Oleh Achmad Subianto
Ketua Gerakan Memakmurkan Masjid,
Ketua Komisi Pengawas BAZNAS 2005-2011, Penasehat ISEI Cabang Jakarta
2001-2011, Ketua Umum Fokkus, Babinrohis Pusat, Mantan bendahara DPN KORPRI
2004-2009, Mantan Ketua IV PWRI 2003-2009, Ketua Umum Federasi Perasuransian
Indonesia 2003, Ketua Umum Asosiasi Jaminan Sosial dan Jaminan Sosial
2000-2008, Direktur Utama PT Taspen 2000-2008
Dua
organisasi Islam terbesar di Tanah Air, yaitu NU dan Muhammadiyah, dalam
pernyataannya di tahun 2012 mendukung “Perbaikan dan Penyempurnaan Sistem
Penyelenggaraan Haji”. Bahkan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsudin sepakat
dengan usulan pembentukan Badan Khusus Haji yang bertanggung jawab kepada
Presiden dengan pertimbangan bahwa selama ini penyelenggaraan Haji dimonopoli
oleh Kementerian Agama sehingga tidak profesional dan tidak transparan karena
lebih kental budaya birokratnya.
Ketua
Umum PBNU KH Said Agil Siradj juga mendukung dilakukan pembenahan dalam
penyelenggaran Haji. Demikian pula mantan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi, namun
beliau tidak sepakat untuk melakukan moratorium karena keputusan semacam itu
bisa menaikkan ONH. Jika moratorium akan menaikkan ONH maka moratorium menjadi
tidak perlu.
Alhamdulillah
jika tokoh-tokoh agama telah sepakat untuk segera melakukan perbaikan sistem
penyelenggaraan Haji.
Ketika
saya diberi amanah menjadi Direktur Keuangan, SDM dan IT PT Garuda Indonesia
(1989) dan Direktur keuangan PT Garuda (1997) diberi tugas untuk
menyelenggarakan angkutan haji, ada keinginan untuk mengunjungi Lembaga Tabung
Haji Malaysia (LTHM). Sebagaimana informasi yang saya peroleh,
penyelenggaraannya dilakukan dengan baik dan dengan ongkos yang relatif murah.
Keinginan untuk melihat LTHM ini dimaksudkan agar dapat memberikan penilaian
yang benar dan proporsional mengenai penyelenggaraan haji yang dilakukan oleh
Malaysia dan komparasinya dengan Indonesia, yang keduanya memang merupakan negara
dengan mayoritas penduduk beragama Islam.
Keinginan
itu baru terwujud setelah berlangsung selama lebih dari 10 tahun ketika tahun
2000 saya diberi amanah untuk memimpin perusahaan Penyelenggara Dana Pensiun
dan THT PNS, yakni PT Taspen.
Arahan
yang diperoleh dari pemerintah (selaku pemegang saham) yaitu Menteri Keuangan
(waktu itu), Bambang Sudibyo, agar kami membenahi Taspen. Betapa saya kaget
bahwa selama ini ternyata PNS hanya dilihat sebelah mata oleh pemerintah dan
oleh manajemen Taspen itu sendiri. Misalnya THR PNS tidak pernah diberikan,
padahal setiap lebaran saya menandatangani THR bagi karyawan Taspen yang
notabene mengelola “uang titipan” PNS itu. Pemerintah pun mewajibkan semua
perusahaan swasta dan BUMN harus ikut membayar iuran jaminan sosial bagi para
pekerjanya, tetapi pemerintah selaku pemberi kerja PNS dan TNI/Polri tidak
pernah membayar iuran sehingga uang pensiun yang diterima PNS dan para prajurit
TNI/Polri menjadi kecil.
