Dewi keberuntungan senantiasa mengetuk pintu
seseorang pada suatu kesempatan, namun dalam banyak kejadian seringkali orang
tersebut tidak berada di tempat sehingga gagal mendengarnya.
Mark Twain,
Penulis Terkenal
Karir
pengabdian Achmad Yuliansyah di ranah birokrasi dapat dikatakan telah memasuki
zona mapan dan nyaman (comfort zone) ketika
usianya menginjak 43-45 tahun. Terlebih lagi, titik nyaman itu relatif klop
dengan bidang keilmuan yang ditekuninya pada masa kuliah di Fakultas Kehutanan
Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Memasuki tahun
2001-2003 itu, Achmad Yuliansyah sudah menapak di kursi Kepala Dinas Kehutanan
Kabupaten Barito Selatan.
Mengaca
pada karir pengabdian Achmad Yuliansyah di ranah birokrasi yang berjalan nyaris
linear, dia masih sangat mungkin mendaki ke tapak yang lebih tinggi lagi di
tingkat pemerintah provinsi dan, boleh jadi, pemerintah pusat (nasional). Jalur
pendakian itu terbentang luas di depan mata. Namun, banyak orang, ketika
memasuki zona nyaman di usia 40-an merasa gamang apakah dirinya bakal mampu
menapak sampai tiba di puncak pendakian. Pada fase semacam ini banyak orang
yang berusaha menggapai ketinggian yang sedikit-banyak membawa prestasi dan prestise.
Banyak orang berupaya memburu puncak karir yang telah dicita-citakannya sedari
mula memasuki tapak karir birokrasi. Entah karir itu berpuncak pada jabatan kepala
dinas atau kepala biro tingkat provinsi, atau bahkan sampai direktur dan
direktur jenderal di tingkat kementerian.
Achmad
Yuliansyah merasa seperti berada di simpang jalan: berjalan terus ke puncak
pendakian karir di ranah birokrasi yang semakin memberi rasa nyaman ataukah
mencari jalan pendakian baru yang lebih menantang. Benaknya terus bergolak
mencari kepastian langkah untuk menerobos masa depan yang lebih memberi asa. Di
sini lah kematangan psiko-sosial seorang Achmad Yuliansyah diuji. Ke mana arah
perjalanan hidup si anak manusia bernama Achmad Yuliansyah? Hanya dia yang tahu
persis ke arah mana kompas kehidupan selanjutnya. Cuma dia pula yang tahu
persis titik pijak awal setelah lepas dari dunia kampus sampai tapal batas
kehidupan. Dan, sekali lagi, hanya dia seorang yang tahu persis ke mana kakinya
hendak mengayun langkah.
A. Ingin Menjadi Orang Biasa
Sebagaimana
wajarnya orang yang memiliki ketertautan hati pada tanah kelahiran atau kampung
halaman, kendati telah melang-lang buana ke banyak daerah, seorang Achmad
Yuliansyah senantiasa mengikuti perkembangan kampung halamannya Muarateweh, ibukota
Kabupaten Barito Utara. Tentu terlampau sempit rasanya kalau cuma berpikir
sebatas kabar dari Muarateweh, terlebih lagi kawasan Jalan Simpang Perwira
(tempat kelahirannya). Dalam rajutan nostalgianya, dia selalu mencoba mencari
tahu perkembangan skala wilayah yang lebih luas, setingkat kabupaten dan bahkan
provinsi.
Yuliansyah
berusaha berpikir lebih luas daripada sekadar lingkup Muarateweh. Wajar saja
bila dia menaruh perhatian yang cukup intens pada perkembangan Muarateweh
khususnya dan Barito Utara umumnya. Sebab, sosok yang sedikit bicara namun
banyak berbuat ini adalah keturunan Suku Bakumpai di Desa Inu, sebuah desa
terpencil di dalam Sungai Lahei, Kecamatan Lahei.
Ya, hanya
sedikit orang yang mengetahui, bahwa Achmad Yuliansyah memiliki garis keturunan
pada Suku Bakumpai yang dikenal memiliki sejumlah nilai-nilai luhur dan etos
kejuangan yang kuat. Secara etimologis, Bakumpai adalah julukan bagi Suku Dayak
yang mendiami daerah aliran Sungai Barito. Bakumpai berasal dari kata ba (dalam bahasa Banjar artinya
memiliki) dan kumpai yang mengandung arti
rumput.
Dari arti
etimologis tersebut dapat dipahami bahwa Suku Bakumpai mendiami wilayah yang
memiliki banyak rumput. Menurut legenda, asal-muasal Suku Bakumpai adalah dari Suku
Dayak Ngaju yang kemudian berhijrah ke negeri yang sekarang disebut Negeri Marabahan.
