Saturday, January 31, 2015

Empat PP BPJS Ketenagakerjaan Sedang Digodok


Sudah harmonisasi. Tinggal finalisasi. Khawatir terbit pada detik-detik terakhir menjelang 1 Juli 2015.

Empat PP BPJS Ketenagakerjaan Sedang Digodok
Direktur Utama BPJSTK, Elvyn G Masassya. Foto: www.bpjsketenagakerjaan.go.id
BPJS Ketenagakerjaan (BPJSTK) akan beroperasi secara penuh pada 1 Juli 2015 dengan menggelar empat program yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP). Untuk menjalankan program-program itu, dibutuhkan sejumlah peraturan teknis.

Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G Masassya, menjelaskan Pemerintah sedang menyusun sejumlah peraturan pelaksana. Elvyn mengatakan proses penyusunannya sudah masuk tahap finalisasi.

Untuk program JKK dan JKm akan diatur dalam 1 PP. Kemudian, program JP dan JHT masing-masing 1 PP. Berkaitan dengan operasional BPJSTK, saat ini juga sedang dilakukan revisi PP No. 99 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. “Untuk bisa beroperasi penuh pada 1 Juli 2015, saat ini dalam tahap finalisasi 3 RPP dan 1 revisi PP,” katanya dalam diskusi yang digelar BPJSTK di Bandung, Kamis (29/1).

Mengenai RPP JKK dan JKm, Elvyn mengatakan sudah diharmonisasi Kemenaker, Kemenkeu, Kemenkumham dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) serta melibatkan BPJSTK. RPP itu antara lain membahas program JKK yang mengarah pada pemulihan peserta untuk kembali bekerja (return to work).

Ketika program JKK dan JKm berjalan, manfaat yang diterima bukan saja kepada peserta tapi juga anaknya. Sebab, dalam program itu melekat layanan tambahan berupa beasiswa yang otomatis diberikan kepada anak peserta. Beasiswa itu diberikan jika peserta bersangkutan meninggal akibat kecelakaan kerja atau mengalami kematian. Elvyn menjelaskan manfaat tambahan itu tidak ada dalam program JKK dan JKm yang sebelumnya digelar PT Jamsostek.

Besaran iuran JKK, dikatakan Elvyn, dalam RPP itu tercantum 0,3 persen dari upah dan iuran JKm sebesar 0,24-1,74 persen. Selain pekerja penerima upah, program JKK dan JKm juga menyasar pekerja bukan penerima upah. Dengan besaran iuran tidak menggunakan presentase tapi nominal sekitar Rp6.000-6.500 untuk satu orang setiap bulan.

Terkait program JHT, Elvyn menjelaskan, terjadi perubahan manfaat peserta. Dalam RPP JHT, setiap peserta diberi akses untuk mendapat pinjaman uang muka perumahan dan pinjaman biaya perumahan atau dikenal dengan KPR. Bunganya pun lebih rendah, tidak seperti yang ada di pasar.

Setelah 10 tahun, peserta bisa mengalokasikan saldonya untuk menambah biaya kepemilikan rumah. Misalnya, seorang peserta mau membeli rumah, dia bisa mengambil beberapa persen saldo JHT untuk menambah dana yang digunakan untuk membeli rumah. Besaran prosentase yang boleh dialokasikan masih dalam finalisasi dalam RPP yakni antara 10-30 persen dari JHT.

Namun, untuk program Jaminan Pensiun, besaran iurannya masih jadi perdebatan. Dalam pembahasan RPP terakhir disepakati jumlah iurannya 8 persen yakni 5 persen dibayar pemberi kerja dan 3 persen pekerja. “Untuk (RPP,-red) program JP itu sudah selesai pembahasan substansinya, tinggal besaran iurannya,” ujarnya.

Kemudian, mengenai revisi PP No. 99 Tahun 2013, Elvyn menyebut ada beberapa hal yang jadi fokus tim penyusun. Diantaranya, alokasi dana investasi ke sektor properti yang saat ini 5 persen direvisi jadi 10-30 persen. Itu penting direvisi karena tahun ini BPJS TK punya program baru yakni menyediakan perumahan untuk pekerja.

Revisi PP No. 99 Tahun 2013 itu diperlukan guna menunjang program pembangunan perumahan bagi pekerja itu agar terlaksana. Jenis perumahan yang akan dibangun yakni rumah susun sederhana sewa (rusunawa), rumah susun sederhana milik sendiri (rusunami) dan landed house. Pembangunannya, sebagian ada yang ditangani BPJSTK secara langsung dan sisanya bekerjasama dengan pihak lain.

Direktur Pelayanan dan Pengaduan BPJSTK, Achmad Riadi, mengatakan dalam beroperasi secara penuh pada 1 Juli 2015 BPJSTK akan bekerjasama dengan sejumlah pihak termasuk BPJS Kesehatan. Koordinasi yang dilakukan dengan BPJS Kesehatan diantaranya untuk memberi pelayanan yang cepat kepada peserta ketika terjadi kecelakaan kerja.

Ketika terjadi kecelakaan kerja, Riadi melanjutkan, harus segera dibawa ke RS terdekat. Jika yang bersangkutan bukan peserta JKK BPJSTK maka ditangani oleh BPJS Kesehatan. Tapi kalau yang mengalami kecelakaan kerja itu peserta JKK maka BPJSTK turun tangan. “Kami akan memberikan pelayanan secara cepat untuk melayani peserta,” ucapnya.

Terpisah, koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, khawatir berbagai peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan baru diterbitkan pemerintah saat detik akhir menjelang 1 Juli 2015. Padahal, berbagai peraturan yang mengatur program yang diselenggarakan BPJSTK itu penting untuk dikeluarkan jauh-jauh hari agar masyarakat bisa memberikan masukan.

“Peraturan pelaksana itu jadi tugas pemerintah untuk segera diterbitkan. Kami khawatir seperti pelaksanaan BPJS Kesehatan, peraturan itu baru diterbitkan saat injury time,” pungkasnya. (www.hukumonline.com)

Dipercaya (Dua Periode) Memimpin Kabupaten Lamandau



* EMPAT

Mencintai kehidupan dengan bekerja adalah menyelami rahasia hidup yang paling dalam. Jika engkau bekerja dengan rasa cinta, maka engkau menyatukan dirimu dengan dirimu, kau satukan dirimu dengan orang lain, atau sebaliknya, serta kau dekatkan dirimu dengan Tuhan. (Kahlil Gibran, Penyair Kenamanaan)

