Wednesday, June 26, 2013

Tiga Harapan RS Swasta Soal Kartu Jakarta Sehat

Mus Aida, Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia mengatakan, ketidakpuasan RS swasta atas tarif klaim pelayanan pasien Kartu Jakarta Sehat (KJS) bukan berarti ingin menghambat program Gubernur Joko Widodo. Hanya, ARSSI memendam sejumlah harapan kepada pemerintah dalam menjalankan program ini. “Yang penting, kami tidak rugi,” ujarnya Selasa 4 Juni 2013.

Pertama, RS swasta berharap pemerintah mendasarkan perhitungan tarif klaim pelayanan dengan biaya tahun 2013. Sedangkan yang dipakai Dinkes dalam sistem klaim Indonesia Case-based Group masih tarif tahun 2009. Sehingga, meski klaim RS dipenuhi 100 persen pun, RS swasta masih tetap merugi.

Dia mempertimbangkan faktor inflasi yang mempengaruhi biaya pelayanan. “Bayangin inflasi naik berapa persen.” Belum lagi Upah Minimum Karyawan yang juga berubah. “Harus ada adjustment UMK.”

Kedua, RS swasta berharap, ada perjanjian kerjasama berbentuk formal antara pemerintah DKI dengan RS swasta. “MoU saja tidak cukup kuat ikatan hukumnya.” Tanpa ikatan yang jelas, peluang perselisihan di masa mendatang terbuka lebar. “Kami khawatir bakal ada malprestasi.”

Ketiga, ARSSI juga berharap pemerintah memberi insentif kepada RS swasta yang membantu program pemerintah. Menurut Aida, ini sudah diatur dalam Undang-Undang Rumah Sakit Nomor 44 tahun 2009. “Harusnya ada bantuan insentif, misalnya keringanan pajak untuk RS swasta.” Ketentuan ini sudah lama ada, tapi belum ada turunan seperti peraturan menteri. Persoalan KJS dirasa bisa jadi momentum membuatnya konkret.


KJS adalah salah satu program unggulan Gubernur DKI Joko Widodo. Namun pelaksanaannya tidak mulus. Sebanyak 16 RS swasta nyaris mundur serentak dari program ini karena tarif tagihan pelayanan KJS kepada Dinkes tidak sesuai. RS tidak dibayar penuh per 1 April lalu. (www.tempo.co)

Diseminasi SJSN di Kalimantan Timur

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyelengarakan Diseminasi  Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tentang Implemantasi Jaminan Kesehatan sesuai UU SJSN dan UU BPJS di Provinsi Kalimantan Timur, 15 Mei 2013. Hadir Ketua DJSN, Dr. Chazali H. Situmorang, Apt. M.Sc. dan Anggota DJSN, Ir. Tianggur Sinaga, MA. Acara diseminasi SJSN berlangsung di Kota Balikpapan, yang dihadiri perwakilan  SKPD Provinsi Kalimantan Timur, TNI – Polri, asosiasi rumah sakit, asosiasi profesi, PT Askes dan PT Jamsostek. Ketua DJSN Dr. Chazali H. Situmorang, Apt. M.Sc., menyampaikan progres implementasi SJSN diperlukan strategi sosialisasi yang secara efektif dapat menembus seluruh segmen masyarakat, di dalamnya termasuk forum diseminasi SJSN di daerah. Gubernur Kalimantan Timur dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Staf Ahli Gubernur Bidang Kesejahteraan Rakyat, Dwi Nugroho Hidayanto, membuka secara resmi acara itu dan menyampaikan sejak awal 2012, Provinsi Kalimantan Timur telah membentuk UPTD Jaminan Kesehatan Provinsi (Jamkesprov). Integritas antara Jamkesprov dan Jamkesmas akan mempercepat pencapaian kepesertaan semesta Jaminan Kesehatan dan memudahkan dalam pelaksanaan transformasi ke BPJS. (www.tempo.co)

