Suatu siang, seorang perempuan 30-an tahun tampak begitu
sigap mengambil berbagai jenis produk segar yang terpajang di gondola Ranch
Market Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ivone, demikian nama perempuan itu, ditemani
pembantunya yang mendorong troli. Ia cuma butuh waktu sekitar 15 menit untuk
membeli beragam produk makanan, sayuran dan buah-buahan. Padahal, troli yang
sebenarnya berukuran cukup besar itu hampir terisi penuh.
“Saya setiap pekan rutin berbelanja ke sini. Selain
karena jaraknya yang dekat dengan rumah, semua kebutuhan yang saya perlukan
tersedia di sini,” tutur Ivone sembari menambahkan, “Kondisi produknya juga
selalu bagus dan segar. Itu salah satu daya tarik yang membuat saya datang ke
Ranch Market, walaupun harga produknya memang lebih mahal dibandingkan harga di
supermarket yang lain.”
Ketersediaan, kualitas, dan kesegaran produk memang
merupakan kelebihan yang selalu digembar-gemborkan Ranch Market (RM) kepada segenap
konsumennya. Sejak awal, RM berupaya agar barang yang dibutuhkan customer
selalu ada di rak. Tentunya, dengan kualitas bagus dan kondisi segar. RM pun
membanggakan diri sebagai satu-satunya supermarket di Indonesia yang telah memperoleh
sertifikasi keamanan makanan Hazard
Analytical Critical Control Point dan ISO 9000 sejak tahun 2004 silam.
Perolehan ini menjadi jaminan bahwa produk-produk yang dijual RM aman
dikonsumsi.
Dengan positioning
sebagai supermarket yang menjual produk bermutu dan senantiasa segar, RM
menjual banyak produk --terutama daging, ikan, buah-buahan dan sayuran—harus
pandai-pandai mengelola karena masa kedaluwarsa sangat pendek. Bahan makanan
segar merupakan produk andalan RM dibandingkan dengan makanan kering dan produk
non-makanan. Perbandingannya, 50:50. Di ritel modern lain, makanan segar paling
banter cuma memberikan kontribusi 20%, bahkan di hypermarket tak sampai 10%. Implikasi
dari mengandalkan produk makanan segar, manajemen RM harus mampu menangani
produk semacam itu secara bagus, memenuhi standar kualitas dan spesifikasi
tertentu, serta memerhatikan perputaran inventorinya yang relatif cepat.
Selain kualitas produk yang terjamin, manajemen RM
pun memanjakan konsumen dengan menghadirkan suasana serasa di rumah sendiri.
Bagi konsumen yang merasa kesulitan memasak produk-produk yang dibelinya, manajemen
RM memberi solusi dan membuka diri memberikan pengetahuan dengan menghadirkan
pakar kuliner yang mumpuni. Dengan begitu ada kerinduan setiap konsumen untuk
balik lagi ke RM lantaran ada sesuatu yang hanya bisa ditemukan di supermarket
yang semula merupakan waralaba RanchMarket USA itu.
Lengkap,
Eksklusif dan Unik
Dari catatan historis, Ranch Market (RM) didirikan
pada 1984 oleh Roger H. Chen di Westminster (Little Saigon), California,
Amerika Serikat (USA). Pada akhir 2001, divisi supermarket mereka memiliki 21
toko layanan penuh di California, dan satu toko di Washington. RM juga telah
membuka toko berlisensi yang independen di Nevada, Hawaii, Arizona dan
Indonesia.
Di Indonesia, dengan pola waralaba Ranch Market USA,
RM dibuka pada Januari 1998 di bawah payung PT Supra Boga Lestari (SBL) –
dengan
komposisi pemilik saham, antara lain, Grup Hoka-Hoka Bento (35%) dan keluarga
pemilik properti Mega Mal Pluit (35%). Tidak seperti Giant, Makro, Hypermart,
Hero, atau Indomaret yang umumnya menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari
dalam produksi massal. Produk yang disediakan oleh RM tidak dibuat massal. RM
memang menggarap ceruk pasar khusus di medan bisnis ritel di Indonesia, yakni A
dan A+. RM tidak sembarang menerima pasokan barang. Untuk produk-produk yang
sangat massal, deterjen Rinso atau Daia
misalkan, ia tolak. Setidaknya ada 10 pemasok terbesar di supermarket
lain yang tidak masuk ke RM.
