* ENAM
Perbedaan
antara apa yang kita lakukan dan apa yang mampu kita lakukan sudah cukup untuk
menyelesaikan kebanyakan persoalan yang ada di dunia ini. Perbedaan itu
berguna, selama ada toleransi.
Mahatma Gandhi, Tokoh
Kemerdekaan India
BALI,
akhir Maret 2013. Dua buah apresiasi diterima oleh Bupati
Poso Piet Inkiriwang dari Indonesian MDGs Award (IMA) yang diserahkan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Masing-masing adalah piagam di bidang pendidikan
harmoni dan penghargaan di bidang pembangunan daerah. Apresiasi ini diberikan
lantaran Piet Inkiriwang berhasil mengubah Kabupaten Poso dari wilayah sarat
konflik menjadi daerah damai dan kondusif dalam membangun
Benar bahwa piagam
pembangunan di bidang pendidikan harmoni disabet Piet dari Indonesia MDGs, karena
dipandang sukses membangun harmonisasi sosial pendidikan pasca konflik Poso,
dan penghargaan bidang pembangunan daerah pun diraih lantaran dia dianggap
sukses membangun Poso pasca konflik.
Kedua jenis penghargaan yang
berbeda itu diterima Bupati Poso Piet Inkiriwang dalam suatu upacara penyerahan
resmi oleh Presiden SBY di Bali. “Ini prestasi untuk kita semua. Bukan cuma
untuk bupati, tapi juga untuk segenap warga masyarakat Kabupaten Poso,” jelas
Piet Inkiriwang saat memamerkan piagam tersebut kepada khalayak warga Kabupaten
Poso beberapa hari berselang setelah
penerimaan penghargaan di Bali. Dia menambahkan, “Apa yang sudah kita lakukan
selama ini tidak lah sia-sia. Ini prestasi yang luar biasa bagi Poso.”
Pamer penghargaan yang
sama telah pula dilakukan Bupati Piet kepada anggota DPRD Kabupaten Poso saat
sidang paripurna LKPJ Bupati Tahun 2012, akhir Maret 2013. “Ini prestasi kita
bersama yang akan lebih memotivasi eksekutif dan legislatif untuk berbuat yang
lebih baik di masa yang akan datang,” tuturnya tatkala menunjukkan dua
penghargaan pembangunan berbeda di hadapan sidang paripurna DPRD Kabupaten
Poso.
Di hadapan khalayak dan
juga saat sidang paripurna, Bupati Piet menyatakan bahwa hanya Kabupaten Poso
yang menerima dua jenis penghargaan tersebut. Baik penghargaan di bidang
pembangunan pendidikan harmoni, maupun di bidang pembangunan daerah. “Tidak ada
runner up di penghargaan ini. Cuma
Poso yang dapat,” tegasnya.
Khusus untuk pembangunan
pendidikan harmoni, Piet bahkan mengklaimnya Poso sebagai yang pertama di
dunia. “Poso akan menjadi percontohan proyek pembangunan pendidikan harmoni.
Bukan hanya di Indonesia, tapi juga bagi dunia internasional,” tekannya bangga.
Piet menuturkan bahwa tidak
gampang merintis dan memperjuangkan program pendidikan harmoni dimulai di
sekolah-sekolah di daerah yang dinakhodainya. “Butuh ketekunan, kerja keras,
dan jiwa besar untuk melaksanakan program pendidikan harmoni,” tuturnya.
A.
Bermula
dari Gagasan Merekatkan Ragam Masyarakat
Berbeda dengan Kota Palu
yang memang terbentuk oleh keadaan politik. Kota Palu yang tampak pluralistik
warganya sampai kemudian Walikota Rusdy Mastura mengusung jargon Nosarara Nosabatutu (Bersaudara dan
Bersatu). Jargon ini pada intinya menjelaskan keberagaman yang ada di Kota Palu
memang perlu disikapi secara baik, karena setiap persoalan kecil dapat menjadi
besar, apabila manusia yang tinggal di Kota Palu tidak merasa bersaudara dan
bersatu. Ketercapaian penerapan konsepsi dapat menciptakan hal-hal positif
dalam pengembangan kota.
Sementara itu Poso
menjadi kota karena dipersiapkan oleh kaum kolonial Belanda, ketika Belanda
menempatkan Missionaris Kristen di kota ini. Dan di dalam wilayah Poso sendiri
telah memiliki sistem politik tradisional yang berjalan secara turun-temurun.
Sistem politik
tradisional di Poso dapat diperhatikan dalam struktur kekuasaan Kerajaan
Pamona, Tojo, Lore, dan Mori. Kerajaan Pamona dipimpin oleh seorang Datu Pamona dan dibantu oleh Mokole, Karaja, Kabosenya, dan Palili. Kerajaan Mori dipimpin juga oleh
seorang Datu atau Mokole dibantu oleh Bonto (Perdana Menteri), Karua
(Penghubung), Mokole Mpalili (Orang
Tua Kampung). Kerajaan Lore atau Pekurehua yang biasa juga disebut Napu juga memiliki sistem pemerintahan
yang dipimpin oleh seorang Magau yang
dibantu oleh Biti Magau, Kapal, dan Pasule. Kerajaan Tojo diperintah oleh
seorang Mokole yang dibantu oleh dua
orang Patih (Perdana Menteri), Kabosenya atau Kepala Suku, Hakim,
Pengawal, dan Kepala Perang. Gelar tersebut juga dipakai di Kerajaan Sigi dan
Kerajaan Luwu. Istilah-istilah tradisional tersebut di awal abad ke-20 berubah
menjadi konsep-konsep sistem politik Barat oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Dalam rangka mengatur dan
melindungi sistem kekuasaan yang akan diterapkan, Pemeintah Hindia Belanda
membagi daerah Poso menjadi dua bagian utama, yakni daerah yang dikontrol
langsung (Rechtsreeksbestuursgebied
atau Governementslanden) dan daerah
yang tidak langsung dikontrol (Zelfbestuurslandschappen
atau Vorstelanden). Daerah yang
dikontrol langsung dibagi lagi menjadi afdeelingen
dan sub bagiannya onder afdeelingen. Afdelingen dipimpin langsung oleh
seorang kontroleur Belanda tetapi yang memerintah dipegang oleh seorang Bupati.