Jamsostek Usulkan Iuran Jaminan Pensiun 15 Persen

PT Jamsostek (Persero) mmengusulkan besaran iuran untuk program jaminan pensiun (JP) dan jaminan hari tua (JHT) saat Jamsostek menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan pada 1 Januari 2014.
Direktur Utama PT Jamsostek Elvyn G Masassya mengungkapkan, pihaknya mengusulkan penetapan iuran untuk JP sebesar 15 persen dan kenaikan  iuran JHT  dari 5,7 persen menjadi 8,5 persen.
Meski bakal menambah beban para peserta, Elvyn menjelaskan, skema tersebut akan memberi manfaat yang lebih besar untuk masyarakat.
"Prinsipnya semakin besar saving maka manfaat yang diberikan menjadi lebih banyak,"ujarnya disela Rapat Forum Konsolidasi BPJS III dengan tema 'Konsolidasi BPJS Dalam Rangka Mendorong Percepatan Pengesahan Peraturan Pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan' di Batam, Kamis (13/6) malam.
Menurutnya, baik iuran JP maupun JHT tak akan ditanggung hanya oleh pekerja. Dalam usulan Jamsostek, Elvyn mengusulkan, pihak pemberi kerja akan menanggung 5,5 persen persentase iuran JP. Sedangkan, sebanyak 3 persen sisanya ditanggung oleh pekerja.
Begitu juga untuk iuran JHT. Menurutnya, pemberi kerja akan menanggung 9 persen iuran JHT sementara sebanyak 6 persen ditanggung oleh tenaga kerja.
Elvyn mengungkapkan, skema iuran JP bakal mampu bertahan untuk membiayai program tersebut hingga 70 tahun ke depan. Persentase iuran sebesar 15 persen, ungkapnya, sudah mempertimbangkan keseimbangan antara kemanfaatan, kemampuan pembiayaan dan kesinambungan program.
"Best practice tingkat ketahanan dana ideal untuk JP memang 70 tahun,"jelasnya. Untuk program JHT, dia menjelaskan, kenaikan tersebut untuk mempertahankan nilai tabungan bulanan JHT peserta sebagai dampak bakal diterapkannya penggunaan batas dan kelompok upah.
Dengan adanya kenaikan tersebut, ujarnya, peserta dengan upah menengah ke bawah dapat meningkatkan nilai tabungan bulanan JHT-nya. "Sehingga manfaat JHT yang diterimanya akan lebih bernilai,"jelasnya.
Dia menjelaskan, Jamsostek memang mengusulkan agar pemerintah dapat menetapkan batas bawah senilai Rp 1 Juta dan batas atas senilai Rp 15 juta untuk peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Menurutnya, batas upah tersebut bertujuan untuk memperjelas status dan posisi jaminan atau asuransi sosial dalam konteks perlindungan sosial berbagai program termasuk JP dan JHT. "Jadi untuk warga yang gajinya Rp 50 Juta bisa ikut asuransi yang lain,"ujarnya.
Meski bakal menerapkan batas upah, Elvyn menegaskan, peserta BPJS tak akan mendapatkan pengurangan manfaat yang sudah dijanjikan dari program Jamsostek. Menurutnya, pengelompokan tersebut demi terciptanya proses administrasi yang lebih selektif. (www.republika.co.id)

Tuesday, June 25, 2013

Potongan Rasional Tabungan Perumahan 2,5 Persen Saja!

Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada dasarnya merupakan pembelajaran agar masyarakat mampu berdisiplin diri dalam menabung dan mendapatkan rumah. Sayangnya, pembahasan yang berlarut-larut serta adanya "tarik ulur" mengenai subjek yang dikenakan serta besaran potongan penghasilan menimbulkan sinisme dari masyarakat.

Menteri Negara Perumahan Rakyat Djan Faridz berharap jumlah potongan Tapera tidak memberatkan masyarakat.

"Jumlah potongan harus moderat. Sekitar 2,5 persen. Tapi DPR kan maunya 5 persen," ujar Raridz seusai acara pembukaan Musyawarah Nasional IV Apersi di Jakarta, Rabu (12/6/2013)

Potongan penghasilan sebesar 5 persen memang memberatkan. Karena selain Tapera, terdapat potongan-potongan lain yang harus dibayarkan oleh pekerja, seperti Jamsostek dan dana pensiun. Untuk itu, Ketua Umum DPP APERSI Eddy Ganefo, menilai bahwa angka 5 persen terlalu banyak. Meskipun penting, kehadiran Tapera belum terlalu mendesak.

Namun begitu, Faridz tetap berpendapat, Tapera sangat penting. Selain dapat membantu masayarakat memiliki rumah pertama, juga masalah kedisiplinan menabung.
"Dua setengah persen merupakan angka yang rasional. Besaran potongan ini jauh sekali dengan potongan yang diberlakukan di Singapura," imbuh Faridz.