Kabupaten Lamandau merupakan bekas wilayah Kawedanan Bulik yang terdiri dari Kecamatan Bulik, Kecamatan Lamandau dan Kecamatan Delang. Pembentukan Kabupaten Lamandau diawali dengan pertemuan Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat dengan seluruh camat dan tokoh masyarakat Kotawaringin Barat di Aula Kantor Bupati Kotawaringin Barat pada tanggal 3 November 1999. Pertemuan tersebut dalam rangka mensosialisasikan rencana pemekaran Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat menjadi sedikitnya dua wilayah otonom.
Hadir dalam pertemuan tersebut tokoh-tokoh masyarakat dari tiga kecamatan dalam wilayah Kawedanan Bulik. Tercatat dari Kecamatan Bulik tampak Nubari B. Punu (Camat Bulik saat itu), H. Arsyadi Madiah, dan Darmawi Juwahir. Kemudian Kecamatan Delang diwakili oleh Camat Delang (kala itu) Drs. Kardinal. Sedangkan dari Kecamatan Lamandau terlihat kehadiran Camat Lamandau (ketika itu) Silas Kadongkok BA.
Pada pertemuan tersebut, pihak Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat menyampaikan rencana Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat meningkatkan status Daerah Pembantu Bupati Sukamara menjadi Kabupaten Sukamara. Dengan begitu Kotawaringin Barat dimekarkan menjadi dua kabupaten, masing-masing Kabupaten Kotawaringin Barat dengan ibukota Pangkalan Bun dan Kabupaten Sukamara beribu-kota di Sukamara. Wilayah Kabupaten Sukamara meliputi seluruh wilayah Kecamatan Sukamara, Kecamatan Jelai, Kecamatan Balai Riam, Kecamatan Bulik, Kecamatan Lamandau dan Kecamatan Delang sebelah kiri Sungai Lamandau dan Sungai Batangkawa.
Menanggapi penjelasan tersebut, utusan dari Kecamatan Bulik dan Kecamatan Delang mengambil sikap tidak bersedia menanda-tangani atau menolak rencana pemekaran Kabupaten Kotawaringin Barat. Pada sisi lain, warga masyarakat pedalaman Kotawaringin Barat yang berada di perantauan (khususnya di Palangkaraya) merasa prihatin dengan kondisi pembangunan di Kecamatan Bulik, Kecamatan Lamandau dan Kecamatan Delang yang amat tertinggal dibandingkan dengan daerah lain di wilayah Kotawaringin Barat. Mereka juga mencermati adanya rencana penggabungan kecamatan-kecamatan tersebut ke wilayah Kabupaten Sukamara.
Berangkat dari keprihatinan tersebut, kemudian Drs. Nahason Taway, Drs. Iba Tahan, Ir. Farintis Sulaiman dan Charles Rakam SPd melakukan studi kualitatif bertajuk “Pembentukan Kabupaten Lamandau” sebagai respon terhadap pemberlakuan Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999. Studi ini dibicarakan dalam pertemuan Kerukunan Tamuai Kotawaringin Barat di Palangkaraya pada tanggal 7 November 1999. Pertemuan tersebut merekomendasikan, antara lain, agar hasil studi kualitatif pembentukan Kabupaten Lamandau disosialisasikan kepada warga masyarakat Kecamatan Bulik, Kecamatan Lamandau dan Kecamatan Delang serta diusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat.
Pada tanggal 10 November 1999, atas prakarsa Drs. Nahason Taway, tokoh-tokoh masyarakat dari Kecamatan Bulik, Lamandau dan Delang mengadakan pertemuan di Pangkalan Bun. Hasil pertemuan tersebut mengusulkan (melalui surat) kepada DPRD Kabupaten Kotawaringin Barat, Bupati Kotawaringin Barat, DPRD Provinsi Kalimantan Tengah dan Gubernur Kalimantan Tengah, supaya wilayah bekas Kawedanan Bulik disatukan menjadi sebuah kabupaten baru, yaitu Kabupaten Lamandau. Usulan itu dilampiri hasil studi kualitatif pembentukan Kabupaten Lamandau yang dibuat oleh Nahason Taway dan kawan-kawan. Surat usulan tersebut ditanda-tangani oleh delapan orang atas nama warga masyarakat pedalaman Bulang (Bulik, Lamandau dan Delang): C.S. Pahing, Nahason Taway, Don F. Ringkin, Harigano Ringkas, Musringin, D.J. Mamud, Helkia Penyang, dan Tommy Hermal Ibrahim.
Kemudian pada tanggal 17 November 1999, Drs. Iba Tahan, Inte Sartono, Markos Dj Mamud, dan Charles Rakam melakukan ekspose melalui Surat Kabar Harian (SKH) Kalteng Pos untuk menjelaskan keinginan warga masyarakat pedalaman Kotawaringin Barat menyatukan Kecamatan Bulik, Lamandau dan Delang dalam satu kabupaten baru bernama Kabupaten Lamandau. Ekspose ini dimuat oleh SKH Kalteng Pos pada halaman 2 terbitan tanggal 18 November 1999.
Selanjutnya pada kesempatan kunjungan Pejabat Bupati Kabupaten Kotawaringin Barat Drs. Martin Alang, jurubicara masyarakat Pedalaman Kotawaringin Barat H. Muchlisin menyampaikan pernyataan sikap yang intinya menolak bergabung dengan Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Sukamara hasil pemekaran serta mendukung rencana Pembentukan Kabupaten Lamandau yang terdiri dari Kecamatan Bulik, Kecamatan Lamandau dan Kecamatan Delang.
Lalu pada tanggal 6 Januari 2000, ketika ada kunjungan Pejabat Gubernur Kalimantan Tengah Rapiudin Hamarung, warga masyarakat Kecamatan Bulik, Kecamatan Lamandau dan Kecamatan Delang kembali menyampaikan pernyataan sikap secara tegas agar ketiga kecamatan tersebut dimekarkan menjadi Kabupaten Lamandau.
Tanggal 8 Juli 2000, atas prakarsa Forum Komunikasi Masyarakat Pedalaman Bulik, Lamandau dan Delang (FKMP Bulang), dilaksanakan Musyawarah Besar Masyarakat Kecamatan Bulik, Lamandau dan Delang di Nanga Bulik, dalam rangka menyamakan visi dan misi pembentukan Kabupaten Lamandau serta membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Lamandau (P3KL). Mozes Pause terpilih sebagai Ketua dan Sekretaris Umum P3KL dipercayakan kepada Tommy Hermal Ibrahim. P3KL mendapat tugas menyusun personalia dan melanjutkan perjuangan membentuk Kabupaten Lamandau.
Melalui Rapat Kerja P3KL lalu disusunlah proposal Rencana Pembentukan Kabupaten Lamandau sebagai bahan ekspose di depan Tim Independen dari FISIP Universitas Indonesia. Setelah memperoleh persetujuan dari DPRD Kabupaten Kotawaringin Barat dan Bupati Kotawaringin Barat, pada 15 Oktober 2001, proposal tersebut diekspose di hadapan Tim Independen dan Direktorat PUOD Departemen Dalam Negeri di Jakarta. Turut hadir dalam ekspose itu adalah anggota DPRD Provinsi Kalimantan Tengah dari Dapil Kotawaringin Barat HM San Marwan dan Kemal Masri; utusan ekspose Daud Juanda (Asisten I Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat) dan Wahyudi (Bappeda Kabupaten Kotawaringin Barat). Dan perwakilan P3KL yang terdiri dari Mozes Pause, Muchlisin, Tommy Hermal Ibrahim, Andreas Nahan, Arsyadi Madiah, Burhan dan Frans Evendi.
Sepulang dari Jakarta, hasil ekspose tersebut kemudian disosialisasikan kepada warga masyarakat Kecamatan Bulik, Lamandau dan Delang pada tanggal 2 Februari 2002 di Nanga Bulik.
Setelah dilakukan pembahasan dan kajian yang lebih mendalam, akhirnya DPR RI menyetujui Pembentukan Kabupaten Lamandau dengan diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Lamandau, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Murung Raya, dan Kabupaten Barito Timur di Provinsi Kalimentan Tengah. Hadir pula dalam persetujuan dan pengesahan UU tersebut unsur-unsur P3KL: Iba Tahan, Arsyadi Madiah, Idar Y. Kunum, Burhan, Ibramsyah Ambran, Darmawi Juwahir, Syubandi, Vicentius Huang, Frans Evendi, Imanuel Gerzon, Luyen K. Antang dan Effendi Buhing.
Selanjutnya pada tanggal 8 Juli 2002 Gubernur Kalimantan Tengah (atas nama Menteri Dalam Negeri) melantik Drs. Regol Cikar sebagai Penjabat Bupati Lamandau melalui Sidang Paripurna DPRD Provinsi Kalimantan Tengah. Dan sejak itu pula aktivitas Kantor Bupati Lamandau yang beralamat di Jalan Tjilik Riwut Nomor 10 Nanga Bulik (bekas Kantor Camat Bulik) mulai dibuka dengan jumlah personil sebanyak tujuh orang berdasarkan Instruksi Penjabat Bupati Lamandau Nomor 824/01/Peg/2002 Tentang Penunjukan Pegawai yang Diperbantukan pada Kantor Bupati Lamandau. Ketujuh orang tersebut masing-masing Drs. Kardinal, Andreas Nahan SIP, Ganti P. Kanisa SSTP, Triadi Eka Asi Jayadiputera SSTP, H. Arsyadi Madiah, Abdul Rasyid Syahrul dan Cahyono.
Sebagai wujud rasa syukur, lalu tanggal 3 Agustus 2002 dilaksanakan acara syukuran pembentukan Kabupaten Lamandau. Acara yang dihadiri oleh salah seorang tokoh putera asli kelahiran Kabupaten Lamandau, Wakil Gubernur Kalimantan Tengah (saat itu) Nahason Taway, Biro Setda Provinsi Kalimantan Tengah dan Bupati Kotawaringin Barat itu berlangsung di Bundaran Baru Bukit Hibul yang merupakan rencana areal perkantoran kabupaten. Pada acara syukuran tersebut sekaligus dilakukan penyerahan hibah lahan seluas 350 hektar dari warga masyarakat untuk keperluan areal perkantoran. Dan tanggal 2 Agustus itu pula yang kini dijadikan tanggal peringatan ulang tahun Kabupaten Lamandau.

