Wednesday, January 30, 2013

Memimpin di Tanah Kelahiran




Dewi keberuntungan senantiasa mengetuk pintu seseorang pada suatu kesempatan, namun dalam banyak kejadian seringkali orang tersebut tidak berada di tempat sehingga gagal mendengarnya.
Mark Twain, Penulis Terkenal

Karir pengabdian Achmad Yuliansyah di ranah birokrasi dapat dikatakan telah memasuki zona mapan dan nyaman (comfort zone) ketika usianya menginjak 43-45 tahun. Terlebih lagi, titik nyaman itu relatif klop dengan bidang keilmuan yang ditekuninya pada masa kuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Memasuki tahun 2001-2003 itu, Achmad Yuliansyah sudah menapak di kursi Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Barito Selatan.
Mengaca pada karir pengabdian Achmad Yuliansyah di ranah birokrasi yang berjalan nyaris linear, dia masih sangat mungkin mendaki ke tapak yang lebih tinggi lagi di tingkat pemerintah provinsi dan, boleh jadi, pemerintah pusat (nasional). Jalur pendakian itu terbentang luas di depan mata. Namun, banyak orang, ketika memasuki zona nyaman di usia 40-an merasa gamang apakah dirinya bakal mampu menapak sampai tiba di puncak pendakian. Pada fase semacam ini banyak orang yang berusaha menggapai ketinggian yang sedikit-banyak membawa prestasi dan prestise. Banyak orang berupaya memburu puncak karir yang telah dicita-citakannya sedari mula memasuki tapak karir birokrasi. Entah karir itu berpuncak pada jabatan kepala dinas atau kepala biro tingkat provinsi, atau bahkan sampai direktur dan direktur jenderal di tingkat kementerian.
Achmad Yuliansyah merasa seperti berada di simpang jalan: berjalan terus ke puncak pendakian karir di ranah birokrasi yang semakin memberi rasa nyaman ataukah mencari jalan pendakian baru yang lebih menantang. Benaknya terus bergolak mencari kepastian langkah untuk menerobos masa depan yang lebih memberi asa. Di sini lah kematangan psiko-sosial seorang Achmad Yuliansyah diuji. Ke mana arah perjalanan hidup si anak manusia bernama Achmad Yuliansyah? Hanya dia yang tahu persis ke arah mana kompas kehidupan selanjutnya. Cuma dia pula yang tahu persis titik pijak awal setelah lepas dari dunia kampus sampai tapal batas kehidupan. Dan, sekali lagi, hanya dia seorang yang tahu persis ke mana kakinya hendak mengayun langkah.

A. Ingin Menjadi Orang Biasa
Sebagaimana wajarnya orang yang memiliki ketertautan hati pada tanah kelahiran atau kampung halaman, kendati telah melang-lang buana ke banyak daerah, seorang Achmad Yuliansyah senantiasa mengikuti perkembangan kampung halamannya Muarateweh, ibukota Kabupaten Barito Utara. Tentu terlampau sempit rasanya kalau cuma berpikir sebatas kabar dari Muarateweh, terlebih lagi kawasan Jalan Simpang Perwira (tempat kelahirannya). Dalam rajutan nostalgianya, dia selalu mencoba mencari tahu perkembangan skala wilayah yang lebih luas, setingkat kabupaten dan bahkan provinsi.
Yuliansyah berusaha berpikir lebih luas daripada sekadar lingkup Muarateweh. Wajar saja bila dia menaruh perhatian yang cukup intens pada perkembangan Muarateweh khususnya dan Barito Utara umumnya. Sebab, sosok yang sedikit bicara namun banyak berbuat ini adalah keturunan Suku Bakumpai di Desa Inu, sebuah desa terpencil di dalam Sungai Lahei, Kecamatan Lahei.
Ya, hanya sedikit orang yang mengetahui, bahwa Achmad Yuliansyah memiliki garis keturunan pada Suku Bakumpai yang dikenal memiliki sejumlah nilai-nilai luhur dan etos kejuangan yang kuat. Secara etimologis, Bakumpai adalah julukan bagi Suku Dayak yang mendiami daerah aliran Sungai Barito. Bakumpai berasal dari kata ba (dalam bahasa Banjar artinya memiliki) dan kumpai yang mengandung arti rumput.
Dari arti etimologis tersebut dapat dipahami bahwa Suku Bakumpai mendiami wilayah yang memiliki banyak rumput. Menurut legenda, asal-muasal Suku Bakumpai adalah dari Suku Dayak Ngaju yang kemudian berhijrah ke negeri yang sekarang disebut Negeri Marabahan.