Tahun 1960 Singapura mencanangkan pembangunan rumah bagi rakyatnya. Saat itu, Singapura memotong gaji pekerja sebesar 50 persen untuk perumahan, kesehatan dan tunjangan hari tua. Sekarang ini, potongan gaji pekerja di Singapura sebesar 36 persen. Duapuluh empat persen dari potongan gaji itu diperuntukan bagi tabungan perumahan yang bersifat wajib.

Dengan kebijakan itu, kebutuhan rumah di Singapura saat ini sudah terpenuhi 84 persen, sedangkan delapan persen merupakan rumah sewa yang disediakan pemerintah.
Oleh karena itu, kehadiran Tapera dianggap Faridz sangat penting. Pasalnya, para pekerja sudah terlalu lama menghabiskan penghasilannya untuk hal yang pada akhirnya tidak akan mereka miliki.


"Komponen gaji pekerja paling banyak tergerus untuk sewa rumah antara Rp 450.000-Rp 600.000 satu bulan. Sementara cicilan untuk memiliki rumah sebesar Rp 700.000 dengan jangka waktu 15 tahun. Tentu saja lebih baik membayar cicilan untuk rumah yang bisa dimiliki ketimbang sewa yang "menguap" begitu saja," ujar Faridz. (properti.kompas.com)

Monday, June 24, 2013

e-Catalog Hadir, Harga Obat Sama di Semua Wilayah


 Maraknya obat-obatan yang dijual apotek dan rumah sakit (RS) dengan harga tinggi, membuat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) segera merilis sistem elektronik catalog (e-Catalog) obat-obatan.

Sistem ini dapat dijadikan acuan Harga Enceran Tertinggi (HET) bagi konsumen dan bisa juga sebagai pengaduan bila ketahuan harga obat tak sesuai di pasaran atau di rumah sakit.

Sistem tersebut akan diluncurkan untuk mendukung pelaksanaan Operasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 1 Januari 2014. Nantinya, semua instansi kesehatan di tingkat kabupaten/kota bisa langsung melakukan pembelian obat melalui e-catalog itu tanpa harus tender terlebih dahulu.

Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Usman Sumantri, bilang e-catalog adalah sistem untuk mengatur dan mengendalikan jumlah obat. Ini sekaligus untuk memudahkan rumah sakit (RS) mendapatkan obat yang dibutuhkan pasien saat program jaminan kesehatan nasional berjalan.

Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemkes, Maura Linda Sitanggang, mengaku, sedang menyiapkan landasan hukum pembuatan e-catalog itu. Rencananya, landasan hukum itu berbentuk peraturan menteri kesehatan (permenkes) yang mengatur tentang formularium nasional (Fornas).

Fornas akan memuat daftar obat untuk pelayanan kesehatan dasar masyarakat. Lalu, untuk mempermudah aksesnya, daftar obat akan buatkan sistem secara online, yakni e-catalog.

"Permenkes Fornas akan terbit bulan depan," terang Maura, Senin (17/6). Selain itu, menteri kesehatan juga akan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) soal harga obat. Dengan aturan itu, nantinya harga obat bisa berlaku sama di setiap wilayah.

Keberadaan e-catalog tersebut bukan hanya untuk mendukung pelaksanaan BPJS Kesehatan. Namun juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia Case Base Groups (INA-CBG's) INA-CBG's adalah sebuah sistem pembayaran dengan sistem paket, berdasarkan penyakit yang diderita pasien. INA-CBG's juga bakal berlaku mulai tahun 2014 secara nasional.

"Semua jenis obat yang dibutuhkan nantinya bisa langsung diakses oleh masyarakat dengan prinsip pemberian obat yang rasional dan efektif," ucap Maura dilansir kontan.

e-Catalog dapat juga digunakan konsumen langsung untuk memesan obat-obat dengan harga yang telah ditetapkan. Dengan demikian, masyarakat bisa secara langsung melihat HET obat-obat sesuai dengan peraturan UU Nomor 36 tahun 2009, mengenai penetapan harga obat generik dikendalikan oleh pemerintah.

Ia menjamin, obat yang ada di e-catalog memiliki jaminan mutu, tapi dengan harga terjangkau. Saat ini e-catalog ini sudah terdaftar 300 jenis obat. Ada kemungkinan, Kemkes akan menambah daftar obat itu. (www.surabayapost.co.id)

Sunday, June 23, 2013

Jokowi and the KJS

Only six months after its inception, the Jakarta Health Card (KJS) program came up against yet another hurdle when 16 of the 92 state and private hospitals participating in the healthcare program threatened to pull out of it last week due to losses incurred from covering the medical costs of patients.