RM jelas bukan ritel biasa. Ia tidak menjual barang
yang sama dengan barang-barang yang dipajang di rak-rak kompetitor. Dengan
begitu ada poin yang membuat orang ingin datang dan datang lagi ke sini. Bahkan,
pada kartu nama setiap karyawan tertulis “The Super Market”. Kata “Super”
ditulis dengan huruf dan warna yang berbeda. Ini seakan-akan mempertegas bahwa
RM berbeda dari kebanyakan ritel yang lain.
Saat ini, RM memiliki 14 gerai di Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang dan Bekasi. Dan tahun 2014 RM ingin menambah 16 gerai lagi. Selain
RM, sejak tahun 2007 SBL –lewat anak usaha PT Bahagia Nuaga Lestari (BNL)-- juga
mengembangkan Farmers Market. Berbeda dibandingkan RM, Farmers Market mengusung
konten lokal lebih banyak dan produk impor cuma berupa produk umum dengan
margin 19%, lebih kecil daripada Ranch Market yang mencapai 28%-38%. Sampai
akhir 2012 lalu, SBL mempunyai lima gerai Farmers Market (FM). Investasi tiap
gerai rata-rata sekitar Rp10 miliar di area 4.000 meter persegi.
Berbeda dengan RM yang menyasar level atas (A dan
A+), FM lebih ditujukan bagi konsumen yang berada di level menengah (B). “Diferensiasi
FM terletak pada strategi pemasaran dan promosi yang mengedepankan kreativitas,”
terang Meshvara Kanjaya, Chief Operating Officer PT Bahagia Niaga Lestari
(BNL).
Yang dimaksud dengan kreativitas, antara lain,
membuka dapur pembuatan tahu dan tempe itu. Di tengah persaingan bisnis ritel modern
yang semakin ketat dan sengit, FM harus punya identitas khas yang mampu
menceritakan “pengalaman” kepada konsumennya. Sebuah riset dan focus group discussion menyebutkan bahwa
93% konsumen masih menganggap belanja itu rekreasi.
Pengalaman Ranch Market yang sukses merajai segmen
menengah-atas merupakan salah satu modal utama BNL dalam mengembangkan FM. Kelengkapan
produk masih menjadi pertimbangan utama konsumen. Karena itu, produk yang
dijual di FM berbeda dibanding produk yang dijual di supermarket lain. FM
menjual produk-produk unggulan yang tidak ada di supermarket lain, antara lain
cumi-cumi raksasa Bangka, anggur mutiara, tersimon dan apel Fuji besar.
Kembali ke cerita awal RM di Indonesia. Kisah
bermula dari SBL membuka gerai pertama RM pada Januari 1998 di Kebon Jeruk,
Jakarta Barat. Ketika itu, dengan pola waralaba, Ranch Market USA menempatkan sejumlah
orangnya untuk membidani Ranch Market Indonesia di Kebon Jeruk.
Malang tak dapat ditolak, untung tak bisa diraih. Tekanan
rakyat untuk mengganti pucuk pemerintahan RI, Presiden Soeharto, mencapai klimaksnya
pada bulan Mei 1998. Berpuncak pada aksi huru-hara yang akrab disebut Tragedi
Mei 1998 yang membuat Jakarta bagai lautan api. Porak poranda. Mencekam.
Penjarahan marak di mana-mana. Gerai pertama RM yang baru buka pada bulan Januari
tidak lepas dari aksi jarahan massa. Semua isi gerai dijarah. Habis. Bersyukur,
bangunan gerai tidak sampai dibumi-hanguskan seperti nasib pusat perkulakan
GORO di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. “Bayi” pun RM harus merugi sampai Rp6
miliar.
SBL di bawah kepemimpinan Presiden Direktur Nugroho
Setiadharma tidak mau berlama-lama meratapi nestapa Tragedi Mei 1998. Dengan
tekad kuat, RM membuka kembali gerainya di Kebon Jeruk. Memang, Nugroho
Setiadharma mengakui pemegang saham SBL sempat merasa khawatir bilamana
tiba-tiba kerusuhan melanda lagi Ibukota Jakarta. Nugroho meyakinkan pemegang
saham bahwa Jakarta akan aman-aman saja karena tuntutan rakyat telah tercapai.
Sekali lagi dengan tekad yang kuat, pada Oktober 1998, gerai RM Kebon Jeruk
kembali dibuka. Dan, pembukaan gerai itu berjalan lancar. Bahkan, melihat trend pengunjung yang seolah tak
mengenal krisis, awal 1999 manajemen RM menambah satu gerai lagi di Pondok
Indah, Jakarta Selatan.
