Abdullah bin Abi Wada'ah adalah seorang laki-laki miskin. Dia biasa menimba ilmu dari gurunya dan Syaikhnya: Imam Masjid Nabawi dan Syaikh Madinah di zamannya al-Imam Said bin Musayyab. Dia belajar ilmu-ilmu al-Quran dan as-Sunnah. Setiap kali dia belajar dari sumber yang jernih ini, dia semakin haus, lalu dia menambah waktu belajarnya. Meskipun demikian dia tidak kenyang juga dari ilmu dan hikmah yang keduanya terpancar dari lisan Said bin al-Musayyab. Keduanya menjadi madu dan air penawar yang memuaskan dahaga Ibnu Abi Wada'ah dan menumbuhkan benih cinta antara dia dan gurunya. Waktu berlalu dan Said bin al-Musayyab menambah frekwensi ilmu dan hikmah ke dalam hati muridnya, lalu cahaya al-Quran dan Hadits Nabi Saw memancar ke hati muridnya, sehingga Ibnu Abi Wada'ah bangun dari tidurnya mendapati dirinya telah tergiring untuk bertemu gurunya. Dia kembali dari pekerjaannnya yang sederhana ke majlis gurunya untuk mendengar mutiara-mutiara al-Quran dan Hadits dan hidupnya kembali tersenyum, bahagia dan bercahaya.
Al-Imam al-Jalil dianugerahi kekayaan yang berlimpah dan nasab yang tinggi
karena dia berasal dari Quraisy. Dia juga dihiasi dengan kewara'an, kezuhudan
dan ketakwaan yang tinggi sampai pada puncak kesalihan dan ketakwaan. Orang
tahu bahwa dia telah menunaikan ibadah haji sebanyak 30-an kali dan selama 40
tahun tidak pernah luput satu kalipun dari takbiratul ihram di masjid dan
selalu berada di barisan pertama dalam shalat selama waktu itu.
Perbedaan kondisi ekonomi tidak menghalangi hubungan antara guru dan
muridnya, bahkan perasaan cinta dan persaudaraan karena Allah SWT menyatukan
keduanya dalam pancaran cahaya, sehingga masing-masing menjadi saudara bagi
yang lain.
Said bin al-Musayyab memiliki seorang anak perempuan yang terkenal kuat
keimanannya dan keluasan ilmunya dalam al-Quran dan Hadits Nabi. Amirul
Mukminin, Abdul Malik bin Marwan – atau Hisyam bin Abdul Malik – mendengar
tentangnya dan khalifah ingin meminang anak perempuan Said bin al-Musayyab
untuk anaknya dan putra mahkotanya. Tidak diragukan lagi bahwa khalifah
berpikir panjang memilihkan istri untuk putra mahkotanya yang akan mengisi
istananya dan menjaga nama baiknya dan nama baik kakek moyangnya raja-raja dari
Bani Umayyah. Dia beruntung dianugerahi ilmu yang kuat untuk menjadi istri
putra mahkota, dan semua itu diliputi dengan nasab seperti dinding yang menjaga
kebun dengan ilmu dan adabnya. Khalifah menemukan mutiara yang hilang itu dalam diri anak
perempuan Said bin al-Musayyab.
Utusan
Amirul Mukminin tiba di Madinah untuk menyampaikan keinginan Amirul Mukminin
pada Said bin al-Musayyab. Tidak ada pilihan bagi Said bin al-Musayyab kecuali
menyampaikan kepada utusan itu bahwa dia menolak lamaran itu.
Utusan
khalifah bertanya, "Kenapa?" Said menjawab, "Karena putra
mahkota orang yang kelakuannya tidak terpuji.”
Awalnya utusan itu menggunakan pendekatan persuasif, dia berkata,
"Apakah kau akan menolak kerajaan, kemuliaan, pangkat, kekayaan dan harta?
Apakah kau menolak Amirul Mukminin?"
Said menjawab, "Jika seluruh dunia di sisi Allah hanya sebesar sayap
nyamuk, lalu berapa besar kekuasaan Amirul Mukminin di sayap nyamuk itu?"
