OLEH: EDI
SUHARTO, PhD
Abstrak
Artikel ini menyampaikan beberapa gagasan mengenai
peran negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia. Tulisan ini
dilandasi argumen bahwa menguatnya arus globalisasi dan liberalisasi ekonomi
melahirkan kesempatan-kesempatan dan pilihan-pilihan baru dalam berbagai bidang
pembangunan. Namun demikian, kapitalisme sebagai anak kandung globalisasi dan
sekaligus poros dari liberalisasi ekonomi juga menciptakan tantangan-tantangan
baru bagi pembangunan kesejahteraan sosial. Dalam konteks ke-Indonesiaan,
otonomisasi daerah tidak bisa dilepaskan dari menguatnya arus globalisasi dan
kapitalisme. Pemahaman dan pemaknaan yang keliru mengenai globalisasi dan
liberalisasi ekonomi bukan saja memiliki implikasi negatif bagi pembangunan
kesejahteraan sosial, melainkan pula dapat berubah menjadi gerakan yang
berbahaya bagi pembangunan nasional yang berkeadilan sosial.
PENGANTAR
Konstelasi dunia dan peradaban manusia dimana
pembangunan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan beroperasi telah dan tengah
berubah secara dramatis dewasa ini. Menurut Mayo (1998), perubahan-perubahan
tersebut sangat dipengaruhi oleh proses globalisasi: sebuah ekspresi yang
sangat populer yang oleh Dominelly dan Hoogvelts (1996:46) disebut sebagai
“pengintensifan jaringan-jaringan hubungan sosial dan ekonomi yang luar biasa.”
Dalam kajian Taylor-Gooby (1994), Dominelly dan Hoogvelts (1996), serta Penna
dan O-Brien (1996), perubahan sosial dan ekonomi tersebut juga sejalan dengan
munculnya sejumlah terma yang ditandai dengan awalan “post”, seperti
“post-industrialism”, “post-fordism”, “post-structuralism” dan
“post-modernism”. Dua istilah pertama menunjuk pada perdebatan dalam wacana
ekonomi-politik, sedangkan dua istilah terakhir lebih merujuk pada perdebatan
dalam aras budaya.
Meskipun konsep-konsep di atas memiliki perbedaan
dalam makna dan kontekstualisasinya, secara garis besar kesemuanya memiliki
kesamaan pandangan bahwa tatanan lama, yakni masyarakat industri modern sedang
berada dalam masa perubahan atau transisi dalam skala global; dan bahwa
perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi terutama oleh menguatnya sistem
ekonomi-politik kapitalisme yang berporos pada ideologi neoliberalisme
(Suharto, 1997; 2001b; 2001c; 2001d; Mishra, 1999; Singh, 2000; Mkandawire dan
Rodriguez, 2000; Yang 2000; Moore, 2000).
Kapitalisme yang mengedepankan demokrasi liberal,
hak azasi manusia dan ekonomi pasar bebas, kini bukan saja telah merasuki
hampir seluruh pendekatan pembangunan, melainkan pula ditengarai telah menjadi
pandangan hidup universal seluruh bangsa manusia (Suharto, 2001c). Pendekatan
lain dianggap telah menemui jalan buntu dan akhir sejarahnya (the end of
history). Jargon yang terkenal adalah TINA (There Is No Alternative).
Maksudnya, hanya melalui cara kapitaslime sajalah kebahagiaan dan kesejahteraan
umat manusia dapat dicapai.
Sebagai contoh, ketika krisis ekonomi melanda
berbagai negeri, hampir semua strategi pemulihan ekonomi berpijak pada
paradigma kapitalisme. Banyak negara mengikuti resep-resep IMF dan Bank Dunia,
dua lembaga internasional dan simbol hegemoni kapitalisme global. Liberalisasi
kebijakan perdagangan, pembukaan pasar modal bagi investor asing,
rekapitalisasi industri besar, dan pengurangan campur tangan negara dalam
pembangunan ekonomi, dipercayai sebagai obat mujarab bagi pemulihan ekonomi.
