan ini merupakan
pengalaman baru yang berisiko. Dengan rekaman video yang di-share, kami berharap dapat mengurangi
risiko-risiko yang dikhawatirkan,” terang Richard.
Dulu, sebelum zaman online, untuk mengedukasi pengetahuan
baru perawatan pesawat terbang, karyawan GMF di Jakarta harus berkomunikasi dengan
karyawan di Jayapura dan Denpasar melalui faksimili. Kadang memakan waktu cukup
lama karena harus mem-faks berlembar-lembar maintenance manual. “Banyak hal
simpel tapi menyebabkan pesawat harus delay. Kalau yang simpel ini tidak
disosialisasikan, bisa terulang terus,” jelas Richard Budihadianto sembari
menambahkan bahwa GMF senantiasa mengembangkan dan memanfaatkan berbagai
perangkat, teknologi dan metodologi pembelajaran –terutama dalam mengelola
pengalaman (tacit) seorang kayawan
menjadi pengetahuan perusahaan (explicit).
Berkat pengembangan perangkat dan
teknologi dengan menyediakan situs http://portal.gmf.co.id,
karyawan GMF tidak perlu repot-repot lagi berbagi pengetahuan baru. Dengan
demikian, kata Richard, GMF semakin mudah mengembangkan modal intelektual segenap
karyawannya. Karyawan semakin profesional dan benar-benar fokus pada costumer.
UNTUK TETAP dapat mengedukasi karyawan agar
semakin profesional, GMF harus mampu memaksimalkan modal intelektual perusahaan.
Sejatinya modal intelektual dapat dimaksimalkan jika perusahaan ditopang oleh
para knowledge worker atau pekerja
yang berpengetahuan. Dalam implementasi knowledge
management (KM), memaksimal modal intelektual tercermin pada kriteria keempat,
dari delapan kriteria Most Admired
Knowledge Enterprise (MAKE), yakni maximizing
the value of intellectual capital.
Ada sejumlah upaya inspiratif yang
dilakukan GMF AeroAsia dalam memaksimal modal intelektual di perusahaannya.
Pertama,
membangun dan memaksimalkan modal intelektual dengan mensertifikasi semua
teknisi dan engineer GMF. Terutama sertifikasi dari Direktorat Kelaikan Udara
dan Pengoperasian Pesawat Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara
Kementerian Perhubungan. Karena, Direktorat Penerbangan Sipil yang berwenang
mengawasi Aircraft Maintenance Training Organization (AMTO) di Indonesia.
“Di pendidikan kami harus mengikuti
aturan yang ditetapkan AMTO, tepatnya AMTO 147 yang diadopsi dari ATO (Approved
Training Organization), kemudian masing-masing negara punya regulator sendiri
yang mengatur. Di Amerika ada FAA, Eropa ada EASA, dan Singapura punya CAAS. Di
Indonesia ada Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU)
yang dulu dikenal Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara. Direktorat inilah
yang mengatur semua yang berkaitan dengan civil aviation,” papar Richard.
Jadi GMF tidak sekadar memaksimalkan
kemampuan dan mengembangkan modal intelektual segenap karyawannya. Dengan
mengacu pada sertifikasi atau pemberian lisensi oleh institusi yang berwenang,
GMF sekaligus merasa ada yang mengatur, mengawasi dan menentukan kualifikasi
dan parameternya jelas. Tidak perlu repot-repot membuat deskripsi dan
ukuran-ukuran kualifikasi karyawannya.
Kedua,
menjalin kerjasama dengan perusahaan penerbangan dan pabrikan pesawat kelas
dunia, seperti Boeing, Airbus, Honeywell, General Electric, Rolls Royce, KLM,
Lufthansa dan SR Technic. Berkat keseriusannya merajut hubungan dengan pabrikan
kelas dunia, kini sejumlah pabrikan Eropa dan Amerika Serikat –antara lain
Airbus dan Boeing-- mulai mempercayakan pekerjaan maintenance, repair dan
overhaul produk mereka kepada GMF AeroAsia. “Para pemakai produk mereka di
kawasan Asia Pasifik diarahkan untuk melakukan perawatan di GMF,” ujar Richard
Budihadianto.