Mengingat
di Indonesia tidak ada yang bisa digunakan sebagai pembanding maka saya
memutuskan untuk melakukan studi banding ke negara-negara tetangga untuk
memperoleh gambaran yang benar. Selanjutnya, dua tim dibentuk. Satu tim ke
Malaysia dan Singapura yang saya pimpin sendiri, satu tim lagi ke Filipina dan
Thailand dipimpin Direktur Operasi. Dalam Tim melibatkan pejabat interdep dari
Departemen Keuangan (Dirjen Anggaran dan Pajak), Kementerian Negara BUMN, dan
BKN (Badan Kepegawaian Negara).
Ketika
di Malaysia, untuk memperoleh gambaran seputar kemajuan dan kesejahteraan yang
berhasil digapai negeri jiran itu, kami mengunjungi KWSP (Kumpulan Simpanan
Wang Pekerja, mirip Jamsostek di Indonesia). Kemudian mendatangi KWAP (Kumpulan
Wang Amanah Pensyen, mirip Taspen di Indonesia) dan Perkeso atau Socso (Social
Security Organization) yang mengurusi jaminan social dasar bagi seluruh warga
Malaysia. Waktu itu, kami juga menyempatkan diri untuk mengunjungi PPZ (Pusat
Pengumpulan Zakat) Malaysia. Tidak lupa
kami berkunjung pula ke LTHM.
Lembaga
Tabung Haji Malaysia
Sungguh mengesankan
ketika mengunjungi LTHM yang gedungnya menjulang tinggi berbentuk piramida
terbalik. Kami diterima dengan sangat baik dan memperoleh penjelasan yang
terperinci mengenai kegiatan LTHM, termasuk bagaimana sistem tabungan haji
nasional diselenggarakan oleh LTHM dengan posisi keuangan yang transparan dan
dapat dilihat dari Annual Report-nya.
Ketika
saya menanyakan mengenai dana haji Malaysia di tahun 2000 itu, mereka
memberikan data bahwa dengan jumlah penduduk Malaysia yang hanya 24 juta, dana
yang dikelola sudah berjumlah ekuivalen Rp100 triliun. Sekarang, tentunya lebih
besar lagi. Sedangkan beberapa hari yang lalu di running text Metro TV dan
TVOne disebutkan bahwa jumlah dana haji Indonesia adalah Rp38 triliun. Hal ini
jelas menjadi keheranan kita, mengapa dengan jumlah penduduk yang lebih dari
230 juta Indonesia hanya berhasil mengumpulkan jumlah dana haji sepertiga dari
Malaysia? Pasti ada sesuatu yang salah dan menyebabkan terjadinya deviasi yang
demikian besar.
Dari
penjelasan yang diperoleh dari pimpinan dan staf LTHM baru kami memahami bahwa
mereka membangun pengumpulan dana haji melalui Tabungan Jangka Panjang
Nasional. LTHM menggunakan pola Jaminan Sosial dengan pengertian LTHM
memberikan jaminan agar setiap penduduk muslim Malaysia dapat menunaikan ibadah
haji. Dengan besarnya tabungan haji nasional Malaysia maka dana hajinya telah
menjadi bagian yang sangat penting dari Cadangan Keuangan Nasional (National
Reserve Fund).
Sementara
itu, dana haji Indonesia dengan Rp38 triliun tentulah tidak cukup untuk
menganggapnya sebagai bagian dari Dana Cadangan Keuangan Nasional (DCKN).
Karena itu, sudah saatnya Indonesia membangun Sistem Tabungan Haji Nasional
(meskipun sudah terlambat dibanding Malaysia), namun insya Allah kita dapat
mengumpulkan dana lebih dari Rp500 trilliun atau lima kali lebih besar dai
Malaysia, karena penduduk Indonesia yang beragama Islam kurang lebih lima kali
Malaysia.