Keyakinan ini semakin disulut oleh gagasan Milton Friedman dan Fukuyama; bahwa
kalau pembangunan ekonomi ingin maju, maka
peran negara harus diminimalisir dan kekuasaan bisnis harus diutamakan.
Karena pembangunan kesejahteraan sosial kerap
dipandang hanya sebagai beban pertumbuhan ekonomi dan simbol intervensi negara,
maka berkembanglah suatu keyakinan nihilistis bahwa institusi-institusi
kesejahteraan sosial secara intrinsik bersifat tidak ekonomis dan bahkan
patologis, dimanapun dan dalam kondisi apapun. Pertanyannya adalah: benarkah
kapitalisme merupakan sebuah keniscayaan sejarah? Tepatkah kalau suatu negara
menerapkan sistem ekonomi kapitalis maka peran dan komitmen negara untuk
menyangga keadilan dan kesejahteraan sosial mesti dikikis habis? Apakah peran
negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial di AS dan Eropa Barat – yang
sering dijadikan rujukan sistem ekonomi kapitalis – juga sudah dihilangkan sama
sekali?
KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN KAPITALISME
Keunggulan dan kemenangan kapitalisme memang
sangat mengesankan. Lebih dari dua abad setelah terbitnya buku The Wealth of
Nation karya mahaguru kapitalisme Adam Smith, sistem ekonomi kapitalistik
berhasil mengalahkan semua pesaingnya dari ideologi lain. Pada akhir Perang
Dunia II, hanya dua kawasan bumi yang tidak komunis, otoriter, merkantilistik
atau sosialis, yakni Amerika Utara dan Swis. Kini selain kita menyaksikan
negara-negara komunis rontok satu demi satu, hampir tak ada satupun negara yang
saat ini bebas dari Coca-cola, McDonald, KFC dan Levis, lambang supremasi
corporate capitalism yang menguasai sistem ekonomi abad 21.
Namun demikian, setelah kapitalisme memonopoli
hampir seluruh sistem ekonomi, kini semakin banyak pengamat yang menggugat
apakah sistem yang didasari persaingan pasar bebas ini mampu menjawab berbagai
permasalahan nasional maupun global. Sejarah juga menunjukkan bahwa kapitalisme
bukanlah piranti paripurna yang tanpa masalah. Selain gagasan itu sering
menyesatkan, terdapat banyak agenda pembangunan yang tidak mengalir jernih
dalam arus sungai kapitalisme. Masalah seperti perusakan lingkungan,
meningkatnya kemiskinan, melebarnya kesenjangan sosial, meroketnya
pengangguran, dan merebaknya pelanggaran HAM serta berbagai masalah degradasi
moral lainnya ditengarai sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari
beroperasinya sistem ekonomi kapitalistik.
Sinyalemen tersebut bukan tanpa bukti. Berdasarkan
studinya di negara-negara berkembang, Haque dalam Restructuring Development
Theories and Policies (1999) menunjukkan bahwa kapitalisme bukan saja telah
gagal mengatasi krisis pembangunan, melainkan justru lebih memperburuk kondisi
sosial-ekonomi di Dunia Ketiga. Menurutnya:
Compared to the socioeconomic situation under the
statist governments during the 1960s and 1970s, under the pro-market regimes of
the 1980s and 1990s, the condition of poverty has worsened in many African and
Latin American countries in terms of an increase in the number of people in
poverty, and a decline in economic-growth rate, per capita income, and living
standards (Haque, 1999:xi).
Dalam kapitalisme, negara hanya berperan sebagai
penjaga malam guna menjamin mekanisme pasar berjalan lancar dan campur tangan
negara yang terlalu besar dianggap hanya akan mengganggu beroperasinya pasar.
