Pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) yang digelar BPJS Kesehatan diyakini akan membawa perubahan besar
dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Salah satu perubahan yang
paling disorot adalah mekanisme pembayaran klaim dari BPJS Kesehatan
kepada penyedia pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, Klinik dan Rumah
Sakit (RS).
Untuk pembayaran klaim dari BPJS Kesehatan kepada penyedia pelayanan kesehatan tingkat lanjut yaitu RS, akan digunakan mekanisme INA-CBGs. Sejak tiga bulan beroperasinya program JKN, paket biaya yang terdapat dalam INA-CBGs sering dianggap kecil sehingga tidak menguntungkan bagi RS, terutama yang dikelola swasta. Namun, ada sebagian RS swasta yang melihat peluang program JKN sehingga mereka mampu memperoleh profit. Beberapa RS swasta itu seperti RS Al Islam Bandung dan An Nisa Tangerang.
Sebelum menghadapi penyelenggaraan program JKN pada 1 Januari 2014, RS Al Islam Bandung melakukan persiapan selama enam bulan. Direktur RS Al Islam Bandung, Sigit Gunarto, mengaku pada awalnya khawatir terhadap pelaksanaan program JKN. Setelah dikaji lebih lanjut, ia melihat ada peluang jika RS ikut serta dan mampu melaksanakan program tersebut. Untuk menghadapi JKN, langkah awal yang dilakukan adalah menginformasikan kepada seluruh pekerja termasuk tenaga medis di RS Al Islam Bandung bahwa ada peluang dalam program JKN.
Sigit menjelaskan yang paling penting bagi RS adalah bagaimana caranya untuk mengendalikan biaya dan menjaga mutu pelayanan agar sesuai dengan tarif yang dipaketkan dalam INA-CBGs. Sehingga tarif itu memberikan keuntungan bagi RS, dokter dan pasien. Untuk itu RS membentuk tim internal yang bertugas mempersiapkan pelaksanaan program JKN. Selama enam bulan sebelum program JKN digelar RS melakukan simulasi pelayanan kesehatan menggunakan tarif INA-CBGs. Kemudian, tim melakukan pengendalian mutu dan biaya serta evaluasi terhadap kegiatan simulasi yang dilakukan dalam enam bulan itu secara berkala.
Ketika JKN beroperasi, tim masih bekerja dan melakukan evaluasi rutin setiap hari selama dua pekan. Dari temuan tim, semua kelemahan yang ada dibahas bersama kemudian manajemen menindaklanjutinya dengan menerbitkan kebijakan agar pelaksanaan program JKN di RS Al Islam Bandung sesuai harapan. “Kami tidak mau menurunkan kualitas pelayanan,” kata Sigit dalam jumpa pers di kantor BPJS Kesehatan Jakarta, Kamis (19/3).
Selaras hal tersebut pimpinan RS yang bertipe B itu membentuk tim verifikator internal yang bertugas mengawasi diagnosis penyakit yang diberikan dokter kepada pasien. Lewat peran verifikator internal diharapkan diagnosis yang diberikan dokter efektif sesuai dengan tarif yang tertera dalam paket INA-CBGs. Tapi, tidak semuanya berjalan sempurna karena ada diagnosis penyakit tertentu yang tarifnya sangat kecil dan kurang menguntungkan bagi RS. Untungnya kerugian itu tergolong kecil karena keuntungan yang diperoleh RS dari tarif INA-CBGS lebih besar. “Jadi intinya adalah manajerial RS, semakin efisien semakin besar keuntungannya,” urainya.
Selain itu untuk menghadapi JKN, Sigit mengatakan RS perlu memperkuat sistem IT. Sebab mempermudah RS untuk memantau ketersediaan obat dan alat medis habis pakai. Menurutnya pemantauan yang mudah membuat pengendalian dilakukan efektif. Dengan berbagai langkah yang telah ditempuh, RS Al Islam Bandung menjadi RS swasta yang digandrungi peserta JKN. Sehingga setiap hari peserta JKN yang membutuhkan pelayanan ke RS Al Islam Bandung jumlahnya bertambah.
Menurut Sigit hal itu membuat RS kerepotan untuk melayani peserta JKN. Dalam sehari jumlah peserta JKN yang berkunjung ke RS Al Islam rata-rata 340 orang untuk pasien rawat jalan. Peserta JKN yang mendapat pelayanan rawat inap dalam sebulan mencapai 575 orang. Sedangkan yang memperoleh pelayanan hemodialisa 106 pasien dengan 1016 tindakan. Oleh karenanya ia mengimbau agar RS swasta lainnya bermitra dengan BPJS Kesehatan sehingga dapat memberikan pelayanan kepada peserta JKN.
