Monday, July 22, 2013

Badan Tabungan Haji Nasional

Oleh Achmad Subianto
Ketua Gerakan Memakmurkan Masjid, Ketua Komisi Pengawas BAZNAS 2005-2011, Penasehat ISEI Cabang Jakarta 2001-2011, Ketua Umum Fokkus, Babinrohis Pusat, Mantan bendahara DPN KORPRI 2004-2009, Mantan Ketua IV PWRI 2003-2009, Ketua Umum Federasi Perasuransian Indonesia 2003, Ketua Umum Asosiasi Jaminan Sosial dan Jaminan Sosial 2000-2008, Direktur Utama PT Taspen 2000-2008
    

Dua organisasi Islam terbesar di Tanah Air, yaitu NU dan Muhammadiyah, dalam pernyataannya di tahun 2012 mendukung “Perbaikan dan Penyempurnaan Sistem Penyelenggaraan Haji”. Bahkan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsudin sepakat dengan usulan pembentukan Badan Khusus Haji yang bertanggung jawab kepada Presiden dengan pertimbangan bahwa selama ini penyelenggaraan Haji dimonopoli oleh Kementerian Agama sehingga tidak profesional dan tidak transparan karena lebih kental budaya birokratnya.


Ketua Umum PBNU KH Said Agil Siradj juga mendukung dilakukan pembenahan dalam penyelenggaran Haji. Demikian pula mantan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi, namun beliau tidak sepakat untuk melakukan moratorium karena keputusan semacam itu bisa menaikkan ONH. Jika moratorium akan menaikkan ONH maka moratorium menjadi tidak perlu.

Alhamdulillah jika tokoh-tokoh agama telah sepakat untuk segera melakukan perbaikan sistem penyelenggaraan Haji.

Ketika saya diberi amanah menjadi Direktur Keuangan, SDM dan IT PT Garuda Indonesia (1989) dan Direktur keuangan PT Garuda (1997) diberi tugas untuk menyelenggarakan angkutan haji, ada keinginan untuk mengunjungi Lembaga Tabung Haji Malaysia (LTHM). Sebagaimana informasi yang saya peroleh, penyelenggaraannya dilakukan dengan baik dan dengan ongkos yang relatif murah. Keinginan untuk melihat LTHM ini dimaksudkan agar dapat memberikan penilaian yang benar dan proporsional mengenai penyelenggaraan haji yang dilakukan oleh Malaysia dan komparasinya dengan Indonesia, yang keduanya memang merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam.

Keinginan itu baru terwujud setelah berlangsung selama lebih dari 10 tahun ketika tahun 2000 saya diberi amanah untuk memimpin perusahaan Penyelenggara Dana Pensiun dan THT PNS, yakni PT Taspen.

Arahan yang diperoleh dari pemerintah (selaku pemegang saham) yaitu Menteri Keuangan (waktu itu), Bambang Sudibyo, agar kami membenahi Taspen. Betapa saya kaget bahwa selama ini ternyata PNS hanya dilihat sebelah mata oleh pemerintah dan oleh manajemen Taspen itu sendiri. Misalnya THR PNS tidak pernah diberikan, padahal setiap lebaran saya menandatangani THR bagi karyawan Taspen yang notabene mengelola “uang titipan” PNS itu. Pemerintah pun mewajibkan semua perusahaan swasta dan BUMN harus ikut membayar iuran jaminan sosial bagi para pekerjanya, tetapi pemerintah selaku pemberi kerja PNS dan TNI/Polri tidak pernah membayar iuran sehingga uang pensiun yang diterima PNS dan para prajurit TNI/Polri menjadi kecil.

Mengingat di Indonesia tidak ada yang bisa digunakan sebagai pembanding maka saya memutuskan untuk melakukan studi banding ke negara-negara tetangga untuk memperoleh gambaran yang benar. Selanjutnya, dua tim dibentuk. Satu tim ke Malaysia dan Singapura yang saya pimpin sendiri, satu tim lagi ke Filipina dan Thailand dipimpin Direktur Operasi. Dalam Tim melibatkan pejabat interdep dari Departemen Keuangan (Dirjen Anggaran dan Pajak), Kementerian Negara BUMN, dan BKN (Badan Kepegawaian Negara).

Ketika di Malaysia, untuk memperoleh gambaran seputar kemajuan dan kesejahteraan yang berhasil digapai negeri jiran itu, kami mengunjungi KWSP (Kumpulan Simpanan Wang Pekerja, mirip Jamsostek di Indonesia). Kemudian mendatangi KWAP (Kumpulan Wang Amanah Pensyen, mirip Taspen di Indonesia) dan Perkeso atau Socso (Social Security Organization) yang mengurusi jaminan social dasar bagi seluruh warga Malaysia. Waktu itu, kami juga menyempatkan diri untuk mengunjungi PPZ (Pusat Pengumpulan Zakat)  Malaysia. Tidak lupa kami berkunjung pula ke LTHM.