Mulanya
mereka menganut agama nenek moyang, yaitu Kaharingan. Hal ini dapat dilihat
dari peninggalan budaya yang sama seperti Suku Dayak lainnya. Kemudian, di
Negeri Marabahan, mereka menjumpai seorang yang memiliki kharisma, seorang yang
apabila dia berdiri di suatu tanah, maka tanah itu akan ditumbuhi rumput. Orang
tersebut tidak lain adalah Nabiyullah Khidir as. Dalam cerita itu, mereka lantas
masuk agama Islam dan berkembang beranak-pinak menjadi suatu suku. Suku Bakumpai
merupakan julukan bagi mereka, karena apabila mereka belajar agama di suatu
daerah dengan gurunya Khidir, maka tumbuhlah rumput dari daratan tersebut,
sehingga mereka dikenal dengan suku bangsa Bakumpai.
Dulu
sekali, Suku Bakumpai memiliki suatu kerajaan yang lebih tua dibandingkan
dengan kerajaan daerah Banjar. Karena daya magis yang luar biasa akhirnya
kerajaan ini berpindah ke Sungai Barito dan rajanya dikenal dengan nama Datuk Barito.
Dari Negeri
Marabahan, mereka menyebar ke aliran Sungai Barito. Cerita versi lainnya menyebutkan bahwa ada
suatu daerah bernama Muara Untu di wilayah Kabupaten Murung Raya yang pada
mulanya hanyalah suatu hutan belantara yang dikuasai oleh bangsa jin bernama Untu.
Kemudian ada sejumlah orang Suku Bakumpai yang berhijrah ke sana dan mendiami
daerah yang disebut Raguy. Sampai sekarang jika ditinjau dari silsilah orang
yang mendiami Muara Untu, mereka menamakan moyang mereka Raguy.
Dalam
perkembangannya, setelah masa kemerdekaan, Suku Bakumpai membentuk komunitas
yang dinamakan Kerukunan Keluarga Bakumpai (KKB). KKB merupakan organisasi
primordialisme Suku Bakumpai di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Di
luar wilayah kedua provinsi tersebut biasanya orang Bakumpai bergabung ke dalam
organisasi Suku Banjar. Keturunan orang Bakumpai beserta orang Kutai dan Berau
di Malaysia termasuk ke dalam kategori Suku Banjar. Pada tahun 1955, KKB
menjadi salah satu peserta pemilu di wilayah Kalimantan. Kantor pusat KKB
terletak di Banjarmasin, dengan cabang-cabang terdapat di Kabupaten Murung
Raya, Barito Kuala, Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, Kapuas,
Katingan, Kotawaringin Timur dan Kota Palangkaraya.
Nilai-nilai
kejuangan dapat dikatakan cukup melekat pada diri tokoh-tokoh dari Suku
Bakumpai. Sebut saja antara lain pada diri Panglima Wangkang, panglima Dayak di
Barito Kuala dalam Perang Banjar; Pambakal Kendet (Damang Kendet), ayah dari
Panglima Wangkang, pejuang melawan kaum penjajah kolonial Belanda di daerah
Bakumpai, Barito Kuala; Tumenggung Surapati, Panglima Dayak dari garis
keturunan Dayak Siang yang berjuang menumpas Belanda dan menenggelamkan kapal
Perang Onrust di Desa Lalutong Tuwur, Barito Utara; dan K.H. Hasan Basri, mantan
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang lahir dari orang tua yang berasal dari
Muarateweh (Kalimantan Tengah) dan Marabahan (Kalimantan Selatan); dan Z.A.
Maulani, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Gambaran populasi
Suku Bakumpai diperkirakan (data Sensus BPS tahun 2000) kurang lebih 20.609 jiwa
di Provinsi Kalimantan Selatan, 20.000 jiwa di Provinsi Kalimantan Tengah, dan 1.000
jiwa di Provinsi Kalimantan Timur (Long Iram, Kabupaten Kutai Barat).
Kedekatan
hati Yuliansyah dengan Barito Utara jelas demikian rekat. Selalu ada sesuatu
yang ingin diketahui, dipikirkan dan diabdikan kepada Barito Utara. Keinginannya
pulang kampung ke Barito Utara demikian kuat. Tapi, rasanya sayang kalau harus
meninggalkan kursi nyaman Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Barito Selatan. Sementara
untuk pulang dengan menempati kursi yang sama tentu bukanlah tindakan yang
arif. Sebab itu, dia hanya ingin menjadi rakyat biasa manakala pulang kampung ke
Muarateweh. “Saya ingin jadi orang biasa saja, bisa mengabdi penuh buat Barito
Utara,” ujar Achmad Yuliansyah menjawab pertanyaan soal cita-citanya pulang kampung
ke Muarateweh.
