Bagi Anda perempuan yang pernah melewatkan umur di tahun-tahun
1970-an dan 1980-an, boleh jadi cukup akrab dengan kosmetika merek Viva. Anda barangkali terbiasa
menggunakan pelembab dan pembersih wajah dalam dua botol terpisah produk Viva. Terasa repot. Zaman telah berubah.
Di tengah zaman yang semakin menuntut kepraktisan, kini di era 2000-an, Anda
para perempuan tak perlu lagi susah-susah menggunakan pelembab dan pembersih
wajah secara terpisah. Kini telah hadir Ovale
Facial Lotion Whitening yang efektif membersihkan kotoran dan sisa tata
rias. Diperkaya dengan Ekstrak Lidah Buaya, Vitamin A & E, pembersih wajah
produksi PT Kinocare Era Kosmetindo itu mampu merawat kehalusan dan kelembutan
kulit. Ovale cukup sukses dan produk sejenis yang lebih dulu hadir
lama-kelamaan seolah sirna ditelan zaman.
Keberhasilan Ovale
meramaikan pasar dan menancap kuat pada benak kaum perempuan mulai 1999 itu memacu
kreativitas dan inovasi Harry Sanusi, sang pendiri dan pemimpin Kino
Corporation Group yang menaungi PT Kinocare Era Kosmetindo. Di bawah bendera
Kinocare, setelah Ovale (1999), lantas
meluncur Ovale Maskulin, produk
pembersih wajah khusus laki-laki. Inovasi tiada henti. Produk perawatan tubuh
pun dibesutnya dengan menghadirkan cologne
gel (2000), feminine hygiene
(2000), cologne pria Master (2001), dan produk toiletries anak-anak (Kid's grooming) yang kemudian muncul
dengan kemasan karakter kartun Disney (2003).
Kinocare memang tidak semata-mata menghadirkan
produk pembersih wajah Ovale. Ada
pula produk kosmetika Absolute dan Resik V (sabun kewanitaan), Master (gel rambut), Instan (pembersih
kuman tangan), Eskulin (cologne), Ellips (vitamin rambut), Sasha
(cat rambut), Sleek (perawatan bayi
dan rumah tangga), dan body lotion Samantha. Sungguh komplit untuk urusan
perawatan wajah dan badan seluruh anggota keluarga.
Ya, bertahun-tahun Kino telah menyambangi konsumen tidak
cuma sebatas dengan menggelontorkan produk-produk kosmetika yang demikian
lengkap. Kino pun menawarkan produk permen, confectionery,
plus biskuit di bawah payung PT Kino Sentra Industrindo yang dibesut sejak
1997. Kemudian di tahun 1999 Kino merambah ke personal care dan household
melalui PT Kinocare Era Kosmetindo dengan mengembangkan merek pembersih wajah
dan perawatan tubuh. Tahun 2003 Kino melirik pasar farmasi dengan bendera PT
Kino Aid Indonesia melempar produk obat flu orang dewasa merek K-100.
Originalitas
Inovasi
Kinocare Era Kosmetindo, Kino Sentra Industrindo dan
Kino Aid Indonesia, adalah tiga dari empat perusahaan yang bernaung di bawah
bendera Kino Corporation Group yang didirikan dan dipimpin oleh Harry Sanusi. Satu
lagi perusahaan yang ada di bawah kelompok ini adalah PT Duta Lestari
Sentratama yang justru sebenarnya merupakan cikal-bakal kelompok usaha Kino.
Benar, Duta Lestari Sentratama adalah embrio dari
Kino Group. Harry Sanusi yang kelahiran Pontianak tahun 1967 itu memulai usaha
dengan menjadi distributor tunggal Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga produksi PT
Sinde Budi Sentosa pada 1991 dengan mendirikan PT Duta Lestari Sentratama.
Koneksi ke produsen minuman pencegah panas dalam itu diperoleh dari ayahnya
yang menjadi distributor produk tersebut di Pontianak. Kegiatan itu dirintisnya
dengan bantuan modal dari sang ayah sembari menempuh kuliah di Fakultas Farmasi
Universitas Pancasila, Jakarta.