Lembaga Tabung Haji Malaysia

Sungguh mengesankan ketika mengunjungi LTHM yang gedungnya menjulang tinggi berbentuk piramida terbalik. Kami diterima dengan sangat baik dan memperoleh penjelasan yang terperinci mengenai kegiatan LTHM, termasuk bagaimana sistem tabungan haji nasional diselenggarakan oleh LTHM dengan posisi keuangan yang transparan dan dapat dilihat dari Annual Report-nya.

Ketika saya menanyakan mengenai dana haji Malaysia di tahun 2000 itu, mereka memberikan data bahwa dengan jumlah penduduk Malaysia yang hanya 24 juta, dana yang dikelola sudah berjumlah ekuivalen Rp100 triliun. Sekarang, tentunya lebih besar lagi. Sedangkan beberapa hari yang lalu di running text Metro TV dan TVOne disebutkan bahwa jumlah dana haji Indonesia adalah Rp38 triliun. Hal ini jelas menjadi keheranan kita, mengapa dengan jumlah penduduk yang lebih dari 230 juta Indonesia hanya berhasil mengumpulkan jumlah dana haji sepertiga dari Malaysia? Pasti ada sesuatu yang salah dan menyebabkan terjadinya deviasi yang demikian besar.

Dari penjelasan yang diperoleh dari pimpinan dan staf LTHM baru kami memahami bahwa mereka membangun pengumpulan dana haji melalui Tabungan Jangka Panjang Nasional. LTHM menggunakan pola Jaminan Sosial dengan pengertian LTHM memberikan jaminan agar setiap penduduk muslim Malaysia dapat menunaikan ibadah haji. Dengan besarnya tabungan haji nasional Malaysia maka dana hajinya telah menjadi bagian yang sangat penting dari Cadangan Keuangan Nasional (National Reserve Fund).

Sementara itu, dana haji Indonesia dengan Rp38 triliun tentulah tidak cukup untuk menganggapnya sebagai bagian dari Dana Cadangan Keuangan Nasional (DCKN). Karena itu, sudah saatnya Indonesia membangun Sistem Tabungan Haji Nasional (meskipun sudah terlambat dibanding Malaysia), namun insya Allah kita dapat mengumpulkan dana lebih dari Rp500 trilliun atau lima kali lebih besar dai Malaysia, karena penduduk Indonesia yang beragama Islam kurang lebih lima kali Malaysia.

Agar bisa menjadi DCKN, maka dana haji juga harus ditumbuh-kembangkan melalui beragam skema investasi yang baik. Tidak didiamkan saja dalam bentuk giro atau deposito. Sebagai rujukan, dana haji yang terhimpun dalam LTHM dimanfaatkan tidak hanya di dalam negeri Malaysia sendiri misalnya untuk membeli obligasi pembangunan jembatan dari Pulau Penang ke daratan Malaysia, yang tidak dilakukan dengan dana pinjaman atau investasi asing. Begitu pula dengan pembangunan bandar udara Kuala Lumpur serta berbagai pembangunan infrastuktur lainnya, termasuk jalan tol, yang sangat bagus pengaturannya. Di samping itu juga digunakan untuk investasi ke luar negeri. Dalam hal ini, Indonesia kebagian dana haji LTHM, yang antara lain berupa investasi penanaman kelapa sawit di Riau, dan bahkan membeli hutan di Papua. Jadi LTHM telah membantu mengurangi kemiskinan dan memberikan lapangan kerja bagi Indonesia. Hal yang sebaliknya, dana haji Indonesia justru ditaruh dalam bentuk Deposito dan Sukuk.

Waktu itu, kami benar-benar terkejut karena ketika mengisi buku tamu LTHM, ternyata semua Menteri Agama dan Dirjen Haji Indonesia pernah mengunjungi LTHM, tetapi pulang ke Indonesia masih “business as usual”. Dalam sebuah diskusi yang akrab, pihak LTHM menawarkan bantuan teknis untuk Indonesia guna merumuskan Sistem Penyelenggaraan Haji. Kami yakin tawaran itu disampaikan juga kepada pejabat Departemen Agama karena kami yang bukan pejabat Departemen Agama saja ditawari. Itu yang memberikan keberanian kami sepulang dari Malaysia untuk menemui pejabat Departemen Agama, untuk membantu Departemen Agama membangun Lembaga Tabung Haji Indonesia.

