Monday, July 22, 2013

Penetapan 86,4 Juta PBI Diskriminasi Rakyat Miskin

Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) menilai, penetapan 86,4 juta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang telah diketok Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra) akan menciptakan diskriminasi di kalangan rakyat miskin.
Menurut Sekjen OPSI, Timboel Siregar, di Jakarta, Kamis (4/7), Rakor Menkokesra, tiga hari lalu, telah menetapkan iuran PBI sebesar Rp 19.225 dari sebelumnya Rp 15.500, dengan jumlah peserta 86,4 juta orang. Untuk iuran pekerja formal, ditetapkan iuran dari pengusaha sebesar 4 persen dan 1 persen dari pekerja.
Menurutnya, terkait PBI tersebut, dengan penetapan iuran Rp 19.225 per orang per bulan, seharusnya disertai dengan peningkatan jumlah PBI. Penetapan jumlah hanya 86,4 juta akan menciptakan diskriminasi di kalangan rakyat miskin.
Rakyat miskin seperti peserta Jamkesda, pekerja formal yang masih mendapat upah di bawah upah minimum dan belum diikutkan dalam Jamsostek, pekerja informal miskin seperti pedagang asongan, kaki lima, dan sebagainya, akan tersisihkan di 1 Januari 2014 saat BPJS Kesehatan beroperasi.
Menurutnya, hal tersebut akan terjadi karena data 2011 PPLS BPS menyebutkan ada 96,7 juta rakyat miskin, sementara itu data Komite Ekonomi Nasional (KEN) berjulah 99 juta rakyat miskin. Selan itu, dampak kenaikan harga BBM per Juni lalu, akan menciptakan 4-5 juta rakyat miskin baru.
Atas dasar itu, tandas Timboel, pemerintah harus menaikkan jumlah peserta PBI menjadi 110 juta orang. Alokasi APBN dengan peserta 110 juta orang hanya mencapai Rp 25,3 triliun. Angka ini jauh di bawah ketentuan UU nomor 36 tahun 2009 yang mensyaratkan minimum 5 persen APBN dialokasikan untuk kesehatan.
Sedangkan terkait iuran pekerja, imbuhnya, serikat pekerja meminta agar pemerintah saat ini menggunakan peraturan pemerintah (PP) nomor 53 tahun 2012, yakni turunan dari UU nomor 3 tahun 1992 tentang Jamsostek saja dulu, di mana pengusaha membayar iuran jaminan kesehatan secara penuh, yaitu 3 persen untuk pekerja lajang dan 6 persen untuk berkeluarga.
Adapun yang menjadi pertimbangan hal tersebut, yakni UU nomor 3 tahun 1992 tetap berlaku pada 1 Januari 2014 dan tidak berlaku lagi setelah BPJS Ketenagakerjaan beroperasi mulai 1 juli 2015. Premi iuran jaminan kesehatan akan diatur dalam Perpres. Artinya, isi Perpres tidak boleh meniadakan isi PP nomor 53 tahun 2012 tersebut.

"Jadi selama 1,5 tahun, pengusaha tetap membayar full. Nah setelah 1 juli 2015, di mana UU nomor 3 tahun 1992 dan PP nomor 53 tahun 2012 tidak berlaku, barulah buruh mengiur," ujarnya.Menurutnya, iuran yang feasible sehingga tidak mengganggu daya beli buruh antara 0,5 - 1 persen dari upah pokok. Manfaat buruh iuran adalah buruh dapat langsung sendiri mendaftar menjadi peserta Jamsos ketika pengusaha tidak mau mengikutsertakan pekerjanya di Jamsos sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK). (www.gatra.com)

No comments:

Post a Comment