Mulanya mereka menganut agama nenek moyang, yaitu Kaharingan. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan budaya yang sama seperti Suku Dayak lainnya. Kemudian, di Negeri Marabahan, mereka menjumpai seorang yang memiliki kharisma, seorang yang apabila dia berdiri di suatu tanah, maka tanah itu akan ditumbuhi rumput. Orang tersebut tidak lain adalah Nabiyullah Khidir as. Dalam cerita itu, mereka lantas masuk agama Islam dan berkembang beranak-pinak menjadi suatu suku. Suku Bakumpai merupakan julukan bagi mereka, karena apabila mereka belajar agama di suatu daerah dengan gurunya Khidir, maka tumbuhlah rumput dari daratan tersebut, sehingga mereka dikenal dengan suku bangsa Bakumpai.
Dulu sekali, Suku Bakumpai memiliki suatu kerajaan yang lebih tua dibandingkan dengan kerajaan daerah Banjar. Karena daya magis yang luar biasa akhirnya kerajaan ini berpindah ke Sungai Barito dan rajanya dikenal dengan nama Datuk Barito.
Dari Negeri Marabahan, mereka menyebar ke aliran Sungai Barito.  Cerita versi lainnya menyebutkan bahwa ada suatu daerah bernama Muara Untu di wilayah Kabupaten Murung Raya yang pada mulanya hanyalah suatu hutan belantara yang dikuasai oleh bangsa jin bernama Untu. Kemudian ada sejumlah orang Suku Bakumpai yang berhijrah ke sana dan mendiami daerah yang disebut Raguy. Sampai sekarang jika ditinjau dari silsilah orang yang mendiami Muara Untu, mereka menamakan moyang mereka Raguy.
Dalam perkembangannya, setelah masa kemerdekaan, Suku Bakumpai membentuk komunitas yang dinamakan Kerukunan Keluarga Bakumpai (KKB). KKB merupakan organisasi primordialisme Suku Bakumpai di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Di luar wilayah kedua provinsi tersebut biasanya orang Bakumpai bergabung ke dalam organisasi Suku Banjar. Keturunan orang Bakumpai beserta orang Kutai dan Berau di Malaysia termasuk ke dalam kategori Suku Banjar. Pada tahun 1955, KKB menjadi salah satu peserta pemilu di wilayah Kalimantan. Kantor pusat KKB terletak di Banjarmasin, dengan cabang-cabang terdapat di Kabupaten Murung Raya, Barito Kuala, Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, Kapuas, Katingan, Kotawaringin Timur dan Kota Palangkaraya.
Nilai-nilai kejuangan dapat dikatakan cukup melekat pada diri tokoh-tokoh dari Suku Bakumpai. Sebut saja antara lain pada diri Panglima Wangkang, panglima Dayak di Barito Kuala dalam Perang Banjar; Pambakal Kendet (Damang Kendet), ayah dari Panglima Wangkang, pejuang melawan kaum penjajah kolonial Belanda di daerah Bakumpai, Barito Kuala; Tumenggung Surapati, Panglima Dayak dari garis keturunan Dayak Siang yang berjuang menumpas Belanda dan menenggelamkan kapal Perang Onrust di Desa Lalutong Tuwur, Barito Utara; dan K.H. Hasan Basri, mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang lahir dari orang tua yang berasal dari Muarateweh (Kalimantan Tengah) dan Marabahan (Kalimantan Selatan); dan Z.A. Maulani, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Gambaran populasi Suku Bakumpai diperkirakan (data Sensus BPS tahun 2000) kurang lebih 20.609 jiwa di Provinsi Kalimantan Selatan, 20.000 jiwa di Provinsi Kalimantan Tengah, dan 1.000 jiwa di Provinsi Kalimantan Timur (Long Iram, Kabupaten Kutai Barat).
Kedekatan hati Yuliansyah dengan Barito Utara jelas demikian rekat. Selalu ada sesuatu yang ingin diketahui, dipikirkan dan diabdikan kepada Barito Utara. Keinginannya pulang kampung ke Barito Utara demikian kuat. Tapi, rasanya sayang kalau harus meninggalkan kursi nyaman Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Barito Selatan. Sementara untuk pulang dengan menempati kursi yang sama tentu bukanlah tindakan yang arif. Sebab itu, dia hanya ingin menjadi rakyat biasa manakala pulang kampung ke Muarateweh. “Saya ingin jadi orang biasa saja, bisa mengabdi penuh buat Barito Utara,” ujar Achmad Yuliansyah menjawab pertanyaan soal cita-citanya pulang kampung ke Muarateweh.