The threat did not materialize, however, as several days later 14 of the hospitals renewed their commitment to the program after the city administration pledged to revise the program and its financing.

The program, which provides Jakarta residents, in particular the poor, with equal access to healthcare, faced its first test just three months after its launch when overwhelmed hospitals denied admission to an ailing child due to a lack of equipment. The child eventually died, fueling public rage and criticism of the program.

Indeed, there have been complaints from doctors and hospitals about the program, which was introduced by Jakarta Governor Joko “Jokowi” Widodo to fulfill one of his campaign promises to provide free healthcare for all.

Jokowi’s political rivals may deem the KJS unrealistic and we have to recognize that the governor needs to take the criticism into account for the sake of improvement.

All the harsh words, however, do not and should not justify any move to terminate the healthcare program.

The KJS program is designed to support 4.7 million Jakarta residents, 1.2 million of whom are entitled to national health insurance (Jamkesnas) while the remaining 3.5 million have been left uninsured. The Jakarta Health Agency has thus far recorded 2 million eligible beneficiaries.

Health services are available at community health centers (Puskemas), city-owned or appointed private hospitals upon presentation of an ID card.

The Jakarta administration has earmarked Rp 1.2 trillion (US$123.24 million) for the healthcare program this year alone. The fund is managed by state-owned insurance company PT Askes, which was appointed as the implementing agency under the Social Security Providers (BPJS) Law for the health sector as of Jan. 1, 2014 as mandated by the 2004 National Social Security System (SJSN) Law.

Problems facing the healthcare program are not unusual, just as nothing under the sky is perfect. But technical matters in the implementation of the program should not overshadow the advantage it can afford millions of people. Poor people, who were previously reluctant to seek medical treatment due to the cost, now have the opportunity to visit a doctor, which means there is hope for Jakarta to improve its people’s standard of health and, hence, the city’s human development index.

“Jokowicare” may not match “Obamacare” in terms of political ramifications marking their policy making, but the two equally speak volumes of government/state responsibility for the well-being of its people and solidarity among citizens. That’s why we couldn’t agree more with the KJS. (www.thejakartapost.com)

Friday, June 21, 2013

Jamsostek Permudah Pekerja Lakukan Klaim

Aplikasi Verifikasi Lewat NIK dan Data Biometrik

PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Persero) makin mempermudah para pekerja melakukan klaim. Langkah tersebut dilakukan meluncurkan aplikasi verifikasi klaim Jamsostek dengan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Data Biometrik. Aplikasi ini dapat mempercepat pelayanan klaim kepada peserta Jamsostek dan menjaga akurasi penerima klaim.

Dalam siaran persnya, Direktur Utama PT Jamsostek, Elvyn G Masassya  mengungkap, aplikasi ini merupakan tindak lanjut perjanjian kerjasama dengan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, pada bulan April 2013 yang lalu.
 “Dalam kerjasama ini Jamsostek dapat memanfaatkan KTP Elektronik, Database Kependudukan dan Nomor Induk Kependudukan untuk penyelenggaraan program  jaminan sosial tenaga kerja,” kata Elvyn.

Aplikasi ini merupakan salah satu pemanfaatan data tersebut. Pada aplikasi ini, data Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi kunci verikasi data peserta Jamsostek yang akan mengambil Jaminan Hari Tua (JHT).

Penggunaan aplikasi verifikasi klaim diperagakan saat peluncurannya di Kantor Cabang Setiabudi dan Kantor Cabang Bandung I. Aplikasi ini akan digunakan di seluruh Kantor Cabang PT Jamsostek (Persero) di seluruh Indonesia.

Elvyn menyebut, Nomor Induk Kependudukan (NIK) nantinya akan berperan penting dalam operasional BPJS. Selain dipergunakan untuk memverifikasi klaim Jamsostek, data tersebut juga akan dimanfaatkan untuk memudahkan peserta Jamsostek untuk melakukan registrasi/pendaftaran kepesertaan, pembuatan smard card guna mendapatkan akses informasi seputar Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan manfaat tambahan (additional benefit).

“Dalam manfaat tambahan akan dikembangkan lebih lanjut program yang selama ini telah dirasakan manfaatnya oleh peserta, seperti housing benefit, beasiswa, bantuan PHK, pelatihan dan food benefit,” tuturnya.

