Francis
Fukuyama dalam buku State-Building,
Governance and World Order in the 21st Century, menunjukkan bahwa
pengurangan peran negara dalam hal-hal yang memang merupakan fungsinya hanya
akan menimbulkan problematika baru. Bukan hanya memperparah kemiskinan dan
kesenjangan sosial, melainkan pula menyulut konflik sosial dan perang sipil
yang meminta korban jutaan jiwa. Keruntuhan atau kelemahan negara telah
menciptakan berbagai malapetaka kemanusiaan dan hak azasi manusia selama tahun
1990-an di Somalia, Haiti, Kamboja, Bosnia, Kosovo, dan Timor Timur. Selain
memperlihatkan kejujuran ilmiah Fukuyama, buku tersebut sekaligus menjelaskan
perubahan pemikiran Fukuyama dari buku sebelumnya. Dalam bukunya yang
terdahulu, The End of History and The
Last Men yang ditulisnya pada tahun 1992 dimana Fukuyama dengan yakin
menyatakan bahwa sejarah peradaban manusia (seakan) telah berakhir. Pertarungan
antara komunisme dan kapitalisme juga telah usai dengan kemenangan kapitalisme
(neoliberalisme).
Sekarang, dalam bukunya State-Building dengan lantang Fukuyama berkata bahwa “negara harus
diperkuat!”. Kesejahteraan, kata Fukuyama, tidak mungkin tercapai tanpa
hadirnya negara yang kuat; yang mampu menjalankan perannya secara efektif.
Begitu pula sebaliknya, negara yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak
mampu menciptakan kesejahteraan warganya. Pentingnya penguatan negara ini
terutama sangat signifikan dalam konteks kebijakan sosial. Negara adalah
institusi paling absah yang memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat, dan
karenanya paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya.
Dalam masyarakat yang beradab, negara tidak boleh
membiarkan satu orang pun yang berada dalam posisi tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya. Globalisasi dan kegagalan pasar sering dicatat sebagai
faktor penyebab mencuatnya persaingan yang tidak sehat, monopoli dan oligopoli,
kesenjangan ekonomi di tingkat global dan nasional, kemiskinan dan
keterbelakangan di negara berkembang, serta ketidakmampuan dan keengganan
perusahaan swasta mencukupi kebutuhan publik, seperti jaminan sosial, pelayanan
kesehatan dan pendidikan. Salah satu analogi menarik yang disampaikan Fukuyama
dalam konteks negara yang Hands-on
atau Hands-off terhadap perannya di
sektor publik masyarakat dapat dilihat dari kasus yang disajikan olehnya dalam
buku tersebut. Salah satunya adalah mengenai keluhan dari masyarakat Amerika
Serikat terhadap ketatnya peraturan lalu-lintas di Amerika. Menurut Fukuyama,
mereka yang mengeluh harus pergi ke Jakarta untuk melihat bahwa kelonggaran
peraturan ternyata menghasilkan situasi yang lebih mengerikan.
Menurut Stiglitz dalam bukunya Globalization and Its Discontent, di
negara-negara maju, pembangunan dan peningkatan standar kehidupan tidak hanya
dilakukan melalui pembangunan ekonomi dan industrialisasi. Pertumbuhan ekonomi
ternyata baru “kondisi yang penting” (necessary
condition) untuk meningkatan kemakmuran, namun belum merupakan “kondisi
yang cukup” (sufficient condition)
untuk mencapai kesejahteraan. Agar pertumbuhan ekonomi berjalan secara merata,
berkualitas dan berkelanjutan (growth
with equity, quality and sustainability), negara perlu menerapkan strategi
kebijakan sosial yang mencakup pemberian program-program pelayanan sosial
kepada penduduknya, terutama mereka yang termasuk kategori kelompok-kelompok
kurang beruntung (disadvantaged groups).
Mishra dalam bukunya Globalization and Welfare State menyatakan bahwa globalisasi telah
membatasi kapasitas negara-bangsa dalam melakukan perlindungan sosial.
Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional
(IMF) menjual kebijakan ekonomi dan sosial kepada negara-negara berkembang dan
negara-negara Eropa Timur agar memperkecil pengeluaran pemerintah, memberikan
pelayanan sosial yang selektif dan terbatas, serta menyerahkan jaminan sosial
kepada pihak swasta. Masyarakat, dunia usaha, dan bahkan lembaga-lembaga
kemanusiaan internasional, memiliki peran penting dalam penyelenggaraan
pelayanan sosial.