Ya, jadi orang biasa, orang kebanyakan. Bahasa populernya rakyat kebanyakan, bukan bangsawan, bukan pula hartawan. Dalam sejarah, justru kebanyakan orang biasa yang banyak memberi warna kepahlawanan dan kesetiaan pada bangsa dan negara. Sebagaimana pernah dituturkan oleh Romo YB Mangunwijaya bahwa, “Telah tumbuhlah benih-benih pengakuan, yang benar-benar penting dalam sejarah justru adalah hidup sehari-hari, yang normal yang biasa, dan bukan pertama-tama kehidupan serba luar biasa dari kaum ekstravagan serba mewah tapi kosong konsumtif. Dengan kata lain, kita harus mulai belajar, bahwa tokoh sejarah dan pahlawan sejati kita temukan di antara kaum rakyat biasa yang sehari-hari, yang barangkali kecil dalam harta dan kuasa, namun besar dalam kesetiaannya demi kehidupan.”
Wajar saja kalau seorang Achmad Yuliansyah yang di tahun 2003 telah mencapai tampuk jabatan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Barito Selatan ingin menjadi rakyat biasa yang kecil dalam harta dan kuasa tapi besar dalam kesetiaannya demi kehidupan. Banyak rakyat biasa menjadi teladan dalam banyak hal, misalkan dalam pelestarian lingkungan hidup, dalam perjuangan mempertahankan hidup dan dalam menata kota menjadi lebih ramah. Yuliansyah ingin pulang kampung dan memberi warna Barito Utara seperti amsal-amsal tadi.

B. Menerima Amanah dari Wakil Rakyat
Rupanya, kepulangan Achmad Yuliansyah ke kampung halaman tidak bisa serta merta dirinya secara otomatis menjadi rakyat biasa atau warga kebanyakan. Pengalamannya meniti karir pada jalur birokrasi di berbagai daerah di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah membuatnya sedikit berbeda dibandingkan dengan rakyat biasa. Apalagi, di awal tahun 2003 itu dia masih menyandang jabatan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Barito Selatan.
Tak pelak, kepulangan Achmad Yuliansyah ke Barito Utara mendorong beberapa wakil rakyat di DPRD Kabupaten Barito Utara mencalonkannya menjadi pemimpin daerah yang diharapkan mampu membawa kabupaten di pedalaman Kalimantan Tengah ini lebih prospektif dan berpengharapan.   
Kira-kira enam bulan sebelum pemilihan kepala daerah Kabupaten Barito Utara yang jatuh pada pertengahan tahun 2003, Achmad Yuliansyah menerima telepon dari beberapa orang anggota DPRD Kabupaten Barito Utara. Mereka meminta agar Yuliansyah bersedia dicalonkan dalam pemilihan Bupati Barito Utara periode 2003-2008 yang waktu itu masih dengan mekanisme pemilihan melalui tangan wakil rakyat di DPRD. “Suatu ketika, di awal tahun 2003, beberapa orang anggota DPRD Kabupaten Barito Utara menelepon dan diterima oleh isteri saya. Mereka mengatakan ke isteri saya, ‘ibu, bapak kami pilih untuk diajukan dalam pemilihan Bupati Barito Utara’. Saya katakan, saya siap, dan isteri sepenuhnya mendukung,” ujar Achmad Yuliansyah menceritakan awal mula pencalonan dirinya pada pemilihan kepala daerah Kabupaten Barito Utara pada tahun 2003.
Achmad Yuliansyah saat itu diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN), Golongan Karya (Golkar), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Maka, bersiaplah Achmad Yuliansyah maju ke medan pemilihan melawan calon petahana (incumbent) Bupati Barito Utara (1998-2003) Ir. H. Badaruddin. Sebagaimana kita ketahui, selama ini, calon incumbent jarang mengalami kekalahan.  
Kekuatan politik di DPRD memiliki andil yang sangat kuat untuk memenangi pemilihan kepala daerah. Siapa yang mampu ‘menguasai’ wakil rakyat di DPRD maka dia lah yang bakal melenggang menggenggam kursi jabatan bupati kepala daerah. Kekuatan politik DPRD Kabupaten Barito Utara di masa itu demikian kuat mengarah ke calon incumbent. Relatif kecil kemungkinan bagi Achmad Yuliansyah untuk dapat memenangkan pertarungan pemilihan di Bumi Iya Mulik Bengkang Turan ini.