Hal lain yang mengagetkan, pihak LTHM mengakui bahwa sistem haji mereka dibangun dengan mendapatkan supervisi dari dosen ITB (Bandung), yakni Prof. Ahmad Sadali dan Timnya. Artinya, untuk membangun LTHM itu ternyata ada campur tangan orang Indonesia yang bernama Prof. Ahmad Sadali. Sayapun bermaksud untuk bersilaturahmi kepada Pak Ahmad Sadali, namun beliau telah meninggal dunia. Semoga amalan beliau yang mulia dan memberi kemanfaatan bagi umat Islam di Malaysia, diterima oleh Allah SWT.

Saya tetap penasaran kenapa Malaysia kok mau menerima advice dari ITB, sedangkan Indonesia (khususnya Departemen/Kementerian Agama) kok tidak mau. Yang jelas, sepulang dari Malaysia, saya dan teman-teman yang ahli aktuaria menemui pejabat Departemen Agama menawarkan diri untuk membangunkan Sistem Tabung Haji Nasional Indonesia. Akan tetapi, sampai hari ini tidak ada respon, reaksi dan realisasinya. Untuk itu, agar keinginan untuk memperbaiki sistem Haji Indonesia dapat diwujudkan maka kami dengan beberapa pribadi dan kolega seperti Bapak H. Giri Suseno Hadihardjono, Bapak H Mahmudin Yasin, Bapak H Mubarok, Prof. H. Bambang Pranowo dan Prof H Artani Hasbi, kini membentuk wadah dengan nama Komunitas Jamaah Haji Indonesia (KJHI), guna memperjuangkan perbaikan sistem haji Indonesia.

Sistem Penyelenggaraan Tabungan Haji

Sistem penyelenggaraan haji Malaysia yang dikembangkan atas arahan Prof. Ahmad Sadali dari ITB adalah menggunakan pola tabungan jangka panjang atau istilah sekarang dengan pola SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). Keunggulan sistem ini bisa dibangun data base umat Islam. Dengan pola ini tidak dikenal istilah daftar tunggu.

Mekanisme yang dilakukan adalah setiap orang Islam di Malaysia saat bekerja pada usia muda langsung membuat akad atau perjanjian dengan LTHM. Akad itu bisa 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun  atau 40 tahun. Itulah masa menabung yang harus dilakukan oleh setiap orang Islam di Malaysia. Tabungannya minimal 1% dari penghasilan atau dengan nilai nominal yang disepakati.

Di Malaysia, tidak boleh dana haji itu berasal dari hasil penjualan tanah atau penjualan rumah. Kalau punya tanah, maka tanahnya harus ditanami dan hasilnya untuk setor haji. Juga untuk rumah harus disewakan dan hasil sewanya untuk setor tabungan haji. Dengan begitu, ketika haji telah usai dan kembali ke tanah air, mereka masih tetap punya harta dan tidak menjadi miskin apalagi gila seperti banyak menimpa jamaah haji Indonesia karena ketika pulang sudah tidak punya rumah dan harta lagi.

Jika seorang jamaah memilih untuk masa menabung 20 tahun dan ternyata ketika tahun ke-15 sudah cukup dananya, maka dia dipanggil untuk menentukan waktu berangkat menunaikan ibadah haji. Sebelumnya, dia mengikuti pelatihan yang diatur oleh LTHM (bisa 1 bulan, 2 bulan atau 3 bulan). Jadi, hajinya matang karena manasiknya cukup. Selama manasik tidak boleh bekerja dan diberikan uang saku. Setelah selesai haji akan kembali ke tempat kerja semula.

Sistem di Indonesia umumnya adalah tabungan jangka pendek maksimal 5 tahun. Ini terlihat seperti “jual-beli” ONH/BPIH, yang sungguh memberatkan bagi para calon jamaah. Bahkan, ada beberapa bank (termasuk Bank Syariah) yang  justru menawari uang muka. Ini jelas merupakan praktik yang sangat tidak edukatif karena mendorong orang Islam untuk beribadah haji dengan cara berhutang.

Dengan sistem SJSN yang sifatnya tabungan jangka panjang, maka ongkos haji akan lebih murah dan umat tidak akan dibebani oleh perbedaan kurs jika hal itu terjadi. Sebaliknya, dengan sistem tabungan jangka pendek maka ONH menjadi tidak murah. Apalagi jika terjadi gejolak mata uang seperti yang pernah terjadi beban beda kurs, justru menjadi tanggungan APBN. Nah, APBN yang sudah defisit jadi terbebani lagi dengan hal-hal seperti ini.

Yang jelas, setiap akan dilaksanakan perhelatan haji, selalu saja ada perdebatan soal ONH atau BPIH. Sebenarnya itu barang simpel. Dengan pola SJSN, tidak akan terjadi perdebatan. Itu urusan rumah tangga umat Islam, tidak perlu menjadi beban masyarakat dan bangsa-negara Indonesia secara umum. Mari kita berpikir dan bertindak cerdas. Umat Islam seharusnya menjadi teladan dalam membangun kemandirian, kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dan bangsa-negara Indonesia, setidaknya melalui dana haji berpola SJSN.