A.   Terpanggil Pulang ke Lamandau
Kabupaten Lamandau telah terbentuk, birokrasi pemerintahan daerah pun sudah berjalan. Sebagai putera daerah Lamandau, Marukan Hendrik ingin membaktikan dirinya bagi kemajuan Lamandau. Sebab, kendati tidak masuk kepanitiaan secara formal, dia --yang selama proses pembentukan Kabupaten Lamandau tengah menetap di Palangkaraya— cukup aktif ikut wira-wiri dalam rapat-rapat kepanitaan dan kajian di Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah Palangkaraya.   
Sebenarnya Marukan tidak membayangkan dirinya cepat-cepat mewujudkan keinginannya pulang ke Lamandau membaktikan diri pada daerahnya. Terlebih lagi membayangkan dirinya bakal ke Lamandau untuk menerima amanah pada jabatan struktural birokrasi Pemerintah Kabupaten Lamandau. Memang dia sempat berangan-angan dipercaya menjadi Kepala Dinas Kehutanan –sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya selama ini.
“Akhirnya memang Kabupaten Lamandau bisa terbentuk dari pemekaran Kabupaten Kotawaringin Barat. Waktu pengisian jabatan struktural tahun 2002, saya ingin ke Lamandau, berangan-angan kalau memungkinkan diberikan jabatan Kepala Dinas Kehutanan. Karena latar belakang saya dari dosen, maka saat itu saya tidak diplot untuk menjabat kepala dinas, tapi hanya jabatan di bawahnya,” tutur Marukan mengenang keinginannya pulang ke Lamandau setelah terbentuk Kabupaten Lamandau tahun 2002.
Dengan ploting semacam itu, Marukan sempat mempertimbangkan untuk tidak ikut pulang ke Lamandau. Namun lantaran krisis 1998 yang membuat usahanya belum juga membaik sampai tahun 2002, Maria Neva Merliana (isteri Marukan) mendorongnya untuk mengadu nasib sekaligus merintis penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Kabupaten Lamandau. “Supaya ada  suasana baru, siapa tahu nanti ada perubahan dalam kehiudpan keluarga.  Kalau nanti nggak baik, ya kembali lagi,” ujar Maria Neva Merliana kepada Marukan ketika itu.
Saat pengisian jabatan struktural di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lamandau, Marukan hanya ditawari untuk jabatan Kepala Bidang Fisik pada Dinas Pendidikan. Akhirnya dia bersedia pulang kampung dan menerima tawaran tersebut. Tepatnya tanggal 27 September 2002 dia menerima amanah sebagai Kepala Subdinas Sarana Prasana pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lamandau.
Tahun 2002 itu dapatlah dikatakan sebagai masa perjuangan. Mulailah Marukan menapaki karir di titian birokasi lingkungan Pemerintah Kabupaten Lamandau. Sosoknya yang rajin, aktif, fokus dan mudah berteman begitu cepat diterima di lingkungannya yang baru. Dia pun merasakan sebuah lingkungan kerja yang kondusif.
“Saya kan orangnya sangat rajin, aktif, fokus dan suka berteman. Dengan pembawaan seperti itu, ternyata terasa enak diterima di lingkungan kerja saya yang baru. Waktu di Universitas Palangkaraya, berkat keuletan dan rajin, saya sempat dipercaya antara lain sebagai ketua program studi, ketua jurusan, sampai pembantu dekan. Selain itu saya juga sempat aktif di Universitas PGRI Palangkaraya. Pengalaman-pengalaman selama di Universitas Palangkaraya dan Universitas PGRI  lalu saya terapkan di subdinas di mana saya ditempatkan waktu itu,” terang Marukan mengingat masa-masa awal kepulangannya ke Lamandau.
Berkat kecermatan dan disiplin kerja yang cukup tinggi, tidak terlalu lama Marukan berada di kursi Kepala Subdinas Sarana Prasarana Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lamandau. Hanya dalam hitungan bulan. Tanggal 1 April 2003, dia dipromosikan menjadi Sekretaris DPRD Kabupaten Lamandau. 
Di posisi ini, Marukan mengikuti betul masa persiapan Kabupaten Lamandau 2002-2007 sebagai sebuah daerah otonom yang mandiri dan memiliki bupati yang definitif. Sebagai Sekretaris DPRD Kabupaten Lamandau, Marukan sukses menyelenggarakan pemilihan kepala daerah yang waktu itu masih berada di tangan wakil rakyat di legislatif sampai kemudian terpilih Drs. Bustani DJ Mamud sebagai Bupati dan Drs. HGM Afhanie sebagai Wakil Bupati Lamandau periode 2003-2008. “Sayalah yang mengantarkan Pak Bustani DJ Mamud menjadi Bupati Lamandau definitif untuk periode 2003-2008. Karena saya ikut aktif menyelenggarakan pemilihan itu. Suatu pengalaman baru, saya tidak punya pengalaman di situ namun sukses penyelenggaraan pemilihan bupati,” kata Marukan penuh kebangaan.
Kesuksesan itu pun berbuah manis. Bupati Bustani DJ Mamud mengganjar dirinya dengan jabatan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mulai 24 November 2003. Kala itu kondisi pendidikan di wilayah Kabupaten Lamandau belum terlalu bagus, belum ada SMA dan SMP hanya beberapa unit. Marukan lalu bertekad tiap kecamatan memiliki sekolah SMA dan SMP. Tekadnya juga mendapat dukungan penuh dari Bupati Lamandau.
Jalan karirnya menapak ke tangga yang lebih tinggi setelah pada Oktober 2004 dia diberi kesempatan untuk mengikuti Diklat (Pendidikan dan Pelatihan) Pimpinan Tingkat II di Palangkaraya. Bersamaan dengan itu sempat pula dia melakukan studi banding ke Singapura dan Malaysia.
Sepulang dari Diklat Pim dan studi banding, Marukan mendengar kabar yang kurang sedap berhembus di lingkungan birokrasi Pemerintah Kabupaten Lamandau. Terbetik isu bahwa keuangan pemerintahan tidak berjalan lancar dan gaji pegawai tidak dibayar tepat waktu. Juga isu proyek-proyek yang telah berjalan dan selesai tidak terbayar.
Tentang kabar tidak sedap ini, Marukan bertutur:
“Wah ada apa ini? Saya panggil beberapa pejabat penting, saya ajak  mari kita analisa. Saya minta carikan data dan info yang lengkap. Muncul kesimpulan bahwa ada yang tidak beres, dana kosong, proyek dan kegiatan tidak terbayar. Lalu saya minta pertimbangan ke Bupati Pak Bustani DJ Mamud. Waktu itu beliau berada di Palangkaraya. Saya minta beliau pulang. Tapi sampai di Pangkalan Bun beliau bilang mau ke Jakarta. Saya katakan ‘jangan’, karena ada hal yang penting yang perlu dibicarakan. Saya lupa tanggalnya, waktu itu akhir Oktober 2004. Sekitar jam dua siang kami ketemu, saya sampaikan hasil analisa dan harus segera dilakukan berbagai langkah penyelamatan. Beliau lalu baca. Lantas beliau ambil amplop coklat di mejanya, rupanya surat dari Wakil Gubernur Kalimantan Tengah. Lalu apa? Ganti ini dan ganti itu. Waktu itu nggak ada Sekretaris Daerah (Sekda), yang ada Asisten II dan Asisten II.
Beliau tanya ‘kamu siap nggak?’ Saya nggak ada pengalaman, bukan dari birokrat murni. Apalagi soal keuangan dan administrasi. Di Dinas Pendidikan kan soal teknis, masih bisa saya tangani. Tapi, saya sampaikan ke beliau, ‘kalau bapak maunya begitu, saya punya tekad berbuat maksimal’. Sayangnya waktu itu Pak Bustani tidak bertindak cepat, karena kebetulan sedang ada kunjungan Dubes Swedia. Sampai kemudian ada pejabat yang nggak mau diganti. Meski sedikit terlambat, Pak Bustasi akhirnya mengganti pejabat yang bersangkutan. Selain itu saya diangkat jadi Pelaksana Tugas Sekda. Dalam tenggat penggantian,  pejabat yang nggak mau diganti tersebut melakukan berbagai manuver.”
Sebagai Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah Kabupaten Lamandau, pertama-tama Marukan mengambil langkah menutup rekening yang bermasalah. Dia mendata dan melihat uang di kas daerah tinggal Rp397 juta, dua bulan gaji pegawai tidak dibayar, dan ada utang sekitar Rp75 miliar.
Marukan agak bingung juga menghadapi dan bagaimana langkah keluar dari problematika ini. Agar tidak terjerumus lebih jauh, dia membuat semacam pagar agar administrasi keuangan tertata dan jelas pertanggung-jawabannya. Di antaranya, untuk pengeluaran uang harus ada tanda tangan minimal dua orang pejabat yang berwenang. “Meski Plt Sekda, kewenangan tidak boleh segala-galanya, misalkan pengeluaran uang harus ditanda-tangani beberapa orang, tidak tunggal. Lalu pembayaran tidak berupa cek, tapi masuk ke rekening penerima,” jelas Marukan.
Lalu, untuk mengisi kekosongan kas daerah, Marukan mencari sumber-sumber pendanaan pada pemerintah pusat dan pihak-pihak terkait. Bulan November-Desember 2004, dia berhasil memperoleh pinjaman sekitar Rp30 miliar. Dana itu kemudian digunakan untuk membayar gaji pegawai. Pembayaran gaji tidak dapat dilakukan sekaligus namun dicicil. Pembayaran sekitar 15% sampai 40%. Begitu juga pembayaran proyek-proyek yang telah berjalan, sekitar 20% sampai 50%. Sampai-sampai waktu itu warga masyarakat memberi gelar Marukan sebagai “panglima janji”. Kalau setiap kali ada yang datang menagih ke Pemerintah Kabupaten Lamandau, dia katakan bilang gampang nanti dibayar. Begitu saat pembayaran, yang dibayar ternyata sedikit, kadang masih menunggak. Warga masyarakat sempat ribut, wakil rakyat di DPRD juga tidak percaya. Meja kerjanya sempat jadi sasaran kemarahan.
Akhirnya Marukan menyerah dan menjalani proses pemeriksaan di kejaksaan. Pasalnya, banyak warga masyarakat yang melapor ke kepolisian dan kejaksaan gara-gara gagal memperoleh pembayaran. Kemudian perkara ini sampai menyeret Bupati Bustani DJ Mamud sebagai tersangka. Sehingga, tidak ada pejabat yang berwenang penuh. Memang masih ada wakil bupati yang bisa menggantikan bupati. Wakil bupati tampaknya sosok yang terlalu hati-hati. Padahal, berhadapan dengan perkara seperti ini harus ada keberanian dan tindakan cepat.
Sebagai putera daerah, Marukan berprinsip tiada rotan akar pun berguna. Dia mengambil-alih penuntasan kasus dan perkara yang ada. Padahal waktu itu proses pengusulan Marukan menjadi Sekda definitif belum keluar.  Melihat peran Marukan yang semakin menguat, ada pihak yang senang dan ada pula pihak yang kurang senang. Namun akhirnya dia diangkat dan dilantik  menjadi Sekretaris Daerah Kabupaten Lamandau pada 29 Mei 2006.

B.    Menjadi Sekretaris Daerah Sampai Terpilih dalam Pilkada 2008
Sebagai Sekda definitif, kewenangan menjadi lebih luas. Marukan pun melaksanakan kewenangan administraitf dengan baik dan penuh kehati-hatian. Berkat kedisiplinan dan kehati-hatiannya, utang gaji pegawai dan pembayaran proyek-proyek pembangunan dapat terlunasi. Dia semakin percaya diri mengemban amanah sebagai Sekda Kabupaten Lamandau.
Mengingat jabatan Sekda bukan jabatan politik menjadikan kiprah Marukan di tengah-tengah pemerintahan dan masyarakat cukup bebas. Terlebih tidak tidak ada Bupati, yang ada Wakil Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Lamandau. “Usai kegiatan pemerintahan, saya sering turun langsung ke desa-desa bagi-bagi sembako. Saya juga aktif di kegiatan-kegiatan gereja, ikut sembahyang dan bagi-bagi Alkitab, ikut perayaan paskah dan Natal,” terang Marukan mengenai aktivitasnya sebagai Sekda Kabupaten Lamandau.
Melihat kiprah sosial Marukan yang semakin kuat, ada saja yang menganggap dirinya mulai melakukan gerakan politik untuk mempersiapkan diri mengikuti pemilihan kepala daerah pada tahun 2008. “Waktu itu sempat ditulis di koran lokal. Apalagi ketika saya ikut orang menyumbang. Ah, saya hanya murni mau ibadah. Rupanya saya dicurigai ingin jadi bupati,” tutur Marukan yang mengaku bahwa segala langkahnya ketika itu hanya untuk kemajuan masyarakat Lamandau.
Marukan melihat ada gelagat orang-orang politik lokal yang kasak-kusuk untuk maju ke Pilkada 2008 dengan ‘menyingkirkan’ orang-orang yang tidak disukainya lewat embusan isu-isu yang tidak sedap. Sampai-sampai dia berkesimpulan bahwa orang-orang semacam ini juga tidak pantas menjadi pemimpin.
Dan Marukan pun terpanggil untuk melihat peluang berkompetisi pada Pilkada 2008 yang langsung di tangan rakyat. Waktu itu nama-nama yang sempat beredar di tengah-tengah masyarakat Lamandau adalah Regol Cikar (Pejabat Bupati Lamandau 2002-2004), tokoh masyarakat Mozes Pause, dan beberapa nama yang sudah populer. Nama Marukan belum santer disebut-sebut.
Tahun 2006 Marukan melakukan survai ringan. Hasil survai itu menyebutkan bahwa nama-nama yang cukup populer tadi justru anjlok. “Saya mendapat suara 26%. Sementara Pak Mozes belasan persen dan Pak Regol hanya 10%. Meski belum 30%, perolehan saya pada survai itu cukup tinggi. Kenapa peroleh saya tinggi? Mungkin sebagian warga masyarakat melihat kiprah saya di pemerintahan dan di tengah-tengah masyarakat. Saya lanjutkan aktivitas tersebut. Usai dari kantor jam dua siang, saya langsung kabur ke tengah-tengah masyarakat,” ujar Marukan. Namun hasil survai tersebut cukup disimpan saja buat dirinya.
Tahun 2007, Marukan kembali melakukan survai. Hasilnya, dia meraih suara sekitar 36%. Lalu pada survai berikutnya dia memperoleh lebih dari 40%. Dan, menjelang Pilkada 2008, suara Marukan sudah mendekati 50%. Melihat gelagat positif hasil survai, Marukan memberanikan diri mencalonkan diri pada Pilkada Kabupaten Lamandau yang digelar pada 8 Mei 2008. Memberanikan diri menerima pinangan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan.
Dengan menggandeng Calon Wakil Bupati H. Sugiyarto, Marukan bersaing menarik simpati rakyat Lamandau dengan dua pasangan lain, masing-masing pasangan Drs. Hasanudin - Mozes  Pause dan Perdie – Misripah. Setelah pencoblosan pada 8 Mei 2008 yang diikuti rekapitulasi oleh KPU Kabupaten Lamandau, pasangan Marukan – Sugiyarto memperoleh 14.418 suara dari 39.410 orang yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kabupaten Lamandau.
Lalu pada tanggal 21 Juli 2008, melalui sidang paripurna DPRD Kabupaten Lamandau, Marukan Hendrik dan Sugiyarto dilantik oleh Gubernur Kalimantan Tengan (atas nama Menteri Dalam Negeri) sebagai Bupati dan Wakil Bupati Lamandau periode 2008-2013.

