Monday, November 3, 2014

Membangun Harmoni dalam Keberagaman

* ENAM


Perbedaan antara apa yang kita lakukan dan apa yang mampu kita lakukan sudah cukup untuk menyelesaikan kebanyakan persoalan yang ada di dunia ini. Perbedaan itu berguna, selama ada toleransi.
Mahatma Gandhi, Tokoh Kemerdekaan India

BALI, akhir Maret 2013. Dua buah apresiasi diterima oleh Bupati Poso Piet Inkiriwang dari Indonesian MDGs Award (IMA) yang diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Masing-masing adalah piagam di bidang pendidikan harmoni dan penghargaan di bidang pembangunan daerah. Apresiasi ini diberikan lantaran Piet Inkiriwang berhasil mengubah Kabupaten Poso dari wilayah sarat konflik menjadi daerah damai dan kondusif dalam membangun
Benar bahwa piagam pembangunan di bidang pendidikan harmoni disabet Piet dari Indonesia MDGs, karena dipandang sukses membangun harmonisasi sosial pendidikan pasca konflik Poso, dan penghargaan bidang pembangunan daerah pun diraih lantaran dia dianggap sukses membangun Poso pasca konflik.
Kedua jenis penghargaan yang berbeda itu diterima Bupati Poso Piet Inkiriwang dalam suatu upacara penyerahan resmi oleh Presiden SBY di Bali. “Ini prestasi untuk kita semua. Bukan cuma untuk bupati, tapi juga untuk segenap warga masyarakat Kabupaten Poso,” jelas Piet Inkiriwang saat memamerkan piagam tersebut kepada khalayak warga Kabupaten Poso  beberapa hari berselang setelah penerimaan penghargaan di Bali. Dia menambahkan, “Apa yang sudah kita lakukan selama ini tidak lah sia-sia. Ini prestasi yang luar biasa bagi Poso.”
Pamer penghargaan yang sama telah pula dilakukan Bupati Piet kepada anggota DPRD Kabupaten Poso saat sidang paripurna LKPJ Bupati Tahun 2012, akhir Maret 2013. “Ini prestasi kita bersama yang akan lebih memotivasi eksekutif dan legislatif untuk berbuat yang lebih baik di masa yang akan datang,” tuturnya tatkala menunjukkan dua penghargaan pembangunan berbeda di hadapan sidang paripurna DPRD Kabupaten Poso.
Di hadapan khalayak dan juga saat sidang paripurna, Bupati Piet menyatakan bahwa hanya Kabupaten Poso yang menerima dua jenis penghargaan tersebut. Baik penghargaan di bidang pembangunan pendidikan harmoni, maupun di bidang pembangunan daerah. “Tidak ada runner up di penghargaan ini. Cuma Poso yang dapat,” tegasnya.
Khusus untuk pembangunan pendidikan harmoni, Piet bahkan mengklaimnya Poso sebagai yang pertama di dunia. “Poso akan menjadi percontohan proyek pembangunan pendidikan harmoni. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga bagi dunia internasional,” tekannya bangga.
Piet menuturkan bahwa tidak gampang merintis dan memperjuangkan program pendidikan harmoni dimulai di sekolah-sekolah di daerah yang dinakhodainya. “Butuh ketekunan, kerja keras, dan jiwa besar untuk melaksanakan program pendidikan harmoni,” tuturnya.

A.   Bermula dari Gagasan Merekatkan Ragam Masyarakat
Berbeda dengan Kota Palu yang memang terbentuk oleh keadaan politik. Kota Palu yang tampak pluralistik warganya sampai kemudian Walikota Rusdy Mastura mengusung jargon Nosarara Nosabatutu (Bersaudara dan Bersatu). Jargon ini pada intinya menjelaskan keberagaman yang ada di Kota Palu memang perlu disikapi secara baik, karena setiap persoalan kecil dapat menjadi besar, apabila manusia yang tinggal di Kota Palu tidak merasa bersaudara dan bersatu. Ketercapaian penerapan konsepsi dapat menciptakan hal-hal positif dalam pengembangan kota.
Sementara itu Poso menjadi kota karena dipersiapkan oleh kaum kolonial Belanda, ketika Belanda menempatkan Missionaris Kristen di kota ini. Dan di dalam wilayah Poso sendiri telah memiliki sistem politik tradisional yang berjalan secara turun-temurun.