Karenanya, dalam situasi yang tanpa “tangan pengatur keadilan” seperti itu,
kapitalisme mudah terpeleset kedalam arogansi ekonomi, homo homini lupus, dan
hedonisme yang melihat manusia hanya sebatas “binatang ekonomi” (homo
economicus) yang motivasi, kebutuhan dan kesenangannya hanya mengejar pemuasan
fisik-materi. Patokan tindakannya akan bercorak utilitarianistik, asas
“sebesar-besarnya manfaat dari sekecil-kecilnya pengorbanan”. Dalam praktiknya,
“manfaat” di sini kerap merosot maknanya menjadi sekadar
“konsumerisme-materialisme” dan
“pengorbanan” sering terpeleset menjadi penindasan terselubung “si kuat
terhadap si lemah”, “majikan terhadap buruh”, “penguasa terhadap yang
terkuasai”. Produktivitas, efisiensi, dan pertumbuhan didewakan, sementara
solidaritas, effektifitas, dan kesetaraan ditiadakan.
Menurut kaum utopiawan revolusioner, seperti
Horkheimer, Marcuse, Adorno, dan Roszak, apabila skenario pembangunan seperti
ini dibiarkan, maka wajah pembangunan akan diformat dan dikuasai oleh elit
teknokrat dan elit konglomerat yang berkolaborasi mereduksi pembangunan yang
tahap demi tahap diarahkan menuju teknokrasi totaliter dan “work-fare state”
(bukan welfare state) yang mematikan kesejatian manusia, kebebasan,
kebahagiaan, keselarasan, keharmonisan dan yang mengasingkan manusia dari
semesta dan sesamanya (Suharto, 1997).
Itulah salah satu dasarnya mengapa di
negara-negara kapitalis pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial tidak
dipandang sebagai dua “sektor” yang berlainan dan berlawanan. Keduanya
dijalankan secara serasi dan seimbang yang dibingkai oleh formulasi historis
dan sosiologis yang bernama “negara kesejahteraan” (welfare state) (Suharto,
2001a; 2001b; 2001c; 2001d). Sebagaimana dinyatakan oleh pemikir sosialis
Jerman Robert Heilbroner (1976), negara kesejahteraan merupakan sebuah ideologi,
sistem dan sekaligus strategi yang jitu untuk mengatasi dampak negatif
kapitalisme. Karena menurutnya, perlawanan terhadap kapitalisme di masa depan
memang tidak dapat dan sudah seharusnya tidak diarahkan untuk membongkar total
sistem ini, melainkan untuk mengubah sistem yang “unggul” ini agar lebih
berwajah manusiawi (compassionate capitalism) dalam mengatasi akibat mekanisme
pasar yang tidak sempurna.
Karena ketidaksempurnaan mekanisme pasar ini,
peranan pemerintah banyak ditampilkan pada fungsinya sebagai agent of
socioeconomic development. Artinya, pemerintah tidak hanya bertugas mendorong
pertumbuhan ekonomi, melainkan juga memperluas distribusi ekonomi melalui
pengalokasian public expenditure dalam APBN dan kebijakan publik yang mengikat.
Selain dalam policy pengelolaan nation-state-nya pemerintah memberi penghargaan
terhadap pelaku ekonomi yang produktif, ia juga menyediakan alokasi dana dan
daya untuk menjamin pemerataan dan kompensasi bagi mereka yang tercecer dari
persaingan pembangunan.
Dalam negara kesejahteraan, pemecahan masalah
kesejahteraan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan
keterlantaran tidak dilakukan melalui proyek-proyek sosial parsial yang
berjangka pendek. Melainkan diatasi secara terpadu oleh program-program jaminan
sosial (social security), pelayanan sosial, rehabilitasi sosial, serta berbagai
tunjangan pendidikan, kesehatan, hari tua, dan pengangguran.
NEGARA KESEJAHTERAAN
Merujuk pada Spicker (1988:77) negara
kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial
yang memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah) untuk mengalokasikan
sebagian dana publik demi menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya.
Menurut Marshall (1981) negara kesejahteraan merupakan bagian dari sebuah
masyarakat modern yang sejalan dengan ekonomi pasar kapitalis dan struktur
politik demokratis. Negara-negara yang termasuk dalam kategori ini adalah
Inggris, Amerika, Australia, dan Selandia Baru serta sebagian besar
negara-negara Eropa Barat dan Utara. Negara-negara yang tidak dapat
dikategorikan sebagai penganut negara kesejahteraan adalah negara-negara bekas
Uni Soviet dan “Blok Timur”, karena mereka tidak termasuk negara-negara
demokratis maupun kapitalis (Spicker, 1988:78).