C.   Membangun Lamandau dengan Kebersamaan dan Kerja Keras
Untuk memimpin dan memajukan masyarakat Kabupaten Lamandau, pasangan Marukan – Sugiyarto mengusung visi “Terwujudnya kesejahteraan masyarakat Kabupaten Lamandau dan terselenggaranya tata kelola kepemerintahan yang baik, bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Visi tersebut kemudian dijabarkan ke dalam 8 (delapan) misi pembangunan sebagai berikut:
·         Mengembangkan ekonomi kerakyatan dengan cara memperkuat dan meningkatkan perekonomian melalui pengembangan dan diversifikasi usaha masyarakat di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perkebunan dengan memperkuat peran UKM dan koperasi serta industri kecil.
·         Meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pembangunan pendidikan yang berkualitas mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) sampai dengan Perguruan Tinggi.
·         Mewujudkan pola hidup sehat masyarakat mulai dari kota dan dikembangkan sampai ke desa-desa.
·         Menciptakan ketentraman, keamanan dan kenyamanan masyarakat Kabupaten Lamandau.
·         Membuka keterisolasian daerah pedesaan dan kecamatan agar berkembang dan menyerap manfaat pembangunan serta kelancaran arus angkutan penumpang umum dan distribusi barang/jasa.
·         Meningkatkan martabat masyarakat Kabupaten Lamandau melalui keterlibatan aktif dalam berbagai kegiatan –baik antar-daerah kabupaten, antar-provinsi maupun tingkat nasional.
·         Mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang baik, bebas dari KKN menuju pembangunan yang berkelanjutan.
·         Menumbuh-kembangkan kehidupan antar-umat beragama agar mempunyai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Berangkat dari visi-misi tersebut ditambah pengalaman pahit kesalahan adiministrasi pemerintahan pada rentang waktu 2002-2007, Marukan langsung bekerja keras membenahi administrasi pemerintahan, mulai dari pengelolaan aset, inventarisasi aset sampai tanggung jawab administrasi. Dalam hal inventarisasi aset misalkan, dia mengirimkan aparataur terkait untuk mengikuti pelatihan pengelolaan aset secara benar dan tertib.
“Pengelolaan tertib administrasi, inventarisasi aset atau barang secara benar sangat tergantung pada rasa tanggung jawab dan sikap yang sungguh-sungguh dari seluruh aparat pengurus dan penyimpangan barang. Karena itu para pengurus barang harus dapat mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat di tempat kerja masing-masing. Kegiatan itu dilakukan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi serta profesionalisme pengurusan aset,” jelas Marukan.
Kemudian, Marukan berusaha pula memeratakan pembangunan di seluruh wilayah Kabupaten Lamandau, misalkan penganggaran pembangunan jalan-jalan di desa-desa yang masih sulit terjangkau. Di era kepemimpinannya, Pemerintah Kabupaten Lamandau menganggarkan miliaran rupiah untuk membangun jalan antar-desa dan antar-kecamatan guna membuka keterisolasian. Dia mengapresiasi rakyat Lamandau yang telah bersatu dan bahu membahu membangun segala aspek kehidupan bermasyarakat sesuai dengan asas demokrasi.
Jika dalam perjalanannya terdapat perbedaan, maka hal itu merupakan kewajaran dan mencerminkan dinamika organisasi. Marukan mengatakan, perbedaan itu harus menjadi sebuah kekuatan, bukan justru melemahkan. Adanya perbedaan harus dicari solusi terbaik bagi setiap pemecahan permasalahan yang ada, sehingga ketemu jalan keluar. "Untuk itu semua elemen masyarakat bekerja sesuai dengan asas-asas demokrasi, jika terdapat suatu perbedaan itu hal yang wajar. Namun mari kita jadikan perbedaan itu menjadi kekuatan, bukannya malah menjadi kelemahan," pinta Marukan.
Dia meminta warga masyarakat Kabupaten Lamandau agar setiap masalah yang timbul diselesaikan secara arif dan bijaksana, sehingga semua pihak merasa diuntungkan dengan tetap memperhatikan ketentuan dan peraturan yang berlaku. Sebesar apapun permasalahan yang timbul, bila ada itikad baik untuk diselesaikan maka pasti terselesaikan.
Marukan sangat berharap peran aktif warga masyarakat Lamandau dalam membangun daerahnya. Karena, menurutnya, tanpa peran aktif warga masyarakat Lamandau yang waktu itu masih tertinggal akan sulit mengejar ketertinggalannya dibandingkan daerah-daerah lain.
“Di awal kepemimpinan, saya siapkan data dan masukan ke Menteri Pembangunan Daerah Teringgal dan memperoleh respon positif sehingga kami mendapat banyak bantuan untuk membangun infrastruktur yang masih sangat kurang. Tak berapa lama, kami mampu keluar dari status tertinggal. Kami butuh kerja keras dari pemerintah dan warga masyarakat mengingat ketika itu masih kabupaten percobaan, masih dibayang-bayangi akan dikembalikan menjadi kecamatan. Ternyata dalam perkembangan, grade kami cukup baik dibandingkan daerah-daerah lain yang bersama-sama baru mekar. Istilah percobaan itu pun sudah hilang,” papar Marukan.
Sekali lagi, dengan pemandu visi-misi, Marukan memprioritaskan pembangunan Lamandau di bidang infrastruktur, pendidikan, kesehatan, ekonomi, perhubungan, dan kelistrikan. Khusus di bidang pemerintahan dia menekankan upaya peningkatan pelayanan publik.           
Melalui langkah-langkah sederhana tadi, Kabupaten Lamandau memperoleh nilai dan kesan yang cukup baik. Dan warga masyarakat Lamandau merasakan berbagai kemudahan di bidang transportasi, pendidikan dan kesehatan.

D.   Terpilih Kembali pada Pilkada 2013
Tak terasa masa pengabdian lima tahun sebagai Bupati Lamandau segera memasuki tapal batas pada pertengahan 2013. Telah banyak torehan manfaat pembangunan yang bisa dirasakan oleh rakyat-masyarakat Lamandau. Dapat dirasakan lantaran Pemerintah Kabupaten Lamandau mengusung motto “Bahaum Bakuba” yang bermakna selalu bermusyawarah atau bermufakat tanpa membedakan agama, suku, warna kulit dan golongan. Artinya, bahwa dalam membangun ataupun menyelesaikan persoalan senantiasa ditempuh melalui jalan musyawarah. Dan setiap hasil musyawarah menjadi tanggung jawab bersama yang dilakukan dengan hati yang tulus suci dan ikhlas dalam mengabdi kepada negara dan bangsa tercinta.
Memasuki tahun 2013, suhu politik lokal Kabupaten Lamandau mulai menghangat. Banyak kalangan mulai kasak-kusuk hendak mencalonkan diri untuk memimpin Lamandau lima tahun berikutnya. Muncullah pasangan calon bupati dan calon wakil bupati Drs. Havter dan H. Tohir Hamzah melalui jalur independen. Lalu koalisi partai politik PDK, PPN, PPPI dan Partai Hanura mengusung pasangan Cristopel Tulus dan Yusup Ahmad Noor.
Lantas pada detik-detik terakhir jelang penutupan pendaftaran, 10 Januari 2013, Marukan yang tetap berpasangan dengan Sugiyarto mendaftarkan diri ke KPU Kabupaten Lamandau di Nanga Bulik. Pasangan calon Bupati dan calon Wakil Bupati Lamandau yang diusung koalisi tujuh partai politik (Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia [PDI] Perjuangan, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan [PPP], Gerindra, PKPI dan Partai Amanat Nasional [PAN]) itu mendaftar sekitar pukul 22.10 WIB tangggal 9 Januari 2013.
Kedatangan pasangan Marukan – Sugiyarto diiringi rombongan para pimpinan parpol dan simpatisan. Berbeda dari dua pasangan calon lain, Marukan-Sugiyarto (MAS) tidak hanya diantar parpol dan simpatisannya, tapi juga istri masing-masing calon Ny Maria Neva Merliana dan Ny Endang Rustiningsih Sugiyarto.
Tepat pukul 22.10 WIB, rombongan MAS tiba di kantor KPU. Keduanya kompak mengenakan kemeja putih dengan jas abu-abu gelap. MAS juga jadi satu-satunya pasangan calon yang diiringi massa terbanyak, sehingga membuat aula KPU penuh sesak.   
Setelah melalui beberapa proses administrasi dan pengambilan nomor urut peserta, KPU Kabupaten Lamandau kemudian menetapkan nomor urut 1 pasangan Drs. Havter dan H. Tohir Hamzah, nomor 2 pasangan Marukan-Sugiyarto, dan nomor urut 3 pasangan Cristopel Tulus dan Yusup Ahmad Noor. Ketiga pasangan tersebut kemudian bersaing memperebutkan suara rakyat Lamandau pada saat pencoblosan tanggal 4 April 2013.
Setelah melalui proses rekapitulasi mulai dari tingkat TPS, pada pertengahan April 2013, KPUD Kabupaten Lamandau menetapkan pasangan Marukan-Sugiyarto sebagai pemenang dengan perolehan suara 59,94% dari 35.811 orang pemilih (Daftar Pemilih Tetap). Dua kandidat lainnya memperoleh 35,99% (pasangan Drs. Havter dan H. Tohir Hamzah) dan 4,07% untuk pasangan Cristopel Tulus dan Yusup Ahmad Noor.  
Namun pasangan Marukan-Sugiyarto tidak lasung melenggang kembali dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Lamandau periode 2013-2018. Pasalnya, pada akhir April 2013, pasangan Havter - Tohir Hamzah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Selaku Pemohon dalam perkara nomor 41/PHPU.D-XI/2013 tersebut pasangan Havter-Tohir menggugat Berita Acara (BA) Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilukada Kabupaten Lamandau Nomor 173/BA/IV/2013 bertanggal 11 April 2013, yang dinilai dihasilkan dari proses Pemilukada yang penuh dengan pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM), yang dilakukan oleh Pihak Terkait, Pasangan Calon Petahana Marukan Hendrik - Sugiyarto, bersama dengan Termohon dalam perkara ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lamandau.
Setelah melakukan beberapa kali sidang pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan oleh Pemohon, Termohon dan Pihak Terkait, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan yang diajukan Pasangan Calon Havter - M Tohir Hamzah. Putusan penolakan dilakukan dalam sidang pengucapan putusan perkara Sengketa Pemilukada Kabupaten Lamandau pada tanggal 8 Mei 2013 di Jakarta. Dengan ditolaknya seluruh gugatan dari penggugat, maka putusan KPU Lamandau yang menetapkan Petahana Marukan-Sugiyarto sebagai pasangan calon Bupati dan wakil Bupati Lamandau periode 2013-2018 terpilih telah sah menurut hukum.
Selanjutnya, melalui Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kabupaten Lamandau pada tanggal 22 Juli 2013, Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang melantik Ir Marukan dan Drs H Sugiyarto sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lamandau periode 2013-2018. Pelantikan kepala daerah juga dirangkai dengan pelantikan Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Kabupaten Lamandau oleh Ketua TP-PKK Provinsi Kalteng Ny Moenartining Teras Narang.
Gubernur yang tiba dengan helikopter tepat pukul 09.00 WIB di Nanga Bulik disambut sejumlah pejabat setempat. Pelantikan dihadiri Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalteng Abdul Razak, unsur FKPD Provinsi, anggota DPD RI perwakilan Kalteng Hamdani, mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh, mantan Bupati Lamandau Regol Cikar, Bupati dan Wabup Kotawaringin Barat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, serta pimpinan SKPD provinsi ataupun kabupaten.
Usai melantik dan mengambil sumpah janji jabatan, Gubernur Agustin Teras Narang berpesan agar kepala daerah terpilih melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Dia juga mengingatkan, meskipun menganut otonomi daerah, seorang pemimpin tidak boleh mementingkan kehendaknya sendiri. Karena semua upaya dilakukan dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat bagi kemajuan bersama.
Gubernur juga menekankan bahwa tugas kepala daerah adalah melayani. "Saya percaya Bapak Marukan dan Bapak Sugiyarto adalah pilihan rakyat yang akan melayani dan memberikan yang terbaik untuk kesejahteraan masyarakat Lamandau," ujarnya.
Pelantikan di Lamandau kali ini boleh dibilang istimewa. Pasalnya, Marukan dan Sugiyarto merupakan pasangan yang setia sejak periode pertama (2008-2013) memimpin dan kembali dipercaya untuk lima tahun berikutnya. Tentu keduanya memahami benar karakter masing-masing dalam menempatkan  tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sesuai tanggung jawab jabatan yang diemban.
Pada periode kedua kepemimpinannya itu, Marukan tetap mengusung visi “Terwujudya kesejahteraan masyarakat, terlaksananya tata kelola pemerintahan yang baik bebas dari KKN yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dia hanya lebih menyempurnakan misi pemerintahan. Bila pada periode pertama membawa delapan misi, maka di periode kedua ini menetapkan 10 misi, yakni:
·         Membangun ekonomi kerakyatan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi penduduk miskin, angka pengangguran, sehingga masyarakat sejahtera.
·         Meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar generasi muda memiliki pengetahuan, keterampilan dan mampu mandiri.
·         Mewujudkan pola hidup masyarakat sehat agar angka harapan hidup meningkat, angka kematian ibu dan bayi menurun.
·         Menciptakan ketenteraman, keamanan dan kenyamanan masyarakat Kabupaten Lamandau secara keseluruhan.
·         Membuka keterisolasian daerah pedesaan dan kecamatan demi kelancaran angkutan penumpang, barang dan jasa.
·         Meningkatkan martabat masyarakat Kabupaten Lamandau melalui keterlibatan aktif dalam berbagai kegiatan olah raga, adat dan budaya.
·         Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik bebas dari KKN agar pemerintah menjadi kuat, berwibawa, demokratis dan melayani.
·         Menumbuh-kembangkan kehidupan beragama agar mempunyai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
·         Menjadikan sektor pariwisata sebagai salah satu kekuatan ekonomi kerakyatan.
·         Mewujudkan kelestarian lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Salah satu misi penting kali ini adalah pembangunan berkelanjutan. Dalam pembangunan secara berkelanjutan, Pemkab Lamandau telah melakukan berbagai terobosan yang dinilai memang pantas dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan pembangunan secara merata dan bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat di Kabupaten Lamandau.
Marukan mengatakan, dalam membangun daerah tentunya harus berkelanjutan sehingga dalam suatu daerah dapat terlihat adanya pembangunan. Dan, pembangunan itu tidak hanya di dalam kota saja, tapi juga sampai pelosok-pelosok desa. Hingga kini pembangunan di Kabupaten Lamandau terus dilaksanakan baik dari infrastruktur sampai pembangunan dalam tatanan kota. Sejak 2008 sampai sekarang sudah tampak perubahan yang semakin lama semakin membaik.
Secara garis besar Lamandau telah banyak mengalami perubahan. Bukan lagi dilihat sebagai Kabupaten Pemekaran. Kabupaten Lamandau adalah kabupaten yang mampu independen dengan berbagai kepercayaan dan dukungan dari pemerintah baik pusat maupun provinsi yang telah membantu dalam hal pembangunan. Secara tidak langsung Kabupaten Lamandau ini sudah menjadi kabupaten independen dan tidak lagi mengandalkan kabupaten induk.
Menurut Marukan, semua hasil yang telah didapat semua ini adalah bukan hasil dari dirinya semata sebagai bupati atau kepala daerah saja, namun berkat dukungan semua pihak. Dan di periode kedua kepemimpinan itu, dia ingin membawa partisipasi aktif masyarakat Lamandau memasuki masa pembangunan tahap II (2013-2018). (*)