Ceritanya, semula PT Sinde Budi Sentosa berkeinginan
menunjuk distributor tetapi tidak berani karena ada kemungkinan produk tersebut
tidak laku di pasaran. Ketika Harry Sanusi memperoleh tawaran untuk menjadi
distributor maka hanya dalam hitungan semenit tawaran itu langsung diterimanya.
Tetapi, dengan catatan ia tidak boleh mengambil provisi apoteker. Pekerjaan
sebagai distributor tunggal pun dijalaninya dari akhir 1991 sampai dengan akhir
1996.
Perkembangan signifikan terjadi pada Larutan
Penyegar Cap Kaki Tiga dari barang yang tidak laku hingga menjadi produk laris-manis
setelah diiklankan melalui televisi via iklan murah meriah Spot Melati di TPI.
Selanjutnya, Harry hanya fokus pada produk tersebut. Ia pun cukup agresif dalam
membuka cabang-cabang dan upaya pemasaran lainnya.
Suatu saat di akhir 1996, Harry berpikir bahwa perusahaan
distribusi yang cuma mengandalkan satu produk saja akan menghadapi risiko besar
sebab suatu produk pasti memiliki siklus hidup tertentu. Lalu Harry mulai
melirik untuk mendistribusikan barang-barang lain untuk mendukung produk
tersebut. Namun, agaknya, terjadi perbedaan persepsi dengan PT Sinde Budi
Sentosa yang menghendaki agar Harry tetap hanya menangani produk mereka saja. Akhirnya
kontrak sebagai distributor diputus oleh Sinde Budi Sentosa.
Harry hanya bisa melongo bak anak ayam kehilangan
induk. Pikiran Harry benar adanya. Putus dari Sinde Budi Sentosa (Cap Kaki
Tiga), Duta Lestari Sentratama yang baru mau melirik pendistribusian
barang-barang lain nyaris limbung lantaran 96% bisnisnya adalah memasarkan
produk Cap Kaki Tiga.
Dalam kondisi tidak menentu sekitar awal 1997 itu,
Harry Sanusi memilih banting setir ke industri permen. Ia memulai terjun ke
industri permen di kota Semarang, Jawa Tengah, karena di sana ia memiliki lahan
kosong di daerah Terboyo dan Sayung. Waktu itu, Harry kebingungan memilih jenis
permen apa yang akan diproduksi.
Terdorong keinginan yang kuat untuk bangkit, Harry
pun menganalisis situasi pasar. Teridentifikasi, selama ini, produk yang
berhasil didistribusikannya justru jenis produk yang loyalitasnya rendah. Dalam
pengamatannya, kesuksesan produk lebih sering karena faktor distributor yang
mampu secara kontinyu memasok toko sehingga kelangsungan produk terjamin. Dan toko
sendiri kerapkali tidak begitu peduli dengan merek. Yang penting, pasokan ajek mengalir.
Muncullah ide membuat permen, produk yang dikenal
loyalitasnya rendah. Namun Harry sadar benar, sekalipun loyalitas produk ini
rendah, perlu diferensiasi untuk jadi pemenang. Ia lantas memetakan pasar.
Tampak ada tiga kategori: permen keras, permen lunak, dan permen karet. Rasanya
pun dibagi tiga: buah, mint dan kopi.
Lantaran tidak berminat menggeluti permen karet rasa
buah, pemetaan kemudian difokuskan pada dua kategori lain. Hasilnya terpampang,
untuk rasa buah, kategori permen lunak (soft
candy) didominasi Sugus,
sementara Tango menguasai permen
keras (hard candy). Untuk rasa mint, Mentos mengangkangi permen lunak sementara Relaxa menguasai permen keras. Nah, peluang muncul pada rasa kopi. Hard candy memang didominasi Kopiko, tapi kategori soft candy belum memiliki penguasa,
bahkan belum ada pemainnya. Peluang inilah yang disergap dan kelak melahirkan
Kino, permen rasa kopi kategori permen lunak.
Melalui soft
candy rasa kopi, Harry Sanusi melihat ada peluang untuk melakukan klaim di
pasar bahwa perusahaannya telah melakukan inovasi dari hard candy ke soft candy.