Sistem politik tradisional di Poso dapat diperhatikan dalam struktur kekuasaan Kerajaan Pamona, Tojo, Lore, dan Mori. Kerajaan Pamona dipimpin oleh seorang Datu Pamona dan dibantu oleh Mokole, Karaja, Kabosenya, dan Palili. Kerajaan Mori dipimpin juga oleh seorang Datu atau Mokole dibantu oleh Bonto (Perdana Menteri), Karua (Penghubung), Mokole Mpalili (Orang Tua Kampung). Kerajaan Lore atau Pekurehua yang biasa juga disebut Napu juga memiliki sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Magau yang dibantu oleh Biti Magau, Kapal, dan Pasule. Kerajaan Tojo diperintah oleh seorang Mokole yang dibantu oleh dua orang Patih (Perdana Menteri), Kabosenya atau Kepala Suku, Hakim, Pengawal, dan Kepala Perang. Gelar tersebut juga dipakai di Kerajaan Sigi dan Kerajaan Luwu. Istilah-istilah tradisional tersebut di awal abad ke-20 berubah menjadi konsep-konsep sistem politik Barat oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Dalam rangka mengatur dan melindungi sistem kekuasaan yang akan diterapkan, Pemeintah Hindia Belanda membagi daerah Poso menjadi dua bagian utama, yakni daerah yang dikontrol langsung (Rechtsreeksbestuursgebied atau Governementslanden) dan daerah yang tidak langsung dikontrol (Zelfbestuurslandschappen atau Vorstelanden). Daerah yang dikontrol langsung dibagi lagi menjadi afdeelingen dan sub bagiannya onder afdeelingen. Afdelingen dipimpin langsung oleh seorang kontroleur Belanda tetapi yang memerintah dipegang oleh seorang Bupati. Bupati adalah seorang penguasa baru yang dibuat oleh Belanda  untuk menggantikan konsep Mokole, Magau, Karaja, Datu, Kabosenya, sebagai penguasa tertinggi tradisional di wilayah Poso. Bupati inilah yang menguasai keseluruhan Regentchaapen (Kabupaten).
 Pada masa pendudukan Jepang juga diterapkan sistem pemerintahan a la Jepang. Kebijakan pemerintahan pendudukan Jepang dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 27 dan 28 Tanggal 5 Agustus 1942 yang mengatur sistem pemerintahan untuk menggantikan sistem pemerintahan Hindia Belanda. Berdasarkan Undang-undang tersebut, Residentie digantikan dengan Ken yang dipimpin oleh seorang Shuchokan (dulu Resident), Regentschap diganti dengan Ken yang dipimpin oleh Kencho (dulu Regent/Bupati), District diganti menjadi Gun yang dipimpin oleh Guncho (dulu Wedana), dan Onder District diganti menjadi Son yang dipimpin oleh Soncho  (dulu Asisten Wedana).
Sistem pemerintahan Barat yang diterapkan oleh Belanda dan Jepang memiliki perbedaan yang amat mendasar dengan sistem kekuasaan tradisional di tanah Poso. Integrasi politik Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang di Poso dapat dilihat dalam perlawanan-perlawanan yang ditampilkan oleh tokoh-tokoh lokal seperti Ama (Umana Soli) di Pekurehua tahun 1907, Kolomboy yang dilanjutkan oleh anaknya Tanjumbulu di Tojo, Tabatoki di Pamona, Owolu Marunduh di Mori tahun 1907. Pada tahun 1920-an telah muncul organisasi perjuangan yang diprakarsai oleh PSII dan Muhammadiyah dengan nama pejuang Merah Putih. Tercatatlah Haji Alauddin dan Haji Abdul Rahim di Bungku, Abdul Latif Mangitung dan Tanjumbulu di Tojo.
Kelompok yang kooperatif yang mau melanjutkan kekuasaan tradisionalnya dalam kekuasaan Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang diimplementasikan dalam kesepakatan Perjanjian Pendek (Korte Verklaring). Bagi wilayah Poso antara lain Kabosenya yang bernama Ta Lasa selaku penguasa pribumi yang juga diakui Belanda sebagai orang terpandang di wilayah Poso. Setelah masa Pendudukan Jepang kekuasaan Ta Lasa dilanjutkan oleh putranya Wongko Lemba Ta Lasa pada masa Jepang tahun 1943. Namun, di masa awal masuknya Belanda ada tokoh-tokoh Poso terkemuka lainnya seperti Taroea, Garoeda, Bengka, Boengesawah, dan Terinde. Demikian pula di Lore, tercatatlah Raja Kabo sebagai penguasa di daerah Vorstenlanden wilayah  Poso yang kemudian dilanjutkan oleh putranya Sudara Kabo. Aristokrasi Pribumi rupa-rupanya bisa membaca perubahan zaman sehingga mereka tetap eksis menampilkan karakter tradisionalistik mereka yang disebut oleh Belanda dan Jepang sebagai "Raja".