Sigit berharap ke depan tarif paket INA-CBGs segera direvisi. Sehingga tarif paket untuk diagnosis penyakit tertentu yang saat ini besarannya masih kecil dapat ditingkatkan. Seperti paket tarif untuk kebidanan dan kandungan, gigi dan mulut, urologi, ortopedi, bedah syaraf dan digestif.
Menambahkan Sigit, Wakil Direktur Umum dan Keuangan RS Al Islam Bandung, Muhammad Iqbal, mengatakan untuk tindakan medis yang paket tarifnya dalam INA-CBGs tergolong minim maka disiasati dengan cara membuat clinical pathway dan rujukan berjenjang. Kemudian menghemat penggunaan obat dan alat medis habis pakai seperti benang. Yang paling penting, pengendalian itu tidak menurunkan kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien.
Mengingat jumlah pasien JKN semakin banyak bertandang ke RS Al Islam Bandung untuk mendapat pelayanan, Iqbal menjelaskan pihaknya berupaya agar kualitas pelayanan tetap terjaga. Caranya, seorang dokter dibatasi hanya melayani paling banyak 40 pasien dalam sehari. Dengan begitu diharapkan pelayanan yang diberikan bisa lebih baik. “Saat ramai, seorang dokter kami pernah melayani sampai ratusan pasien BPJS (peserta JKN,-red),” ungkapnya.
Sebagaimana Sigit, Iqbal berharap ke depan lebih banyak lagi RS swasta yang bisa melayani peserta JKN. Jika hal itu tidak dilakukan maka peserta JKN menumpuk di RS tertentu yang mau memberikan pelayanan. Ia memperkirakan banyak RS swasta masih menunggu dan melihat implementasi program JKN sebelum memutuskan untuk memberikan pelayanan atau tidak kepada peserta JKN. Salah satu hal yang paling dikhawatirkan adalah tarif paket dalam INA-CBGs. “Sebenarnya tarif INA-CBGs itu cukup, tergantung manajerial RS nya,” tegasnya.
Tak ketinggalan Iqbal menjelaskan jumlah klaim yang diajukan RS Al Islam Bandung ke BPJS Kesehatan untuk bulan Januari mendekati Rp7 milyar dan Februari Rp8,5 milyar.
Persiapan menghadapi program JKN yang digelar BPJS Kesehatan juga dilakukan RS An Nisa Tangerang. Menurut Direktur RS bertipe C itu, Ediansyah, persiapan digelar sejak Maret 2013 dan diawali dengan mengirim tim untuk ikut pelatihan casemix (INA-CBGs). Materi yang diberikan dalam pelatihan itu meliputi konsep casemix, coding, clinical pathway dan pembiayaan. “Dari pelatihan itu kami mengerti perbedaan Fee For Service (FFS) dan INA-CBGs,” tandasnya.
Setelah mengikuti pelatihan, Ediansyah membentuk dua tim internal. Tim pertama membuat kebijakan dan konsep, tim kedua bertugas menjalankan coding, clinical pathway, pembiayaan dan sistem IT. Kemudian, melakukan simulasi pelayanan JKN. Ketika menghitung dan membandingkan perkiraan total klaim RS An-Nisa dengan menggunakan tarif INA-CBGs dan PT Jamsostek untuk program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) terjadi selisih. Jika menggunakan tarif yang digunakan PT Jamsostel untuk program JPK, jumlah klaim Rp2,6 milyar tapi INA-CBGs Rp2,9 milyar.
Melihat selisih itu, Ediansyah yakin tarif paket INA-CBGs memberi profit yang cukup baik bagi RS. Walau begitu, seperti yang dialami RS Al Islam Bandung, Ediansyah menemukan ada tarif paket INA-CBGs untuk diagnosis penyakit tertentu yang besarannya sangat rendah. Sehingga lebih kecil ketimbang tarif yang selama ini dibayar PT Jamsostek untuk peserta JPK.
Untuk mengatasi masalah tersebut Ediansyah mengatakan pihaknya membuat clinical pathway teradap berbagai macam diagnosis penyakit yang tarifnya rendah dalam INA-CBGs. Dengan tujuan pelayanan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Selain itu ia berharap ke depan pemerintah meningkatkan besaran tarif INA-CBGs. Kemudian, pemeintah dituntut segera menerbitkan e-katalog yang berisi berbagai macam obat dengan harga tergolong murah ketimbang yang ada di pasaran, tapi mutunya terjaga.
Dengan persiapan yang telah dilakukan itu, selama dua bulan melayani peserta JKN, Ediansyah menjelaskan RS yang dipimpinnya mendapat margin positif. Misalnya periode Januari-Februari 2014, tambahan keuntungan yang diperoleh RS mencapai Rp95 juta dan rawat inap Rp670 juta.”Kami percaya diri sejak 1 januari 2014, kami pasang 20 spanduk di Tangerang yang menjelaskan RS An Nisa menerima pasien BPJS,” pungkasnya.