Tapi, berbekal kekayaan pengalamannya yang matang di organisasi kepemudaan, keagamaan, pelestarian lingkungan dan politik serta keyakinan yang kuat, Achmad Yuliansyah merasa optimis memenangi kompetisi tersebut. Dia merasa yakin bakal mampu mengalahkan rival berat calon incumbent kendati banyak pihak yang memprediksikan dirinya akan kalah.
Kematangan Achmad Yuliansyah yang ketika itu juga menjabat Wakil Ketua Pemuda Panca Marga (PPM) Kalimantan Tengah periode 1998-2003 dalam berpolitik terbukti ketika DPRD Kabupaten Barito Utara menggelar sidang paripurna dengan agenda pemilihan kepala daerah pada pertengahan 2003. Dari 25 orang anggota DPRD Kabupaten Barito Utara, 13 orang di antaranya memberikan suara kepada Achmad Yuliansyah yang pernah menjadi Ketua Yayasan Muawanah Kotamadya Palangkaraya (1998-2003) ini. Sementara rival beratnya mendulang 12 suara, kalah tipis saja.
Achmad Yuliansyah pun menerima amanah mengemban jabatan Bupati Barito Utara periode 2003-2008 setelah dilantik Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kalimantan Tengah. Dia siap menunaikan amanah dan melaksanakan mandat dari wakil rakyat buat meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian rakyat Kabupaten Barito Utara.    
Achmad Yuliansyah yang waktu itu masih menyandang jabatan Ketua Umum Forum Ukhuwah Islamiyah Kabupaten Barito Selatan (2001-2004) menyadari benar bukanlah perkara yang mudah menerima mandat dan amanah memimpin rakyat Kabupaten Barito Utara. Memang, dia menyadari pula, beban pundaknya terasa lebih ringan mengingat dirinya bukan yang meminta untuk memimpin, melainkan diminta memimpin. Berkat adanya permintaan itulah, beban kepemimpinan tersebut dapat dipikul bersama dengan pihak yang memberi amanah. Sebagaimana kata-kata bijak Rasulullah Muhammad saw, “Janganlah kalian meminta amanah untuk memimpin. Bila hal ini terjadi maka beban atas amanah itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab si pemimpin. Sebaliknya, bila kalian yang diminta memimpin maka beban itu dapat dibagi bersama dengan pihak yang meminta kalian menjadi pemimpin.”
Amanah adalah tuntutan iman. Dan khianat adalah salah satu ciri kekafiran. Sabda Rasulullah saw menegaskan, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban)
Barangsiapa yang hatinya kehilangan sifat amanah, maka ia akan menjadi orang yang mudah berdusta dan khianat. Dan siapa yang mempunyai sifat dusta dan khianat, dia berada dalam barisan orang-orang munafik. Disia-siakannya amanah disebutkan oleh Rasulullah saw sebagai salah satu ciri datangnya kiamat. Sebagaimana disampaikan Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Jika amanah diabaikan maka tunggulah kiamat.” Sahabat bertanya, “Bagaimanakah amanah itu disia-siakan, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (Al-Bukhari)
Achmad Yuliansyah tak hendak menyia-nyiakan amanah yang diletakkan di pundaknya. Dia ingin menunaikan amanah itu sesuai dengan keahliannya di bidang kehutanan. Dan, Barito Utara yang amat potensial di sektor kehutanan dan pertambangan sangat membutuhkan figur pemimpin seperti sosok Yuliansyah.
Maka Achmad Yuliansyah segera merentang visi pembangunan Kabupaten Barito Utara: “Terwujudnya Kabupaten Barito Utara yang maju, sejahtera, mandiri, berdaya saing, produktif dan bermartabat, dalam lingkungan lestari diikuti suasana kehidupan yang demokratis, damai dan berkeadilan, serta pemerintahan yang bersih, profesional dan berwibawa sejalan dengan falsafah Iya Mulik Bengkang Turan.”
Dalam kerangka visi tersebut, Bupati Achmad Yuliansyah memprioritaskan pembangunan: pertama, kesatuan bangsa dan kerukunan sosial. Hal ini diupayakan melalui pembinaan mental dan sikap serta kesadaran warga masyarakat untuk senantiasa memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan begitu, tumbuh partisipasi dalam usaha perlindungan masyarakat.