Secara agak sedikit makro Sulawesi Tengah, pada masa pemerintahan kolonial (Hindia Belanda) terdapat sejumlah kekerasan "Negara" terhadap tokoh masyarakat di Sulawesi Tengah. Kekerasan Negara kolonial kepada kelompok masyarakat dapat dilihat di Mori "Perlawanan Owolu Marunduh", di Napu "Perlawanan Umana Soli", di Tojo "Perlawanan Kolomboy", di Kulawi "Perlawanan Jilloy", di Moutong "Perlawanan Tombolotutu", dan di Tolitoli "Perlawanan Imam Haji Hayyun". Terkhusus Gerakan Imam Haji Hayyun di Tolitoli terhadap Kolonial Belanda karena hasil kajian dan analisis sejumlah pakar mengindikasikan adanya kekerasan terhadap masyarakat dan juga sebaliknya adanya kekerasan terhadap pejabat kolonial ditandai dengan terbunuhnya Kontrolir Angelino. Belanda dengan segala kekuasaannya menekan dan menindas kelompok Imam Haji Hayyun pada bulan Suci Ramadhan, padahal kelompok Imam Haji Hayyun memiliki ideologi Islam yang kuat dan sedang giat-giatnya mengembangkan gerakan Sarekat Islam (SI) di Tolitoli. Akhirnya terjadilah benturan dan kekerasan antara rakyat Tolitoli dan Belanda yang amat berarti dalam historiografi Indonesia terkhusus dalam historiografi kekerasan di Sulawesi Tengah. 
Dan dalam rentang waktu sekitar 1998-2005 banyak konflik komunal dan kekerasan meletus di Poso dan Palu. Merunut kondisi kesejarahan Kabupaten Poso dan Provinsi Sulawesi Tengah, sesungguhnya kondisi struktural yang mendorong pecahnya bibit konflik telah tumbuh terbentuk sejak lama. Secara politis, tahun 1960-an adalah saat penting dalam riwayat Republik ini. Kasus Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) yang melawan Permesta dalam bentuk kekerasan menjadi salah satu sebab Poso selalu dihiasi oleh kekerasan. Rezim Orde Baru berakar dari periode ini. Kendati begitu ekspansi ekonomi yang diterapkan baru mulai dirasakan di daerah pada tahun 1970-an atau bahkan awal 1980-an.
Tahun 1980-an ditandai oleh kelahiran konglomerat-konglomerat yang berbasis di Jakarta, namun menguasai sumberdaya alam dan ekonomi yang luas di daerah ini. Namun perlu diingat bahwa meskipun ekspansi ekonomi secara besar-besaran baru terjadi di tahun 1980-an, banyak elemennya sudah mulai ditanam di tahun 1930-an. Industri karet, kayu, batubara atau minyak (termasuk kelapa) dan kayu hitam (eboni) di Sulawesi Tengah dimulai di awal abad ke-20. Pun demikian pergerakan penduduk ke lain daerah ini tampaknya mulai meningkat di tahun 1930-an.
Jadi konflik sudah cukup jauh berakar pada masa silam. Sejarah Poso yang penuh dengan perubahan dan pluralitas ini sesungguhnya telah meninggalkan suatu pelajaran yang "baik" bagi generasi Poso kini. Tokoh aristokrasi, pejuang, agamawan dan tokoh-tokoh lainnya sepanjang satu abad lebih tampil "bekerjasama" dalam sebuah relasi baik itu dengan orang luar seperti orang Belanda dan Jepang dan tentu saja sesama warga masyarakat Poso dalam pemahaman tentang sebuah kalimat "Poso yang Kesulawesitimuran." 
Menyadari akar yang panjang dan relasi yang pernah terjalin baik antar-elemen masyarakat, untuk mengakhiri konflik Poso bernuansa konflik antar-umat beragama yang mulai meletus pada 1998 dan masih sedikit riak sampai awal 2005, Pemerintah Kabupaten Poso di bawah nakhoda Bupati Piet Inkiriwang menggagas pendidikan harmoni yang dimulai di sekolah-sekolah, terutama sekolah dasar.
Pendidikan Harmoni merupakan pendidikan kontekstual yang bertujuan untuk membangun dan mengembangkan nilai-nilai spiritual, moral, dan sosial yang diintegrasikan dengan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal untuk memunculkan lingkungan pembelajaran yang ramah agar anak dapat bertumbuh dan berkembang secara baik dalam penghargaan terhadap alam dan nilai-nilai lokal sambil tetap berpikir dalam skala nasional. Tiga aspek utama yang ditekankan dalam Pendidikan Harmoni adalah harmoni diri (dalam kesadaran sebagai makhluk ciptaan Sang Ilahi), harmoni sesama, dan harmoni alam.
Program pedidikan harmoni sendiri mulai dijalankan di Poso pada awal tahun 2007. Pemkab Poso menjalin kerja sama dengan Wahana Visi Indonesia (WVI) untuk menjalankan program pendidikan harmoni ini. Program pendidikan harmoni ini sengaja diluncurkan untuk menghilangkan stigmatisasi wilayah-wilayah tertentu di Poso sebagai basis kelompok komunitas agama tertentu. “Dulu ada kesan bahwa hanya orang Kristen yang boleh tinggal dan bersekolah di Tentena. Pun demikian hanya orang Islam yang tinggal dan bersekolah di Kota Poso. Ini yang kita hilangkan dengan program pendidikan harmoni,” urai Piet Inkiriwang.