Dari situlah permen Kino diperkenalkan dan menuai sukses besar.Sukses permen
Kino agaknya cukup terbantu oleh situasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia
pada 1998. Ketika itu harga Kopiko
melambung luar biasa tinggi dan produsen Kopiko
sengaja bertahan di harga tersebut karena merasa tidak memiliki saingan. Pada
waktu itulah Kino masuk dengan harga lebih murah.
Bisnis inti Kino Group yang sesungguhnya adalah
produk konsumsi (consumer goods).
Pada 1999, Kino Group memasuki bisnis toiletries
dengan memperkenalkan merek Ovale.
Dalam waktu setahun sejak diluncurkan, produk pembersih wajah miliknya itu
mampu merebut 12% pangsa pasar pesaing yang bermain di kategori tersebut yakni Viva, Sari Ayu dan Pond's. Tahun kedua, Ovale
mampu tumbuh sampai 16,5%. Konsep produk Ovale
ini memang tampak inovatif. Selama ini, pembersih wajah selalu menggunakan dua
produk: krim pembersih (face cleansing
cream) dan penyegar (face toner).
Ovale tampil dengan konsep all in one yang menggabungkan pembersih
dan penyegar sekaligus pelembab dalam satu kemasan.
Adalah Harry Sanusi yang menggagas produk pembersih
wajah dalam satu kemasan tersebut. Selama ini, secara tradisional, produk
pembersih muka selalu terdiri dari rangkaian lotion pembersih muka dan penyegar muka. Terbersitlah gagasan
menggabungkan dua produk itu agar memudahkan konsumen. Penggunaannya lebih
nyaman dan praktis sementara hasil pemakaiannya lebih bersih dan hemat.
Pematangan gagasan itu memakan waktu sekitar 12 bulan terhitung dari penemuan
ide, pelaksanaan riset lapangan dan riset konsumen, pengembangan formulasi, uji
stabilitas, pengembangan desain kemasan dan desain label, sampai dengan produk
jadi yang siap dipasarkan ke konsumen.
Inovasi produk dilanjutkan dengan meluncurkan Ovale Maskulin, produk pembersih khusus
laki-laki. Kemudian diikuti dengan cologne
gel (2000), feminine hygiene
(2000), cologne pria Master (2001) dan produk toiletries anak-anak Eskulin yang kemudian muncul dengan
karakter kartun Disney (2003). Besar royalti pemakaian karakter kartun Disney
sekitar 3-5% dari omset penjualan. Dengan melakukan co-branding lewat karakter kartun Disney dan Warner Bross untuk
produk-produk kids grooming pada
merek Eskulin dan B&B, Kino mampu menguasai 15% pangsa
pasar dalam dua tahun.
Kino Group kemudian meramaikan pasar minuman energi
(energy drink). Hal itu terjadi
setelah Kino mengakuisi merek Panther
dari Sungai Putih Group yang dikenal sebagai produsen tepung beras Rose Brand. Saat Kino Group ingin masuk
ke segmen energy drink, terdapat dua
pilihan, yakni masuk dalam kemasan sachet yang murah ataukah segmen botolan
yang lebih mahal.
Harry lalu menyimpulkan bahwa retail price yang tepat adalah Rp1.500. Sebab itu, lantas
diciptakan Panther dalam kemasan
botol plastik yang dilepas dengan banderol Rp 1.000 ke pengecer dan sekitar Rp
1.500-Rp 2.000 ke konsumen. Harga ini lebih murah dibandingkan harga produk
sejenis dari pemain lain.
Selain energy
drink, Kino Group juga melirik minuman isotonik dengan mengeluarkan produk
inovatif Kino Sweat. Minuman isotonik
bersifat tawar yang rasanya "asin tidak asin, manis tidak manis".
Kino Group berusaha menerobos pasar ceruk minuman isotonik --yang telah terlbih
dulu dikuasai Pocari Sweat-- dalam
bentuk kemasan sachet. Tingkat konsumsi minuman ini masih sangat rendah. Dengan
begitu masih ada peluang untuk meningkatkan frekuensi minumnya. Tidak dapat
dipungkiri bahwa pada akhirnya orang akan memilih minuman isotonik dengan cita
rasa yang lebih enak. Dan Kino Sweat dengan
cita rasa yang lebih enak berupaya masuk ke ceruk pasar yang masih terbuka
lebar.