Ya, jadi
orang biasa, orang kebanyakan. Bahasa populernya rakyat kebanyakan, bukan
bangsawan, bukan pula hartawan. Dalam sejarah, justru kebanyakan orang biasa
yang banyak memberi warna kepahlawanan dan kesetiaan pada bangsa dan negara. Sebagaimana
pernah dituturkan oleh Romo YB Mangunwijaya bahwa, “Telah tumbuhlah benih-benih
pengakuan, yang benar-benar penting dalam sejarah justru adalah hidup
sehari-hari, yang normal yang biasa, dan bukan pertama-tama kehidupan serba
luar biasa dari kaum ekstravagan serba mewah tapi kosong konsumtif. Dengan kata
lain, kita harus mulai belajar, bahwa tokoh sejarah dan pahlawan sejati kita
temukan di antara kaum rakyat biasa yang sehari-hari, yang barangkali kecil
dalam harta dan kuasa, namun besar dalam kesetiaannya demi kehidupan.”
Wajar saja
kalau seorang Achmad Yuliansyah yang di tahun 2003 telah mencapai tampuk
jabatan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Barito Selatan ingin menjadi rakyat
biasa yang kecil dalam harta dan kuasa tapi besar dalam kesetiaannya demi
kehidupan. Banyak rakyat biasa menjadi teladan dalam banyak hal, misalkan dalam
pelestarian lingkungan hidup, dalam perjuangan mempertahankan hidup dan dalam menata
kota menjadi lebih ramah. Yuliansyah ingin pulang kampung dan memberi warna
Barito Utara seperti amsal-amsal tadi.
B. Menerima Amanah dari Wakil Rakyat
Rupanya,
kepulangan Achmad Yuliansyah ke kampung halaman tidak bisa serta merta dirinya
secara otomatis menjadi rakyat biasa atau warga kebanyakan. Pengalamannya
meniti karir pada jalur birokrasi di berbagai daerah di wilayah Provinsi
Kalimantan Tengah membuatnya sedikit berbeda dibandingkan dengan rakyat biasa. Apalagi,
di awal tahun 2003 itu dia masih menyandang jabatan Kepala Dinas Kehutanan
Kabupaten Barito Selatan.
Tak pelak,
kepulangan Achmad Yuliansyah ke Barito Utara mendorong beberapa wakil rakyat di
DPRD Kabupaten Barito Utara mencalonkannya menjadi pemimpin daerah yang
diharapkan mampu membawa kabupaten di pedalaman Kalimantan Tengah ini lebih
prospektif dan berpengharapan.
Kira-kira
enam bulan sebelum pemilihan kepala daerah Kabupaten Barito Utara yang jatuh
pada pertengahan tahun 2003, Achmad Yuliansyah menerima telepon dari beberapa
orang anggota DPRD Kabupaten Barito Utara. Mereka meminta agar Yuliansyah
bersedia dicalonkan dalam pemilihan Bupati Barito Utara periode 2003-2008 yang
waktu itu masih dengan mekanisme pemilihan melalui tangan wakil rakyat di DPRD.
“Suatu ketika, di awal tahun 2003, beberapa orang anggota DPRD Kabupaten Barito
Utara menelepon dan diterima oleh isteri saya. Mereka mengatakan ke isteri
saya, ‘ibu, bapak kami pilih untuk diajukan dalam pemilihan Bupati Barito
Utara’. Saya katakan, saya siap, dan isteri sepenuhnya mendukung,” ujar Achmad
Yuliansyah menceritakan awal mula pencalonan dirinya pada pemilihan kepala
daerah Kabupaten Barito Utara pada tahun 2003.
Achmad
Yuliansyah saat itu diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN), Golongan Karya
(Golkar), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Maka,
bersiaplah Achmad Yuliansyah maju ke medan pemilihan melawan calon petahana (incumbent) Bupati Barito Utara (1998-2003)
Ir. H. Badaruddin. Sebagaimana kita ketahui, selama ini, calon incumbent jarang mengalami kekalahan.
Kekuatan
politik di DPRD memiliki andil yang sangat kuat untuk memenangi pemilihan
kepala daerah. Siapa yang mampu ‘menguasai’ wakil rakyat di DPRD maka dia lah
yang bakal melenggang menggenggam kursi jabatan bupati kepala daerah. Kekuatan
politik DPRD Kabupaten Barito Utara di masa itu demikian kuat mengarah ke calon
incumbent. Relatif kecil kemungkinan
bagi Achmad Yuliansyah untuk dapat memenangkan pertarungan pemilihan di Bumi Iya Mulik Bengkang Turan ini.