Untuk pembayaran klaim dari BPJS Kesehatan kepada penyedia pelayanan kesehatan tingkat lanjut yaitu RS, akan digunakan mekanisme INA-CBGs. Sejak tiga bulan beroperasinya program JKN, paket biaya yang terdapat dalam INA-CBGs sering dianggap kecil sehingga tidak menguntungkan bagi RS, terutama yang dikelola swasta. Namun, ada sebagian RS swasta yang melihat peluang program JKN sehingga mereka mampu memperoleh profit. Beberapa RS swasta itu seperti RS Al Islam Bandung dan An Nisa Tangerang.
Sebelum menghadapi penyelenggaraan program JKN pada 1 Januari 2014, RS Al Islam Bandung melakukan persiapan selama enam bulan. Direktur RS Al Islam Bandung, Sigit Gunarto, mengaku pada awalnya khawatir terhadap pelaksanaan program JKN. Setelah dikaji lebih lanjut, ia melihat ada peluang jika RS ikut serta dan mampu melaksanakan program tersebut. Untuk menghadapi JKN, langkah awal yang dilakukan adalah menginformasikan kepada seluruh pekerja termasuk tenaga medis di RS Al Islam Bandung bahwa ada peluang dalam program JKN.
Sigit menjelaskan yang paling penting bagi RS adalah bagaimana caranya untuk mengendalikan biaya dan menjaga mutu pelayanan agar sesuai dengan tarif yang dipaketkan dalam INA-CBGs. Sehingga tarif itu memberikan keuntungan bagi RS, dokter dan pasien. Untuk itu RS membentuk tim internal yang bertugas mempersiapkan pelaksanaan program JKN. Selama enam bulan sebelum program JKN digelar RS melakukan simulasi pelayanan kesehatan menggunakan tarif INA-CBGs. Kemudian, tim melakukan pengendalian mutu dan biaya serta evaluasi terhadap kegiatan simulasi yang dilakukan dalam enam bulan itu secara berkala.
Ketika JKN beroperasi, tim masih bekerja dan melakukan evaluasi rutin setiap hari selama dua pekan. Dari temuan tim, semua kelemahan yang ada dibahas bersama kemudian manajemen menindaklanjutinya dengan menerbitkan kebijakan agar pelaksanaan program JKN di RS Al Islam Bandung sesuai harapan. “Kami tidak mau menurunkan kualitas pelayanan,” kata Sigit dalam jumpa pers di kantor BPJS Kesehatan Jakarta, Kamis (19/3).
Selaras hal tersebut pimpinan RS yang bertipe B itu membentuk tim verifikator internal yang bertugas mengawasi diagnosis penyakit yang diberikan dokter kepada pasien. Lewat peran verifikator internal diharapkan diagnosis yang diberikan dokter efektif sesuai dengan tarif yang tertera dalam paket INA-CBGs. Tapi, tidak semuanya berjalan sempurna karena ada diagnosis penyakit tertentu yang tarifnya sangat kecil dan kurang menguntungkan bagi RS. Untungnya kerugian itu tergolong kecil karena keuntungan yang diperoleh RS dari tarif INA-CBGS lebih besar. “Jadi intinya adalah manajerial RS, semakin efisien semakin besar keuntungannya,” urainya.
Selain itu untuk menghadapi JKN, Sigit mengatakan RS perlu memperkuat sistem IT. Sebab mempermudah RS untuk memantau ketersediaan obat dan alat medis habis pakai. Menurutnya pemantauan yang mudah membuat pengendalian dilakukan efektif. Dengan berbagai langkah yang telah ditempuh, RS Al Islam Bandung menjadi RS swasta yang digandrungi peserta JKN. Sehingga setiap hari peserta JKN yang membutuhkan pelayanan ke RS Al Islam Bandung jumlahnya bertambah.
Menurut Sigit hal itu membuat RS kerepotan untuk melayani peserta JKN. Dalam sehari jumlah peserta JKN yang berkunjung ke RS Al Islam rata-rata 340 orang untuk pasien rawat jalan. Peserta JKN yang mendapat pelayanan rawat inap dalam sebulan mencapai 575 orang. Sedangkan yang memperoleh pelayanan hemodialisa 106 pasien dengan 1016 tindakan. Oleh karenanya ia mengimbau agar RS swasta lainnya bermitra dengan BPJS Kesehatan sehingga dapat memberikan pelayanan kepada peserta JKN.
Sigit berharap ke depan tarif paket INA-CBGs segera direvisi. Sehingga tarif paket untuk diagnosis penyakit tertentu yang saat ini besarannya masih kecil dapat ditingkatkan. Seperti paket tarif untuk kebidanan dan kandungan, gigi dan mulut, urologi, ortopedi, bedah syaraf dan digestif.