Kino Group terus mengasah inovasi. Kali berikutnya,
Februari 2003, inovasi melalui produk tablet obat flu K-100 yang berisi 4 kaplet, yakni 3 kaplet untuk pagi, siang, sore
berwarna putih yang tidak menimbulkan kantuk dan 1 kaplet berwarna merah untuk
malam hari karena membuat kantuk. Sayangnya, produk ini mengalami kegagalan di
pasar. Pangkal sebabnya, perilaku konsumen di Indonesia tidak teratur dalam
mengonsumsi obat. Misalnya, tablet yang dalam sehari harus dikonsumsi empat
kali ternyata hanya dikonsumsi dua kali saja. Selain itu, masih ada kendala
perilaku penjual obat eceran dengan cara menggunting-gunting dan kecenderungan
konsumen memilih kaplet yang berwarna merah sehingga pemakaian kaplet kacau-balau.
Sementara penjual juga tidak mau rugi bila ada kaplet yang tidak laku. Dalam
persepsi orang Indonesia, obat flu yang manjur adalah bilamana memiliki efek
mengantuk. Keyakinan yang membara saat mengeluarkan produk K-100 pun perlahan pupus dan produk dihentikan.
Perjalanan inovatif Kino Group memang tidak
selamanya berjalan mulus. Dalam jejak jalan sejak tahun 1997, produk-produk inovatif
Kino Group dapat dimasukkan dalam tiga golongan: produk sukses, dalam
perjuangan dan produk gagal. Termasuk produk sukses adalah Kino Sweat, Ovale, Permen Kino, Master, Resik-V (cairan pembersih
bagian rahasia wanita), Absolut
(pembersih wanita), Eskulin (kids grooming), B&B
(kids grooming) dan Sleek (household cleaning). Kemudian produk dalam perjuangan di pasar,
yaitu Panther (energy drink) dan Instan
(hand sanitizer). Sedang yang
tergolong produk gagal adalah kaplet obat flu K-100 dan Extra White
(pemutih wajah) ---akibat salah produksi.
Cerdik
“Mencuri” Lubang
Kino Group dan Harry Sanusi tak mau berlama-lama meratapi
kegagalan produk obat flu K-100 dan pemutih wajah Extra White. Harry terus mengobarkan spirit The Innovator --julukan sekaligus moto Kino Group—kepada segenap
sumber daya manusia (SDM) yang mengawaki seluruh kelompok usaha Kino.
Perusahaan ini amat gencar meluncurkan produk baru, dan hebatnya, merupakan produk-produk
yang belum atau enggan digarap oleh pemain lain. Tak banyak perusahaan yang
mampu menemukan peluang dengan produk-produk baru yang inovatif untuk menjaga
ritme kelangsungan dan kelanggengan usaha. Manajemen Kino Group tampaknya sadar
betul bahwa pengembangan produk baru merupakan salah satu kunci pokok menjaga
pertumbuhan perusahaan. Disadari pula, bukan pekerjaan gampang membuat keajekan
daur hidup sebuah produk. Sebuah produk acapkali ‘habis’ dimakan waktu.
Dari sejumlah analisis, sebuah kategori produk hanya
bertumbuh maksimal 15% setiap tahun. Jika pemain lain hadir di kategori produk
yang sama, pertumbuhannya bisa mengecil bahkan stagnan. Itulah alasan mengapa Kino
Group sangat aktif meluncurkan produk-produk baru untuk mempertahankan biduk
usaha dan, bahkan, tampil menjadi pemenang di era global.
Bagaimana upaya Kino menghadirkan produk-produk
baru? Di antaranya dengan kiat membaca tren pasar. Caranya, mengidentifikasi
pasar yang ada dengan melihat produk per kategori. Sekadar contoh kategori
pembersih wajah. Biasanya, Kino Group mempelajari terlebih dulu produk-produk
yang beredar dan berapa merek yang telah eksis di pasar. Selanjutnya, secara seksama
mempelajari segmentasi produk yang telah terbentuk oleh merek-merek tadi --baik
dari segi usia maupun kelas ekonomi.