Friday, January 30, 2015

Karut-marut BPJS Kesehatan

SPEKTRUM: Karut-marut BPJS Kesehatan

Nancy Junita

 Membeludak! Itulah kesan penulis saat mendaftar BPJS Kesehatan di Kota Bekasi. Pada Selasa (6/1/2015) pukul 07.30 WIB, antrean sudah mengular. Selain antrean berdiri, ada pula antrean orang duduk menunggu nomornya dipanggil.
“Ambil nomor dulu. Memang seperti ini setiap pagi. Kalau mau ada broker,” ujar seorang pria berjaket yang antre di belakang penulis.
Udara dingin di pagi itu karena hujan tak membuat  suasana sejuk. Tempat duduk yang terbatas, membuat calon peserta harus berdiri antre di antara kepulan asap rokok. Di sisi lain sebagian orang mengisi formulir di “body” mobil yang parkir di sekitar kantor BPJS, karena  tak disediakan meja.
Ada calon peserta BPJS yang ditawari calo dengan biaya Rp150 ribu. Ada pula  yang gagal mendaftar secara online di BRI. Jika pun berhasil mendaftar, namun hanya dirinya saja yang sukses, karena  koneksi internet “down”. Akibatnya, tetap saja harus antre panjang di kantor BPJS.
Seperti dituturkan Wiji Utami, yang pernah mencoba mendaftar di BRI dan Bank Mandiri. Namun, gagal. Dia akhirnya harus antre berjam-jam di kantor BPJS. Penulis sendiri mendapat nomor 119 ketika antre jam 07.30 WIB, bertemu petugas pendaftaran pukul 15.00 WIB. Sekalipun seluruh syarat pendaftaran dipenuhi, harus kembali keesokan hari untuk mendapat kartu BPJS. Praktis butuh 2 hari proses pendaftaran. Itu pun harus antre lagi sekitar 1-2 jam demi kartu.
Sebenarnya, proses pendaftaran cukup singkat, namun waktu tunggu berjam-jam. Untuk menghindari semacam ini, calon peserta bernama Lukman Hakim, yang tinggal di Kelabang Tengah Bekasi Utara, mengaku datang pukul 05.00 WIB demi mendapat nomor antrean kecil, yakni nomor 17. Oleh karena nomor kecil, dia bisa mendaftar, dan membayar iuran hari itu juga, serta mendapat kartu BPJS Kesehatan pada siang harinya.
“Saya kasihan melihat orangtua, dan ibu yang membawa anak. Mereka juga berdiri, antre. Harusnya dipisahkan pelayanan untuk lansia,” ujar Lukman.
Benahi Pelayanan
Semrawutnya pendaftaran peserta BPJS Kesehatan, dan banyaknya keluhan calon peserta mendapat sorotan  dari Ketua Pusat Kajian Ekonomi  dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Profesor Hasbullah Thabrany.
“Saya mendapat  keluhan yang sama dari berbagai pihak, maka saya sering mengatakan jangan paksa perusahaan mendaftar tahun ini. Benahi dulu pelayanan BPJS. Staf BPJS perlu mengubah mindset,” ujar Hasbullah.
Fakta di lapangan, waktu habis untuk antre mendaftar menjadi peserta. Sesudah menjadi peserta pun, harus antre panjang untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit. Untuk mendapat pelayanan rontgen di RSPAD Gatot Subroto, harus antre dan dijadwal. Demikian juga dengan pelayanan ultrasonografi (USG) di RS Kanker Dharmais. Intinya, waktu tunggu lama!
Hasbullah juga menilai peraturan BPJS Nomor 4/2014 mengatur tata cara pendaftaran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN )  bertentangan dengan asas hak dan kewajiban rakyat. Peraturan tersebut sarat berbau peraturan kepesertaan asuransi komersial, bukan jaminan sosial yang bersifat wajib.
Persyaratan-persyaratan peserta perorangan seperti berbagai fotokopi identitas dan keharusan mencantumkan fotokopi rekening bank membuat hambatan peserta mendaftar. Belum lagi di lapangan petugas BPJS bisa mengharuskan semua persyaratan harus lengkap, padahal satu saja sudah cukup—Nomor Induk Kependudukan (NIK).
“Konsep dasar JKN adalah pemenuhan hak rakyat, bukan penjualan asuransi kepada rakyat. Seluruh penduduk Indonesia, termasuk orang asing, berhak menjadi peserta dengan kewajiban mengiur atau iurannya dibayari oleh pemerintah. Maka, syarat-syarat yang ditetapkan BPJS menjadi tidak perlu. Siapa pun yang bersedia membayar iuran atau iurannya dibayari oleh pemerintah atau seseorang wajib diterima oleh BPJS dan otomatis orang tersebut berhak mendapat jaminan. BPJS dapat digugat dan dituntut miliaran per orang ,” tegasnya.
Yang paling membahayakan buat BPJS, katanya, adalah pasal 10 ayat 2 yang menyatakan “masa berlaku kartu peserta adalah 7 hari setelah peserta melakukan pembayaran”. Artinya, seseorang yang telah membayar iuran harus menunggu 7 hari sebelum bisa dijamin JKN.
“Peraturan ini melanggar hak penduduk. Bahkan dalam hukum asuransi komersial, jaminan segera berlaku segera setelah seseorang membayar iuran,” tegas Hasbullah.
Kepastian Data
Kepala Departemen  Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi mengungkapkan alasan masa berlaku kartu  peserta setelah 7 hari. Menurut dia, BPJS Kesehatan perlu melakukan penataan admistrasi peserta. Harus dilakukan “screening” atas data tersebut.
“Kami juga memerlukan kepastian data yang bersangkutan dan cross check dengan data Disdukcapil. Kedua, validasi dilakukan untuk memastikan data tidak ganda, diisi secara lengkap dan benar sesuai dengan standar isian peserta,” ujarnya.
Aturan tersebut berlaku hanya untuk Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) yang memilih kelas kepesertaan kelas I dan kelas II. Sedangkan, masalah pendaftaran online yang tak lancar dan harus menyertakan kepala keluarga (tidak bisa perorangan), Irfan mengatakan pihaknya ingin mengubah mindset mendaftar peserta BPJS Kesehatan setelah sakit.
Sekalipun pendaftaran online kerap bermasalah, Irfan menyebut pendaftaran secara online lebih praktis  dan cepat. Padahal, penelusuran penulis, informasi fasilitas kesehatan tingkat pertama (klinik, praktik dokter) dan dokter gigi tidak lengkap untuk setiap kelurahan.
Soal calo yang merajalela, Irfan menambahkan, pihaknya bekerja sama dengan polisi. Untuk waktu tunggu yang lama, katanya, pihaknya akan menambah kantor cabang, service point, dan sumber daya manusia. (http://koran.bisnis.com)