Senantiasa ada berkah di balik musibah. Pasca
Tragedi Mei 1998, orang-orang yang ditempatkan Ranch Market USA di gerai RM
Kebon Jeruk tidak pernah balik. Nugroho Setidharma pun terpaksa terbang ke AS
untuk membicarakan masa depan dan kelanjutan pola waralaba dengan Ranch Market
USA. Hasilnya, Ranch Market USA tetap mengizinkan SBL mengusung nama Ranch
Market tanpa harus membayar royalti lagi dengan sejumlah kesepakatan. Salah satu
kesepakannya bahwa SBL tidak boleh membawa nama RM keluar dari teritori
Republik Indonesia.
Praktis, pimpinan dan karyawan SBL hanya seumur
jagung memperoleh arahan bisnis dari pengalaman orang-orang Ranch Market USA.
Padahal, RM di Indonesia masih butuh arahan agar bidikan ceruk pasar kalangan
ekspatriat tidak meleset dan melebar yang ujung-ujungnya RM tiada beda dengan
para kompetitor. Karena pengetahuan yang relatif minim, sampai-sampai, manajemen
SBL ingin melepas bisnis ini. Nugroho Setiadharma dan segenap karyawan SBL
merasa belum memiliki pengetahuan yang cukup ihwal bagaimana target pasar, konsep toko (gerai),
dan sebagainya. Bahkan, SBL sempat mengonsep kembali gerai RM Pondok Indah. Gerai
kedua ini sudah konsep ulang.
Semula, RM menargetkan pasar ekspatriat. Kemudian, ketika
membuka gerai RM Pondok Indah, target pasar tidak sebatas ekspatriat tapi dilebarkan
pula ke kalangan high end. Dengan
konsep ini, RM Pondok Indah harus menyuguhkan produk berkualitas bagus dan memberikan
pelayanan prima.
Mengingat target pasar kaum ekspatriat dan kalangan high end, RM kemudian menerapkan visi
bagaimana orang berbelanja mendapatkan suasana yang nyaman dan menyenangkan. RM
menciptakan bagaimana suasana berbelanja menjadi hiburan. Dari visi semacam itu,
RM lalu mengkristalisasikannya menjadi sebuah nilai yang selanjutnya
diimplementasikan ke dalam action
(aksi) lengkap dengan budaya perusahaan (corporate
culture).
Untuk memberikan nilai tambah (added value) ke pelanggan berkelas A dan A+, berbekal visi, nilai
dan corporate culture, manajemen RM lalu memformulasikan tiga
strategi yang harus dipahami segenap karyawan yang menjadi ujung tombak
pelayanan gerai. Pertama,
diferensiasi produk. RM membuat defferentiation
produk dengan tujuan akhir agar pembeli ada keinginan datang kembali lantaran
di tempat lain tidak ada yang jual.
Manajemen RM menawarkan sesuatu bagi pelanggan yang
tak lagi tertarik pada produk yang sudah umum. Ambil contoh pada kategori
kecap. RM tidak menjual kecap Bango
yang sudah sangat familiar, melainkan kecap Mirama
yang hanya dikenal di Jawa Tengah, namun berkualitas bagus. Dengan diferensiasi
produk seperti itu, Nugroho Setiadharma mengakui, pasarnya memang jauh lebih kecil
daripada peritel konvensional namun loyalitas akan terjaga.
Manajemen RM sadar benar, RM tidak akan menjadi satu-satunya supermarket bagi
pelanggannya. Untuk kebutuhan umum, biarlah pelanggan pergi ke tempat lain.
Lantaran
sering menjual produk yang berbeda, RM kerap menjadi test market bagi beberapa produsen. Beberapa tahun lalu, kopi Starbucks
kemasan botol cuma ada di gerai RM dan ClubStore, tapi sekarang produk sejenis
juga tersedia di Carrefour, Hero, dan supermarket yang lain. Kalau sudah demikian
adanya, maka produk tersebut akan didegradasi dari rak-rak gerai RM. Dan, manajemen
RM sangat memperhatikan daur hidup setiap merek. Bilamana sebuah mereka sudah
menjadi common product, manajemen RM
berupaya keras mencari lagi produk baru yang spesifik. Seperti dikejar-kejar
saja, nature-nya seperti itu. Mesti berlari
terus, tidak boleh berhenti.