“Ini yang terus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, hingga akhirnya semua bisa membaur dan bersatu kembali. Di Kota Poso banyak guru dan murid Kristen yang bersekolah, pun di tempat lain seperti Tentena sudah banyak guru dan murid beragama Islam yang sekolah di sana. Kondisi itu makin hari makin membaik hingga akhirnya sekarang tidak ada lagi istilah dominasi komunitas. Di mana saja mau bersekolah, bisa dan aman,” terang Bupati Piet Inkiriwang.
Semula Pendidikan Harmoni diterapkan sebagai sebuah program pemulihan pasca konflik kemanusiaan bagi anak-anak usia sekolah di Tentena, Poso dan Palu. Seiring dengan berjalannya waktu, dalam tiga tahun terakhir ini, Pendidikan Harmoni bertransformasi sebagai pendekatan untuk membangun karakter anak bangsa.
Hasil penelitian awal Wahana Visi Indonesia di Palu dan Poso tahun 2009 ditemukan bahwa pemahaman akan perbedaan suku dan agama yang ada di masyarakat masih lemah. Di Palu, 35 persen anak menyatakan tidak mau berteman dengan mereka yang berbeda agama dan 14,2 persen tidak tahu. Di Poso, 10,8 persen anak tidak mau berteman dan 15 persen tidak tahu. Pendidikan Harmoni kemudian dipilih untuk menjadi pendidikan kontekstual dengan tujuan membangun dan mengembangkan nilai- nilai spiritual, moral, dan sosial yang diintegrasikan dengan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal untuk memunculkan lingkungan pembelajaran yang ramah agar anak dapat bertumbuh dan berkembang secara baik dalam penghargaan terhadap alam dan nilai-nilai lokal sambil tetap berpikir dalam skala nasional.
Pendidikan harmoni lahir dari semangat apresiasi dalam keberagaman. Terdapat tiga pilar utama yang ditekankan dalam Pendidikan Harmoni, yakni harmoni diri dalam kesadaran sebagai makhluk ciptaan Sang Ilahi, harmoni sesama, dan harmoni alam. Nilai-nilai harmoni yang dikembangkan dalam harmoni diri adalah tanggung jawab, keyakinan pada ajaran agama, dan kepercayaan. Pada harmoni sesama, nilai-nilai yang dikembangkan adalah penghargaan, kejujuran, kepedulian; dan pada harmoni alam adalah ramah lingkungan, melindungi, kewarganegaraan.
Pendidikan Harmoni sejatinya adalah pada pendidikan damai. Pendekatan ini ingin memastikan nilai-nilai perdamaian, multikulturalisme, kemanusiaan, perlindungan anak, dan hak asasi manusia terintegrasi dalam kurikulum SD. Pendidikan Harmoni berbasis penghargaan pada multikulturalisme yang berlandaskan Pancasila dan dikembangkan dengan pengarus-utamaan nilai-nilai perdamaian dan perlindungan anak yang terintegrasi dalam kurikulum dan terimplementasi dalam proses belajar-mengajar.
Pendidikan Harmoni bukanlah satu mata pelajaran tersendiri, namun terintegrasi di semua kompetensi mata pelajaran ke dalam pengembangan diri siswa, kegiatan belajar-mengajar, dan penciptaan budaya sekolah. Proses ini dilakukan secara berkelanjutan sehingga terinternalisasi dalam identitas peserta didik atau siswa sebagai dampak pengiring sehingga terbentuk karakter yang baik yang terus berkembang dalam diri anak.
Pendidikan Harmoni diyakini mampu menjadi alternatif jawaban bagi penemuan kembali jati diri bangsa yang dulunya dikenal dengan berbagai filosofi kehidupan yang baik, sistem nilai dan moral, yang belakangan ini semakin sulit ditemukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dari bagian wilayah Indonesia paling tengah, di Provinsi Sulawesi Tengah, Pendidikan Harmoni lahir dan dikembangkan sebagai bentuk model pendidikan karakter yang kontekstual yang mampu menggali kembali warisan budaya dan kearifan lokal yang sejatinya telah mencontohkan kehidupan yang rukun dan damai baik kepada sesamanya maupun lingkungannya.

B.    Bersama Merancang Kurikulum Menghapus Sekat
Sukses pendidikan harmoni di Kabupaten Poso tidak terlepas dari kerja sama padu Ani Tumakaka (seorang guru di SDN Sangira, Tentena) dengan Ani Dako (Kepala Sekolah SDN 7 Poso). Kesamaan nama depan keduanya menjadikan mereka dikenal dengan sebutan "Ani Kuadrat".
"Jadi begini, tidak ada lagi anggapan itu orang Tentena, saya orang Poso. Kalau kita ketemu maka kita berbaur. Tidak ada lagi sana orang Poso. Tidak ada lagi simbol-simbol. Peranan untuk kita guru, kita tidak boleh mengatakan sana orang Tentena. Sudah tidak ada lagi kelompok: Islam itu kelompok putih, Kristen itu kelompok merah. Jadi, tidak ada lagi pengelompokan seperti itu. Saya harus jujur mengatakan itu," ucap Ani Dako.