Tidak hanya Eropa dan Amerika Serikat
yang menaruh rasa percaya pada GMF. Mulai April 2013, otoritas penerbangan
sipil Australia, Civil Aviation Safety Authority (CASA), memberi kewenangan
kepada GMF untuk merawat pesawat-pesawat di bawah registrasi Australia. Rating
yang disetujui CASA mencakup pesawat Boeing tipe B737-600, B737-700, B737-800,
B737-900, dan juga pesawat Airbus tipe A318, A319, A320 dan A321. Seluruhnya
memiliki base maintenance di
Cengkareng (Banten) dan line maintenance
di Denpasar (Bali).
Ketiga,
Learning Center Unit (LCU) GMF membentuk sesi sharing dan focus group
disscusion (FGD) dengan mendorong berbagai topik dan tema sebagai bagian dari
transfer pengetahuan (knowledge transfer).
Diskusi tidak hanya melalui tatap muka, juga diskusi online lewat mailing list.
Melalui dokumentasi library yang tertata, LCU juga mengelola dokumentasi aircraft,
engine dan component yang bisa diakses karyawan GMF lewat fasilitas intranet.
Topik
yang biasa dikedepankan antara lain ramp
& transit check, towing & ground handling, cabin maintenance dan fundamental of troubleshooting.
Dan keempat, menyelenggarakan workshop mengambil topik khusus dengan
tujuan untuk perbaikan performance karyawan. Misalkan workshop khusus aircraft
maintenance engineer B737. Tema bahasan yang diberikan antara lain electronic avionics, airframe powerplant
dan engine run up.
Sekali lagi hal ini semakin
memperkaya modal intelektualitas segenap teknisi dan engineer GMF AeroAsia. Berkat
kekayaan modal intelektual yang komprehensif, tahun 2011 lalu, GMF menerima
kunjungan 636 mahasiswa yang ingin belajar tentang perawatan pesawat terbang.
Mereka terdiri dari 381 mahasiswa diploma dan 255 orang mahasiswa universitas. Rata-rata
waktu belajar sekitar satu bulan.
MENCIPTAKAN SUATU
ORGANISASI PEMBELAJAR dalam
menjaga kontinyuitas peningkatan modal intelektualitas dan menciptakan knowledge worker di GMF AeroAsia. Bersyukur
GMF memiliki Richard Budihadianto yang telah kenyang dengan asam-garam di
bisnis perawatan pesawat terbang. Selaku pucuk pimpinan, Richard memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada setiap karyawan GMF untk belajar, baik secara
internal maupun eksternal.
“Kami membiayai salah satu engineer untuk
sekolah ke Amerika Serikat selama sekitar 1,5 bulan menghabiskan dana setara biaya
dua master degree di dalam negeri. Bisa dibayangkan berapa besar biaya training
seorang engineer. Dan, mereka harus punya. Siapapun yang baru masuk ke sini,
sebelum bekerja di pesawat, dikasih training dulu,” tutur Richard Budihadianto.
Setiap karyawan baru GMF –baik D-3,
S-1 maupun S-3-- wajib mengikuti program pengembangan selama sekitar dua tahun
sebelum diangkat menjadi karyawan tetap. Program yang diikuti bermaterikan Orientation Training, Character Building,
Human Capital Socialization, Initial Human Factor Training, Safety Management
System (SMS), Basic Aircraft
Technical Knowledge (BATK), dan On
the Job Training & Assignment at all unit Production.