Agar
bisa menjadi DCKN, maka dana haji juga harus ditumbuh-kembangkan melalui
beragam skema investasi yang baik. Tidak didiamkan saja dalam bentuk giro atau
deposito. Sebagai rujukan, dana haji yang terhimpun dalam LTHM dimanfaatkan
tidak hanya di dalam negeri Malaysia sendiri misalnya untuk membeli obligasi
pembangunan jembatan dari Pulau Penang ke daratan Malaysia, yang tidak
dilakukan dengan dana pinjaman atau investasi asing. Begitu pula dengan
pembangunan bandar udara Kuala Lumpur serta berbagai pembangunan infrastuktur
lainnya, termasuk jalan tol, yang sangat bagus pengaturannya. Di samping itu
juga digunakan untuk investasi ke luar negeri. Dalam hal ini, Indonesia
kebagian dana haji LTHM, yang antara lain berupa investasi penanaman kelapa
sawit di Riau, dan bahkan membeli hutan di Papua. Jadi LTHM telah membantu
mengurangi kemiskinan dan memberikan lapangan kerja bagi Indonesia. Hal yang
sebaliknya, dana haji Indonesia justru ditaruh dalam bentuk Deposito dan Sukuk.
Waktu
itu, kami benar-benar terkejut karena ketika mengisi buku tamu LTHM, ternyata
semua Menteri Agama dan Dirjen Haji Indonesia pernah mengunjungi LTHM, tetapi
pulang ke Indonesia masih “business as usual”. Dalam sebuah diskusi yang akrab,
pihak LTHM menawarkan bantuan teknis untuk Indonesia guna merumuskan Sistem
Penyelenggaraan Haji. Kami yakin tawaran itu disampaikan juga kepada pejabat
Departemen Agama karena kami yang bukan pejabat Departemen Agama saja ditawari.
Itu yang memberikan keberanian kami sepulang dari Malaysia untuk menemui
pejabat Departemen Agama, untuk membantu Departemen Agama membangun Lembaga
Tabung Haji Indonesia.
Hal lain
yang mengagetkan, pihak LTHM mengakui bahwa sistem haji mereka dibangun dengan
mendapatkan supervisi dari dosen ITB (Bandung), yakni Prof. Ahmad Sadali dan
Timnya. Artinya, untuk membangun LTHM itu ternyata ada campur tangan orang
Indonesia yang bernama Prof. Ahmad Sadali. Sayapun bermaksud untuk
bersilaturahmi kepada Pak Ahmad Sadali, namun beliau telah meninggal dunia.
Semoga amalan beliau yang mulia dan memberi kemanfaatan bagi umat Islam di
Malaysia, diterima oleh Allah SWT.
Saya
tetap penasaran kenapa Malaysia kok mau menerima advice dari ITB, sedangkan
Indonesia (khususnya Departemen/Kementerian Agama) kok tidak mau. Yang jelas,
sepulang dari Malaysia, saya dan teman-teman yang ahli aktuaria menemui pejabat
Departemen Agama menawarkan diri untuk membangunkan Sistem Tabung Haji Nasional
Indonesia. Akan tetapi, sampai hari ini tidak ada respon, reaksi dan realisasinya.
Untuk itu, agar keinginan untuk memperbaiki sistem Haji Indonesia dapat
diwujudkan maka kami dengan beberapa pribadi dan kolega seperti Bapak H. Giri
Suseno Hadihardjono, Bapak H Mahmudin Yasin, Bapak H Mubarok, Prof. H. Bambang
Pranowo dan Prof H Artani Hasbi, kini membentuk wadah dengan nama Komunitas
Jamaah Haji Indonesia (KJHI), guna memperjuangkan perbaikan sistem haji
Indonesia.
Sistem
Penyelenggaraan Tabungan Haji
Sistem
penyelenggaraan haji Malaysia yang dikembangkan atas arahan Prof. Ahmad Sadali
dari ITB adalah menggunakan pola tabungan jangka panjang atau istilah sekarang
dengan pola SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). Keunggulan sistem ini bisa
dibangun data base umat Islam. Dengan pola ini tidak dikenal istilah daftar
tunggu.