Memang, sejak konflik massal di Poso yang berlangsung tahun 1998-2005, masyarakat merasakan kecurigaan, trauma, dan ketakutan. Ani Dako dan Ani Tumakaka pun tidak terkecuali, apalagi dalam kondisi saat itu mereka terpaksa "berdiri" sebagai pihak yang saling berlawanan. Namun, "Ani Kuadrat" sudah menganggapnya sebagai masa silam dan kini mereka telah melangkah bergandengan tangan menjalani lembaran baru.
"Apapun itu tergantung kita orang-orang tua. Kalau dihitung-hitung ya kita orang tua ini hidup berapa lama lagi sih. Tinggal kita mempersiapkan anak-anak. Jangan kita mewariskan yang cerita kemarin itu. Biarlah menjadi konflik kita orang tua. Anak-anak kita itu biar masuk ke era baru," ujar Ani Dako.
Tekad untuk melupakan masa silam, mereka terapkan dengan bersama mengembangkan Pendidikan Harmoni di institusi pendidikan tempat mereka berkarya. Dalam rentang 2010-2012, mereka menggiatkan Pendidikan Harmoni sebagai pendekatan untuk mewujud-nyatakan pembelajaran tentang pembangunan karakter anak bangsa yang sesuai dengan kondisi dan potensi daerah Sulawesi Tengah. Diharapkan pendekatan ini terus dapat meningkatkan kualitas pendidikan anak di Sulawesi Tengah yang mengacu pada standar isi dan standar kompetensi lulusan.
Nilai-nilai persahabatan antara Ani Tumakaka dan Ani Dako merambat pula dalam dinamika hubungan anak murid Ani Tumakaka ketika Pendidikan Harmoni diterapkan.
"Membiasakan anak-anak itu untuk menjadi tidak membedakan. Pendidikan Harmoni ini sangat bagus sekali. Dulu, anak-anak itu apalagi di kampung orangtuanya itu lumayan lah, (seorang) pegawai, sepertinya ada perbedaan. Yang orang-tuanya berada itu, dia menindas anak-anak yang lebih miskin. Kadang-kadang begitu. Sampai berkata-kata yang tidak bagus. Tapi setelah ada Pendidikan Harmoni ini, terjadi perubahan sikap yang cukup besar," tutur Ani Tumakaka.
Perubahan serupa juga terjadi dalam diri anak-anak didik Ani Dako. "Perubahan sikap di anak-anak. Jadi gini, kita hanya lebih banyak berbicara simbol. Perintah itu berkurang. Dalam teori pendidikan jangan terlalu banyak melarang. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Harmoni diri, harmoni sesama itu tertular di anak-anak. Ketika ada temannya berkelahi, (mereka mengingat) harmoni diri-harmoni diri," ujar Ani Dako.
Ibu dua orang anak ini memiliki komitmen yang tinggi untuk anak buahnya. Mengasuh 26 guru di sekolah yang dipimpinnya, ia membantu mereka untuk menerapkan pendidikan harmoni dengan menguatkan materi ajar yang telah dirancang para guru.
Biasanya, Ani Dako menggunakan momen-momen seperti apel pagi atau sholat berjamaah untuk memberikan penguatan tentang Pendidikan Harmoni. Berhubung waktu bertatap muka langsung hanya enam jam per pekan, Ani berusaha cermat menggunakan waktunya.
Tak lupa, jika ada pelatihan terkait bidang pendidikan, khususnya Pendidikan Harmoni, yang difasilitasi Wahana Visi Indonesia Kantor Operasional Poso, mitra World Vision Indonesia, Ani Dako akan mengikutkan lebih dari jumlah peserta yang ditetapkan. Kelebihan peserta tersebut didanai oleh dana sekolahnya. Tujuannya agar Pendidikan Harmoni dapat berimbas ke semua guru yang mengajar di sekolahnya.
Berbeda dengan metode yang diterapkan Ani Dako, Ani Tumakaka menggiatkan peran orangtua dalam proses belajar-mengajar. Di kelas yang diajarnya, dibuat paguyuban kelas di mana per pekannya ada dua orang perwakilan orangtua yang datang ke kelas dan melihat proses belajar-mengajar di kelas. Mereka dapat melihat secara langsung tingkah laku anak ketika berada di kelas.
Hal ini dilakukan mengingat perilaku anak berbeda saat berada di sekolah dengan ketika di rumah. Di sekolah, seorang anak bisa saja mengganggu temannya atau mengambil pensil temannya di kelas. Sementara saat di rumah, si anak tidak nakal karena takut kepada orangtuanya. Maka, orangtua yang datang ke sekolah lah yang memberitahukan kepada orangtua si anak tentang kenakalan tersebut.
Tidak cukup sampai di situ, para orangtua anak didik juga terlibat dalam menyediakan fasilitas yang dibutuhkan dalam proses belajar-mengajar. Menurut nenek satu cucu ini, hal ini bisa terjadi juga berkat kehadiran Pendidikan Harmoni.