Dari semua kajian tersebut, terlihatlah apakah masih
ada ceruk pasar yang baru. Jika masih ada ceruk pasar, maka lebih lanjut Kino
memperhitungkan apakah ceruk itu layak digarap. Sebab, Kino tidak ingin terjebak
ke dalam bumerang bilamana ceruk baru tersebut ternyata tidak sebesar nilai
investasi yang hendak ditanamkan alias merugi. Hal ini bisa saja terjadi,
karena besar kemungkinan konsumen tidak membutuhkannya dengan berbagai
pertimbangan. Berikutnya, dilakukan analisis produk yang akan dibuat, segmen
yang dituju, harga jual kemasan dan strategi komunikasi yang akan dijalankan.
Contoh sederhana langkah tersebut dapat kita lihat ketika
akhir tahun 2005, Harry Sanusi (Kino) meluncurkan produk hair vitamin dengan
mengusung merek Ellips. Kino membuat
inovasi produk vitamin rambut dalam bentuk kapsul. Selama ini, produk perawatan
rambut –termasuk vitamin rambut – tersaji dalam bentuk cairan. Kino memberikan
dua pilihan varian: kemasan blister berisi 6 kapsul yang dibanderol Rp4.500/blister
dan kemasan jar berisi 50 kapsul seharga Rp45 ribu/jar. Ada dua macam produk Ellips, masing-masing Ellips kapsul orange (aloe vera) dan kapsul pink (jojoba oil). Tampilan Ellips ini cukup eye catching. Bila dilihat dari atas, bentuk kapsulnya mirip
kura-kura tanpa kaki. Sekali puntir kepalanya maka cairan vitaminnya langsung
keluar dan bisa dioleskan ke rambut. Memuntir kepalanya juga cukup gampang karena
kapsul Ellips ini lunak sekali.
Sejatinya, produk Ellips bukan ide orisinal Harry Sanusi dan Kino. Gagasan
meluncurkan produk hair vitamin berbentuk kapsul ini “meniru” produk serupa
keluaran Cina. Ide menelurkan Ellips
muncul sekitar tahun 2004 dari bincang-bincang santai di kantor Kino. Saat itu Harry
Sanusi mengobrol dengan beberapa stafnya, lalu terucap, “Produk Cina saja bisa
laku, kenapa kita tidak bikin dengan branding
sendiri.” Tak mau membuang-buang waktu, ide tersebut langsung ditembuskan ke bagian
pemasaran untuk dipelajari lagi pasar ceruk (niche market)-nya dan kebutuhan konsumen. Dilanjutkan ke bagian
riset dan pengembangan (R&D) untuk diterjemahkan ke dalam bentuk produk.
Jadilah Ellips yang sekarang ini. Keunggulan
Ellips terletak pada kemasan yang terjaga higienitas,
legalitas dan kualitasnya. Berbeda dengan produk sejenis buatan Cina yang dijual
per satuan, sehingga higienitas dan legalitasnya tidak terjamin.
Yang lebih penting lagi, citra Kino yang sudah
dikenal sebagai perusahaan yang mengkhususkan pada produk perawatan yang
berkualitas dalam kemasan yang cantik dan menarik. Ellips mampu menembus pasar hair vitamin yang sebelumnya dikuasai
produk Cina, karena Kino mencari pasar ceruk pada kualitas dan finishing touch-nya. Ellips dibuat
menarik, kemasannya dipoles lebih cantik. Kue pasarnya pada branding dan kemasan.
Ekspansi Kinocare Era Kosmetindo (KEK) di hair
vitamin karena melihat potensi besar kebutuhan perempuan akan produk perawatan
rambut dan belum ada pemain yang fokus. Apalagi perempuan zaman sekarang sering
menata rambut mereka mengikuti tren rambut. KEK mengambil kesempatan ini untuk
menjadi pemain pertama kategori hair vitamin untuk mass market. Ellips yang bahan-bahannya masih 100%
impor ini memang sengaja diciptakan untuk pasar massal.
Distribusinya ditargetkan mampu menjangkau pasar di
seluruh Nusantara. Kini Ellips telah
masuk ke supermarket, salon-salon, dan toko-toko kelontong. Untuk pasar modern,
produk Ellips dapat dijumpai di
Carrefour, Hero, Indomaret, Alfamart, dan Hypermarket. Produk ini membidik
segmen menengah-bawah. Untuk pasar premium, Kino berusaha menggarap dengan
merek yang berbeda.