Mekanisme
yang dilakukan adalah setiap orang Islam di Malaysia saat bekerja pada usia
muda langsung membuat akad atau perjanjian dengan LTHM. Akad itu bisa 10 tahun,
20 tahun, 30 tahun atau 40 tahun. Itulah
masa menabung yang harus dilakukan oleh setiap orang Islam di Malaysia.
Tabungannya minimal 1% dari penghasilan atau dengan nilai nominal yang
disepakati.
Di
Malaysia, tidak boleh dana haji itu berasal dari hasil penjualan tanah atau
penjualan rumah. Kalau punya tanah, maka tanahnya harus ditanami dan hasilnya
untuk setor haji. Juga untuk rumah harus disewakan dan hasil sewanya untuk
setor tabungan haji. Dengan begitu, ketika haji telah usai dan kembali ke tanah
air, mereka masih tetap punya harta dan tidak menjadi miskin apalagi gila
seperti banyak menimpa jamaah haji Indonesia karena ketika pulang sudah tidak
punya rumah dan harta lagi.
Jika
seorang jamaah memilih untuk masa menabung 20 tahun dan ternyata ketika tahun
ke-15 sudah cukup dananya, maka dia dipanggil untuk menentukan waktu berangkat
menunaikan ibadah haji. Sebelumnya, dia mengikuti pelatihan yang diatur oleh
LTHM (bisa 1 bulan, 2 bulan atau 3 bulan). Jadi, hajinya matang karena
manasiknya cukup. Selama manasik tidak boleh bekerja dan diberikan uang saku.
Setelah selesai haji akan kembali ke tempat kerja semula.
Sistem
di Indonesia umumnya adalah tabungan jangka pendek maksimal 5 tahun. Ini
terlihat seperti “jual-beli” ONH/BPIH, yang sungguh memberatkan bagi para calon
jamaah. Bahkan, ada beberapa bank (termasuk Bank Syariah) yang justru menawari uang muka. Ini jelas
merupakan praktik yang sangat tidak edukatif karena mendorong orang Islam untuk
beribadah haji dengan cara berhutang.
Dengan
sistem SJSN yang sifatnya tabungan jangka panjang, maka ongkos haji akan lebih
murah dan umat tidak akan dibebani oleh perbedaan kurs jika hal itu terjadi.
Sebaliknya, dengan sistem tabungan jangka pendek maka ONH menjadi tidak murah.
Apalagi jika terjadi gejolak mata uang seperti yang pernah terjadi beban beda
kurs, justru menjadi tanggungan APBN. Nah, APBN yang sudah defisit jadi
terbebani lagi dengan hal-hal seperti ini.
Yang
jelas, setiap akan dilaksanakan perhelatan haji, selalu saja ada perdebatan
soal ONH atau BPIH. Sebenarnya itu barang simpel. Dengan pola SJSN, tidak akan
terjadi perdebatan. Itu urusan rumah tangga umat Islam, tidak perlu menjadi
beban masyarakat dan bangsa-negara Indonesia secara umum. Mari kita berpikir
dan bertindak cerdas. Umat Islam seharusnya menjadi teladan dalam membangun
kemandirian, kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dan bangsa-negara Indonesia,
setidaknya melalui dana haji berpola SJSN.
Apalagi
kalau dicermati, penyelenggaraan haji Indonesia sebenarnya sudah mengarah
kepada kegiatan bisnis. Tidak sepenuhnya bersifat ibadah. Mungkin persentasenya
75% bisnis dan 25% ibadah. Pasalnya, untuk menyelenggarakan ibadah haji
melibatkan berbagai kegiatan, sewa pesawat, pemondokan, angkutan haji di darat,
katering, logistik, dan lainnya. Porsi dari bisnis pasti lebih banyak dari
kegiatan ibadah.
Karena
itu, adanya wacana untuk melepaskan kegiatan penyelenggaraan haji dari
Departemen/Kementerian Agama adalah hal yang tepat. Kementerian yang mengurusi
akhlak umat seharusnya tidak melibatkan diri dalam urusan bisnis, agar tidak
terjadi banyak persoalan keagamaan yang mencuat, bahkan krisis akhlak, dan
banyak korupsi.