Fakta Jaminan Kesehatan Nasional Masih Didominasi Orang-orang Mampu


Fakta Jaminan Kesehatan Nasional Masih Didominasi Orang-orang Mampu
Kompas
Data statistik Jaminan Kesehatan Nasional 

Tahun pertama penerapan Jaminan Kesehatan Nasional, dana yang terkumpul masih dinikmati kelompok mampu. Pembiayaan kesehatan itu juga lebih banyak dimanfaatkan masyarakat di kota besar dan Pulau Jawa yang memiliki fasilitas dan tenaga kesehatan lebih baik.
Jika iuran JKN dari kelompok pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan non-PBPU yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dipisah, kelompok PBPU lebih banyak menikmati dana JKN. Kelompok itu antara lain terdiri dari pekerja nonformal dan orang mampu, termasuk kelompok hampir miskin yang bukan penerima bantuan iuran (PBI).
Di sisi lain, pemanfaatan JKN dari kelompok non-PBPU yang terdiri dari PBI serta bekas peserta Asuransi Kesehatan dan peserta Jaminan Sosial Tenaga Kerja—yang mayoritas dananya bersumber APBN—justru kurang memanfaatkan JKN. Padahal, jumlah mereka jauh lebih besar.
Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM yang juga pendiri Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) UGM Laksono Trisnantoto dihubungi dari Jakarta, Sabtu (24/1), menilai kondisi itu terjadi karena pencampuran iuran peserta JKN dalam satu wadah. ”Seharusnya, iuran kedua kelompok itu dipisah sehingga diperoleh keadilan pemanfaatan JKN,” katanya.
Pencampuran semua iuran itu, kata Laksono, membuat kelompok miskin (penerima PBI sebagai kelompok peserta terbesar) menyubsidi kelompok yang lebih mampu, sedangkan yang tinggal di daerah tertinggal dengan fasilitas kesehatan kurang menyubsidi peserta di kota besar dan Pulau Jawa.
Pemisahan sumber pendanaan itu bisa membuat sisa pendanaan kelompok non-PBPU dimanfaatkan untuk mempercepat pembangunan fasilitas kesehatan di daerah tertinggal serta mengirimkan tenaga-tenaga kesehatan khususnya dokter spesialis ke daerah-daerah kekurangan.
”Kelompok PBI di luar Jawa tak bisa memanfaatkan JKN karena fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tidak ada,” katanya. Contohnya, operasi jantung terbuka yang ditanggung JKN tak bisa dimanfaatkan warga NTT karena tak ada dokter jantung atau bedah di provinsi itu.
Penyediaan fasilitas dan tenaga kesehatan di daerah memang tanggung jawab pemerintah. Namun, jika mengandalkan mereka, upaya pemerataan fasilitas dan tenaga kesehatan itu diyakini sulit dilakukan karena kemampuan keuangan setiap daerah beda.
Melalui pemisahan sumber dana, kelompok PBPU bisa membayar iuran lebih tinggi. Besaran iuran Rp 59.500 untuk kelas I, Rp 42.500 kelas II, dan Rp 25.500 kelas III dinilai sangat murah dibanding premi asuransi kesehatan swasta. Belum lagi, semua jenis penyakit dicakup JKN.
Prinsip gotong royong
Namun, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI yang juga Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan UI Hasbullah Thabrany tidak setuju dengan pemisahan iuran peserta JKN berdasarkan kelompok kepesertaannya. ”Itu menunjukkan pola pikir yang masih sama seperti asuransi komersial, yaitu setiap individu menanggung diri sendiri. Padahal, JKN adalah asuransi sosial,” katanya.
Filosofi asuransi sosial, yang sehat menanggung yang sakit, yang muda menjamin yang tua, dan yang kaya membantu yang miskin, menuntut penyebaran beban dan pendapatan sesuai prinsip gotong royong.
Pelaksanaan JKN juga akan membalik sistem kesehatan di masa lalu, saat hanya yang mampu yang bisa mengakses layanan kesehatan. Namun, untuk mewujudkan itu semua perlu waktu transisi setidaknya hingga 2019 saat seluruh warga Indonesia wajib menjadi peserta JKN.
Kondisi saat ini bukan salah BPJS Kesehatan, melainkan pola pembangunan kesehatan pemerintah pusat dan daerah yang membuat pembangunan fasilitas dan tenaga kesehatan tak merata. (http://www.tribunnews.com)

Masa Pengabdian di Dunia Akademis



* TIGA


Di era global sekarang ini, keberhasilan dalam berbagai bidang kerja itu bisa diraih jika kita konsisten untuk bekerja dengan berpijak pada nilai-nilai sosial-budaya, khazanah-kearifan, kekuatan dan potensi kita sendiri. (Akio Morita, Pendiri Sony Corporation)

PANGKALAN BUN, akhir 1977. Setelah tiga tahun berjuang dalam kehidupan yang penuh warna di Pangkalan Bun, Marukan pun sampai di tapal batas kelulusan SMA Negeri 1 Pangkalan Bun pada akhir 1977. Dengan torehan prestasi kelulusan yang lumayan mengkilap. Pokoknya, cukup modal buat melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi atau universitas yang dicita-citakan.
Pastur pembimbingnya selama tinggal di asrama anak-anak pedalaman yang berada di bibir Sungai Arut juga menyarankan agar Marukan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi, bukan sekadar lulus SMA. Bahkan, sang pastur membekalinya sejumlah uang untuk ongkos naik kapal ke Banjarmasin supaya bisa segera mendaftarkan diri ke universitas yang ada di Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan itu.
Sayangnya, ketika hendak berangkat menumpang kapal laut ke Banjarmasin, cuaca di Laut Jawa sedang tidak bersahabat. Ombak sedang tinggi. Marukan batal naik kapal yang bersiap ke Banjarmasin. Dia kemudian menumpang pesawat terbang dengan ongkos dari duit hasil penjualan sapi di kampung halaman Desa Bayat.
Lantaran dinilai kurang jujur perihal ongkos naik pesawat terbang, tiba di Banjarmasin dia ditolak oleh pihak Keuskupan yang sedianya menampung dirinya selama berada di kota bersejarah Bumi Borneo itu. Dia harus pula mencari tumpangan agar tetap bisa melanjutkan kuliah di Banjarmasin. Bersyukur ada seorang kenalan yang bersedia memberi tumpangan selama proses mencari dan mendaftarkan diri di Universitas “Perjuangan” Lambung Mangkurat.
Pilihan Marukan ketika itu ke Universitas Lambung Mangkurat boleh dikatakan cukup tepat. Sebab, universitas tertua di Bumi Borneo itu memberi banyak pilihan bidang keilmuan yang diinginkan para calon mahasiswa.
Sekadar pengetahuan historis, Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) berdiri atas inisiatif dan jasa pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia di Kalimantan Selatan, terutama mereka yang pada tanggal 17 Mei 1949 memproklamasikan Pemerintahan Gubernur Militer ALRI Divisi IV Kalimantan, di bawah pimpinan Gubernur Militer Hasan Basry, sebagai upaya menegakkan kemerdekaan.
Ceritanya, pada waktu reuni Kesatuan Tentara Nasional Indonesia Divisi Lambung Mangkurat di Desa Niih, Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, pada tanggal 3-10 Maret 1957, mereka membentuk “Dewan Lambung Mangkurat” dengan beberapa rencana kerja, salah satu di antaranya mendirikan Perguruan Tinggi di Kalimantan.
Sebagai realisasi sebagian dari rencana Dewan Lambung Mangkurat tersebut, pada pertengahan tahun 1958 dibentuk Panitia Persiapan Pendirian Universitas Lambung Mangkurat. Kemudian pada tanggal 21 September 1958 Panitia berhasil meresmikan berdirinya Universitas Lambung Mangkurat dengan empat fakultas, yaitu Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Sosial dan Politik, dan Fakultas Islamologi.
Setelah berjalan kurang lebih dua tahun, Pemerintah Republik Indonesia --melalui Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1960 tertanggal 29 Oktober 1960-- meresmikan Unlam sebagai Universitas Negeri pada tanggal 1 November 1960. Peresmian dilakukan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
Pada saat peresmian itu, Universitas Lambung Mangkurat memiliki empat fakultas, masing-masing Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Sosial dan Politik, dan Fakultas Pertanian. Fakultas Pertanian itu sendiri baru resmi berdiri pada tanggal 3 Oktober 1961 di Banjarbaru. Fakultas Pertanian berdiri berkat kerja sama antara Yayasan Perguruan Tinggi Lambung Mangkurat dan Pimpinan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor (sekarang Institut Pertanian Bogor [IPB]). Sedangkan Fakultas Islamologi diserahkan kepada Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta pada tanggal 15 Januari 1961, yang kemudian membuka cabang di Banjarmasin. Pada perkembangannya Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta berubah menjadi IAIN Antasari. Kursus-kursus B I dan B II sendiri, melalui pertimbangan oleh Kepala Perwakilan Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Kalimantan Selatan pada waktu itu kepada Presiden Unlam (sekarang Rektor Unlam) pada tanggal 4 November 1961 ditingkatkan menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Meski Universitas Lambung Mangkurat sudah ditingkatkan statusnya menjadi universitas negeri, pembiayaan untuk penyelenggaraan perkuliahan dan administrasi tetap didanai oleh Yayasan Perguruan Tinggi Lambung Mangkurat. Dengan bantuan tersebut, banyak didatangkan dosen-dosen dari Surabaya dan Yogyakarta. Selain itu, Yayasan juga membangun gedung baru pada tahun 1960 yang berlokasi di Banjarbaru. Rencananya bangunan tersebut ditempati oleh Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Sosial dan Politik, dan Fakultas Pertanian. Namun hanya Fakultas Pertanian yang kemudian menempati gedung baru tersebut, sedangkan Fakultas yang lain tetap menyelenggarakan perkuliahan di gedung lama di Banjarmasin.
Pada tahun 1964 dibentuk fakultas baru, yaitu Fakultas Kehutanan dan Fakultas Perikanan yang berlokasi di Banjarbaru. Baru pada tahun 1965 dibentuk Fakultas Teknik di lokasi yang sama.
Sampai pada tahun 1965, Unlam didanai oleh Yayasan. Dan sampai pada tahun itu pula tenaga pengajar yang diterbangkan. Setelah tahun 1965 Yayasan tidak lagi mendanai Unlam, karena mengalami masalah keuangan. Kemudian Unlam diambil-alih oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan.
Dalam perkembangan berikutnya hingga sekarang ini, Universitas Lambung Mangkurat memiliki 10 fakultas dan satu Program Pascasarjana, yaitu Fakultas Ekonomi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Hukum, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Fakultas Teknik, Fakultas Pertanian, Fakultas Kehutanan, Fakultas Perikanan, Fakultas Kedokteran, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Program Pascasarjana.
Secara implisit, oleh para pendirinya, Universitas Lambung Mangkurat dicita-citakan menjadi faktor penggerak pembangunan (agent of development) di kawasan Kalimantan, baik dari konsepsi/wawasan pembangunan maupun penyedia sumber daya manusia. Dengan cita-cita tersebut maka Universitas Lambung Mangkurat tidak terpisahkan dari hasrat masyarakat Kalimantan untuk pembangunan Pulau Kalimantan sebagai bagian dari Republik Indonesia, agar segala potensi yang dimiliki pulau ini dapat menjadi sumber kemakmuran bangsa. Berdasar hal tersebutlah maka Universitas Lambung Mangkurat memiliki sapaan sebagai "Universitas Perjuangan".