Kedua, mewujudkan supremasi hukum dan good governance. Bersama jajaran aparaturnya, Bupati Achmad Yuliansyah bertekad menegakkan supremasi hukum berdasar nilai-nilai kebenaran, keadilan dan penghormatan terhadap hukum secara universal. Implementasinya antara lain membuat peraturan daerah (Perda) yang aspiratif dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat; dan menyempurnakan mekanisme penyusunan Perda antara Pemerintah Daerah dan DPRD.
Ketiga, mempercepat proses pemulihan ekonomi daerah. Langkah ini dilakukan melalui pembangunan di bidang ekonomi serta pembangunan di bidang sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup.
Keempat, mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Implementasi mengurangi kemiskinan dilakukan antara lain melalui pemberdayaan, pemberian santunan, rehabilitasi dan perlindungan sosial, peningkatan pemberian bantuan dan sumbangan sosial masyarakat. Sedangkan untuk mengurangi pengangguran dilakukan melalui program magang bagi para pencari kerja, melaksanakan program TKMT (Tenaga Kerja Mandiri Terdidik) dan TKPMP (Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional), dan memberikan kursus keterampilan bagi pencari kerja.
Kelima, peningkatan kapasitas kelembagaan, aparatur daerah dan masyarakat. Langkah yang diayunkan bertujuan untuk memantapkan perwujudan otonomi daerah agar terselenggara pemerintahan yang baik, pelayanan umum yang efektif, dan tumbuh prakarsa masyarakat; meningkatkan pengembangan potensi wilayah; dan meningkatkan kekuatan masyarakat melalui penguatan lembaga dan organisasi masyarakat setempat.
Dan keenam, membangun kesejahteraan rakyat, kualitas hidup beragama dan ketahanan bangsa. Arah prioritasnya jelas pada pembangunan bidang agama, pendidikan, dan sosial-budaya.
Selain memprioritaskan pembangunan yang lebih berpihak kepada rakyat biasa, Bupati Achmad Yuliansyah juga berusaha merevitalisasi potensi andalan Kabupaten Barito Utara, yakni pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan, perikanan, pertambangan dan bahan galian. Terutama pertambangan batubara, minyak bumi dan gas, Yuliansyah berusaha jangan sampai ketiganya dibawa keluar dari Barito Utara. “Belajar dari Kalimantan Timur, kami berusaha sekuat tenaga hasil sumber daya alam tersebut harus mampu menerangi dan meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat Barito Utara,” tutur alumni Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat ini.
Ihwal optimalisasi potensi tambang (terutama batubara), pada tahun 2004 Achmad Yuliansyah melemparkan wacana pembangunan jaringan rel kereta api untuk pengangkutan batubara dari lokasi pertambangan ke terminal dan pelabuhan terdekat. Namun, wacana itu kurang bersambut, hanya berhenti di tingkat wacana. Baru di awal tahun 2012, wacana ini direspon positif oleh Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak yang menindak-lanjuti wacana tersebut dengan menanda-tangani nota kesepahaman antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Rail PTE Ltd, investor Rusia, pada tanggal 7 Februari 2012 di Jakarta. Ini merupakan langkah awal dimulainya pembangunan jaringan rel kereta api pertama di Pulau Kalimantan itu
Tampak jelas bahwa Achmad Yuliansyah ingin membawa warga Kabupaten Barito Utara lebih sejahtera dan mandiri di tengah kelimpahan sumber daya alam yang dimilikinya. Dia tidak ingin rakyatnya terperangkap pada pepatah lama ‘tikus mati di lumbung padi’.

C. Ketika Pilihan di Tangan Rakyat
Tahun 2005, tepatnya bulan Juni, rakyat Indonesia memasuki era pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat. Sejatinya, di berbagai negara di dunia, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan lokal, kepala daerah dapat dipilih oleh dewan (council), bisa langsung oleh rakyat, dan dapat pula diangkat oleh Pemerintah Pusat (Karim, 2003). Dengan kata lain, minimal terdapat tiga model pemilihan kepala daerah yang lazim berlaku. Di banyak negara, mekanisme pemilihan kepala daerah jarang dijadikan topik perdebatan, karena apapun sistem yang mereka gunakan, sepanjang fungsi-fungsi pemerintahan di daerah (protective, public service dan development) dapat dilaksanakan secara optimal dan dirasakan langsung manfaatnya oleh rakyat biasa, maka sistem pengisian jabatan kepada daerah tersebut bukanlah sebuah isu besar.