Pendekatan komunikasinya, KEK memilih menempuh jalur
konservatif, yakni beriklan di media televisi. Sejak akhir Januari 2006,
program promosi ini mulai digeber. Iklan Ellips
dibuat standar saja. Mengingat respons pasar cukup baik, KEK berupaya
memperbaiki tampilan iklan. KEK telah menghabiskan anggaran untuk iklan sebesar
Rp3 miliar pada tiga bulan pertama peredaran Ellips. KEK optimistis Ellips
mampu melejit, karena sudah terasa switching
user dari memakai hair vitamin produk Cina ke Ellips.
Dengan langkah-langkah seperti itu, wajarlah Kino
Group demikian gencar menghadirkan produk baru sekaligus merajai merek di
kategorinya. Sebagai perusahaan yang punya kompetensi inti di bisnis consumer goods, Kino piawai membaca
ceruk pasar dan berani memasuki wilayah pasar yang belum disentuh pemain lain. Core Kino bukan pada distribusi seperti
anggapan banyak orang, Kino justru merasa masih punya banyak kekurangan di
jalur distribusi.
Menemukan kompetensi inti bukanlah mudah.
Diistilahkan Harry sebagai “sebuah seni” yang tidak hanya memakai teori tapi
juga feeling plus intuisi berdasarkan
pengalaman dan pengamatan. Harry mencontohkan dirinya yang harus terjun
langsung ke lapangan untuk membaca peluang berikut hambatan yang sedang dan
kemungkinan akan terjadi. Semua itu dilakukan untuk mencari masukan, karena Kino
dan Harry Sanusi menginginkan mimpi menjadi kenyataan.
Kino Group memang harus cerdik membaca tren pasar
jika ingin memenangkan persaingan. Sebagai pemain baru, Kino tentu saja tidak
hanya bermodal berani. Melainkan, mesti pula diiringi banyak pertimbangan.
Harry punya istilah untuk langkah pengembangan produk Kino Group sebagai
“mencuri lubang”. Maksudnya, cerdik mencari lubang peluang pasar untuk digarap,
ketika pemain lain lengah atau enggan memasukinya.
Berdasarkan pengalaman Kino, strategi “mencuri” ini
mampu menekan biaya investasi lebih murah dan relatif gampang dibanding harus
berhadapan langsung dengan dua gajah kompetitor utamanya: Wings dan Unilever.
"(Kami) bisa habis jika berhadap-hadapan langsung dengan mereka,"
Harry mengakui. Dalam hal beriklan, misalnya, Kino yang hanya mampu
melakukannya dua kali tayang sehari, bakal kelojotan jika mencoba menghadapi Unilever atau Wings yang iklannya ditayangkan puluhan kali sehari.
Mengembangkan
Divisi Memperluas Distribusi
Kino Group, sampai tahun 2006, mengakui masih
memiliki kekurangan dalam distribusi. Sebab itu, di tahun 2006 itu pula, Kino Group
merombak bagian penjualan dan pemasaran dari satu divisi menjadi lima. Divisi
yang semula menjadi satu, kemudian dipisah. Jika sebelumnya Kino cuma memiliki
divisi personal care & household, kini dipecah dan dilebarkan sayapnya
menjadi lima divisi: kosmetik & toiletris, herbal medicine, minuman,
household, dan mainan.
Upaya pemecahan divisi ini merupakan hal yang wajar.
Untuk pengembangan bisnis, jelas sebagai
sebuah keniscayaan. Apalagi tiap merek mempunyai karakter berbeda. Tujuannya
agar masing-masing produk dapat dikelola lebih bagus dan mudah branding-nya. Namun perlu diingat bahwa pembentukan
divisi baru tidak ada artinya bila tidak memiliki sumber daya dan infrastruktur
yang kompeten. Semisal saluran distribusi yang kuat, kemampuan manajerial, atau
piawai membangun citra.