"Berkat adanya pendidikan harmoni ini, orangtua juga sudah bisa bersatu membantu pendidikan anak. Kalau dulu, orangtua cuek-cuek saja, tidak ambil pusing. Urusan sekolah urusan belajar (tanggung jawab) guru-guru. Bukan tanggung jawab kita orangtua. Kalau sekarang, ibu apa yang kurang di kelas? Semua mereka. Tirai, taplak meja, dan alat-alat pembelajaran yang lain, orangtua bersedia membantu," papar Ani Tumakaka.
Tak lupa, Ani Tumakaka memberikan apresiasi dan motivasi bagi siswanya yang berhasil menjawab pertanyaan secara benar.
Pendidikan Harmoni juga berperan dalam mendisiplinkan anak didik Ani Tumakaka. Sebagai contoh, saat baris-berbaris anak-anak cepat berbaris tertib cukup dengan sekali aba-aba.
Kerjasama "Ani Kuadrat" juga tergambar ketika mereka merancang kegiatan Kemah Harmoni di mana anak-anak sekolah dasar berkumpul selama empat hari dan belajar lebih dalam lagi tentang Pendidikan Harmoni di Siuri Cottage, Tentena, 18-21 Juli 2011 lalu.
Kegiatan ini mengkondisikan para peserta untuk berkenalan dan bertemu dengan anak-anak yang mereka belum kenal selama ini dan kemungkinan berbeda dari mereka.
"Anak-anak sekarang tidak merasa bahwa oh ini dia agama Islam, oh ini dia agama Kristen. Kelihatan sekali ketika kita mengadakan Kemah Harmoni selama empat hari," kata Ani Dako.
Ani Tumakaka dan Ani Dako boleh berbeda keyakinan tetapi mereka satu persepsi dan kemauan dalam hal visi dan misi demi peningkatan kualitas anak-anak di Sulawesi Tengah, terkhusus di Kabupaten Poso.
"Kita ini guru di Tentena, guru di Poso, guru di Palu punya satu visi. Semua itu untuk anak-anak. Bahwa apapun yang kita lakukan, semua itu untuk anak-anak. Sangat besar manfaatnya," ujar Ani Dako.
Ani Dako dan Ani Tumakaka bersatu padu menjadi "Ani Kuadrat". Meskipun tetap memiliki perbedaan, namun mereka tetap bekerja sama untuk mencapai hidup anak yang seutuhnya bagi anak-anak Poso. Maka, benarlah kata Mahatma Gandhi, perbedaan pun terbukti berguna, selama ada toleransi.
Sebagai bagian dari pelaku lapangan pada program pendidikan harmoni, Ani Dako sangat merasakan pahit-getirnya perjuangan sebelum sukses diraih. “Saya dan guru lain yang Muslim sering ditakut-takuti kalau mau ke Tentena. Pun teman-teman guru Kristen yang akan masuk ke kota Poso sering pula ditakuti-takuti,” kisahnya.
Namun upaya mereka bersama dalam memperjuangkan pendidikan harmoni di sekolah-sekolah mulai SD, SMP, hingga SMA Sederajat terus berjalan hingga program pendidikan harmoni berhasil dijalankan di sekolah-sekolah di kota Poso dan kota Tentena.
Program pendidikan harmoni sudah efektif dilaksanakan selama lima tahun (2009-2014) di Poso. Dalam kurun waktu 5 tahun, pendidikan harmoni sudah diterapkan di 14 Sekolah Dasar Model, 21 Sekolah dampak atau imbas, 7 SMP dan 9 PAUD yang tersebar di 10 Kecamatan. Terdapat empat sekolah menjadi contoh sukses program pendidikan harmoni. Empat sekolah ini merupakan sekolah unggulan di Poso yakni SDN 7 Poso Kota, SDN 2 Poso Kota Utara, SD Muhammadiyah Poso Kota Utara, dan MI Muhammadiyah Poso Kota Utara. Di Tentena sendiri ada 12 sekolah percontohan pendidikan harmoni, dua di antaranya adalah SD GKST Tentena dan SMP Negeri Tentena.
Di sekolah, program pendidikan harmoni masih masuk dalam program ekstra-kurikuler sekolah. Bentuk pendidikan harmoni yang diterapkan di sekolah-sekolah di Poso adalah pendidikan yang mengedepankan sikap dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal yang disesuaikan dengan budaya dan agama. “Bagaimana kita bisa menerima perbedaan, itulah yang terpenting,” demikian kata Ani Dako, Kepala SDN 7 Kota Poso itu.

C.   Lisnawati, Sosok Hasil Pendidikan Harmoni
Lisnawati Patinggi, demikian nama lengkapnya. Teman-temannya biasa memanggil dengan sebutan Elis. Ia ingat saat pertama kali menjadi anak santun Wahana Visi Indonesia (WVI) di wilayah Poso, Sulawesi Tengah. Ia baru duduk di kelas 4 Sekolah Dasar.