Tapi,
berbekal kekayaan pengalamannya yang matang di organisasi kepemudaan,
keagamaan, pelestarian lingkungan dan politik serta keyakinan yang kuat, Achmad
Yuliansyah merasa optimis memenangi kompetisi tersebut. Dia merasa yakin bakal
mampu mengalahkan rival berat calon incumbent
kendati banyak pihak yang memprediksikan dirinya akan kalah.
Kematangan
Achmad Yuliansyah yang ketika itu juga menjabat Wakil Ketua Pemuda Panca Marga (PPM)
Kalimantan Tengah periode 1998-2003 dalam berpolitik terbukti ketika DPRD
Kabupaten Barito Utara menggelar sidang paripurna dengan agenda pemilihan
kepala daerah pada pertengahan 2003. Dari 25 orang anggota DPRD Kabupaten
Barito Utara, 13 orang di antaranya memberikan suara kepada Achmad Yuliansyah
yang pernah menjadi Ketua Yayasan Muawanah Kotamadya Palangkaraya (1998-2003)
ini. Sementara rival beratnya mendulang 12 suara, kalah tipis saja.
Achmad
Yuliansyah pun menerima amanah mengemban jabatan Bupati Barito Utara periode
2003-2008 setelah dilantik Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kalimantan
Tengah. Dia siap menunaikan amanah dan melaksanakan mandat dari wakil rakyat
buat meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian rakyat Kabupaten Barito Utara.
Achmad
Yuliansyah yang waktu itu masih menyandang jabatan Ketua Umum Forum Ukhuwah
Islamiyah Kabupaten Barito Selatan (2001-2004) menyadari benar bukanlah perkara
yang mudah menerima mandat dan amanah memimpin rakyat Kabupaten Barito Utara.
Memang, dia menyadari pula, beban pundaknya terasa lebih ringan mengingat
dirinya bukan yang meminta untuk memimpin, melainkan diminta memimpin. Berkat
adanya permintaan itulah, beban kepemimpinan tersebut dapat dipikul bersama
dengan pihak yang memberi amanah. Sebagaimana kata-kata bijak Rasulullah
Muhammad saw, “Janganlah kalian meminta amanah untuk memimpin. Bila hal ini
terjadi maka beban atas amanah itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab si
pemimpin. Sebaliknya, bila kalian yang diminta memimpin maka beban itu dapat
dibagi bersama dengan pihak yang meminta kalian menjadi pemimpin.”
Amanah
adalah tuntutan iman. Dan khianat adalah salah satu ciri kekafiran. Sabda
Rasulullah saw menegaskan, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah;
dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (HR Ahmad dan Ibnu
Hibban)
Barangsiapa
yang hatinya kehilangan sifat amanah, maka ia akan menjadi orang yang mudah
berdusta dan khianat. Dan siapa yang mempunyai sifat dusta dan khianat, dia
berada dalam barisan orang-orang munafik. Disia-siakannya amanah disebutkan
oleh Rasulullah saw sebagai salah satu ciri datangnya kiamat. Sebagaimana
disampaikan Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Jika amanah diabaikan
maka tunggulah kiamat.” Sahabat bertanya, “Bagaimanakah amanah itu
disia-siakan, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “Jika suatu urusan
diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (Al-Bukhari)
Achmad
Yuliansyah tak hendak menyia-nyiakan amanah yang diletakkan di pundaknya. Dia
ingin menunaikan amanah itu sesuai dengan keahliannya di bidang kehutanan. Dan,
Barito Utara yang amat potensial di sektor kehutanan dan pertambangan sangat
membutuhkan figur pemimpin seperti sosok Yuliansyah.
Maka Achmad
Yuliansyah segera merentang visi pembangunan Kabupaten Barito Utara:
“Terwujudnya Kabupaten Barito Utara yang maju, sejahtera, mandiri, berdaya
saing, produktif dan bermartabat, dalam lingkungan lestari diikuti suasana
kehidupan yang demokratis, damai dan berkeadilan, serta pemerintahan yang
bersih, profesional dan berwibawa sejalan dengan falsafah Iya Mulik Bengkang Turan.”
Dalam
kerangka visi tersebut, Bupati Achmad Yuliansyah memprioritaskan pembangunan: pertama, kesatuan bangsa dan kerukunan
sosial. Hal ini diupayakan melalui pembinaan mental dan sikap serta kesadaran
warga masyarakat untuk senantiasa memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan
begitu, tumbuh partisipasi dalam usaha perlindungan masyarakat.
Kedua, mewujudkan supremasi hukum dan good governance. Bersama jajaran
aparaturnya, Bupati Achmad Yuliansyah bertekad menegakkan supremasi hukum
berdasar nilai-nilai kebenaran, keadilan dan penghormatan terhadap hukum secara
universal. Implementasinya antara lain membuat peraturan daerah (Perda) yang
aspiratif dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat; dan
menyempurnakan mekanisme penyusunan Perda antara Pemerintah Daerah dan DPRD.