Seyogyanya
Kemenag bukan sebagai pelaksana tetapi sebagai regulator, pembina atau
pengawas.
Ketika
diterima oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudoyono di Istana Negara (Jakarta)
dalam rangka membayarkan pensiun beliau selaku Menko Polkam (posisi beliau
sebelumnya), saya (selaku Dirut Taspen waktu itu) berkesempatan pula untuk
menyampaikan usulan soal Penyempurnaan Sistem Penyelenggaraan Haji Nasional.
Bapak Presiden berkenan akan membicarakannya dengan Menteri Agama. Rupanya,
karena kesibukan beliau sebagai Presiden, hal penting ini menjadi terlewatkan
hingga sekarang ini. Selain itu, beliau berpesan agar Taspen memperhatikan
kesejahteraan para pensiunan PNS dan aparatur negara lainnya.
Pendek
kata, penyelenggaraan haji sebaiknya dikelola oleh sebuah lembaga
Non-Kementerian, apakah itu BUMN atau dibentuk lembaga dengan UU tersendiri
atau mengkonversi salah satu Bank Syariah menjadi LTHI. Itu berarti, UU
Penyelenggaraan Haji harus direformasi. Yang tidak boleh dilupakan, bahwa dalam
UU Penyelenggaraan Haji harus mencakup tiga hal, yaitu: Pendanaan, Pelatihan
dan Penyelenggaraan Haji yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta.
Mengapa
Badan Tabungan Haji Nasional?
Ada
beberapa manfaat dengan adanya BTHN dibandingkan sistem yang sekarang
dijalankan Kemenag antara lain :
Setiap
warganegara Indonesia yang beragama Islam akan memperoleh kesempatan sama untuk
menunaikan ibadah haji baik yang kaya maupun yang tidak kaya. Tidak ada
diskriminasi.
Ulil
amri dan Umara mempunyai kewajiban untuk membuat sistem penyelenggaraan Haji
yang bisa membantu setiap umat Islam untuk berhaji tanpa terjadi diskriminasi.
Pemerintah,
DPR dan MUI dengan kewenangannya bisa menyusun undang-undang yang memberi
kesempatan kepada semua umat Islam bisa berhaji tanpa diskriminasi.
BTHN
bisa dibentuk dengan adanya Badan baru atau merupakan konversi dari salah satu
Bank Syariah.
BTHN
akan menjadi salah satu dari Dana Cadangan Keuangan Nasional (DCKN).
Bagaimana
sistem BTHN dibangun?
Setiap
penduduk Indonesia muslim yang bekerja dan mempunyai pekerjaan dapat
mendaftarkan sebagai calon jemaah haji dengan membuat aqad dengan BTHN dan
menentukan jangka waktu tabungan hajinya dipenuhi misalnya : 10 th, 20 th, 30
th, 40 th dstnya.
Setiap
peserta BTHN menyetorkan dana tabungan hajinya minimal 1% dari penghasilan
bulannya.
Ketika
dana BTHN cukup, peserta diberikan kesempatan mengikuti pelatihan ibadah haji
atau manasik selama minimal 1 bulan dan
diberikan biaya kehidupan selama mengikuti manasik.
Peserta
diberi kesempatan memilih kapan akan menunaikan ibadah haji sesudah tabungannya
terpenuhi.
Apabila
selama masa menabung peserta meninggal dunia, insyaAllah dia telah menunaikan ibadah haji karena
selain telah ada niat juga telah melakukan ‘action” dengan mulai menabung untuk
membiayai perjalanan hajinya.
Semoga
harapan para tokoh agama untuk penyempurnaan Sistem Penyelenggaran Haji bisa
terwujud dengan lebih baik, demi manfaat dan kemasalahatan umat, masyarakat dan
bangsa-negara Indonesia. ***
Jakarta,
6 Juni 2013
No comments:
Post a Comment