Kemudian utusan Amirul Mukminin menggunakan ancaman, dia berkata, "Aku
takut kau akan terkena murka Amirul Mukminin dan siksaan serta adzab yang tidak
akan sanggup ditanggung oleh manusia." Lalu Said
berkata:
"Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman.” (QS
Al-Hajj [22]: 38).
Said
bergeming, dia tetap menolak lamaran itu.
Al-Imam
al-Jalil berpikir dengan kecerdasan seorang alim dan cahaya ahli ibadah bahwa
khalifah ingin melamar anaknya untuk memasukkannya ke dalam sangkar emas dalam
istana. Putrinya tidak akan bahagia tinggal di istana walaupun diberikan sutra,
emas dan pembantu. Bahkan dia akan berada di neraka Bani Marwan yang
menyala-nyala. Dan Allah pasti akan bertanya kepadanya tentang putrinya pada
hari Amirul Mukminin dan anaknya serta pada penasehatnya ditanya di hadapan Allah,
apa yang telah mereka lakukan bersama para perampok dan orang-orang dzalim dan
jahat. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk tidak menikahkan putrinya dengan
sultan.
Said
bin al-Musayyab duduk di Masjid Nabawi untuk memberikan pelajaran waktu ashar,
tetapi dia tidak melihat muridnya Ibnu Abi Wada'ah di antara hadirin. Sudah tiga hari berturut-turut dia tidak datang.
Kenapa? Said tidak tahu. Ketika Said kembali ke rumah, dia bertemu dengan putrinya
yang memiliki cahaya ilmu yang menambah kecantikannya. Lalu putrinya bertanya
tentang makna firman Allah:
"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan
di akhirat." (QS Al-Baqarah [2]: 201).
"Apakah kebaikan dunia, ayahku?"
Said menjawab, "Putriku, kebaikan dunia bagus disebutkan bersama kebaikan
akhirat. Aku tidak melihat kebaikan dunia bagi seorang laki-laki kecuali istri
yang salehah dan bagi perempuan kecuali….” Said tidak menyempurnakan kalimatnya. Lalu
dia mendengar ketukan pintu. Ternyata yang mengetuk adalah Abdullan bin Abi
Wada'ah, murid dan kekasihnya karena Allah SWT.
Syaikh segera bertanya kepada muridnya, "Ke mana saja kau, Ibnu Abi
Wada'ah?" Muridnya menjawab, "Istriku wafat dan aku disibukkan dengan
itu, maafkan aku." Syaikh berkata, "Kenapa kau tidak memberitahu kami
agar kami bisa datang dan mengucapkan bela sungkawa?" Kemudian dia memberinya
nasehat tentang surga, neraka dan hisab kubur, sampai-sampai kata-kata Syaikh
menggambarkan bentuk kubur yang jasad istri muridnya ada di sana, air matanya
pun bercucuran.
Di sini perbincangan terjadi lagi antara Syaikh dan putrinya yang tadi
sempat terputus oleh ketukan Ibnu Abi Wada'ah, saat Syaikh berkata, "Tidak
ada kebaikan dunia pada wanita kecuali… Abdullah bin Abi Wada'ah.” Lalu Syaikh
bertanya kepada muridnya, "Apakah kau mau menikah lagi?"
Ibnu Abi Wada'ah menjawab, "Tidak, Guru. Aku orang miskin, siapa yang
mau menikahkan aku sedangkan aku hanya memiliki 3 dirham?" Syaikhnya
menjawab, "Aku!" Ibnu Abi Wada'ah menggambarkan perasaannya saat itu,
"Aku tidak mendengar kata (Aku) dari Said sehingga aku berkata dalam hati,
‘Kau tahu apa yang dimaksud oleh Syaikh? Mungkin dia bermaksud ingin membantuku
dengan sebagian hartanya agar aku mendapatkan istri yang sesuai dengan hartaku
karena aku orang miskin yang tidak punya apa-apa. Atau barangkali dia ingin
mencarikan untukku dengan caranya, seorang wanita miskin yang rela menikah
denganku’."