Negara kesejahteraan pertama-tama dipraktekkan di
Eropa dan AS pada abad 19 yang ditujukan untuk mengubah kapitalisme menjadi
lebih manusiawi (compassionate capitalism). Dengan sistem ini, negara bertugas
melindungi golongan lemah dalam masyarakat dari gilasan mesin kapitalisme. Hingga saat ini, negara kesejahteraan masih
dianut oleh negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya anggaran negara
untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat model, yakni:
Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara
Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini,
pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara
melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari
60% dari total belanja negara.
Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman
dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara
melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan
sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia
usaha dan pekerja (buruh).
Ketiga, model residual yang dianut oleh AS,
Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih
diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur.
Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM
melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial
“swasta”.
Keempat, model minimal yang dianut oleh gugus
negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil)
dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Anggaran negara untuk program
sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Jaminan
sosial dari pemerintah diberikan secara sporadis, temporer dan minimal yang
umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan swasta yang mampu mengiur.
Dari paparan di atas dapat dinyatakan bahwa
sejatinya negara kesejahteraan adalah bentuk perlindungan negara terhadap
masyarakat, terutama kelompok lemah seperti orang miskin, cacat, penganggur
agar terhindar dari gilasan mesin kapitalisme. Pertanyaanya adalah: atas dasar
apa negara harus melindungi kelompok lemah, seperti orang miskin dan orang yang
tidak (bisa) bekerja? Ada beberapa alasan mengapa negara diperlukan dalam
mengatur dan melaksanakan pembangunan kesejahteraan sosial (Suharto, 1999;
2000):
Pertama, pembangunan kesejahteraan sosial
merupakan salah satu piranti keadilan sosial yang kongkret, terencana dan
terarah, serta manifestasi pembelaan terhadap masyarakat kelas bawah. Tidak
semua warga negara memiliki kemampuan dan kesempatan yang sama dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Negara wajib melindungi dan menjamin kelompok-kelompok
rentan yang tercecer dalam balapan pembangunan.
Seperti kita ketahui bersama, kekayaan dan
sumberdaya yang ada di suatu negara bahkan seluruh bumi kita ini sangat
terbatas. Dengan demikian, jika ada seseorang atau sekelompok orang hidupnya
lebih makmur pada dasarnya hanya dimungkinkan jika kelompok lain bersedia atau
terpaksa hidup tidak makmur.
Apabila proses pembangunan dianalogikan dengan
lomba memperebutkan kue tart, maka seseorang yang memperoleh potongan kue lebih
besar pada dasarnya dimungkinkan karena yang lain mendapat bagian yang lebih
kecil. Sekalipun setiap orang memiliki kesempatan sama, tidak ada jaminan bahwa
setiap orang akan memperoleh potongan kue yang sama. Umpamakan saja kue itu di
simpan di tengah lapangan dan setiap orang memiliki jarak sama untuk memperoleh
kue itu. Tetapi tetap saja orang yang kuat akan melesat lebih cepat dan
mendapat potongan kue yang lebih besar ketimbang kelompok sosial yang lemah
lainnya.
Dirumuskan secara tajam, realitasnya adalah:
kemakmuran suatu kelompok sering dimungkinkan dan bibiayai oleh kelompok
lainnya. Maka, selain negara wajib memberi kesempatan sama kepada setiap orang
untuk berusaha, ia harus tetap memperhatikan keterbatasan kelompok lemah
sebagai kompensasi dan wujud keadilan sosial.
Kedua, semakin memudarnya solidaritas sosial dan
ikatan kekeluargaan pada masyarakat modern membuat pelayanan sosial yang
tadinya mampu disediakan lembaga keluarga dan keagamaan semakin melemah.
Pembangunan kesejahteraan sosial seringkali tidak menghasilkan keuntungan
ekonomi bagi penyelenggaranya, sehingga kurang menarik minat pihak swasta untuk
berinvestasi di bidang ini. Dengan kebijakan yang didukung UU, negara memiliki
legitimasi kuat melaksanakan investasi sosial berdasarkan "risk-sharing
across populations" yang dananya dialokasikan dari hasil pajak dan sumber
pembangunan lainnya.