Ketiga, mempercepat proses pemulihan
ekonomi daerah. Langkah ini dilakukan melalui pembangunan di bidang ekonomi
serta pembangunan di bidang sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup.
Keempat, mengurangi angka kemiskinan dan
pengangguran. Implementasi mengurangi kemiskinan dilakukan antara lain melalui
pemberdayaan, pemberian santunan, rehabilitasi dan perlindungan sosial,
peningkatan pemberian bantuan dan sumbangan sosial masyarakat. Sedangkan untuk
mengurangi pengangguran dilakukan melalui program magang bagi para pencari
kerja, melaksanakan program TKMT (Tenaga Kerja Mandiri Terdidik) dan TKPMP
(Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional), dan memberikan kursus keterampilan
bagi pencari kerja.
Kelima, peningkatan kapasitas
kelembagaan, aparatur daerah dan masyarakat. Langkah yang diayunkan bertujuan untuk
memantapkan perwujudan otonomi daerah agar terselenggara pemerintahan yang
baik, pelayanan umum yang efektif, dan tumbuh prakarsa masyarakat; meningkatkan
pengembangan potensi wilayah; dan meningkatkan kekuatan masyarakat melalui
penguatan lembaga dan organisasi masyarakat setempat.
Dan keenam, membangun kesejahteraan rakyat,
kualitas hidup beragama dan ketahanan bangsa. Arah prioritasnya jelas pada
pembangunan bidang agama, pendidikan, dan sosial-budaya.
Selain
memprioritaskan pembangunan yang lebih berpihak kepada rakyat biasa, Bupati
Achmad Yuliansyah juga berusaha merevitalisasi potensi andalan Kabupaten Barito
Utara, yakni pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan, perikanan,
pertambangan dan bahan galian. Terutama pertambangan batubara, minyak bumi dan
gas, Yuliansyah berusaha jangan sampai ketiganya dibawa keluar dari Barito
Utara. “Belajar dari Kalimantan Timur, kami berusaha sekuat tenaga hasil sumber
daya alam tersebut harus mampu menerangi dan meningkatkan kesejahteraan warga
masyarakat Barito Utara,” tutur alumni Fakultas Kehutanan Universitas Lambung
Mangkurat ini.
Ihwal
optimalisasi potensi tambang (terutama batubara), pada tahun 2004 Achmad
Yuliansyah melemparkan wacana pembangunan jaringan rel kereta api untuk
pengangkutan batubara dari lokasi pertambangan ke terminal dan pelabuhan
terdekat. Namun, wacana itu kurang bersambut, hanya berhenti di tingkat wacana.
Baru di awal tahun 2012, wacana ini direspon positif oleh Gubernur Kalimantan
Timur Awang Faroek Ishak yang menindak-lanjuti wacana tersebut dengan menanda-tangani
nota kesepahaman antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan
Rail PTE Ltd, investor Rusia, pada tanggal 7 Februari 2012 di Jakarta. Ini
merupakan langkah awal dimulainya pembangunan jaringan rel kereta api pertama
di Pulau Kalimantan itu
Tampak
jelas bahwa Achmad Yuliansyah ingin membawa warga Kabupaten Barito Utara lebih
sejahtera dan mandiri di tengah kelimpahan sumber daya alam yang dimilikinya. Dia
tidak ingin rakyatnya terperangkap pada pepatah lama ‘tikus mati di lumbung
padi’.
C.
Ketika Pilihan
di Tangan Rakyat
Tahun 2005,
tepatnya bulan Juni, rakyat Indonesia memasuki era pemilihan kepala daerah
(Pilkada) secara langsung oleh rakyat. Sejatinya, di berbagai negara di dunia,
dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan lokal, kepala daerah dapat dipilih
oleh dewan (council), bisa langsung
oleh rakyat, dan dapat pula diangkat oleh Pemerintah Pusat (Karim, 2003). Dengan
kata lain, minimal terdapat tiga model pemilihan kepala daerah yang lazim
berlaku. Di banyak negara, mekanisme pemilihan kepala daerah jarang dijadikan
topik perdebatan, karena apapun sistem yang mereka gunakan, sepanjang
fungsi-fungsi pemerintahan di daerah (protective,
public service dan development)
dapat dilaksanakan secara optimal dan dirasakan langsung manfaatnya oleh rakyat
biasa, maka sistem pengisian jabatan kepada daerah tersebut bukanlah sebuah isu
besar.