Laiknya pasar modern yang lain, manajemen RM terus
berpikir bagaimana memaksimalkan ruangan agar memberikan return terbaik. Tak mengherankan, turnover produk di RM menjadi lebih dinamis. Bila dalam waktu enam
bulan ternyata satu produk tidak ada penjualan, maka manajemen RM cepat-cepat mengganti
dengan produk lain. Demikian pula untuk barang yang sudah menjadi common products. Dengan ruangan yang
tidak terlalu besar (1.000-2.000 meter persegi) sangat mahal bagi RM untuk
menahan produk umum lebih lama. Pasalnya, margin yang diperoleh sangat tipis.
Setiap rak yang ada di RM diisi produk-produk unik yang memberikan margin lebih
tebal.
Strategi kedua,
produk yang lengkap, eksklusif dan unik. Untuk mendapatkan produk semacam itu, manajemen
RM tidak mau pasif menunggu pemasok datang. Awak RM tidak boleh cuma duduk-duduk
di belakang meja bagai dokter yang menunggu kedatangan pasien. Awak RM terus aktif
turun mencari produk sampai ke pasar-pasar. Jadi, produk itu benar-benar mendalam
dan lengkap. Sekadar contoh, gerai RM sampai menyediakan daun pisang dan daun
kecipir.
Mengenai produk yang eksklusif, manajemen RM
menyambangi langsung pemasok untuk memesan dan menciptakan produk yang
betul-betul eksklusif. Misalnya, suatu waktu manajemen RM mendatangi pemasok
daging dari Australia yang memiliki peternakan sapi. Manajemen RM langsung
meminta kesanggupan pemasok tersebut menyediakan daging dari sapi yang khusus
makan gandum. Sebab itulah, manajemen RM memiliki departemen pelatihan untuk
para pemasok, khususnya para pemasok yang membutuhkan pelatihan agar mampu
memenuhi permintaan produk sesuai standar eksklusivitas RM.
Dan straegi ketiga,
pemasok khusus yang sanggup menyediakan produk-produk terbatas. Sekadar contoh,
pemasok belimbing madu dari Tuban, Jawa Timur. Memang tidak mudah menjaga
kontinyuitas pasok belimbing madu. Manajemen RM harus benar-benar memberikan
pembinaan dan bantuan karena mereka sempat memilih putus karena ongkos transportasi
yang mahal. Bahkan, dengan perjuangan ekstra keras, manajemen RM menjadikan
pemasok semacam ini sebagai mitra yang tumbuh-kembang bersama.
Strategi yang dijalankan manajemen RM ini, jelas
Nugroho Setiadharma, dihindari oleh banyak kompetitor. Berbisnis produk segar --seperti
buah, sayur, daging, dan ikan-- membutuhkan pengelolaan khusus dan potensi
kerugian sangat tinggi.
Menjalani bisnis produk segar ini membuat manajemen
RM menanggung konsekuensi harus aktif mendatangi dan secara langsung memilih
barang segar dari para pemasok. Untuk bisnis produk lain boleh jadi cukup menugaskan karyawan
level lapangan. Selain itu, manajemen RM pun harus mengambil sertifikasi food safety. Tahun 2003 RM berhasil mengambil
sertifikasi food safety dari dari
Australia yang kemudian ditingkatkan menjadi ISO 22000 pada tahun 2007.
Organik
nan Sehat
Sebagai supermarket yang mengkhususkan diri pada
produk-produk segar, pada tahun 2006, manajemen RM memperkenalkan konsep baru kepada
pelanggan dengan menawarkan makanan sehat, seperti produk bebas gula, rendah
sodium, bebas glutan dan rendah karbohidrat. “Market-nya memang kecil, tapi kami adalah pelopor produk organik
sejak 1999, dimulai dari sayur tanpa pestisida. Sekarang kebutuhan makanan
sehat semakin tumbuh,” jelas Nugroho Setiadharma. RM ingin selalu menjadi trendsetter. Terbukti, RM menjadi yang
pertama dan satu-satunya yang mendapat sertifikat Hazard Analysis Critical Control Point dari Australia.
Awalnya tidaklah mudah memperkenalkan sayuran
organik di Indonesia. Bahkan, manajemen RM sempat merugi. Namun, seiring dengan
edukasi yang secara terus-menerus diberikan, pelanggan kelas atas yang terdidik
baik kemudian cepat menerima. Belakangan, daging organik dari hewan yang makan
rumput segar dan asupan sehat lainnya tanpa hormon pun mudah diterima pasar.