Meskipun secara ekonomi jangka pendek pembangunan
kesejahteraan sosial adalah pendekatan yang tidak profitable, secara sosial
politik makro jangka panjang ia dapat menjadi investasi sosial yang
menguntungkan. Pembangunan kesejahteraan sosial dapat meredam kesenjangan dan kecemburuan
sosial yang merupakan prasyarat dan rahasia tercapainya pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan yang berkesinambungan, stabilitas politik dan kesejahteraan bersama.
Ketiga, negara perlu memberikan pelayanan sosial
(social services) kepada warganya sebagai bentuk tanggungjawab moral terhadap
rakyat yang memilihnya. Salah satu wewenang yang diberikan publik kepada negara
adalah memungut pajak dari rakyat. Karenanya, prinsip utama yang mendorong
mengapa negara perlu memberikan jaminan sosial adalah bahwa semua bentuk
perlindungan sosial di atas termasuk dalam kategori “hak-hak dasar warga
negara” yang wajib dipenuhi oleh negara sebagai wujud pertanggungjawaban moral
terhadap konstituen yang telah memilihnya.
Keempat, manusia cenderung berpandangan "myopic"
(pendek) sehingga kurang tertarik mengikuti program-program sosial jangka
panjang. Negara bersifat paternalistik (pelindung) yang mampu memberikan
jaminan sosial secara luas dan merata guna menghadapi resiko-resiko masa depan
yang tidak tentu, seperti sakit, kematian, pensiun, kecacatan, bencana alam,
dsb.
PEMBANGUNAN NASIONAL
Pembangunan ekonomi nasional selama ini masih
belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas. Indikator utamanya
adalah tingginya ketimpangan dan kemiskinan.
Meskipun beberapa tahun sebelum krisis ekonomi,
Indonesia tercatat sebagai salah satu macan ekonomi Asia dengan pertumbuhan
ekonomi lebih dari 7 persen per tahun,
angka pertumbuhan yang tinggi ini ternyata tidak diikuti oleh
pemerataan. Studi BPS (1997) menunjukkan
97,5 persen aset nasional dimiliki oleh 2,5 persen bisnis konglomerat.
Sementara itu hanya 2,5 persen aset nasional yang dimiliki oleh kelompok
ekonomi kecil yang jumlahnya mencapai 97,5 persen dari keseluruhan dunia usaha.
Rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat ini
terlihat pula dari masih meluasnya masalah kemiskinan. Setelah dalam kurun
waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara spektakuler dari 40,1 persen
menjadi 11,3 persen, jumlah orang miskin meningkat kembali dengan tajam, terutama
selama krisis ekonomi. International Labour Organisation (ILO) memperkirakan
jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta atau
sekitar 66,3 persen dari seluruh jumlah penduduk (BPS, 1999).
Angka kemiskinan ini akan lebih besar lagi jika
dalam kategori kemiskinan dimasukan penyandang masalah kesejahteraan sosial
(PMKS) yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta orang. PMKS meliputi
gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar, dan
penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan namun
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi PMKS lebih
memprihatinkan ketimbang orang miskin. Selain memiliki kekurangan pangan,
sandang dan papan, kelompok rentan (vulnerable group) ini mengalami pula
ketelantaran psikologis, sosial dan politik.
Pembangunan ekonomi jelas sangat mempengaruhi
tingkat kemakmuran suatu negara. Namun, pembangunan ekonomi yang sepenuhnya
diserahkan kepada mekanisme pasar tidak akan secara otomatis membawa
kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat. Pengalaman negara maju dan
berkembang membuktikan bahwa meskipun mekanisme pasar mampu menghasilkan
pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang optimal, ia selalu gagal
menciptakan pemerataan pendapatan dan memberantas masalah sosial.
Orang miskin dan PMKS adalah kelompok yang sering
tidak tersentuh oleh strategi pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar.