Disamping itu, imbuh Dia, BPJS Ketenagakerjaaan juga dapat meningkatkan pengawasan pelaksanaan jaminan sosial dan menerapkan sanksi adminstratif kepada pengusaha yang melanggar ketentuan perundangan tentang Jaminan sosial tenaga kerja.

Sebagaimana yang diamanatkan UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) PT Jamsostek (Persero) akan bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan mulai 1 Januari 2014. Dan mulai 1 Juli 2015 BPJS Ketenagakerjaan akan mengelola program JKK, JK, JHT, dan Pensiun. Sampai dengan bulan Mei 2013 tercatat 11,7 juta tenaga kerja aktif menjadi peserta program Jamsostek.

Dalam kesempatan itu, Elvyn menegaskan kembali kesiapan lembaga yang dipimpinnya untuk bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Diantaranya dengan mencanangkan visi untuk menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Berkelas Dunia, Terpercaya, Bersahabat dan Unggul dalam Operasional dan Pelayanan.


Guna mencapai visi tersebut, sambung dia, setiap insan Jamsostek dituntut untuk menerapkan etos kerja Teamwork, Open Mind, Passion, Action dan Sense (TOPAS) secara optimal sehingga pelayanan dan keandalan yang diberikan kepada peserta dapat meningkat dan berlangsung secara terus menerus. (www.neraca.co.id)

Bereskan Aturan dan Iuran BPJS

Sekitar enam bulan lagi, Indonesia memasuki babak baru dalam pelayanan kesehatan. Mulai 1 Januari 2014, pemerintah memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Jaminan kesehatan menyeluruh bagi rakyat sesungguhnya telah dinanti sejak UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) disahkan pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2004. Sayangnya, setelah Megawati lengser program tersebut tak ditindaklanjuti secara serius. Hal itu terbukti dari pengesahan UU BPJS yang baru dilakukan tujuh tahun kemudian, bahkan aturan pelaksanaannya hingga kini belum semuanya beres.

Setidaknya ada empat persoalan yang harus dibereskan maksimal dalam waktu tiga bulan ke depan, agar 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan bisa beroperasi dengan baik. Pertama, aturan pelaksana UU BPJS. Masih ada beberapa peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres), dan peraturan menteri (permen) yang harus segera diterbitkan. Sesuai hierarki peraturan perundangan, tentu saja PP yang diprioritaskan untuk diselesaikan, kemudian perpres dan permen. Aturan-aturan tersebut merupakan payung hukum agar berbagai kebijakan yang diambil direksi BPJS sejalan dengan keinginan pemerintah dan rakyat.
Kedua, iuran peserta. Sampai saat ini pemerintah telah mematok besaran iuran peserta BPJS Kesehatan Rp 15.500 per orang per bulan. Besaran tersebut masih jauh dari premi yang dihitung sejumlah kalangan. Misalnya, Kementerian Kesehatan mengajukan angka Rp 23.000, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Rp 27.000, bahkan premi peserta PT Askes yang segera berganti baju menjadi BPJS Kesehatan Rp 40.000.
Dari angka-angka tersebut, kita menilai iuran Rp 27.000 cukup rasional dan tidak terlalu memberatkan semua pihak. Apalagi, saat ini sebetulnya pegawai negeri sipil, TNI/Polri, pegawai swasta dan buruh, sudah dipotong penghasilannya 5 persen untuk mendapatkan jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, dan jaminan pensiun dari PT Jamsostek yang pada 1 Juli 2015 menjadi BPJS Ketenagakerjaan, PT Askes, PT Taspen, dan PT Asabri. Tak hanya itu, pemberi kerja, yakni pemerintah dan perusahaan swasta menambah iuran tersebut sekitar 9 persen.
Sebagai gambaran, dengan rata-rata upah minimum provinsi (UMP) Rp 2 juta, setiap pekerja dipotong Rp 100.000. Bila ditambah iuran dari pemberi kerja Rp 180.000, dalam sebulan terkumpul Rp 280.000. Bila akhirnya iuran BPJS Kesehatan Rp 27.000, masih tersisa Rp 253.000 yang bisa dikelola BPJS Ketegakerjaan untuk memberi jaminan kecelakaan kerja, pensiun, hari tua, dan jaminan kematian.
Ketiga, penerima bantuan iuran (PBI). Kita sadar pemerintah memiliki keterbatasan anggaran, sehingga belum bisa menerima besaran iuran Rp 27.000. Namun, bila ada political will, pemerintah bisa melakukan realokasi anggaran mulai tahun 2014. Dengan menaikkan harga BBM bersubsidi, pemerintah bisa berhemat sekitar Rp 97 triliun. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar Rp 30 triliun untuk kompensasi bagi rakyat miskin, sehingga masih ada Rp 67 triliun yang bisa dialokasikan buat PBI dan juga pembangunan infrastruktur.
Sedangkan menyangkut jumlah PBI, pemerintah hanya akan mengalokasikannya pada 86,6 juta orang. Padahal, beberapa lembaga menghitung jumlah orang miskin yang seharusnya dibantu mencapai 120 juta orang. Untuk mengatasinya, di samping realokasi anggaran, Direktorat Jenderal Pajak harus terus didorong meningkatkan penerimaan negara. Masih banyak warga yang mampu, tetapi tidak membayar pajak semestinya. Masih banyak perusahaan yang mengemplang pajak dan berkongkalikong dengan fiskus. Bila hal itu bisa diatasi, penerimaan negara akan bertambah signifikan dan semakin banyak pula rakyat miskin yang bisa dibantu.
Keempat, sosialisasi. Masalah ini tidak bisa dianggap sepele karena berkaitan dengan pelayanan kesehatan bagi 240 juta penduduk. Masyarakat harus paham bahwa tidak semua penderita harus dibawa ke rumah sakit. Penyakit-penyakit ringan bisa diatasi di tingkat puskesmas pembantu dan puskesmas di desa, kelurahan, dan kecamatan. Bila lebih berat, penderita bisa dibawa ke rumah sakit tingkat kabupaten dan bisa berlanjut ke tingkat provinsi dan pusat. Bila mekanisme itu dijalankan dengan baik, kita yakin BPJS Kesehatan dan kelak BPJS Ketenagakerjaan merupakan program konkret untuk menyejahterakan rakyat, sekaliguslegacy Presiden SBY. (www.beritasatu.com)