Padahal, harganya 30%-40% lebih mahal dibandingkan daging biasa.
Guna mendukung misi sebagai supermarket produk
sehat, kebutuhan penderita autis yang sensitif terhadap bahan kimia ditawarkan
pula di sini, antara lain sabun, sampo dan body
lotion merek Ogrand. Dan, sebagai
upaya komunikasi, RM bekerja sama dengan beberapa yayasan dan klinik autisme.
Dengan Gramedia, RM bekerja sama menerbitkan buku Hidup Sehat dengan Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan Manusia.
Buku yang ditulis oleh tujuh ahli gizi
Indonesia ini dilengkapi dengan 115 resep makanan sehat untuk bayi, dewasa
sampai usia lanjut dari pakar kuliner. Setiap penjualan per buku, Rp10 ribu
disumbangkan ke Unicef untuk peningkatan gizi anak-anak Indonesia. Ini sesuai
dengan misi baru RM: Balance Life.
Manajemen RM bertekad Ranch Market menjadi the safest supermarket dan punya responsibility, bukan cuma mencetak
uang, tapi juga memperhatikan kesehatan pelanggan. Untuk membangun awereness ke arah sana, manajemen RM
kerap mensponsori kegiatan Women International Club dan Lion Club, mengadakan
bazar di sekolah internasional serta melakukan pendekatan ke hampir semua
sekolah internasional buat menggelar widyawisata lapangan, menunjukkan proses
di dalam supermarket kepada para siswa. Departemen Kualitas Layanan RM yang
memantau jadwal acara ini tiap minggu. Manajemen RM juga mengajak mereka ke
perkebunan organik. Ini bentuk soft
promotion mulai dari anak-anak. Manajemen RM tidak ingin menempuh strategi perang
diskon seperti yang lain.
Rumah
Ketiga
Kompetensi adalah hal mutlak yang harus dikuasai oleh
sekitar 2.200 karyawan RM. Kompetensi penguasaan pengetahuan produk-produk
segar. Kompetensi berkomunikasi dengan para pemasok. Kompetensi menyapa pelanggan
penuh kehangatan dan kepedulian. Selain itu, karyawan RM juga mesti memiliki pengetahuan
budaya tiga rumah. Formulasi budaya tiga rumah, rumah pertama adalah rumah pelanggan
dan keluarganya; rumah kedua adalah kantor; dan rumah ketiga adalah Ranch
Market, tempat mereka rileks dan sharing
bersama teman-teman. Sebab iu, manajemen RM berusaha menciptakan suasana santai
agar dalam benak pelanggan tertancap kuat
moto "ini rumah saya".
Untuk mewujudkan rumah ketiga, model store
supermarket dengan 500 karyawan ini di masing-masing gerai dibuat tidak
seragam. Tidak ada yang standar. Manajemen RM punya visi menjadi bagian dari
komunitas lokal dan ingin menjadi tempat bertemunya orang-orang. Gambaran
sederhananya, lantaran di Kebon Jeruk banyak warga keturunan Tionghoa, layout gerai dibuat sesuai dengan selera
mereka: terang, bersih dan mengkilap. Kemudian gerai di Pondok Indah lebih
menonjolkan American style.
Pertimbangannya, banyak warga di sana yang acap melancong ke AS dan tak sedikit
anak mereka yang bersekolah di Negeri Abang Sam itu. Adapun gerai di Pejaten
sangat kental dengan European style,
lantaran banyak ekspat Eropa tinggal di sana.
Selain tampil berakrab-akrab diri dengan komunitas
setempat, agar moto “ini rumah saya” semakin membumi, manajemen RM memberikan
pelayanan yang excellent. Karyawan RM
dituntut mampu memberikan pelayanan yang paripurna, tidak cukup sebatas ramah.
Keramahan sudah banyak mewarnai pelayanan di banyak supermarket. Semua kompetitor
berlomba-lomba menghadirkan pelayanan yang ramah. RM melihat masih ada celah
bagaimana pelanggan kalangan high end
merasa senang saat berbelanja, yakni memberi solusi. Kadang ada pelanggan yang
tidak tahu hendak diapakan ketika membeli daging. Awak RM harus bisa memberikan
masukan dan solusi. Artinya, awak RM harus tahu bagaimana melayani pelanggan
dan menguasai product knowledge.
Misalkan, kecap untuk sate dan cocol sate itu jelas berbeda. Ini harus
diketahui segenap karyawan. Mereka harus bisa memberi solusi ke pelanggan.