Kelompok rentan ini, karena hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku
terasing) maupun strukturalnya (penganggur), tidak mampu merespon secepat
perubahan sosial di sekitarnya, terpelanting ke pinggir dalam proses
pembangunan yang tidak adil.
PENUTUP
Kesejahteraan sosial adalah bagian tak terpisahkan
dari cita-cita kemerdekaan dan muara dari agenda pembangunan ekonomi. Pasal 33
UUD 1945 yang merupakan pasal mengenai keekonomian berada pada Bab XIV UUD 1945
yang berjudul ''Kesejahteraan Sosial''. Menurut Sri-Edi Swasono (2001), “Dengan
menempatkan Pasal 33 1945 di bawah judul Bab ''Kesejahteraan Sosial'' itu,
berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara pada peningkatan
kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan sosial merupakan tes untuk keberhasilan
pembangunan, bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi apalagi kemegahan
pembangunan fisikal.”
Namun demikian, dalam pembangunan kesejahteraan
sosial, jelas Indonesia tidak menganut negara kesejahteraan. Meskipun Indonesia
menganut prinsip keadilan sosial (sila kelima Pancasila) dan secara eksplisit
konstitusinya (pasal 27 dan 34 UUD 1945) mengamanatkan tanggungjawab pemerintah
dalam pembangunan kesejahteraan sosial, baik pada masa Orde Baru maupun era
reformasi saat ini, pembangunan kesejahteraan sosial baru sebatas jargon dan
belum terintegrasi dengan strategi pembangunan ekonomi.
Penanganan masalah sosial masih belum menyentuh
persoalan mendasar. Program-program jaminan sosial masih bersifat parsial dan
karitatif serta belum didukung oleh kebijakan sosial yang mengikat. Orang
miskin dan PMKS masih dipandang sebagai sampah pembangunan yang harus
dibersihkan. Kalaupun di bantu, baru sebatas bantuan uang, barang, pakaian atau
mie instant berdasarkan prinsip belas kasihan, tanpa konsep dan visi yang
jelas.
Bahkan kini terdapat kecenderungan, pemerintah
semakin enggan terlibat mengurusi permasalahan sosial. Dengan menguatnya ide
liberalisme dan kapitalisme, pemerintah lebih tertarik pada bagaimana memacu
pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya, termasuk menarik pajak dari rakyat
sebesar-besarnya. Sedangkan tanggungjawab menangani masalah sosial dan
memberikan jaminan sosial diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat.
Bergulirnya otonomi daerah juga bukannya semakin
memperkuat komitmen pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan masyarakat
kelas bawah. Pemberian wewenang yang lebih besar kepada Pemda dalam mengelola
pembangunan daerah belum diikuti dengan penguatan piranti kebijakan dan
strategi pembangunan kesejahteraan sosial. Bahkan terdapat ironi di beberapa
daerah dimana institusi-institusi kesejahteraan sosial yang sudah mapan,
alih-alih dibina-kembangkan malahan dibumihanguskan begitu saja.
Terkesan kuat, pengalihan pembangunan
kesejahteraan sosial hanya dianggap sebagai
beban tambahan bagi anggaran pemerintah daerah. Tidak sedikit Pemda yang
hanya mau menerima penguatan dan peralihan wewenang dalam pengelolaan dan
peningkatan sumber-sumber “Pendapatan Asli Daerah” (PAD). Sedangkan peralihan
tugas dan peran menangani “Permasalahan Sosial Asli Daerah” (PSAD) inginnya
diserahkan kepada masyarakat, lembaga-lembaga sosial dan keagamaan.
Oleh karena itu, menurut hemat saya, dalam
mengahadapi globalisasi dan menguatnya ide kapitalisme ini, visi, misi dan
strategi pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia perlu direvitalisasi dan
bukan di-deligitimasi. Sehingga bidang ini tidak menjadi sekadar kegiatan amal
atau usaha sporadis setengah hati yang tidak terencana dan jauh dari prinsip
dan wawasan keadilan sosial.