A.   Lebih Memilih Kuliah di Fakultas Kehutanan
Setelah semalam menginap di Keuskupan Banjarmasin, Marukan mau tidak mau harus keluar mencari tempat tumpangan pada siapa saja yang bersedia menampung di Banjarmasin. Sampailah dia pada kerabat seorang kenalan. Dan sampai pula saat pendaftaran calon mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat Kampus Banjarmasin di Kampus Utama, Jalan H. Hasan Basry Kelurahan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin.
Banyak pilihan fakultas terhampar di Universitas Perjuangan itu. Sebagai putera asli Kalimantan, Marukan memilih Fakultas Kehutanan. Maklum, di masa itu, potensi hutan Bumi Borneo sedang giat dieksplorasi dan dieskploitasi. Dia ingin mencari bekal keilmuan untuk sumbangsih pemikiran agar hutan Kalimantan tetap asri dan lestari. Tapi, di sisi lain, dia juga ingin belajar teknologi yang biasanya disajikan oleh Fakultas Teknik. Jadilah dia mendaftarkan diri pada dua fakultas (Fakultas Kehutanan dan Fakultas Teknik) Universitas Lambung Mangkurat.
Benar kata pastur sang pembimbing, otak Marukan cukup encer. Tak banyak kesulitan, Marukan berhasil melewati proses seleksi dan lolos diterima di dua fakultas tersebut. Mulai tahun ajaran 1978 itu pula dia menapaki perkuliahan di dua fakultas yang kebetulan berada di satu kompleks Kampus Banjarbaru. Kampus kedua Universitas Lambung Mangkurat yang terletak di Jalan Ahmad Yani Km 35-36 Simpang Empat Kota Banjarbaru. Fakultas yang berada di kampus ini adalah Fakultas Teknik, Fakultas Pertanian, Fakultas Kehutanan, Fakultas Perikanan, Fakultas Kedokteran, dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Dalam perjalanannya, Marukan agak kedodoran membagi waktu di dua fakultas tersebut meski berada dalam satu kompleks kampus. Kehidupannya di Banjarmasin memang seolah kurang beruntung, misalkan jarak dari rumah yang ditumpanginya ke kampus relatif jauh. Belum lagi, keluarganya di Desa Bayat nyaris tidak mengirimkan logistik buat keseharian di perantauan. Maklum dia tidak bisa masuk asrama gereja Katolik, sehingga berharap juga keluarganya menyokong logistik sehari-hari.
“Selama di Banjarmasin, hanya sekali-dua kali ada kiriman dari keluarga di desa. Selebihnya saya betul-betul menderita. Saya tidak bisa masuk asrama. Sempat tinggal di lingkungan gereja, tapi di garasi mobil. Sudah begitu tidak mendapat beasiswa. Supaya bisa makan, saya berusaha bekerja harian ngecat rumah orang atau memberi kursus. Hasilnya sekali kerja Rp300, tapi tidak tiap hari. Sepekan itu hanya 2-3 hari. Uang Rp300 itu Rp50 saya pakai buat beli sayuran dan 50 buat beli nasi, kemudian dibagi dua buat siang dan sore. Sisanya buat ditabung kalau ada keperluan-keperluan lain. Kadang uang habis karena nggak ada lagi pekerjaan. Pernah seperti di Pangkalan Bun yang sampai 2-3 hari tidak makan. Hal seperti ini berjalan tiga tahun. Hanya makan nasi kalau ada kegiatan-kegiatan di gereja. Sebab itu, saya aktif di gereja, ikut menyiapkan persembahyangan atau yang lain. Biasanya kalau persembahyang itu kan ada makan-makan,” tutur Marukan penuh kenangan nan pahit.
Yang lebih menyedihkan lagi, menurut Marukan, jarak antara tempat tinggal dan kampus agak jauh. Dengan mimik sedikit sedih, dia berkisah, “Kalau kami jalan bertiga lalu ada salah satu yang singgah, saya jalan terus. Tapi kalau berdua, satu singgah, mau tak mau saya ikut singgah. Singgah di warung, makan. Ketika singgah itu kawan ngajak makan, saya jawab nanti makan di sana. Padahal, kawan tahu saya sedang lapar. Saya nggak mau karena tidak ada uang. Ini yang membuat malu sangat luar biasa. Selama kuliah itu saya hampir nggak punya buku, hanya pinjam saja.”
Perjalanan perkuliahan yang sungguh tidak mudah. Makan sehari-hari sulit, buku pun tak terbeli. Di masa itu, banyak mahasiswa Fakultas Kehutanan yang tidak naik tingkat. Hanya sedikit yang mampu naik tingkat, termasuk Marukan Hendrik. Dari sekitar 100 orang di Angkatan 1978 itu, pada tahun awal, hanya 18 orang yang mampu naik tingkat. Itulah yang membuat Marukan tetap bersemangat. Padahal keadaan sulit yang membelit itu sempat membuat Marukan mau pulang kampung, menyerah kalah.
“Saya sempat pulang ke Pangkalan Bun. Karena naik tingkat, saya kembali lagi ke Banjarmasin. Waktu di jenjang sarjana muda, saya lulus semua mata kuliah, tidak ada mata kuliah yang tertinggal. Begitu pula saat mau selesai jenjang sarjana, lulus semua mata kuliah. Itulah yang membanggakan saya,” kata Marukan.
Lumayan sukses di Fakultas Kehutanan, tidak demikian halnya di Fakultas Teknik. Terseok-seok. Ada satu-dua mata kuliah di Fakultas Teknik sampai tidak memenuhi standar kelulusan, bahkan sangat jauh dari batas standar. Di simpang jalan, dia mesti memilih. Akhirnya keakrabannya dengan dunia pertanian dan hutan Kalimantan di masa kecil membawanya pada pilihan meneruskan di Fakultas Kehutanan.  
Tentang pilihannya tetap masuk Fakultas Kehutanan itu, Marukan bertutur:
“Waktu itu banyak pilihan di Universitas Lambung Mangkurat. Saya sempat kuliah di dua faktultas, yakni Fakultas Teknik dan Fakultas Kehutanan, pada tahun 1978 itu. Sempat kuliah di dua fakultas sekaligus selama satu tahun. Kemudian, saya mendapat informasi bahwa kuliah di Fakultas Teknik itu sulit sekali dan dosen-dosennya sangat pelit dalam memberikan nilai. Saya pernah mendapat nilai -5 untuk mata kuliah Kimia Tanah. Satu nilai yang tidak pernah saya bayangkan. Kalau nol barangkali masih bisa dibayangkan. Saya kecewa berat.
Kemudian saya konsultasi dengan dosen pembimbing yang juga orang asli Kalimantan Tengah. Beliau bilang ‘kalau kamu punya uang banyak silakan tetap di teknik, kalau tidak ya di kehutanan saja’. Akhirnya saya memilih meneruskan di Fakultas Kehutanan. Dan saat itu kondisi di Fakultas Kehutanan juga tidak mudah. Ada mahasiswa yang sampai 8-9 tahun tidak lulus-lulus. Bersyukur, di angkatan saya itu, saya lulus tepat lima tahun enam bulan. Memang ada perubahan, sehingga bisa lulus tepat lima tahun enam bulan. Saya lulus bulan Agustus tahun 1984.”
Penuh rasa syukur, mulai Agustus 1984 Marukan berhak menyandang gelar Sarjana atau Insinyur Kehutanan lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Sebuah prestasi anak pedalaman Kalimantan Tengah, tepatnya dari Desa Bayat, Kecamatan Belantikan Raya, Kabupaten Lamandau, yang cukup membanggakan. Maklum, sampai sekarang Desa Bayat belum terlalu lengkap infrastruktur jalan dan kelistrikan.