Friday, June 7, 2013

Pemerintah Syaratkan Masyarakat yang Berhak Dapat Bantuan Sosial


Pemerintah Syaratkan Masyarakat yang Berhak Dapat Bantuan Sosial
DOK TRIBUNNEWS.COM
Menteri Pekerjaan Umum Djoko KirmantoPemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum (PU) akan memberikan bantuan sosial sebagai bentuk kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi. 
Agar bisa mendapatkan Program Percepatan dan Perluasan Pembangunan (P4) Infrastruktur, masyarakat harus memenuhi beberapa syarat.
Kriteria kelurahan penerima program P4 di antaranya memiliki tingkat kemiskinan di atas 40 persen. Sedangkan untuk skala desa, yang dipilih adalah desa dengan tingkat kemiskinan di atas 50 persen, dan belum termasuk dalam Program Penyediaan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) reguler 2013.
”Proporsi kasarnya, 30 persen dilakukan di Jawa, dan 70 persennya di kawasan luar Jawa,” ujar Menteri PU Djoko Kirmanto, Rabu (5/6/2013).
Penerima manfaat dari pelaksanaan P4 mencapai lebih dari 36 juta jiwa. Djoko Kirmanto menjelaskan, Program P4-IP dan P4-SPAM akan dinikmati 30 juta jiwa, dan P4-ISDA akan dirasakan manfaatnya oleh 6 juta orang.
”Selain menerima manfaat, ada juga penerima upah kerja untuk yang Sumber Daya Air, sekitar 0,5 juta orang. Sedangkan yang lainnya harus dihitung lebih dulu, namun kira-kira 1,9 juta jiwa,” jelas Djoko Kirmanto.
Sebelumnya diberitakan Tribunnews.com, Kementerian PU segera meluncurkan P4 Infrastruktur senilai Rp 6 triliun. Program tersebut dilakukan sebagai upaya mengurangi beban hidup masyarakat miskin, akibat perubahan besaran subsidi BBM. 
 