Di Indonesia, pilkada menjadi isu yang senantiasa menarik untuk dikupas dan menyedot perhatian masyarakat dalam ruang publik saat ini. Pilkada secara langsung adalah bentuk dari demokrasi lokal yang merupakan bagian dari subsistem politik suatu negara yang derajat pengaruhnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat berarti. Terutama dalam koridor pemerintahan daerah (local government). Demokrasi lokal di Indonesia menjadi peluang bagi pemerintahan daerah untuk mengembangkan hubungan yang sinergis dengan rakyatnya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam menciptakan aras kehidupan politik yang lebih berkualitas. Demokrasi mensyaratkan keterlibatan rakyat secara mandiri dalam setiap proses pengambilan keputusan atau kebijakan pembangunan, maka syarat itu hanya dapat dipenuhi dengan memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menentukan dan merumuskan sendiri kebutuhannya, termasuk dalam hal pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung. Wujud tertib politik demokratis secara sederhana dapat dirumuskan sebagai pemerintahan yang dibentuk oleh, dari dan untuk rakyat (Putra, 1999).
Pilkada dapat dianggap merupakan suatu momentum besar dalam tata aturan dan sistem pemerintahan negeri ini pasca reformasi. Sampai Agustus 2008, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) telah melaksanakan 414 Pilkada langsung yang meliputi pemilihan gubernur, bupati dan walikota di seluruh Indonesia. Dan akhir tahun 2008, seluruh kepala daerah telah dipilih secara langsung oleh konstituennya. Persoalan yang muncul boleh dikatakan relatif kurang berarti. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengungkapkan, sampai akhir tahun 2011, perkara sengketa Pilkada yang masuk MK berjumlah 392 perkara dan yang tergolong pelanggaran berat hanya 45 perkara.
Memang di awal tahun 2012 sempat muncul wacana agar Pilkada (terutama pemilihan gubernur) dikembalikan ke tangan wakil rakyat di DPRD. Menurut peneliti di Lembaga Fokus Parlemen, Marthen Luther, Pilkada harus tetap di tangan rakyat. Dia mengakui memang ada beberapa hal yang harus dievaluasi agar Pilkada di tangan rakyat semakin berkualitas. “Hak rakyat jangan dikorbankan dengan mengembalikan pemilihan lewat DPRD. Perilaku politisi mesti dibenahi lantaran pemimpin yang terpilih karena uang hanya akan memperkaya diri dan kroninya setelah berkuasa sehingga banyak kepala daerah yang masuk penjara. Dan libatkan peran aktif tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk meredam konflik sebelum, selama dan setelah berlangsung Pilkada,” terang Marthen Luther.
Kabupaten Barito Utara pun merespon Pilkada langsung sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tahun 2008, tatkala masa bakti Bupati Achmad Yuliansyah usai, KPUD Kabupaten Barito Utara menggelar Pilkada pada pertengahan tahun 2008. Sebagai incumbent dan masih memiliki peluang untuk kembali bertarung di arena pemilihan kepala daerah, Achmad Yuliansyah tidak menyia-nyiakan kesempatan yang membentang.
Dengan menggandeng calon Wakil Bupati Omar Zaki Hebanoedin, pada tanggal 1 Maret 2008, Achmad Yuliansyah mendeklarasikan tekad untuk maju kembali pada Pilkada langsung 10 Juli 2008 guna menentukan siapa yang layak menjadi Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara periode 2008-2013 pilihan rakyat. Kedua calon kepala daerah yang diusung tiga partai politik (Partai Golkar, PKB dan PBB) ini merupakan pasangan incumbent yang saat itu menjabat Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara.
Pasangan Achmad Yuliansyah – Omar Zaki secara serius mempersiapkan diri menghadapi Pilkada yang diikuti oleh empat pasangan calon bupati – wakil bupati tersebut. Ada keuntungan lebih yang dimiliki Achmad Yuliansyah dalam berkompetisi merebut hati rakyat agar memilih dirinya kali ini. Minimal, dia telah memberikan banyak kemajuan bagi warga masyarakat Barito Utara, antara lain angka kemiskinan menurun, pencetakan sawah baru, bantuan pupuk buat petani, bantuan bibit gratis kepada pekebun karet, dan jalan-jalan beraspal mulus semakin banyak. Selain itu, dia juga secara intensif memberikan bantuan kepada kalangan agama, seperti membantu pembangunan masjid dan menyekolahkan (sejak 2004) anak-anak Barito Utara yang nyantri di luar wilayah, terutama di Pulau Jawa.