Di
Indonesia, pilkada menjadi isu yang senantiasa menarik untuk dikupas dan
menyedot perhatian masyarakat dalam ruang publik saat ini. Pilkada secara
langsung adalah bentuk dari demokrasi lokal yang merupakan bagian dari
subsistem politik suatu negara yang derajat pengaruhnya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara sangat berarti. Terutama dalam koridor pemerintahan
daerah (local government). Demokrasi
lokal di Indonesia menjadi peluang bagi pemerintahan daerah untuk mengembangkan
hubungan yang sinergis dengan rakyatnya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
dalam menciptakan aras kehidupan politik yang lebih berkualitas. Demokrasi
mensyaratkan keterlibatan rakyat secara mandiri dalam setiap proses pengambilan
keputusan atau kebijakan pembangunan, maka syarat itu hanya dapat dipenuhi
dengan memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menentukan dan merumuskan
sendiri kebutuhannya, termasuk dalam hal pemilihan kepala daerah (Pilkada)
secara langsung. Wujud tertib politik demokratis secara sederhana dapat
dirumuskan sebagai pemerintahan yang dibentuk oleh, dari dan untuk rakyat
(Putra, 1999).
Pilkada
dapat dianggap merupakan suatu momentum besar dalam tata aturan dan sistem
pemerintahan negeri ini pasca reformasi. Sampai Agustus 2008, Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) telah melaksanakan 414 Pilkada langsung yang meliputi pemilihan
gubernur, bupati dan walikota di seluruh Indonesia. Dan akhir tahun 2008,
seluruh kepala daerah telah dipilih secara langsung oleh konstituennya. Persoalan
yang muncul boleh dikatakan relatif kurang berarti. Ketua Mahkamah Konstitusi
(MK) Mahfud MD mengungkapkan, sampai akhir tahun 2011, perkara sengketa Pilkada
yang masuk MK berjumlah 392 perkara dan yang tergolong pelanggaran berat hanya
45 perkara.
Memang di
awal tahun 2012 sempat muncul wacana agar Pilkada (terutama pemilihan gubernur)
dikembalikan ke tangan wakil rakyat di DPRD. Menurut peneliti di Lembaga Fokus
Parlemen, Marthen Luther, Pilkada harus tetap di tangan rakyat. Dia mengakui memang
ada beberapa hal yang harus dievaluasi agar Pilkada di tangan rakyat semakin
berkualitas. “Hak rakyat jangan dikorbankan dengan mengembalikan pemilihan
lewat DPRD. Perilaku politisi mesti dibenahi lantaran pemimpin yang terpilih
karena uang hanya akan memperkaya diri dan kroninya setelah berkuasa sehingga
banyak kepala daerah yang masuk penjara. Dan libatkan peran aktif tokoh
masyarakat dan tokoh agama untuk meredam konflik sebelum, selama dan setelah
berlangsung Pilkada,” terang Marthen Luther.
Kabupaten Barito
Utara pun merespon Pilkada langsung sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tahun 2008, tatkala masa bakti Bupati
Achmad Yuliansyah usai, KPUD Kabupaten Barito Utara menggelar Pilkada pada
pertengahan tahun 2008. Sebagai incumbent
dan masih memiliki peluang untuk kembali bertarung di arena pemilihan kepala
daerah, Achmad Yuliansyah tidak menyia-nyiakan kesempatan yang membentang.
Dengan
menggandeng calon Wakil Bupati Omar Zaki Hebanoedin, pada tanggal 1 Maret 2008,
Achmad Yuliansyah mendeklarasikan tekad untuk maju kembali pada Pilkada langsung
10 Juli 2008 guna menentukan siapa yang layak menjadi Bupati dan Wakil Bupati
Barito Utara periode 2008-2013 pilihan rakyat. Kedua calon kepala daerah yang
diusung tiga partai politik (Partai Golkar, PKB dan PBB) ini merupakan pasangan
incumbent yang saat itu menjabat Bupati
dan Wakil Bupati Barito Utara.
Pasangan
Achmad Yuliansyah – Omar Zaki secara serius mempersiapkan diri menghadapi
Pilkada yang diikuti oleh empat pasangan calon bupati – wakil bupati tersebut. Ada
keuntungan lebih yang dimiliki Achmad Yuliansyah dalam berkompetisi merebut hati
rakyat agar memilih dirinya kali ini. Minimal, dia telah memberikan banyak
kemajuan bagi warga masyarakat Barito Utara, antara lain angka kemiskinan
menurun, pencetakan sawah baru, bantuan pupuk buat petani, bantuan bibit gratis
kepada pekebun karet, dan jalan-jalan beraspal mulus semakin banyak. Selain
itu, dia juga secara intensif memberikan bantuan kepada kalangan agama, seperti
membantu pembangunan masjid dan menyekolahkan (sejak 2004) anak-anak Barito
Utara yang nyantri di luar wilayah, terutama di Pulau Jawa.