Ketika bagian penjualan dan pemasaran hanya memiliki
satu divisi: personal care & household –yang dibidani oleh manajer penjualan
& pemasaran Kino– setiap produk ditangani orang yang berbeda. Akibatnya,
sistem ini banyak menyulitkan awak distribusi saat hendak menghubungi
orang-orang yang terkait dengan produk yang dituju. Contoh, di sebuah area penjualan
ada bagian yang menangani penjualan produk personal care, tetapi orang itu
hanya memegang beberapa produk. Tentu saja hal itu bakal mengganggu kelancaran
tugas tim distribusi. Mengapa? Betapa repot awak distribusi harus menemui orang
yang berbeda di satu divisi.
Kelemahan lain dari sistem lama Kino: kinerja tim
penjualan kurang fokus. Pasalnya, tim ini mesti mengurusi jenis pasar yang
berbeda, yaitu tradisional, modern dan institusi. Jelas ini merepotkan dan
tidak efektif lantaran karakter segmen di tiap pasar tersebut berlainan, namun
harus dikelola oleh satu tim.
Prinsipnya, bagian penjualan Kino hanya mengurusi
ketersediaan produk. Untuk itu, perannya mirip distribusi, sedangkan urusan
penjualan ditangani bagian pemasaran. Sebelum perombakan, penyebaran produk
berdasarkan cakupan area. Dulu terdapat dua area, yaitu wilayah Indonesia Timur
dan Indonesia Barat. Sementara itu, untuk channel distribusi ada seorang
general manager yang menampung semua produk yang dikelola manajer pemasaran.
Nah, dari sini dibagi lagi menjadi tiga jaringan distribusi: pasar tradisional,
modern dan institusi.
Berangkat dari latar belakang seperti itulah sejak
awal 2006 Kino membenahi sistemnya. Langkah pertama adalah mengubah bagian
penjualan dan pemasaran. Alasannya, penjualan dan pemasaran adalah ujung tombak
perusahaan agar memudahkan penjualan bila kelak ditelurkan produk-produk anyar.
Berikutnya, mengubah jalur distribusi. Jika
sebelumnya distribusi masih berdasarkan area, maka kini mengacu pada channel
yang digunakan. Alhasil, untuk mengecek penjualan bisa langsung melihat di
masing-masing channel di daerah. Berbeda dengan dulu, karena untuk mencocokkan
data saja repot.
Dengan pembagian distribusi seperti ini, performa
Kino terasa menjadi lebih baik. Sebab, tipikal penanganan gerai selalu
berbeda-beda. Misalnya, di channel tradisional, penampilan tim penjualan tidak
boleh terlalu perlente, sebab nanti penjual grogi. Sementara di pasar modern,
pendekatannya perlu komunikasi dengan baik dan tampil necis. Lain lagi dengan
pendekatan untuk pasar institusi, timnya wajib piawai melobi. Selain itu juga
harus sabar, karena buat memperoleh satu gerai di korporat perlu waktu hingga
dua bulan.
Kino menugaskan seorang salesman rata-rata
mendatangi 270 gerai atau toko. Kunjungan salesman per hari ditargetkan 15 toko.
Dari 15 toko itu ditargetkan sebanyak 30% harus terjadi transaksi. Katakanlah
jika Kino mempekerjakan 10 salesman, berarti harus ada 2.700 toko yang
dikunjungi. Dengan demikian, persentase terjadinya transaksi bakal lebih mudah
dihitung. Dari masing-masing transaksi akan terlihat berapa nilai nominalnya.
Pada gilirannya, kalkulasi dan penetapan target berikutnya dapat dihitung lebih
cepat. Kemudian, barulah ditemukan sebuah formulasi angka atau target yang
dianggap paling masuk akal untuk suatu produk.
Guna melakukan perombakan divisi, Kino tidak
merekrut tenaga luar. Bagi Harry Sanusi, kendati seseorang belum berpengalaman
membidani divisi tertentu, tidak masalah. Yang penting, yang bersangkutan
memiliki potensi. Meski menggunakan SDM internal, bukan berarti perombakan
bebas hambatan. Pada awal transisi, banyak karyawan yang kaget dengan penerapan
sistem baru hasil perombakan. Sebab, dari yang biasanya hanya memegang beberapa stock keeping unit (SKU), sekarang
harus mengelola ratusan SKU. Tetapi pada dasarnya juga terjadi pengurangan, bila
dulunya memegang tiga channel distribusi, maka sekarang hanya satu channel. Sekadar
contoh, dulu orang yang menangani pasar tradisional dan modern, sekarang cukup
satu: tradisional atau modern saja. Namun, apabila sebelumnya orang tadi
menangani divisi household, sekarang harus bertanggung jawab atas semua
kategori produk. Jadi, ada pengurangan tanggung jawab, sekaligus menambah beban
tanggung jawab.