Bermodal prestasi selama memimpin Kabupaten Barito Utara periode 2003-2008 tanpa banyak janji-janji, pasangan Achmad Yuliansyah – Omar Zaki berhasil meraup suara rakyat yang cukup signifikan (sekitar 54 persen) untuk memenangi Pilkada yang berlangsung tanggal 23 Juli 2008 dalam satu putaran saja. Lalu, tanggal 21 September 2008 pasangan ini dilantik oleh Menteri Dalam Negeri yang diwakili Gubernur Kalimantan Tengah dalam sidang paripurna DPRD Barito Utara di Balai Antang, Muarateweh.

D. Menjawab Amanah Rakyat
Pasangan Bupati Achmad Yuliansyah dan Wakil Bupati Omar Zaki segera menjawab amanah rakyat dengan unjuk kerja. Keduanya berusaha akomodatif, responsif dan sensitif terhadap setiap hal yang menjadi aspirasi dan kebutuhan rakyat biasa. Keduanya ingin menjadi pemimpin dalam koridor kepemimpinan yang demokratis.
Menurut pakar otonomi daerah Ryaas Rasyid (2000), karakter sistem kepemimpinan yang demokratis adalah mewujud dalam sikap akomodatif, sensitif dan responsif. Transformational leader adalah pemimpin yang bukan saja sensitif, tapi juga responsif. Sikap kepemimpinan akomodatif kepala daerah sangat diperlukan oleh bangsa ini dalam membangun masa depan yang lebih berpengharapan. Akomodatif terhadap berbagai kelompok kepentingan dan kelompok strategis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dibutuhkan untuk menunjukkan bahwa asas kekeluargaan dan kegotong-royongan dalam demokrasi Pancasila dapat terlaksana tanpa beban. Termasuk dalam sikap akomodatif adalah kelapangan dada untuk menerima berbagai saran dan kritik.
Sikap sensitif kepala daerah ditandai oleh kemampuannya untuk secara dini memahami dinamika perkembangan masyarakat, mengerti apa yang mereka butuhkan, dan mengusahakan agar menjadi pihak pertama yang memberi perhatian terhadap kebutuhan itu. Dengan tingkat kepekaannya yang tinggi, pemerintah daerah akan mampu tampil sebagai pihak yang menyelesaikan masalah (part of solution), bukan menjadi sumber masalah (source of problem). Komunikasi timbal-balik dan transparan biasa digunakan oleh kepala daerah yang sensitif. Karena kemampuan berkomunikasi dari kepala daerah yang disertai penerapan pola transparansi dalam proses pengambilan keputusan merupakan prasyarat bagi keberhasilannya dalam mengemban tugas-tugasnya.
Karakter kepala daerah yang responsif adalah lebih banyak berperan menjawab aspirasi dan tuntutan masyarakat yang disalurkan melalui berbagai media komunikasi. Dengan kata lain, dia menghayati suatu sikap dasar untuk mendengar suara rakyat, persis seperti kepemimpinan yang dikembangkan oleh Bupati Barito Utara (2008-2013) Achmad Yuliansyah. Dia pun bersedia mengeluarkan energi dan menggunakan waktunya secara tepat dan cepat untuk menjawab setiap pertanyaan, menampung setiap keluhan, memperhatikan setiap tuntutan dan memanfaatkan setiap dukungan masyarakat tentang suatu hal yang menyangkut kepentingan umum. Sigap dalam mengambil keputusan, sehingga mampu mencegah berbagai ekses yang tidak diharapkan. Karakter kepemimpinan responsif hakikatnya adalah mewakili asas “pemerintahan oleh rakyat” (government by the people), karenanya dalam praktik dia menjadikan pemerintah daerah sebagai abdi rakyat dan pelayan masyarakat. Dengan demikian terjadi orientasi dari suka mengatur rakyat menjadi suka melayani masyarakat.
Dengan mengusung sikap akomodatif dan responsif, di era kedua kepemimpinannya ini, Achmad Yuliansyah betul-betul berusaha keras memenuhi apa yang menjadi kebutuhan aspirasi rakyat. Pada prinsipnya dia tetap meneruskan apa yang telah dilakukan pada periode kepemimpinannya yang pertama. Dia tetap berusaha fokus pada pembangunan pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan, perikanan, pertambangan dan bahan galian.