Ibnu Abi Wada'ah berkisah, "Ketika aku berada dalam kata-kata (Aku),
seakan-akan segala sesuatu yang ada menyanyikan dan bersenandung (Aku), sampai
aku melihat Said meletakkan tangannya di tanganku yang dilihat dan didengar
oleh hadirin di Masjid Nabawi. Lalu dia mengucapkan bismillah, memuji Allah,
bershalawat kepada Nabi Saw. dan berkata, ‘Saksikanlah, jama'ah sekalian bahwa
Said bin al-Musayyab menikahkan anak perempuannya Fulanah dengan Abdullah bin
Abi Wada'ah berdasarkan Kitab Allah dan
Sunnah Rasul-Nya dengan mas kawin sejumlah 3 dirham’.” Kemudian Said menutup dengan shalawat Nabi dan berharap taufiq serta bimbingan-Nya. Setelah itu Said duduk menjelaskan makna hadits Nabi
Saw:
"Barangsiapa menikahi seorang wanita karena hartanya, Allah tidak
akan menambahkannya kecuali kefakiran. Barangsiapa menikahi seorang wanita
karena kecantikannya, Allah tidak akan menambahkannya kecuali kerendahan. Barangsiapa
menikahi seorang wanita karena nasabnya, Allah tidak akan menambahkannya kecuali kehinaan. Barangsiapa
menikahi seorang wanita karena agamanya, maka Allah akan memberkahinya dengan
wanita itu dan wanita itu akan diberkahi dengannya."[1]
Saat
maghrib, ketika Abdullah bin Abi Wada'ah berada di rumahnya yang sederhana,
dia menyiapkan makanan untuk berbuka puasa, tiba-tiba dia mendengar ketukan
pintu. Dia bertanya, "Siapa itu?" Lalu dijawab, "Said."
Abdullah berkata, "Aku mengira Said yang mana lagi yang mengetuk pintu
rumah di saat seperti ini kecuali Said bin al-Musayyab? Aku bangkit untuk
membukakan pintu. Aku merasa malu dan takut, mungkin Syaikh akan menarik diri
atau pengantin wanita menolak menikah denganku. Tetapi saat aku membuka pintu,
Said bersama putrinya yang bersinar dalam pakaian pengantinnya bersama beberapa
orang gadis yang membawa hadiah.”
Syaikh berkata kepada Abdullah, "Kau orang yang bujang lalu aku
menikahkanmu dan aku tidak suka kau tidur sendirian malam ini. Ini
istrimu." Kemudian dia meninggalkan tempat itu dan pulang. Tinggallah pengantin
wanita di rumah suaminya.
Ibnu Abi Wada'ah bertutur, "Aku telah menyiapkan makanan untuk aku
berbuka puasa, yaitu kacang polong, minyak dan kepingan tepung gandum, serta
segelas air putih. Aku menuju makananku dan aku menyembunyikannya jauh dari
pandangan pengantin perempuan.”
Lalu Abi Wada’ah naik ke atap rumahnya dan berseru, "Wahai fulan,
wahai fulan."
Lantas beberapa orang tetangga melihatnya dan bertanya, "Apa yang kau
inginkan?"
Abi Wada’ah berujar, "Aku bersaksi pada kalian bahwa Said bin
al-Musayyab telah menikahkanku dengan putrinya dan sejak malam ini dia ada di
rumahku.” Hal itu dia lakukan agar tidak ada yang berburuk sangka ketika dia
mendengar suara wanita bersamanya di dalam rumah.
Beberapa orang berkata, "Kau mengolok-olok kami, Ibnu Abi
Wada'ah." Yang lain berkata, "Dia sudah gila. Bagaimana mungkin Said
bin al-Musayyab menikahkanmu dengan putrinya sedangkan dia menolak lamaran
putra mahkota?"