Bermodal
prestasi selama memimpin Kabupaten Barito Utara periode 2003-2008 tanpa banyak
janji-janji, pasangan Achmad Yuliansyah – Omar Zaki berhasil meraup suara
rakyat yang cukup signifikan (sekitar 54 persen) untuk memenangi Pilkada yang
berlangsung tanggal 23 Juli 2008 dalam satu putaran saja. Lalu, tanggal 21
September 2008 pasangan ini dilantik oleh Menteri Dalam Negeri yang diwakili
Gubernur Kalimantan Tengah dalam sidang paripurna DPRD Barito Utara di Balai
Antang, Muarateweh.
D. Menjawab Amanah Rakyat
Pasangan
Bupati Achmad Yuliansyah dan Wakil Bupati Omar Zaki segera menjawab amanah
rakyat dengan unjuk kerja. Keduanya berusaha akomodatif, responsif dan sensitif
terhadap setiap hal yang menjadi aspirasi dan kebutuhan rakyat biasa. Keduanya
ingin menjadi pemimpin dalam koridor kepemimpinan yang demokratis.
Menurut
pakar otonomi daerah Ryaas Rasyid (2000), karakter sistem kepemimpinan yang
demokratis adalah mewujud dalam sikap akomodatif, sensitif dan responsif. Transformational leader adalah pemimpin
yang bukan saja sensitif, tapi juga responsif. Sikap kepemimpinan akomodatif
kepala daerah sangat diperlukan oleh bangsa ini dalam membangun masa depan yang
lebih berpengharapan. Akomodatif terhadap berbagai kelompok kepentingan dan kelompok
strategis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dibutuhkan untuk
menunjukkan bahwa asas kekeluargaan dan kegotong-royongan dalam demokrasi
Pancasila dapat terlaksana tanpa beban. Termasuk dalam sikap akomodatif adalah
kelapangan dada untuk menerima berbagai saran dan kritik.
Sikap
sensitif kepala daerah ditandai oleh kemampuannya untuk secara dini memahami
dinamika perkembangan masyarakat, mengerti apa yang mereka butuhkan, dan
mengusahakan agar menjadi pihak pertama yang memberi perhatian terhadap
kebutuhan itu. Dengan tingkat kepekaannya yang tinggi, pemerintah daerah akan
mampu tampil sebagai pihak yang menyelesaikan masalah (part of solution), bukan menjadi sumber masalah (source of problem). Komunikasi
timbal-balik dan transparan biasa digunakan oleh kepala daerah yang sensitif.
Karena kemampuan berkomunikasi dari kepala daerah yang disertai penerapan pola
transparansi dalam proses pengambilan keputusan merupakan prasyarat bagi
keberhasilannya dalam mengemban tugas-tugasnya.
Karakter
kepala daerah yang responsif adalah lebih banyak berperan menjawab aspirasi dan
tuntutan masyarakat yang disalurkan melalui berbagai media komunikasi. Dengan
kata lain, dia menghayati suatu sikap dasar untuk mendengar suara rakyat,
persis seperti kepemimpinan yang dikembangkan oleh Bupati Barito Utara
(2008-2013) Achmad Yuliansyah. Dia pun bersedia mengeluarkan energi dan menggunakan
waktunya secara tepat dan cepat untuk menjawab setiap pertanyaan, menampung
setiap keluhan, memperhatikan setiap tuntutan dan memanfaatkan setiap dukungan
masyarakat tentang suatu hal yang menyangkut kepentingan umum. Sigap dalam
mengambil keputusan, sehingga mampu mencegah berbagai ekses yang tidak
diharapkan. Karakter kepemimpinan responsif hakikatnya adalah mewakili asas
“pemerintahan oleh rakyat” (government by
the people), karenanya dalam praktik dia menjadikan pemerintah daerah
sebagai abdi rakyat dan pelayan masyarakat. Dengan demikian terjadi orientasi
dari suka mengatur rakyat menjadi suka melayani masyarakat.
Dengan
mengusung sikap akomodatif dan responsif, di era kedua kepemimpinannya ini,
Achmad Yuliansyah betul-betul berusaha keras memenuhi apa yang menjadi
kebutuhan aspirasi rakyat. Pada prinsipnya dia tetap meneruskan apa yang telah
dilakukan pada periode kepemimpinannya yang pertama. Dia tetap berusaha fokus
pada pembangunan pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan, perikanan,
pertambangan dan bahan galian.