Menambahkan Sigit, Wakil Direktur Umum dan Keuangan RS Al Islam Bandung, Muhammad Iqbal, mengatakan untuk tindakan medis yang paket tarifnya dalam INA-CBGs tergolong minim maka disiasati dengan cara membuat clinical pathway dan rujukan berjenjang. Kemudian menghemat penggunaan obat dan alat medis habis pakai seperti benang. Yang paling penting, pengendalian itu tidak menurunkan kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien.
Mengingat jumlah pasien JKN semakin banyak bertandang ke RS Al Islam Bandung untuk mendapat pelayanan, Iqbal menjelaskan pihaknya berupaya agar kualitas pelayanan tetap terjaga. Caranya, seorang dokter dibatasi hanya melayani paling banyak 40 pasien dalam sehari. Dengan begitu diharapkan pelayanan yang diberikan bisa lebih baik. “Saat ramai, seorang dokter kami pernah melayani sampai ratusan pasien BPJS (peserta JKN,-red),” ungkapnya.
Sebagaimana Sigit, Iqbal berharap ke depan lebih banyak lagi RS swasta yang bisa melayani peserta JKN. Jika hal itu tidak dilakukan maka peserta JKN menumpuk di RS tertentu yang mau memberikan pelayanan. Ia memperkirakan banyak RS swasta masih menunggu dan melihat implementasi program JKN sebelum memutuskan untuk memberikan pelayanan atau tidak kepada peserta JKN. Salah satu hal yang paling dikhawatirkan adalah tarif paket dalam INA-CBGs. “Sebenarnya tarif INA-CBGs itu cukup, tergantung manajerial RS nya,” tegasnya.
Tak ketinggalan Iqbal menjelaskan jumlah klaim yang diajukan RS Al Islam Bandung ke BPJS Kesehatan untuk bulan Januari mendekati Rp7 milyar dan Februari Rp8,5 milyar.
Persiapan menghadapi program JKN yang digelar BPJS Kesehatan juga dilakukan RS An Nisa Tangerang. Menurut Direktur RS bertipe C itu, Ediansyah, persiapan digelar sejak Maret 2013 dan diawali dengan mengirim tim untuk ikut pelatihan casemix (INA-CBGs). Materi yang diberikan dalam pelatihan itu meliputi konsep casemix, coding, clinical pathway dan pembiayaan. “Dari pelatihan itu kami mengerti perbedaan Fee For Service (FFS) dan INA-CBGs,” tandasnya.
Setelah mengikuti pelatihan, Ediansyah membentuk dua tim internal. Tim pertama membuat kebijakan dan konsep, tim kedua bertugas menjalankan coding, clinical pathway, pembiayaan dan sistem IT. Kemudian, melakukan simulasi pelayanan JKN. Ketika menghitung dan membandingkan perkiraan total klaim RS An-Nisa dengan menggunakan tarif INA-CBGs dan PT Jamsostek untuk program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) terjadi selisih. Jika menggunakan tarif yang digunakan PT Jamsostel untuk program JPK, jumlah klaim Rp2,6 milyar tapi INA-CBGs Rp2,9 milyar.
Melihat selisih itu, Ediansyah yakin tarif paket INA-CBGs memberi profit yang cukup baik bagi RS. Walau begitu, seperti yang dialami RS Al Islam Bandung, Ediansyah menemukan ada tarif paket INA-CBGs untuk diagnosis penyakit tertentu yang besarannya sangat rendah. Sehingga lebih kecil ketimbang tarif yang selama ini dibayar PT Jamsostek untuk peserta JPK.
Untuk mengatasi masalah tersebut Ediansyah mengatakan pihaknya membuat clinical pathway teradap berbagai macam diagnosis penyakit yang tarifnya rendah dalam INA-CBGs. Dengan tujuan pelayanan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Selain itu ia berharap ke depan pemerintah meningkatkan besaran tarif INA-CBGs. Kemudian, pemeintah dituntut segera menerbitkan e-katalog yang berisi berbagai macam obat dengan harga tergolong murah ketimbang yang ada di pasaran, tapi mutunya terjaga.
Dengan persiapan yang telah dilakukan itu, selama dua bulan melayani peserta JKN, Ediansyah menjelaskan RS yang dipimpinnya mendapat margin positif. Misalnya periode Januari-Februari 2014, tambahan keuntungan yang diperoleh RS mencapai Rp95 juta dan rawat inap Rp670 juta.”Kami percaya diri sejak 1 januari 2014, kami pasang 20 spanduk di Tangerang yang menjelaskan RS An Nisa menerima pasien BPJS,” pungkasnya.
No comments:
Post a Comment