B.    Membangun Biduk Rumah Tangga
Selama kuliah di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Marukan mengaku tidak tengok kanan-kiri “mencari” wanita idaman buat dipacari dan selanjutnya dibawa masuk ke jenjang pernikahan. Dia benar-benar fokus dan konsentrasi penuh menuntaskan kuliahnya di tengah kondisinya di Ibukota Kalimantan Selatan yang tidak mudah. Sehari-hari, selain kuliah, dia terus pula berpikir bagaimana bertahan hidup di perantauan. Hampir-hampir tidak ada waktu buat memikirkan cari calon pendamping hidup.
Keterbatasan kehidupannya di Banjarmasin betul-betul membuat Marukan nyaris tak bisa sekadar mengajak jalan-jalan seorang kawan atau sahabat. Sampai-sampai dia tidak percaya diri untuk sebatas bergaul dengan kawan-kawan mahasiswi.
Tapi, Marukan meyakini benar bahwa jodoh, rezeqi dan maut itu adalah hak prerogatif tangan Tuhan. Jodoh, rezeqi, dan maut tidak semata-mata sebagai upaya dan usaha si anak manusia.
Dengan keterbatasan materi namun sedikit punya kemampuan intelektual, mengantarkan Marukan memiliki daya tarik tersendiri di mata lawan jenis. Di masa-masa menjelang usai jenjang perkuliahan, ada beberapa gadis mengejar-ngejar dirinya. Tapi, dia tidak terlalu serius menanggapinya.
Tentang kurang percaya dirinya dalam bergaul dengan lawan jenis itu, Marukan bercerita:
“Dapat dikatakan saya nggak pernah pacaran seperti berkirim surat atau apalah. Karena saya memang nggak punya uang untuk nonton atau sekadar traktir makan. Sepeda pun nggak punya. Waktu SMA, saya pernah punya teman dekat, cinta monyet, tapi tidak pernah sampai pacaran. Sampai saya mahasiswa, yang mengejar banyak. Tapi, saya tahu diri, nggak berani menanggapi serius.
Kebetulan saya aktif di kegiatan gereja. Ketika itu kuliah di tingkat lima, sekitar tahun 1983, saya ketemu Maria Neva. Terasa kurang akrab karena penampilan saya tidak karuan. Saya diajak jalan-jalan ke mana, kemudian saya antar pulang pakai taksi. Nggak biasanya tuh. Sekali-dua kali terjadi seperti itu.
Waktu itu Maria Neva kelas tiga SMA. Ketika mau lulus kan ada tugas membuat paper. Dia minta dibikinkan. Saya iyakan tapi tidak saya bikin. Ini banyak teman lain kok minta dibikinkan ke saya. Mau lulus, dia nanya lagi mana paper. Akhirnya saya buatkan dan selesai dalam tiga hari, paper tentang koperasi. Karena merasa tertolong, dia langsung bilang ‘maukah kamu jadi pacar saya’. Saya diam saja waktu itu. Saya juga sering ditelepon supaya ke rumahnya. Sampai suatu malam, saya pulang dari rumahnya dia bilang ‘kamu pulang kok diam saja, coba cium saya’. Mulainya dari dia, kalau saya memang takut.”
Padahal, ketika kuliah di Universitas Lambung Mangkurat, Marukan sempat terpilih sebagai mahasiswa teladan dan aktif dalam berbagai seminar. Tapi, dia tetap saja kurang percaya diri. Rupanya, Maria Neva Merliana cukup jeli melihat sisi lebih pada diri Marukan. Ia pun main tembak langsung minta dipacari oleh Marukan. “Mungkin ia melihat ada semacam kecerdasan pada diri saya dan itu yang membuatnya tertarik,” ujar Marukan.
Gayung bersambut. Marukan tidak menyia-nyiakan “pinangan” perempuan cantik yang masih belasan tahun ketika itu. “Tidak ada pacaran, langsung jadian. Bulan Agustus 1984 kami menikah. Lalu anak pertama saya lahir tahun 1985,” terang Marukan sedikit tersipu malu.
Kini di usia pernikahannya yang lebih dari 30 tahun, Marukan dan Maria Neva Merliana telah dikaruniai dua orang anak perempuan (Margareta dan Pamela) serta mengadopsi seorang anak laki-laki. Bahkan, pasangan ini telah dikaruniai lima orang cucu.
Sekarang di tengah kesibukannya sebagai Bupati Lamandau (2013-2018), Marukan dan Maria Neva senantiasa saling mendukung dan memberikan spirit untuk bersama-sama mengabdikan diri bagi kemajuan masyarakat Kabupaten Lamandau. Keduanya berusaha memanfaatkan waktu senggang di sela-sela melayani warga masyarakat Lamandau buat tetap merajut kebersamaan dan kerekatan jalinan kasih.
Ihwal upayanya tetap menjaga jalinan kasih, Marukan mengatakan, “Kebetulan waktu saya jadi bupati, anak-anak saya sudah besar. Ada yang kuliah di Semarang dan ada juga yang di Yogya. Jadi sudah terbiasa terpisah dengan anak-anak. Waktu libur, mereka pulang, baru kami bersama-sama. Saya tidak terlalu berpikir bagaimana soal membagi waktu. Seperti air mengalir saja. Dengan isteri, tidak mesti bersama ke mana-mana. Kami saling percaya saja. Pas di rumah kami manfaatka kebersamaan dalam makan dan berdoa. Di Katolik tuh berdoa pagi, siang, sore dan malam hari. Seperti berteman saja, tidak ada perasaan was-was begitu. Meski isteri tak punya jabatan, dia aktif di kegiatan PKK sehingga merasa betapa pentingnya waktu kebersamaan dan melayani masyarakat.”       

C.   Menempa Diri Mengasah Intelektual di Jalur Akademis
Lulus dari Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat pada Agustus 1984 agaknya memberikan keberuntungan tersendiri bagi seorang Marukan Hendrik. Dewi fortuna menaungi dirinya.
Bersamaan dengan kelulusan Marukan, Universitas Palangkaraya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, membutuhkan dosen untuk mengisi formasi di Fakultas Pertanian. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang boleh jadi hanya datang sekali dalam kehidupan anak manusia. Dia pun ikut seleksi calon dosen Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya.
Sekadar catatan, Fakultas Pertanian termasuk salah satu dari tiga fakultas yang menjadi cikal bakal Universitas yang sedikit lebih muda dibandingkan Universitas Lambung Mangkurat itu. Dalam sejarahnya, awal pembentukan Universitas Palangkaraya dilakukan pada tahun 1962 oleh Panitia Persiapan Pembentukan Universitas di Kalimantan Tengah yang mendapat dukungan formal dari Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah dengan nama Universitas Palangkaraya yang diresmikan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) –waktu itu-- Prof. Dr. Ir. Tojib Hadiwijaya berdasarkan Surat Keputusan Menteri PTIP Nomor 141 Tanggal 10 November 1963 dengan 3 (tiga) fakultas, yaitu Fakultas Ekonomi, Fakultas Pertanian dan Fakultas Kehutanan. Pada saat bersamaan berdiri pula IKIP Bandung Cabang Palangkaraya dengan 2 (dua) fakultas, yaitu Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) dan Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS). Pada tanggal 24 Juli 1969, IKIP Bandung Cabang Palangkaraya tersebut diintergrasikan ke dalam Universitas Palangkaraya.
Dalam perjalanan selanjutnya, Fakultas Pertanian dan Fakultas Kehutanan, yang waktu itu ditempatkan di Kuala Kapuas, hanya dapat berjalan sekitar setahun. Kemudian menyadari kebutuhan akan tenaga-tenaga terampil di bidang pertanian dan kehutanan di Kalimantan Tengah yang mendesak, maka pada tahun 1981 Universitas Palangkaraya membuka fakultas baru yaitu Fakultas Non-Gelar Teknologi yang menyelenggarakan program pendidikan pada jenjang Diploma 3 (D-3). Pada tahun 1982, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 67/1982 tanggal 7 September 1982, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Fakultas Keguruan digabung menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) hingga sekarang. Sementara itu pada tahun 1991, Fakultas Pertanian secara resmi berdiri menggantikan Fakultas Non-Gelar Teknologi sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 0312/0/1991 tanggal 6 Juni 1991.
Kembali ke perjalanan seorang Marukan. Dia tidak mengalami kesulitan mengikuti seleksi calon dosen Fakultas Pertanian –yang ketika itu masih bernama Fakultas Non-Gelar Teknologi. “Saya lulus dari Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat bersamaan dengan adanya formasi dosen pertanian di Universitas Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Waktu itu buka Fakultas Pertanian, saya ikut di dalamnya. Dulu namanya Fakultas Non-Gelar Jurusan Pertanian. Ada juga Jurusan Kehutanan. Saya ikut dan lulus tes Calon PNS kemudian diangkat menjadi dosen tetap di sana,” papar Marukan ihwal karirnya di dunia akademis.
Mulailah di tahun 1984 itu Marukan menapaki hari-hari sebagai tenaga pengajar di Universitas Palangkaraya. Sebagai sosok yang rajin dan senantiasa fokus pada pekerjaannya, tapak karirnya lumayan bagus. Setahun berselang, tahun 1985, dia sudah dipercaya menjadi Ketua Program Studi Kehutanan di Fakultas Pertanian. Sekitar dua tahun, 1985-1986, dia mengemban secara baik amanah tersebut.
Kepercayaan lebih besar disorongkan ke pundaknya pada tahun 1988 seiring dengan pengangkatan dirinya sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Pertanian. Kurang lebih empat tahun, 1988-1992 dia berada di kursi Pembantu Dekan III. Kemudian di ujung 1992, dia sedikit bergeser posisi menjadi Pembantu Dekan I Fakultas Pertanian.
Sebagai dosen, Marukan tidak ingin semata-mata tinggal di menara gading. Dia berusaha menyumbangkan pemikirannya ke dunia praktis, terutama pada dunia pertanian dan kehutanan di Bumi Borneo. Terkadang di sela-sela aktivitas kampus, dia juga aktif terlibat pada penelitian atau survai kehutanan. Bahkan, dia pernah sampai diminta menjadi tenaga ahli perusahaan HPH.
“Karena memang dasarnya rajin ya, selain mengajar sebagai dosen, saya juga meng-handle banyak pekerjaan yang lain yang relevan. Di antaranya ikut survai dan penelitian. Pernah pula bekerja di perusahaan HPH,” kata Marukan suatu kali.
Pikiran kreatifnya tidak hanya berkaitan dunia pertanian dan kehutanan.  Sebagai sosok yang telah ditempa oleh berbagai penderitaan, ide-ide kewirausahaannya acap muncul. Dia sempat mendirikan usaha pemborongan barang dan jasa. Melalui bendera usaha di luar dunia akademis itu, Marukan semakin makmur dan sejahtera. “Berkat berbagai aktivitas itu kehidupan saya sangat berubah. Saya bisa beli rumah dan mobil di Palangkaraya,” ujar Marukan.
Semua aktivitas tersebut tampaknya tidak menganggu konsentrasinya mengajar dan mengemban amanah jabatan di lingkungan Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya. Buktinya, tahun 1993-1994 dia dipercaya menjadi Dekan Fakultas Pertanian.
Kepercayaan itu rupanya tidak hanya datang dari Universitas Palangkaraya. Universitas PGRI Palangkaraya juga mengapresiasi kompetensi dan kemampuannya di bidang kehutanan. Tercatat dia pernah dipercaya oleh Universitas PGRI sebagai Dekan Fakultas Pertanian, Pembantu Dekan I dan Pembantu Dekan III.
Kepiawaian Marukan di bidang pendidikan tinggi, kehutanan dan pertanian memang tak perlu diragukan lagi. Dia sudah cukup banyak mengasah intelektualnya melalui berbagai kesempatan lokakarya, seminar, kongres dan sejenisnya. Tahun 1985 di Palangkaraya, dia mengikuti Penataran Dasar-dasar Analisis Dampak Lingkungan. Kemudian tahun 1986 di Jakarta, dia aktif di Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional.
Lalu, tahun 1990 di Jakarta, dia ikut Lokakarya Peranan Pengembangan Pendidikan Tinggi. Masih di Jakarta tahun 1990, dia mengikuti Kongres Kehutanan Indonesia.
Lantas di Palangkaraya tahun 1991, Marukan ikut Lokakarya Akademik Fakultas Kehutanan. Dan tahun 1993 di Jakarta, dia menambah keilmuan bidang hukum dengan mengikuti Penyuluhan Hukum dan Peraturan Perundang-undangan.  
Begitu banyak aktivitas dan usaha dilakukan oleh seorang Marukan Hendrik. Berkat kerja keras, konsentrasi penuh dan fokus, dia mampu meraih sukses.  Namun, ketika krisis multidimensi menimpa Republik Indonesia tahun 1998, berbagai usaha Marukan terkena imbasnya. “Bersyukur, saya tidak punya utang. Saya tidak perlu menjual barang, bayar utang. Namun saat itu saya tidak punya uang,” tutur Marukan mengenang masa pahit di Palangkaraya. Tak berapa lama berselang, isterinya, Maria Neva Merliana, mendorong dan mengajaknya pulang ke Lamandau. Pikirnya, boleh jadi ada perubahan nasib di kampung halaman. (*)