Perlu diketahui, dari lima divisi baru Kino,
kosmetik & toiletris paling banyak produknya, yaitu 11 merek dan 300-an
SKU. Sementara divisi herbal medicine cuma ada 1 merek dan 1 SKU. Lantas,
divisi household memiliki 1 merek dan 25 SKU.
Selain itu, agar kesamaan visi manajemen dan
karyawan makin menyatu, manajemen Kino Group juga membuat slogan tematis.
Umpamanya tahun 2010 dikampanyekan tulisan Let's
Go Beyond yang menghiasi semua sudut ruang kantor Kino Group. Makna slogan
itu, dengan perekonomian makro yang membaik, Kino tidak hanya ingin sekadar
tumbuh, tapi berharap lompatan besar. Bila rata-rata pertumbuhan perusahaan
mencapai 20% per tahun, maka tahun itu ditargetkan naik 30%.
Apa hasil dari perombakan itu? Yang pasti perusahaan
lebih efisien dan efektif karena kerja tim menjadi fokus. Contoh: tim penjualan
hanya mengurusi penyebaran produk, seperti gerai. Jika sekarang Kino memiliki
100 ribu gerai dan target tahun berikutnya bertambah 30 ribu gerai, bagaimana
caranya agar tim ini mencapai target tersebut.
Perombakan juga merangsang lahirnya sejumlah produk
paling gres dari tiap divisi baru. Beberapa program mulai diluncurkan untuk
merangsang kreativitas, seperti Kino Star. Program ini semacam kuis untuk para
kepala divisi agar bisa menyumbangkan gagasan inovasi produk. Hadiahnya berupa
paket jalan-jalan ke luar negeri, uang tunai, promosi jabatan atau peningkatan
karier lainnya.
Tumbuh
Kembang Cepat
Perkembangan Kino Group terus membaik dan bertumbuh
dalam beberapa tahun terakhir. Kino mampu menjadi merek lokal sebagai tuan di
negeri sendiri. Bahkan, Kino sekarang telah berhasil mengepakkan sayapnya ke
kawasan Asia dan Afrika. Dengan memainkan semua peluru marketing mix yang dimiliki mulai dari product, price, place sampai promotion
dan perombakan sistem distribusi, produk-produk Kino kini sudah merambah 15
negara yakni negara-negara ASEAN, Afganistan, Pakistan, Korea, Rusia, Afrika
dan negara-negara Timur Tengah. Sejak 2003 Grup Kino melakukan ekspansi ke
Filipina dengan mendirikan perusahaan patungan Kino Consumer Philiphine Inc. Harry
Sanusi semakin mumpuni dengan portofolio produk yang dimilikinya.
Untuk meramaikan pasar seluas itu, saat ini Kino menghamparkan
tak kurang dari 500 item produk yang terdiri dari 16 merek. Produk itu tersebar
dari jenis makanan dan minuman (food and
beverages) hingga yang di luar itu, seperti produk toiletris, kosmetik, dan
mainan anak-anak.
Dengan pasar yang luas dan produk yang senantiasa
inovatif, Kino group kini menuai hasil penjualan yang cukup signifikan. Harry
Sanusi mengungkapkan bahwa tahun 2011 lalu penjualan Kino Corporation mencapai sekitar
Rp1,5 triliun sampai Rp2 triliun, atau naik 30% dibandingkan penjualan 2010. “Minuman
ringan seperti Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga, Liang Teh Panda dan Panther
mencapai 35% dari penjualan kami, tahun ini (2012) juga masih seperti itu,”
kata Harry Sanusi. Ia optimis penjualan perusahaannya mampu tumbuh sekitar 30%
sampai 35% per tahun. Apalagi produk feminine
hygiene Kino mampu menguasai sekitar 45% terhadap total produk feminine hygiene. ***
No comments:
Post a Comment