Organisasi
Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) menilai, penetapan 86,4 juta Penerima Bantuan
Iuran (PBI) yang telah diketok Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat (Kemenkokesra) akan menciptakan diskriminasi di kalangan rakyat miskin.
Menurut
Sekjen OPSI, Timboel Siregar, di Jakarta, Kamis (4/7), Rakor Menkokesra, tiga
hari lalu, telah menetapkan iuran PBI sebesar Rp 19.225 dari sebelumnya Rp
15.500, dengan jumlah peserta 86,4 juta orang. Untuk iuran pekerja formal,
ditetapkan iuran dari pengusaha sebesar 4 persen dan 1 persen dari pekerja.
Menurutnya,
terkait PBI tersebut, dengan penetapan iuran Rp 19.225 per orang per bulan,
seharusnya disertai dengan peningkatan jumlah PBI. Penetapan jumlah hanya 86,4
juta akan menciptakan diskriminasi di kalangan rakyat miskin.
Rakyat
miskin seperti peserta Jamkesda, pekerja formal yang masih mendapat upah di
bawah upah minimum dan belum diikutkan dalam Jamsostek, pekerja informal miskin
seperti pedagang asongan, kaki lima, dan sebagainya, akan tersisihkan di 1
Januari 2014 saat BPJS Kesehatan beroperasi.
Menurutnya,
hal tersebut akan terjadi karena data 2011 PPLS BPS menyebutkan ada 96,7 juta
rakyat miskin, sementara itu data Komite Ekonomi Nasional (KEN) berjulah 99
juta rakyat miskin. Selan itu, dampak kenaikan harga BBM per Juni lalu, akan
menciptakan 4-5 juta rakyat miskin baru.
Atas dasar
itu, tandas Timboel, pemerintah harus menaikkan jumlah peserta PBI menjadi 110
juta orang. Alokasi APBN dengan peserta 110 juta orang hanya mencapai Rp 25,3
triliun. Angka ini jauh di bawah ketentuan UU nomor 36 tahun 2009 yang
mensyaratkan minimum 5 persen APBN dialokasikan untuk kesehatan.
Sedangkan
terkait iuran pekerja, imbuhnya, serikat pekerja meminta agar pemerintah saat
ini menggunakan peraturan pemerintah (PP) nomor 53 tahun 2012, yakni turunan
dari UU nomor 3 tahun 1992 tentang Jamsostek saja dulu, di mana pengusaha
membayar iuran jaminan kesehatan secara penuh, yaitu 3 persen untuk pekerja
lajang dan 6 persen untuk berkeluarga.
Adapun yang
menjadi pertimbangan hal tersebut, yakni UU nomor 3 tahun 1992 tetap berlaku
pada 1 Januari 2014 dan tidak berlaku lagi setelah BPJS Ketenagakerjaan
beroperasi mulai 1 juli 2015. Premi iuran jaminan kesehatan akan diatur dalam
Perpres. Artinya, isi Perpres tidak boleh meniadakan isi PP nomor 53 tahun 2012
tersebut.
"Jadi
selama 1,5 tahun, pengusaha tetap membayar full. Nah setelah 1 juli 2015, di
mana UU nomor 3 tahun 1992 dan PP nomor 53 tahun 2012 tidak berlaku, barulah
buruh mengiur," ujarnya.Menurutnya, iuran yang feasible sehingga tidak
mengganggu daya beli buruh antara 0,5 - 1 persen dari upah pokok. Manfaat buruh
iuran adalah buruh dapat langsung sendiri mendaftar menjadi peserta Jamsos
ketika pengusaha tidak mau mengikutsertakan pekerjanya di Jamsos sebagaimana
putusan Mahkamah Konstitusi (MK). (www.gatra.com)
No comments:
Post a Comment