Thursday, August 1, 2013

GMF Bersaing di Tingkat Regional dan Global



* Richard Budihadianto
CEO GMF AeroAsia

Richard Budihadianto menapaki karir di PT Garuda Maintenance Facility (GMF) AeroAsia sejak lulus sebagai insinyur mesin tanpa certificate of competency (C of C) atau lisensi perawatan pesawat terbang. Sebagai orang berlatar-belakang pendidikan S-1 teknik mesin, dia butuh waktu sekitar tiga tahun untuk mendapatkan C of C. Dengan penggapaian C of C yang ketat, GMF sekarang memiliki sumber daya manusia dengan modal intelektual yang cukup tinggi. Dan, itulah salah satu kekuatan GMF kini. Untuk mengetahui lebih dalam keunggulan GMF di bidang ini, tim Dunamis mewawancarai Richard Budihadianto di kantornya di kawasan Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Kamis siang, 30 Mei 2013. Berikut petikannya:


Tanya (T): Membayangkan regulasi yang demikian ketat, tentu akuisisi knowledge-nya perawatan pesawat terbang lumayan complicated?

Jawab (J): Kalau bicara knowledge, oil company lebih regulated daripada kami. Sangat regulated dan diatur sekali. Ya, kami memang ketat diatur. Kami punya 20 approval, minimal ada 20 auditor datang mengaudit kinerja kami dua kali setahun.

Industri ini memang menuntut orang-orang yang punya knowledge yang cukup. Misalkan saya masuk di GMF, latar belakang saya teknik mesin, ya harus belajar lagi. Hitung-hitung hanya 10% ilmu saya yang kepakai. Di industri ini, seorang S-1 seperti saya butuh waktu paling cepat tiga tahun, untuk benar-benar produktif. Artinya sudah memperoleh C of C atau lisensi. Selama sekitar tiga tahun itu ya hanya belajar dan belajar.

Siapapun yang baru masuk ke sini, wajib mengikuti training dulu. Basic training sarjana sekitar 1,5 bulan. Sedangkan lulusan SLTA selama 18 bulan. Selama itu hanya di-training untuk mengerti tentang pesawat, hal-hal dasar, namanya basic aircraft technical knowledge. Usai itu masuk ke tipe pesawat tertentu, sekitar sebulan. Itu baru classroom. Belum boleh mengerjakan apa-apa, hanya jadi asisten. Kalau ada licensee, kami ikut di belakangnya saja. kalau toh bekerja baru sebatas buka atau ganti ban. Tidak boleh melakukan sendiri, apalagi melakukan sign, gak boleh. Harus didampingi orang yang sudah bersertifikat.

T: Butuh berapa lama seorang pekerja baru sampai berhak sertifikat kompetensi?

J: Kalau dia rajin, seorang S-1 bisa dapat sertifikat sekitar tiga tahun. Setelah itu dia boleh pekerjaan dengan manual maintenance tanpa pendamping. Itu baru 100% produktif. Untuk yang non-S-1, biasanya paling cepat lima tahun.

T: Mengapa begitu lama?

J: Saya sempat jadi engineer liaison untuk dua tipe pesawat. Satu liaison itu hanya boleh bekerja di pesawat itu, tidak boleh ditempat lain. Untuk memperoleh license itu, selain persyaratan mendasar tadi, selama enam bulan wajib proses kerja di lapangan dengan mengisi STK (Surat Tanda Kecakapan). Di situ ada semua pekerjaan yang harus dilakukan sendiri. Dari yang pling ringan seperti nge-greese landing gear sampai fly control. Mereka harus mencatat tanggal pelaksanaan pekerjaan lalu dicap dan diparaf licensee-nya. Cepat-lambatnya memenuhi surat kecakapan itu juga adakah kesempatan pekerjaan itu. Kalau dia cuma ganti ban, ya cuma satu item yang terpenuhi. Padahal banyak pekerjaan yang harus dipenuhi sebelum dites menjadi engineer.

T: Bagaimana knowledge management membantu SDM GMF dalam mengakuisisi pengetahuan? 
    
J: Kami sudah lakukan. Karena setiap apa yang kami kerjakan, kami tulis. Kerusakan apapun dicatat. Pekerja senior mensosialisasikan cara kerja semacam ini ke yunior supaya tidak terjadi lagi kasus yang sama. Kalau tidak disosialisasikan, bisa kejadian lagi. Banyak hal simpel tapi menyebabkan pesawat delay. Semua kejadian, baik yang bagus maupun yang jelek, kami record lalu di-share. Banyak juga catatan kejadian yang kami bawa ke learning center.