Elis dan keluarganya dulu merupakan pengungsi akibat konflik sosial berdarah yang terjadi di wilayah tersebut. Rumah dan peralatan sekolahnya terbakar gara-gara kerusuhan yang terjadi. Mereka harus pindah ke kota dan tinggal di tempat penampungan sementara sebagai pengungsi.
Konflik telah meninggalkan trauma psikologis yang mengganggu dirinya selama beberapa waktu. Selama terlibat dalam program-program Wahana Visi Indonesia, ia mengikuti konseling dan berangsur-angsur guncangan batin dan kesedihannya sirna.
"Kapan saya bisa bergabung dalam program-program Wahana Visi? Mengapa anak-anak yang lain bisa ikut dan saya tidak?” Itulah keinginannya saat dia masih duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP), ketika ia melihat rekan-rekan sebayanya terlibat dalam kegiatan anak-anak yang diorganisir oleh Wahana Visi Indonesia.
Waktu baginya pun tiba ketika perayaan Hari Anak Nasional di Kecamatan Pamona Utara yang difasilitasi oleh Wahana Visi. Dia termasuk salah seorang anak yang aktif terlibat dalam kegiatan. Staf lapangan dari Wahana Visi pun kemudian memintanya untuk membantu mengorganisir anak-anak santun yang bersekolah di SMPN 1 Pamona Utara, sekolah tempat Elis menimba ilmu.
Kemampuannya dalam memimpin menjadikannya terpilih sebagai Ketua Kreativitas Anak dan Pusat Pengembangan di Kecamatan Pamona Utara. Elis dan teman-temannya merencanakan berbagai kegiatan positif, termasuk perayaan ulang tahun yang disebut Birthday Bounce Back yang kegiatannya dikelola oleh anak-anak.
"Saya terlibat dalam berbagai kegiatan anak di Wahana Visi, mulai perayaan Hari Anak Nasional. Saya membantu dalam pelatihan pendidikan anak usia dini, komite forum anak, pelatihan kesehatan reproduksi, pelatihan pencegahan kekerasan terhadap anak, sampai ikut studi banding pendidikan anak usia dini ke Singkawang, Kalimantan Barat," tuturnya bangga.
"Dengan bergabung dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan itu, saya merasa lebih percaya diri. Bakat saya pun dipertajam. Saya sangat beruntung mendapatkan kesempatan ini," kata Elis, seraya menambahkan bahwa Tuhan telah begitu baik kepadanya karena Wahana Visi telah melayani masyarakat di wilayahnya.
Dia juga menjadi fasilitator pendidikan usia dini dengan membuat modul dan model alat pendidikan lokal di beberapa desa. Dia juga belajar menggunakan internet lalu mengajarkan pemakaian internet secara positif kepada anak-anak yang lain. Orangtuanya mendukung penuh kegiatannya, termasuk kepala sekolahnya di SMUK GKST 2.
"Saya sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang diadakan Wahana Visi. Namun, kuncinya bagaimana mengelola waktu secara bijaksana. Semua yang saya pelajari penting untuk meraih mimpi-mimpi saya," ujar Elis yang mendapat peringkat 1 di kelasnya.
Elis mengakui bahwa kehadiran Wahana Visi sangat menolong anak-anak yang berkekurangan seperti dirinya.
"Wahana Visi di Poso telah memperkenalkan kepada kami banyak ilmu yang berguna. Kami bisa mengakses berbagai informasi melalui internet di Kreativitas Anak dan Pusat Pengembangan," ucap Elis.
Orangtua Elis bermata-pencaharian sebagai petani yang hidup secara sederhana dan bersahaja. Elis adalah sulung dari tiga bersaudara. Jika ia ingin melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi maka akan menyulitkan orangtuanya yang berpenghasilan terbatas.
"Jadi, saya ingin rajin belajar sehingga usaha orangtua saya yang telah membayar uang sekolah saya, tidak sia-sia. Orangtua saya tidak kaya tapi untuk kebutuhan sekolah saya, orangtua tidak pernah berpikir dua kali. Mereka selalu berusaha menyediakan apa yang saya butuhkan untuk pendidikan saya," kata Elis yang bercita-cita ingin menjadi guru.
Melalui pelatihan yang difasilitasi Wahana Visi seperti pendidikan usia dini, kesehatan reproduksi, kelompok belajar dan forum anak, Elis dan rekan-rekannya dapat membangun dan meningkatkan kepemimpinan, kepercayaan diri, keterampilan berbicara di depan publik dan pengembangan talenta lainnya.
"Wahana Visi telah berperan sangat penting dengan menyediakan jalan menuju masa depan," ucap Elis dengan kepercayaan diri dan hati bersyukur yang tiada henti.

D.   Selepas WVI, Pendidikan Harmoni di Poso Harus Terus Dijaga
Pendidikan Harmoni yang digagas Bupati Piet Inkiriwang bersama Wahana Visi Indonesia (WVI) di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, telah  mengubah wajah pendidikan anak-anak di bekas daerah konflik itu lebih harmoni, lebih terbuka daripada wajah sebelumnya yang terkesan eksklusif sejak konflik melanda daerah itu pada 1998-2005.