Kemudian di
sektor infrastruktur, dia berusaha memperbanyak jalan beraspal di wilayah
Barito Utara, membangun bandar udara (Bandara) baru untuk menggantikan bandara
lama yang sudah tidak bisa dikembangkan lagi, memindahkan atau mengganti
jembatan KH Hasan Basri dengan jembatan yang lebih kuat dan representatif, dan
membangun kota baru Muarateweh.
Selain itu,
di sektor pendidikan, Achmad Yuliansyah berusaha mewujudkan pembangunan lembaga
pendidikan tinggi Politeknik yang diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang sesuai
dengan kebutuhan pasar tenaga kerja wilayah Barito Utara. Politeknik Muarateweh
ini difokuskan mendidik tenaga-tenaga yang terampil di bidang pertambangan,
informatika, keperawatan, kebidanan, dan agroindustri. Di sektor kesehatan, dia
bertekad meningkatkan status RSUD Muarateweh dari kelas C ke kelas B dan
memperbanyak jumlah Puskesmas serta Puskesmas Pembantu (Pustu) agar rakyat
Barito Utara semakin mudah mengakses pelayanan kesehatan.
Berkat
konsentrasinya yang penuh pada pembangunan sektor kesehatan dan kependudukan,
Achmad Yuliansyah memperoleh apresiasi Kesatria Bhakti Husada Arutala dari
Menteri Kesehatan RI (2006) dan Manggala Karya Kencana dari Kepala BKKBN
(2006). Tidak hanya sebatas apresiasi dari Menteri, Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) Kabupaten Barito Utara juga melonjak ke angka 74,21. Capaian ini
menempatkan Kabupaten Barito Utara pada posisi kedua (dari 14 kabupaten/kota)
se Provinsi Kalimantan Tengah. Posisi pertama masih ditempati oleh Kota
Palangkaraya, ibukota provinsi.
Di sektor
ekonomi, Bupati Achmad Yuliansyah fokus mengembangkan usaha kecil menengah dan
koperasi yang melibatkan semakin banyak warga masyarakat, terutama warga yang
kesulitan mencari lapangan pekerjaan. Menteri UKM pun mengapresiasi langkah
Achmad Yuliansyah dengan penghargaan Bhakti Koperasi (2007). Geliat
perekonomian serta merta ikut meningkat, salah satunya ditandai dengan semakin
banyaknya bank yang membuka kantor cabang di wilayah Kabupaten Barito Utara.
Saat ini terdapat tujuh bank telah membuka cabangnya di sini.
Pada
periode kedua kepemimpinannya ini Achmad Yuliansyah merasakan Barito Utara
tampil bagai gadis yang tengah bersolek sehingga banyak lelaki muda (investor)
yang melirik. Namun, dia tidak lantas demikian mudah membawa investor masuk ke Bumi Iya Mulik Bengkang Turan ini. Dia
berusaha selektif.
Achmad
Yuliansyah berupaya untuk senantiasa mendengar aspirasi rakyatnya. Termasuk
ketika membawa investor masuk ke wilayah Barito Utara, jangan sampai kehadiran
investor justru menjadi petaka bagi rakyat. Dia, meminjam pendapat Ryaas Rasyid
(2000), mengembangkan perilaku kepemimpinan yang berkualitas demokratis dengan
meningkatkan empat kapasitas: Kepekaan terhadap situasi lingkungan; Penjagaan
atas moral masyarakat; Keterbukaan pikiran; serta Mendengar, mempelajari, dan
menerjemahkan suara orang banyak. Poin penjagaan atas moral masyarakat menyangkut
kemampuan sang kepala daerah untuk menahan diri agar tidak terjebak melakukan
sesuatu yang dapat menciptakan atau meningkatkan keresahan dalam masyarakat.
Kepala daerah bertanggung-jawab menjaga kepercayaan masyarakat atas sistem
ketertiban dan keamanan yang berlaku.
Berkaitan
dengan moral investor, Bupati Achmad Yuliansyah mencium adanya gelagat kurang
baik beberapa investor di Barito Utara. Sekadar contoh investor pertambangan, ada
investor sudah memegang Izin Usaha Penambangan (IUP) namun menelantarkan lokasi
tambang atau investor memegang IUP di lokasi tertentu kemudian ternyata mereka
menggarap di lokasi lain yang belum diizinkan. “Sejauh ini sudah ada dua
pengusaha tambang yang ditangkap karena penyalah-gunaan izin. Kami harus
selektif memilih investor yang mau menanamkan modalnya. Kami memilih investor
yang bertanggung-jawab dan mau menjalin kerja sama dengan masyarakat lokal agar
rakyat Barito Utara tidak dikorbankan atau sengsara akibat eksploitasi
tambang,” tutur Achmad Yuliansyah suatu waktu. ***
No comments:
Post a Comment