Namun, sebagai salah satu bentuk kebijakan sosial
dan public goods, jaminan sosial
tidak dapat dan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada masyarakat dan pihak
swasta. Sebagai lembaga yang memiliki legitimasi publik yang dipilih dan
dibiayai oleh rakyat, negara memiliki kewajiban (obligation) dalam memenuhi (to
fulfill), melindungi (to protect)
dan menghargai (to respect) hak-hak
dasar, ekonomi dan budaya warganya. Mandat negara untuk melaksanakan pelayanan
sosial lebih kuat daripada masyarakat atau dunia usaha. Berdasarkan konvensi
internasional, mandat negara dalam pelayanan sosial bersifat “wajib”.
Sedangkan, mandat masyarakat dan dunia usaha dalam pelayanan sosial bersifat
“tanggungjawab” (responsibility).
Secara umum, jaminan sosial adalah hak asasi
setiap manusia sebagaimana tercantum dalam Deklarasi PBB tahun 1948 yang
menyatakan bahwa “… setiap orang, sebagai anggota masyarakat, mempunyai hak
atas jaminan sosial… dalam hal menganggur, sakit, cacat, tidak mampu bekerja,
menjanda, hari tua…”. Jaminan sosial ini kembali ditekankan dalam konvensi ILO
(International Labour Organization)
No. 102 tahun 1952, yang menganjurkan agar semua negara di dunia memberi
perlindungan dasar kepada setiap warganya dalam rangka memenuhi Deklarasi PBB
tentang Hak Jaminan Sosial.
Jaminan sosial bagi rakyat Indonesia adalah hak
dasar yang sudah melekat sebagaimana tercantum dalam UUD Negara RI 1945 Pasal
28H yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana manusia yang bermartabat.”
Sedangkan untuk pemenuhannya, negaralah yang bertanggung jawab memenuhinya
seperti tertulis dalam Pasal 34 UUD Negara RI 1945, “Negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.
Jika melihat data yang ada, rakyat Indonesia
sangat membutuhkan jaminan sosial. Hingga Maret 2010, Badan Pusat Statistik
(BPS) melaporkan jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta jiwa
atau 13,33 % dari total penduduk. Kategori miskin menurut BPS adalah penduduk
yang pendapatan perkapita perbulannya kurang dari Rp 211.726 atau hanya Rp 2,5
juta setahun. Padahal selain penduduk miskin, ada pula kategori masyarakat yang
tergolong rentan miskin. Masyarakat kategori ini secara teknis dapat dikatakan
sebagai masyarakat mendekati miskin (near
poor). Meski saat ini tidak termasuk dalam kategori miskin, namun sangat
rentan untuk menjadi miskin apabila terjadi guncangan keuangan (financial shock) seberapapun kecilnya.
Meski saat ini pemerintah sudah mengembangkan
jaminan sosial dalam bentuk asuransi sosial dan tabungan sosial, namun
cakupannya masih sangat kecil. Bagiannya hanya mencakup sebagian pekerja di
sektor formal, pegawai pemerintah dan sebagian masyarakat yang memiliki
kesadaran dan kemampuan untuk memiliki polis asuransi. Sebagai contoh, jaminan
sosial yang dikelola PT Jamsostek baru mencakup 12 juta peserta dari sekitar
100 juta angkatan kerja, sementara untuk jaminan hari tua baru sekitar 20
persen pekerja formal yang memilikinya. Di sisi lain sebenarnya karena sederet
peraturan perundangan mengamanatkan pemerintah untuk mengadakan sistem jaminan
sosial. Mulai Undang Undang Dasar (Pasal 28H ayat 3 dan pasal 34 ayat 2), TAP
MPR (No. X/2001), UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 40/2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial dan UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Dengan ditetapkannya UU No. 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) maka bangsa Indonesia sebenarnya telah
memiliki sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 5 dalam Undang-undang tersebut mengamanatkan
pembentukan badan yang disebut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang
harus dibentuk dengan Undang-undang. Meski sempat dilakukan judicial review
oleh PT JAMSOSTEK, PT TASPEN, PT ASABRI, dan PT ASKES atas UU tersebut, namun
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan atas perkara perkara Nomor
007/PUU-III/2005 memberikankepastian hukum bagi BPJS dalam melaksanakan program
jaminan sosial di seluruh Indonesia.
Sebagai bahan perbandingan dengan Indonesia,
Perancis merupakan salah satu negara yang telah sukses mengimplementasikan
kebijakan jaminan keselamatan nasional. Lalu, pertanyaan yang layak dikemukan
adalah, bagaimana dengan kebijakan jaminan keselamatan nasional yang tertuang
dalam UU BPJS? Apakah UU tersebut dalam praktiknya telah mampu memeberikan
jaminan sosial terhadap masyarakat?
No comments:
Post a Comment