Kalau sampai mentok, maka mereka harus mencatat dan selanjutnya dikomunikasikan
ke pemasok.
Tidak semua pelanggan RM punya bekal keahlian
kuliner untuk mengolah beragam bahan makanan unik yang dijajakan RM, seperti
tauco Jepang dengan 7 aneka ragam dan saos-saos unik LiKumKhee yang memiliki beragam varian. Untuk itu, sejak 2004, RM
Kebon Keruk dan RM Pejaten menggelar sekolah masak saban akhir pekan sebagai
fasilitas pendukung. Dengan menunjukkan struk belanja dengan nominal tertentu,
pelanggan bisa ikut sekolah masak secara gratis. Sebanyak 13 juru masak RM siap
menularkan pengetahuan memasak dengan bahan produk yang dijual RM. Setiap pekan,
tak kurang dari 30 orang mengikuti program ini. Bahkan ketika Wiliam Wongso
tampil sebagai instruktur, jumlah peserta membludak hingga 60 orang.
Belakangan, program sekolah masak hampir tiap hari
diselenggarakan. Namun, di luar hari Sabtu, peserta dikenakan biaya sekitar Rp125
ribu sampai Rp150 ribu (tergantung pada materi jenis masakan). Itu pun yang
datang tidak pernah kurang dari 10 orang. Program ini bukan profit centre, hanya sebagai layanan
tambahan.
Dengan keunikan yang ditawarkannya, pelanggan pun
loyal dan berbelanja dengan frekuensi tinggi ke RM. Pelanggan hampir tiap hari
datang karena makanan segarlah yang mereka cari.
Promosi
yang Fokus
Walaupun relatif kecil, omset tahunan RM mampu mencapai
Rp4 miliar sampai Rp6 miliar per gerai. Selain menyajikan produk-produk
eksklusif berkualitas dan pelayanan yang paripurna, strategi ampuh RM yang lain
adalah promosi yang terfokus. Untuk menjaring niche market, RM mengirimkan buletin di kedutaan-kedutaan, bekerja
sama dengan bank-bank yang memiliki private
banking dan sekolah-sekolah elite, dan sebagainya.
Strategi positioning
RM memang jelas. RM sengaja memosisikan diri sebagai specialty store yang menyasar kelas A dan A+. Produk yang dijual
agak berbeda dibandingkan supermarket biasa. Dalam beberapa hal mirip yang
dikembangkan Kem Chick yang menjual produk Eropa atau Cosmo (supermarket Jepang
di Grand Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan). RM merupakan perpaduan
antara Kem Chick dan Cosmo. Selain menjual produk makanan segar, seperti
daging, sayur dan ikan, RM menawarkan pula berbagai macam sambal dan saus. Jika
di supermarket lain rata-rata hanya ada satu jenis rasa, di RM ada beberapa
varian rasa.
Produk impor yang dijual pun lebih spesifik. Di RM
Kebon Jeruk, misalnya, banyak tersedia produk dari Hong Kong, Cina dan Korea.
Di RM Pondok Indah, dijual berbagai jenis keju khas Eropa. Produk impor ini
tergantung lokasi.
Dengan langkah bisnis yang semakin mantap, Supra
Boga Lestari (SBL) selalu pengelola RM pun merasa yakin melakukan penawaran
umum perdana atau initial public offering
(IPO) pada Mei 2012. Dalam IPO itu, SBL menerbitkan saham sebanyak 20%-30% dari
total modal disetor dan ditempatkan. Menargetkan dana sekitar Rp 200 miliar
hingga Rp 300 miliar.
SBL memakai 60% dana hasil IPO untuk ekspansi,
khususnya menambah gerai Ranch Market dan Farmers Market. Ekspansi ini
dilakukan secara bertahap selama dua tahun mendatang (2013-2014). Di tahap
awal, SBL menambah lima gerai pada tahun 2012. Selain di Jawa, SBL juga menyasar
luar Jawa, salah satunya Balikpapan, Kalimantan Timur.
SBL ingin menambah 16 gerai baru hingga tahun 2014.
Gerai mereka saat ini 14 unit. SBL akan fokus ke luar Jawa, terutama
Kalimantan. Maklumlah, prospek kawasan ini cukup besar seiring merekahnya
bisnis pertambangan. SBL pun ingin lebih menjangkau daerah baru mengingat 14
gerai saat ini “berkumpul” di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. (*)
No comments:
Post a Comment