Teknisi kami tersebar di mana-mana. Bersyukur IT sekarang sudah bagus. Zaman saya dulu, kejadian di sini, mau ngomong dengan teknisi di Jayapura, sulit, mereka yang di Jayapura makin sedikit informasi. Sekarang semuanya online. Itu semua kami record. Sekarang lebih canggih, mau ganti engine divideokan. Orang-orang yang belum pernah ganti engine bisa belajar dari tayangan video.

T: Pekerjaan perawatan pesawat ini butuh kultur safety, bagaimana GMF menanamkan kultur ini?

J: Di industri ini, dari dulu sampai sekarang, kultur safety memang sangat diutamakan. Kami terus tanamkan, indoktrinasi tersu-menerus. Kalau orang baru masuk, kami langsung brainwash, sampai kultur safety itu benar-benar masuk ke kepala. Sampai, tiap melihat apa saja, sensitifitas safety-nya tinggi. Kadang pekerja tidak sensitif karena tidak tahu dampaknya. Urusan ngedongkrak pesawat kan ada prosedurnya, tertulis dan banyak item, tidak boleh ada yang dilompati. Kalau sampai dilompati bisa saja pesawat miring, jatuh, dan sebagainya. Bisa dibayangkan, pesawat jatuh saat didongkrak. Berapa miliar kerugian, cuma gara-gara teledor membaca manual.

Berbicara perbengkelan pesawat, kita harus mendapat approval AMO (Aircraft Maintenance Organization) 145. Terutama dari Federal Aviaton Administration (FAA) dan European Aviaton Safety Agency (EASA). Demi safety, industri ini very regulated. Itulah yang membuat kami sejak start itu sudah learning organization. Semuanya diatur dan kami harus mengikuti aturan yang ada. Perkembangan sistem, konsep ataupun teknologinya, banyak pabrikan yang belajar dari pengalaman lapangan kami. Semua kejadian itu di-record, didokumentasikan, dipelajari bersama, dibahas bersama dan hasilnya kami kirim ke pabrik. Mereka membuat analisa, riset lagi, membuat improvement-improvement di  produk. Perbaikan sistem itu mereka mendapat masukan dari operator.

T: Sebagai perusahaan MRO pesawat, GMS ini seperti satu-satunya di Indonesia?

J: Kelihatannya seperti single player. Saat ini ada 70 perusahaan perawatan pesawat yang tercatat di Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) Kementerian Perhubungan. Sebanyak 29 di antaranya menjadi anggota Indonesian Aircraft Maintenance Shop Association (IASMA).

T: Berbicara maintenance yang komprehensif, berapa banyak di Indonesia?
J: Yang paling lengkap hanya kami, GMS AeroAsia. Ada yang yang hanya small part. Bicara size, kami nomor satu. Nomor duanya hanya 10 persen, lalu dua, tiga, empat dan seterusnya di bawah 10 persen semua. Kalau mau part, misalkan engine, ada Nusantara Turbin dan Propulsi yang merupakan anak perusahaan PT Dirgantara Indonesia di Bandung. Ada lagi perusahaan yang hanya mengerjakan airframe atau rangka pesawat-pesawat kecil. Praktis, kalau bicara industri perawatan pesawat di Indonesia, GMF sebagai representasi.

Kalau GMF mati, ya industrinya mati. Kami juga punya misi nasional. Dulu zaman Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal (2004-2009), GMF dijadikan center of excellence. Di negara lain banyak yang perusahaan sejenis GMF yang besar. Di Singapura misalkan, banyak yang besar, jauh lebih besar daripada kami.

T: Dari sisi persaingan, GMF tidak ada lagi “pesaing”?

J: Kami orientasinya sudah bukan lagi lokal. Persaingan kami sekarang regional atau global. Kami bersaing dengan Singapura, Malaysia, Hongkong, Taipei dan China. Mereka selalu menjadi pesaing kita dalam tender global.

Pasar global diprediksi tumbuh rata-rata 4 persen per tahun antara 2012 dan 2022. Industri ini diperkirakan tumbuh dari US$62,4 miliar menjadi US$92,9 miliar dalam rentang waktu 10 tahun tersebut.***


No comments:

Post a Comment