Kemudian di sektor infrastruktur, dia berusaha memperbanyak jalan beraspal di wilayah Barito Utara, membangun bandar udara (Bandara) baru untuk menggantikan bandara lama yang sudah tidak bisa dikembangkan lagi, memindahkan atau mengganti jembatan KH Hasan Basri dengan jembatan yang lebih kuat dan representatif, dan membangun kota baru Muarateweh.
Selain itu, di sektor pendidikan, Achmad Yuliansyah berusaha mewujudkan pembangunan lembaga pendidikan tinggi Politeknik yang diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja wilayah Barito Utara. Politeknik Muarateweh ini difokuskan mendidik tenaga-tenaga yang terampil di bidang pertambangan, informatika, keperawatan, kebidanan, dan agroindustri. Di sektor kesehatan, dia bertekad meningkatkan status RSUD Muarateweh dari kelas C ke kelas B dan memperbanyak jumlah Puskesmas serta Puskesmas Pembantu (Pustu) agar rakyat Barito Utara semakin mudah mengakses pelayanan kesehatan.
Berkat konsentrasinya yang penuh pada pembangunan sektor kesehatan dan kependudukan, Achmad Yuliansyah memperoleh apresiasi Kesatria Bhakti Husada Arutala dari Menteri Kesehatan RI (2006) dan Manggala Karya Kencana dari Kepala BKKBN (2006). Tidak hanya sebatas apresiasi dari Menteri, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Barito Utara juga melonjak ke angka 74,21. Capaian ini menempatkan Kabupaten Barito Utara pada posisi kedua (dari 14 kabupaten/kota) se Provinsi Kalimantan Tengah. Posisi pertama masih ditempati oleh Kota Palangkaraya, ibukota provinsi.
Di sektor ekonomi, Bupati Achmad Yuliansyah fokus mengembangkan usaha kecil menengah dan koperasi yang melibatkan semakin banyak warga masyarakat, terutama warga yang kesulitan mencari lapangan pekerjaan. Menteri UKM pun mengapresiasi langkah Achmad Yuliansyah dengan penghargaan Bhakti Koperasi (2007). Geliat perekonomian serta merta ikut meningkat, salah satunya ditandai dengan semakin banyaknya bank yang membuka kantor cabang di wilayah Kabupaten Barito Utara. Saat ini terdapat tujuh bank telah membuka cabangnya di sini.
Pada periode kedua kepemimpinannya ini Achmad Yuliansyah merasakan Barito Utara tampil bagai gadis yang tengah bersolek sehingga banyak lelaki muda (investor) yang melirik. Namun, dia tidak lantas demikian mudah membawa investor masuk ke Bumi Iya Mulik Bengkang Turan ini. Dia berusaha selektif.
Achmad Yuliansyah berupaya untuk senantiasa mendengar aspirasi rakyatnya. Termasuk ketika membawa investor masuk ke wilayah Barito Utara, jangan sampai kehadiran investor justru menjadi petaka bagi rakyat. Dia, meminjam pendapat Ryaas Rasyid (2000), mengembangkan perilaku kepemimpinan yang berkualitas demokratis dengan meningkatkan empat kapasitas: Kepekaan terhadap situasi lingkungan; Penjagaan atas moral masyarakat; Keterbukaan pikiran; serta Mendengar, mempelajari, dan menerjemahkan suara orang banyak. Poin penjagaan atas moral masyarakat menyangkut kemampuan sang kepala daerah untuk menahan diri agar tidak terjebak melakukan sesuatu yang dapat menciptakan atau meningkatkan keresahan dalam masyarakat. Kepala daerah bertanggung-jawab menjaga kepercayaan masyarakat atas sistem ketertiban dan keamanan yang berlaku.
Berkaitan dengan moral investor, Bupati Achmad Yuliansyah mencium adanya gelagat kurang baik beberapa investor di Barito Utara. Sekadar contoh investor pertambangan, ada investor sudah memegang Izin Usaha Penambangan (IUP) namun menelantarkan lokasi tambang atau investor memegang IUP di lokasi tertentu kemudian ternyata mereka menggarap di lokasi lain yang belum diizinkan. “Sejauh ini sudah ada dua pengusaha tambang yang ditangkap karena penyalah-gunaan izin. Kami harus selektif memilih investor yang mau menanamkan modalnya. Kami memilih investor yang bertanggung-jawab dan mau menjalin kerja sama dengan masyarakat lokal agar rakyat Barito Utara tidak dikorbankan atau sengsara akibat eksploitasi tambang,” tutur Achmad Yuliansyah suatu waktu. ***

No comments:

Post a Comment