Abi Wada’ah mengucap, "Demi Allah, Syaikh telah menepati janjinya dan
putrinya sekarang ada di rumahku." Lalu tetangganya mengutus istri-istri
mereka untuk meneliti hal itu. Mereka mendapati pengantin wanita benar-benar
ada di rumah Abi Wada’ah. Kemudian mereka kembali ke suaminya dan bersumpah
pada mereka bahwa putri Said menjadi pengantin untuk Ibnu Abi Wada'ah. Semua
tetangganya datang. Para wanita membuat pesta untuk pengantin wanita dan para
pria membuat pesta untuk Abi Wada’ah. Secepat kilat pesta itu, meskipun
sederhana tetapi memancarkan kegembiraan hati yang menyelimuti langit dan bumi.
Dan kegembiraan ini hanya dilahirkan oleh cinta kepada Allah SWT.
Ketika
Said bin al-Musayyab ditanya tentang alasan dia menikahkan putrinya dengan
Abdullah, dia berkata, "Aku tidak menikahkan putriku dengan seorang yang
aku tahu dia itu kaya atau miskin, tetapi dengan seorang pahlawan kehidupan
yang memiliki senjata agama dan kemuliaan. Ketika aku menikahkannya dengan
Abdullah, aku yakin bahwa keutamaan Abdullah akan mengenal keutamaan dirinya,
dan sifat ini sesuai dan tidak ada yang menyenangkan untuk laki-laki dan wanita
kecuali sifatnya sesuai dengan sifat pasangannya. Aku dan orang tahu bahwa
tidak ada harta dunia yang bisa membeli kesesuaian ini, karena itu adalah
hadiah buat hati yang saling mengenal dan saling mencintai."
Ibnu
Abi Wada'ah berkata, "Aku dan istriku menghabiskan satu minggu penuh seakan-akan
kami berada di surga. Setelah selesai satu minggu, aku pamit kepadanya untuk
keluar.” Lalu dia bertanya, "Mau ke mana?" Abi Wada’ah menjawab,
"Untuk menghadiri pengajian Said." Istrinya berkata, "Duduklah di sini, aku akan mengajarkanmu ilmunya
Said."
Memprioritaskan Orang Lain
Dari
Abdullah, anak saudara perempuan Muslim bin Sa'ad, dia berkata, "Aku ingin
berangkat haji, lalu pamanku, Muslim, memberiku 10.000 dirham.” Muslim berpesan padanya, "Jika kau datang ke Madinah, carilah
keluarga di Madinah yang paling miskin, lalu berikan uang ini kepada
mereka."
Ketika Abdullah tiba di Madinah, dia langsung mencari tahu tentang keluarga
yang paling miskin di sana. Lalu dia ditunjukkan pada sebuah keluarga. Abdullah
mengetuk pintunya lalu seorang wanita bertanya, "Siapa kau?"
Abdullah menjawab, "Aku seorang dari keluarga di Baghdad. Aku
dititipkan 10.000 dirham dan aku disuruh untuk menyerahkannya pada keluarga
yang paling miskin di Madinah. Keadaan kalian telah diceritakan kepadaku, maka
ambillah uang ini."
Wanita itu berkata, "Abdullah, temanmu memberi syarat keluarga yang
paling miskin. Mereka yang tinggal di sebelah kami lebih miskin dari
kami."
Lalu Abdullah meninggalkan mereka
dan mendatangi mereka. Abdullah mengetuk pintu lalu
seorang wanita menjawab kemudian dia katakan apa maksud kedatangannya. Wanita itu berkata,
"Abdullah, kami dan tetangga kami sama dalam hal kemiskinan maka bagikan
uang itu untuk kami dan mereka."
[1]Hadits dzaif, HR Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (5/245), Al-Thabrani
dalam al-Awsath (2527), Ibnu Hibban dalam al-Majrûhiin (2/151).
Lihat: Ibnu al-Jauzi, Al-Maudhû'ât,
(2/258, 259), Majma' al-Zawaaid (4/254), Al-Silsilah
al-Dha'ifah (1055).
No comments:
Post a Comment