www.tribunnews.com 

Keraton Apresiasi Penjaminan Sosial bagi Abdi Dalem

Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat menyambut positif upaya PT Jamsostek (Persero) yang melakukan penjaminan sosial para abdi dalem. Kamis (6/6), Keraton Kasepuhan Cirebon meresmikan keikutsertaan sebagai peserta BUMN asuransi itu sekaligus pelaksanaan CSR senilai Rp 400 juta di keraton tersebut.
"Biasanya perusahaan besar, sekarang keraton yang ditanggung. Pesertanya abdi dalem. Peristiwa ini monumental bagi keraton," tandasnya.
Menurut dia, pekerja keraton lebih bersifat pengabdian. Upahnya pun di bawah upah minimum kota (UMK). Dengan kondisi tersebut, Jamsostek tetap melakukan akomodir merujuk perundangan bahwa setiap warga negara mendapat jaminan sosial.
Untuk tahap pertama, sebanyak 90 abdi dalem didaftarkan. Pihaknya pun siap menjalankan iuran. Baginya, langkah itu menyederhanakan proses yang selama ini berlangsung di keraton.
"Semua masalah berujung ke Sultan. Sekarang urusan-urusan tersebut diserahkan ke Jamsostek. Kami siap membayar iurannya. Bagaimanapun keraton tetap dikelola sekalipun tanpa pemasukan," katanya. 
Dia menyebut abdi dalem mengikuti program jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan hari tua.
"Pesertanya abdi dalem yang biasa mengurus keraton sehari-hari, pemandu, penjaga kebersihan dan ketertiban hingga administrasi," jelasnya.

www.suaramerdeka.com

Thursday, June 6, 2013

Banyak Warga Mampu Gunakan Kartu Jamkesmas



Ditemukan masyarakat kategori ekonomi mampu di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah berobat memakai layanan Jamkesmas, sehingga jumlah penerima jamkesmas dan warga miskin melebihi jumlah data orang miskin di Kabupaten Grobogan, kata Wakil Bupati Grobogan Icek Baskoro, belum lama ini.

Wabup mengaku heran dengan banyaknya warga yang secara sosial ekonomi tidak masuk katagori miskin, tetapi mendapat pelayanan kartu Jamkesmas. Akibatnya, data penerima Jamkesmas melebihi jumlah warga miskin yang ada. “Ini karena orang yang secara ekonomi cukup, tidak punya rasa malu dan lebih suka disebut miskin,” tegas Icek Baskoro.

Menurut Icek dari data yang ada jumlah warga miskin di Kabupaten Grobogan sekitar 240 ribu jiwa atau 17,38 persen dari sekitar 1,4 jiwa penduduk. Namun penduduk yang memegang kartu Jamkesmas ada 550 ribu jiwa. Pemkab Grobogan masih menambah 50 ribu warga yang mendapat pelayanan Jamkesda.”Warga miskin hanya sekitar 240 ribu jiwa, tetapi yang mendapat pelayanan Jamkesmas dan Jamkesda ada 600 ribu jiwa.” ujarnya.

Icek minta kepada seluruh kepala desa dan kepala kelurahan segera mendapat ulang warganya yang menerima Jamkesmas dan Jamkesda. “Siapa yang masuk katagori miskin dan siapa yang ekonominya mapan tetapi mengaku miskin,” tegasnya didampingi Kabag Humas Ayong Muhtarom.

Ditambahkan setelah data akurat jumlah warga miskin didapat, Pemkab Grobogan akan mencanangkan program bantuan kelompok warga kurang mampu. Bantuan tersebut direncanakan berupa dana untuk usaha ekonomi kerakyatan. “Untuk menuntutaskan warga miskin salah satunya harus dibantu modal. Tetapi modal tersebut bukan untuk perorangan, melainkan kelompok. Jika jumlah keompok terdiri 20 orang, kami bantu Rp 20 juta.” janjinya.

Dengan modal tersebut, mereka bisa membuat makanan ringan yang bahan bakunya berasal dari hasil tanaman atau hasil panenan. Bisa bikin pisang, ketela dan sebagainya. Nah, jika berhasil bisa dibagi rata atau terus dijadikan modal agar semakin berkembang. Jika program tersebut berhasil maka Kabupaten Grobogan tidak hanya mengandalkan hasil pertanian seperti beras, jagung, kedelai dan kacang hijau, juga home industry (usaha rumahan) makanan ringan.

Darya-Varia tidak Ikut Program SJSN



Vice President Director PT Darya-Varia Laboratoria Tbk, Charles Robert B. Davis, mengatakan perseroan tidak ikut secara langsung dalam program Jaminan Sosial Nasional. "Dalam program Jaminan Sosial Nasional, obat yang digunakan adalah generik. Sedangkan perseroan tidak menjual obat generik" kata Charles pada paparan publik perseroan di Jakarta, 4 Juni 2013.

Menurut Charles, keikutsertaan Darya-Varia dalam program tersebut adalah sebagai toll manufacturing. "Perseroan akan menerima toll manufacturing obat generik," kata Charles.