GMF AeroAsia tidak hanya sebatas menerapkan
pembelajaran melalui training. Melalui strategi pembelajaran yang dinamai GMF
KM Policy, proses pembelajaran dilakukan dengan metode Experiment with new Approach, Learning from past experience, Learning
from Best Practice, Learning from Customer Knowledge, New Idea and Innovation,
dan Transferring knowledge. Transfer
pengetahuan dapat dilakukan lewat antara lain Sharing Session, Training/Seminar, Mentoring/Coaching, Counseling &
Mentoring, Workshop, Community of Practices, After Action Review, Discussion
Forum, Benchmarking, KM Portal, KM Repository, Bulletin/Magazine, dan Library.
Untuk menyebarkan strategi
pembelajaran tersebut, GMF yang kini memilki sekitar 3.200 orang karyawan membentuk
Divisi Learning Center & Knowledge Management dan Learning Center Unit (LCU)
di setiap departemen. Learning Center & Knowledge Management yang dipimpin
seorang Vice President memiliki dua divisi, yaitu Learning Center dan divisi
Knowledge Management. Masing-masing divisi dipimpin oleh seorang General
Manager. General Manager Learning Center bertindak sebagai Chief Learning
Officer bagi perusahaan.
GMF tidak hanya menguatkan
pembelajaran di internal perusahaan. Secara eksternal, GMF aktif menjalin
kerjasama dengan perusahaan dan pabrikan penerbangan kelas dunia seperti Boeing,
Airbus, General Electric, Rolls-Royce dan CFMI. GMF senantiasa meng-update pengetahuan baru dari pabrikan
dan mengirimkan pekerjanya untuk mengikuti training pada fasilitas/program yang
mereka sediakan. Dalam hal memperkaya dan memperbaui pengetahuan ihwal komponen
pesawat terbang, GMF menjalin kerjasama dengan produsen antara lain Honeywell,
Litton, Thales, Panasonic dan Rockwell Collins.
GMF pun aktif melakukan benchmarking
dengan mengirimkan pekerja ke perusahaan penerbangan kelas dunia seperti Lufthansa,
Swiss Air, dan KLM.
Untuk memperkuat pembelajaran mereka yang berada di tingkat manajerial, GMF
bekerjasama dengan Prasetiya Mulya Business School. Mereka wajib
mengikuti program Certification Business Management dan program Strategic
Leadership Development. Sejak 2011, GMF memperoleh scholarship program untuk
mengikuti program Master Degree
IPMI Business School dan Institut Aeronautique et spatial (Toulouse, Prancis).
Dengan pengayaan pengetahuan yang
semakin komplit, GMF berharap semua karyawannya memiliki catatan training,
pengalaman dan lisensi yang semakin lengkap. Dan pada saatnya kemudian, GMF pun
berbagi pengetahuan kepada pihak-pihak terkait yang potensial. Misalkan GMF
membuka diri untuk mendidik siswa SMK penerbangan dan membuka peluang magang
bagi siswa dan guru SMK penerbangan. “Kami membuka peluang yang luas bagi guru
dan siswa untuk magang. Kami juga terlibat aktif dalam penyusunan kurikulum di
SMK penerbangan agar bisa sesuai dengan standar industri penerbangan. Selain
itu, manual perawatan pun diberikan ke skolah-sekolah untuk dipelajari siswa
dan guru,” jelas Executive Vice President Base Operation GMF AeroAsia M.
Suprijadi.
Dengan kinerja dan langkah-langkah
pembelajaran semacam itu, tak heran bila kini GMF AeroAsia menjadi salah satu
perusahaan perawatan pesata yang semakin diperhitungkan di regional
Asia-Pasifik dan global. ***
“Worldclass MRO of customer choice.” (GMF AeroAsia Vision)
“Professional,
skillfully and sincerely concluding our tasks in compliance with applicable
technical, business and ethical standards.” (GMF AeroAsia Value)
“Kami
membiayai salah satu engineer sekolah ke Amerika Serikat selama sekitar 1,5
bulan menghabiskan dana setara dengan biaya dua master degree di dalam negeri.”
(Richard Budihadianto)
No comments:
Post a Comment