Bila Indonesia dewasa ini hendak melakukan
liberalisasi dan privatisasi ekonomi yang berporos pada ideologi kapitalisme,
Indonesia bisa menimba pengalaman dari negara-negara maju ketika mereka
memanusiawikan kapitalisme. Kemiskinan dan kesenjangan sosial ditanggulangi
oleh berbagai skim jaminan sosial yang benar-benar dapat dirasakan manfaatnya
secara nyata terutama oleh masyarakat kelas bawah.
Pengalaman di dunia Barat memberi pelajaran bahwa
jika negara menerapkan sistem demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis, maka itu
tidak berarti pemerintah harus “cuci tangan” dalam pembangunan kesejahteraan
sosial. Karena, sistem ekonomi kapitalis adalah strategi mencari uang,
sedangkan pembangunan kesejahteraan sosial adalah strategi mendistribusikan
uang secara adil dan merata.
Diibaratkan sebuah keluarga, mata pencaharian
orang tua boleh saja bersifat kapitalis, tetapi perhatian terhadap anggota
keluarga tidak boleh melemah, terutama terhadap anggota yang memerlukan
perlindungan khusus, seperti anak balita, anak cacat atau orang lanjut usia.
Bagi anggota keluarga yang normal atau sudah dewasa, barulah orang tua dapat
melepaskan sebagian tanggungjawabnya secara bertahap agar mereka menjadi
manusia mandiri dalam masyarakat.
REFERENSI
BPS (1999), Penduduk Miskin: Berita Resmi
Statistik Penduduk Miskin, No.
04/Th.II/9, July, Jakarta: BPS
Dominelly, L. dan A. Hoogvelts (1996),
“Globalisation and The Technocratisation of Social Work”, Critical Social
Policy, 47, 16(2), hal.45-62.
Heilbroner, Robert L. (1976), Business
Civilization in Decline, New York: WW Norton & Company
Marshall, T. H. (1981), The Right To Welfare,
London: Heinemann
Mayo, M, (1998), “Community Work”, dalam Adams,
Dominelli dan Payne (eds), Social Work: Themes, Issues and Critical Debates,
London: McMillan.
Mishra, Ramesh (1999), Globalizationa and The
Welfare State, Cheltenham: Edward Elgar
Mkandawire, Thandika dan Virginia Rodriguez
(2000), Globalization and Social Development after Copenhagen, Geneva: United
Nations Research Institute for Social Development
Moore, Mick (2000), “States, Social Policies and
Globalisations: Arguing on the Right Terrain?” IDS Bulletin, 31(4), hal.21-31
Penna, S. dan M. O-Brien (1996), “Postmodernism
and Social Policy: A Small Step Forwards?, Journal of Social Policy, 25(1),
hal.39-61.
Singh, Ajit (2000), Global Economic Trends and
Social Development, Geneva: United Nations Research Institute for Social
Development
Suharto, Edi (1997), Pembangunan, Kebijakan Sosial
dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, Bandung: Lembaga Studi Pembangunan
STKS (LSP-STKS).
-------- (1999), “Tidak Bijaksana Membubarkan
Depsos”, Pikiran Rakyat, 23 November
-------- (2000), “Mencermati Rencana Pengurangan
Pegawai Negeri”, Pikiran Rakyat, 5 Februari
-------- (2001a), “Potensi Zakat Mal di Era Otda”,
Pikiran Rakyat, 24 Februari
-------- (2001b), “Menyoal Pembangunan
Kesejahteraan Sosial”, Media Indonesia, 1 Maret
-------- (2001c), “Kapitalisme dan Negara
Kesejahteraan”, Republika, 3 Agustus
-------- (2001d), “Depsos Perlu Dihidupkan Lagi”,
Republika
Swasono, Sri-Edi (2001), “Mengapa Pasal 33
Digusur?”, Republika, 30 Mei
Taylor-Gooby, P. (1994), “Postmodernism and Sosial
Work: A Great Leap Backwards?”, Journal of Social Policy, 23(3), hal.385-405.
Yang, Jae-Jin (2000), “The Rise of the Korean
Welfare State Amid Economic Crisis, 1997-99: Implications for the Globalisation
Debate”, Development Policy Review, 18, hal.235-2
No comments:
Post a Comment