WVI yang telah berkiprah selama lima tahun di Poso itu mengakhiri masa tugasnya pada Desember 2014. Namun bukan berarti pendidikan karakter berbasis harmoni yang telah digagas WVI ini ikut berakhir pula.
Oleh Pemerintah Kabupaten Poso --melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Poso-- Pendidikan Harmoni yang diwarisi WVI tersebut dijadikan salah satu program di semua jenjang pendidikan di wilayah Kabupaten Poso. Hal itu dikuatkan dengan payung hukum berupa Peraturan Bupati Nomor 14 Tahun 2014 Tanggal 19 Mei 2014 tentang penyelenggaraan pendidikan karakter berbasis harmoni.
Menjelang mengakhiri kerja-kerja pendidikan dan sosial di Poso beberapa waktu lalu, bersama sejumlah sekolah dampingan yang ada di kota Poso dan Tentena, WVI ADP Poso menggelar pelaksanaan perayaan transisi proyek pendidikan WVI ADP Poso ke dalam program Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Kegiatan yang dipusatkan di halaman Kantor Dinas P dan P pada awal September 2014 tersebut dimeriahkan dengan antraksi anak-anak sekolah dari atraksi tarian hingga drama.
Ketua panitia pelaksana, Ani Dako, mengatakan bahwa perayaan tersebut untuk mempublikasikan keterlaksanaan dan pencapaian proyek pendidikan WVI ADP Poso melalui pendampingan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), SD dan SMP di Poso.
Ani Dako berharap sekolah terus mengembangkan kemandirian dampingan agar tetap berkomitmen mengembangkan dan melaksanakan pendidikan harmoni  di semua satuan pendidikan.
Acara perayaan itu dihadiri pula Wakil Bupati Kabupaten Poso Syamsuri, Bunda PAUD Kabupaten Poso Ellen E. Pelealu Inkiriwang, Kadis P dan P Wangintowe Tundugi dan para guru pendamping serta murid-murid perwakilan dari masing-masing sekolah peserta Pendidikan Harmoni.
Wakil Bupati Syamsuri memberi ucapan terima kasih atas apa yang telah dilakukan oleh WVI dalam membantu Pemkab Poso memajukan pendidikan, khususnya pengembangan karakter anak, di wilayah Poso.
Sementara itu Manager WVI Region Sulteng, Agnes Wulandari, dalam kesempatan itu mengucap syukur dan berterimah kasih karena Pemda dan para guru pendamping telah berkomitmen untuk terus melanjutkan Pendidikan Harmoni di Poso.
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kabupaten Poso Purnama Megati MH mengaku gembira bahwa program Pendidikan Harmoni di Poso memperoleh penghargaan dari Indonesian MDGs Award (IMA) yang diserahkan langsung Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono (SBY) kepada Bupati Poso Drs Piet Inkiriwang MM di Denpasar, Bali. "Ini merupakan bagian bukti nyata keberhasilan dunia pendidikan Poso dalam ikut serta membangun Poso yang aman dan damai," ujar Purnama.
Penilaian keberhasilan Poso dalam bidang pendidikan harmoni dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan Wahana Visi Indonesia (WVI). Menurut Purnama, Poso mendapat penghargaan IMA di bidang pendidikan harmoni karena anak-anak atau murid sekolah yang ada di Poso sudah bisa saling menerima perbedaan (SARA) pascakonflik.
Sikap siswa untuk bisa saling menerima perbedaan ini menjadi kriteria penilaian utama sukses program pendidikan harmoni. "Nyatanya memang anak-anak sekolahan di Poso sudah saling membaur dengan nilai persaudaraan yang tinggi pascakonflik. Dan itu terus berjalan hingga sekarang," terang mantan Kabag Kesbang Kabupaten Poso ini.
Selain itu, lanjut Purnama, jumlah anak putus sekolah yang terus ditekan dan mengalami penurunan dari tahun ke tahun pun menjadi nilai tambah. Termasuk angka partisipasi kasar bagi siswa yang mengalami kenaikan, serta siswa aktif dalam proses pembelajaran di kelas yang semakin baik menjadi tambahan penilaian MDGs soal pendidikan harmoni di Poso. "Dari semua kriteria yang dinilai itulah, Poso mampu meraih penghargaan ini,” ujar Purnama.
Sekadar pengetahuan bahwa MDGs merupakan forum tahunan sebagai apresiasi bagi para pelaku pembangunan yang berwawasan MDGs (tujuan pembangunan millennium) yang dianggap terbaik dari seluruh Nusantara. Khusus dalam sektor penggerak pembangunan, tercatat hanya Kabupaten Poso yang memperoleh penghargaan dari seluruh kabupaten/ kota di Indonesia. (*)




No comments:

Post a Comment