Apalagi kalau dicermati, penyelenggaraan haji Indonesia sebenarnya sudah mengarah kepada kegiatan bisnis. Tidak sepenuhnya bersifat ibadah. Mungkin persentasenya 75% bisnis dan 25% ibadah. Pasalnya, untuk menyelenggarakan ibadah haji melibatkan berbagai kegiatan, sewa pesawat, pemondokan, angkutan haji di darat, katering, logistik, dan lainnya. Porsi dari bisnis pasti lebih banyak dari kegiatan ibadah.

Karena itu, adanya wacana untuk melepaskan kegiatan penyelenggaraan haji dari Departemen/Kementerian Agama adalah hal yang tepat. Kementerian yang mengurusi akhlak umat seharusnya tidak melibatkan diri dalam urusan bisnis, agar tidak terjadi banyak persoalan keagamaan yang mencuat, bahkan krisis akhlak, dan banyak korupsi.

Seyogyanya Kemenag bukan sebagai pelaksana tetapi sebagai regulator, pembina atau pengawas.

Ketika diterima oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudoyono di Istana Negara (Jakarta) dalam rangka membayarkan pensiun beliau selaku Menko Polkam (posisi beliau sebelumnya), saya (selaku Dirut Taspen waktu itu) berkesempatan pula untuk menyampaikan usulan soal Penyempurnaan Sistem Penyelenggaraan Haji Nasional. Bapak Presiden berkenan akan membicarakannya dengan Menteri Agama. Rupanya, karena kesibukan beliau sebagai Presiden, hal penting ini menjadi terlewatkan hingga sekarang ini. Selain itu, beliau berpesan agar Taspen memperhatikan kesejahteraan para pensiunan PNS dan aparatur negara lainnya.

Pendek kata, penyelenggaraan haji sebaiknya dikelola oleh sebuah lembaga Non-Kementerian, apakah itu BUMN atau dibentuk lembaga dengan UU tersendiri atau mengkonversi salah satu Bank Syariah menjadi LTHI. Itu berarti, UU Penyelenggaraan Haji harus direformasi. Yang tidak boleh dilupakan, bahwa dalam UU Penyelenggaraan Haji harus mencakup tiga hal, yaitu: Pendanaan, Pelatihan dan Penyelenggaraan Haji yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta.

Mengapa Badan Tabungan Haji Nasional?

Ada beberapa manfaat dengan adanya BTHN dibandingkan sistem yang sekarang dijalankan Kemenag antara lain :

Setiap warganegara Indonesia yang beragama Islam akan memperoleh kesempatan sama untuk menunaikan ibadah haji baik yang kaya maupun yang tidak kaya. Tidak ada diskriminasi.
Ulil amri dan Umara mempunyai kewajiban untuk membuat sistem penyelenggaraan Haji yang bisa membantu setiap umat Islam untuk berhaji tanpa terjadi diskriminasi.
Pemerintah, DPR dan MUI dengan kewenangannya bisa menyusun undang-undang yang memberi kesempatan kepada semua umat Islam bisa berhaji tanpa diskriminasi.
BTHN bisa dibentuk dengan adanya Badan baru atau merupakan konversi dari salah satu Bank Syariah.
BTHN akan menjadi salah satu dari Dana Cadangan Keuangan Nasional (DCKN).
Bagaimana sistem BTHN dibangun?

Setiap penduduk Indonesia muslim yang bekerja dan mempunyai pekerjaan dapat mendaftarkan sebagai calon jemaah haji dengan membuat aqad dengan BTHN dan menentukan jangka waktu tabungan hajinya dipenuhi misalnya : 10 th, 20 th, 30 th, 40 th dstnya.

Setiap peserta BTHN menyetorkan dana tabungan hajinya minimal 1% dari penghasilan bulannya.
Ketika dana BTHN cukup, peserta diberikan kesempatan mengikuti pelatihan ibadah haji atau manasik selama  minimal 1 bulan dan diberikan biaya kehidupan selama mengikuti manasik.
Peserta diberi kesempatan memilih kapan akan menunaikan ibadah haji sesudah tabungannya terpenuhi.
Apabila selama masa menabung peserta meninggal dunia, insyaAllah  dia telah menunaikan ibadah haji karena selain telah ada niat juga telah melakukan ‘action” dengan mulai menabung untuk membiayai perjalanan hajinya.
Semoga harapan para tokoh agama untuk penyempurnaan Sistem Penyelenggaran Haji bisa terwujud dengan lebih baik, demi manfaat dan kemasalahatan umat, masyarakat dan bangsa-negara Indonesia. ***

Jakarta, 6 Juni 2013


No comments:

Post a Comment