Juru bicara dan direktur perseroan, Frida O. Chalid, mengatakan toll manufacturing adalah salah satu lini bisnis perusahaan. Menurut Frida, toll manufacturing adalah usaha produksi obat-obatan perseroan yang menerima permintaan produksi obat-obatan dari perusahaan farmasi lain, baik dalam bentuk kapsul, tablet, dan cair.

"Bisa diproduksi dengan merek perusahaan tersebut ataupun dengan merek Darya-Varia," kata Frida menjelaskan. Menurut dia, tidak semua perusahaan farmasi mempunyai mesin lengkap untuk produksi obat dari kapsul sampai berbentuk cair.

Charles juga mengatakan bahwa perseroan tidak ada rencana untuk menjual produk generik di masa depan. "Karena pangsa pasar perseroan adalah kelas menengah," kata Charles. Selain itu, menurut Charles, sektor obat generik lebih kompetitif dan kompleks.

Wednesday, June 5, 2013

Wamenkeu: KJS Bisa Untuk Beli Raskin



Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar, menjelaskan Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang digagas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, bisa digunakan untuk membeli beras masyarakat miskin (raskin).

Cukup menunjukkan KJS, masyarakat berpenghasilan rendah dengan mudah mendapat akses membeli raskin. "Dana KJS dari APBN, kartu itu dipakai juga untuk raskin," ujar Mahendra, Selasa (4/6/2013).

Kendati demikian, Mahendra menjelaskan, KJS tidak termasuk dari paket Bantuan langsung Sementara Masyarakat (BLSM). "Terlepas dari BLSM, kartu itu untuk perbaiki sistem untuk raskin dan verifikasi BSM, itu multifungsi," jelas Mahendra.

Dari data Kementerian Keuangan, keluarga yang berpenghasilan rendah ada 25 persen di DKI Jakarta. Dengan KJS, pemerintah pusat terbantu untuk menyalurkan bantuan sosial khususnya di ibukota, tanpa mengikuti program BLSM yang hanya berlangsung lima bulan saja.

"Kartu akan dipakai terus, by name by address, itu jadi instrumen yang baik untuk tingkatkan kualitas bantuan sosial dan kegiatan pembangunan yang sifatnya sosial development," ungkap Mahendra.

Tiga Harapan RS Swasta Soal Kartu Jakarta Sehat



Mus Aida, Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia mengatakan, ketidak-puasan RS swasta atas tarif klaim pelayanan pasien Kartu Jakarta Sehat (KJS) bukan berarti ingin menghambat program Gubernur Joko Widodo. Hanya, ARSSI memendam sejumlah harapan kepada pemerintah dalam menjalankan program ini. “Yang penting, kami tidak rugi,” ujarnya Selasa 4 Juni 2013.

Pertama, RS swasta berharap pemerintah mendasarkan perhitungan tarif klaim pelayanan dengan biaya tahun 2013. Sedangkan yang dipakai Dinkes dalam sistem klaim Indonesia Case-based Group masih tarif tahun 2009. Sehingga, meski klaim RS dipenuhi 100 persen pun, RS swasta masih tetap merugi.

Dia mempertimbangkan faktor inflasi yang mempengaruhi biaya pelayanan. “Bayangin inflasi naik berapa persen.” Belum lagi Upah Minimum Karyawan yang juga berubah. “Harus ada adjustment UMK.”

Kedua, RS swasta berharap, ada perjanjian kerjasama berbentuk formal antara pemerintah DKI dengan RS swasta. “MoU saja tidak cukup kuat ikatan hukumnya.” Tanpa ikatan yang jelas, peluang perselisihan di masa mendatang terbuka lebar. “Kami khawatir bakal ada malprestasi.”

Ketiga, ARSSI juga berharap pemerintah memberi insentif kepada RS swasta yang membantu program pemerintah. Menurut Aida, ini sudah diatur dalam Undang-Undang Rumah Sakit Nomor 44 tahun 2009. “Harusnya ada bantuan insentif, misalnya keringanan pajak untuk RS swasta.” Ketentuan ini sudah lama ada, tapi belum ada turunan seperti peraturan menteri. Persoalan KJS dirasa bisa jadi momentum membuatnya konkret.

KJS adalah salah satu program unggulan Gubernur DKI Joko Widodo. Namun pelaksanaannya tidak mulus. Sebanyak 16 RS swasta nyaris mundur serentak dari program ini karena tarif tagihan pelayanan KJS kepada Dinkes tidak sesuai. RS tidak dibayar penuh per 1 April lalu.