Bupati adalah seorang penguasa baru yang dibuat oleh Belanda untuk menggantikan konsep Mokole, Magau, Karaja, Datu, Kabosenya,
sebagai penguasa tertinggi tradisional di wilayah Poso. Bupati inilah yang
menguasai keseluruhan Regentchaapen
(Kabupaten).
Pada masa pendudukan Jepang juga diterapkan
sistem pemerintahan a la Jepang.
Kebijakan pemerintahan pendudukan Jepang dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor
27 dan 28 Tanggal 5 Agustus 1942 yang mengatur sistem pemerintahan untuk
menggantikan sistem pemerintahan Hindia Belanda. Berdasarkan Undang-undang
tersebut, Residentie digantikan
dengan Ken yang dipimpin oleh seorang
Shuchokan (dulu Resident), Regentschap
diganti dengan Ken yang dipimpin oleh
Kencho (dulu Regent/Bupati), District
diganti menjadi Gun yang dipimpin
oleh Guncho (dulu Wedana), dan Onder District diganti menjadi Son yang dipimpin oleh Soncho (dulu Asisten Wedana).
Sistem pemerintahan Barat
yang diterapkan oleh Belanda dan Jepang memiliki perbedaan yang amat mendasar
dengan sistem kekuasaan tradisional di tanah Poso. Integrasi politik Hindia
Belanda dan Pendudukan Jepang di Poso dapat dilihat dalam perlawanan-perlawanan
yang ditampilkan oleh tokoh-tokoh lokal seperti Ama (Umana Soli) di Pekurehua
tahun 1907, Kolomboy yang dilanjutkan oleh anaknya Tanjumbulu di Tojo, Tabatoki
di Pamona, Owolu Marunduh di Mori tahun 1907. Pada tahun 1920-an telah muncul
organisasi perjuangan yang diprakarsai oleh PSII dan Muhammadiyah dengan nama
pejuang Merah Putih. Tercatatlah Haji Alauddin dan Haji Abdul Rahim di Bungku,
Abdul Latif Mangitung dan Tanjumbulu di Tojo.
Kelompok yang kooperatif
yang mau melanjutkan kekuasaan tradisionalnya dalam kekuasaan Hindia Belanda
dan Pendudukan Jepang diimplementasikan dalam kesepakatan Perjanjian Pendek (Korte Verklaring). Bagi wilayah Poso
antara lain Kabosenya yang bernama Ta
Lasa selaku penguasa pribumi yang juga diakui Belanda sebagai orang terpandang
di wilayah Poso. Setelah masa Pendudukan Jepang kekuasaan Ta Lasa dilanjutkan
oleh putranya Wongko Lemba Ta Lasa pada masa Jepang tahun 1943. Namun, di masa
awal masuknya Belanda ada tokoh-tokoh Poso terkemuka lainnya seperti Taroea,
Garoeda, Bengka, Boengesawah, dan Terinde. Demikian pula di Lore, tercatatlah
Raja Kabo sebagai penguasa di daerah Vorstenlanden wilayah Poso yang kemudian dilanjutkan oleh putranya
Sudara Kabo. Aristokrasi Pribumi rupa-rupanya bisa membaca perubahan zaman
sehingga mereka tetap eksis menampilkan karakter tradisionalistik mereka yang
disebut oleh Belanda dan Jepang sebagai "Raja".
Secara agak sedikit makro
Sulawesi Tengah, pada masa pemerintahan kolonial (Hindia Belanda) terdapat sejumlah
kekerasan "Negara" terhadap tokoh masyarakat di Sulawesi Tengah.
Kekerasan Negara kolonial kepada kelompok masyarakat dapat dilihat di Mori
"Perlawanan Owolu Marunduh", di Napu "Perlawanan Umana
Soli", di Tojo "Perlawanan Kolomboy", di Kulawi "Perlawanan
Jilloy", di Moutong "Perlawanan Tombolotutu", dan di Tolitoli
"Perlawanan Imam Haji Hayyun". Terkhusus Gerakan Imam Haji Hayyun di
Tolitoli terhadap Kolonial Belanda karena hasil kajian dan analisis sejumlah
pakar mengindikasikan adanya kekerasan terhadap masyarakat dan juga sebaliknya
adanya kekerasan terhadap pejabat kolonial ditandai dengan terbunuhnya
Kontrolir Angelino. Belanda dengan segala kekuasaannya menekan dan menindas
kelompok Imam Haji Hayyun pada bulan Suci Ramadhan, padahal kelompok Imam Haji
Hayyun memiliki ideologi Islam yang kuat dan sedang giat-giatnya mengembangkan
gerakan Sarekat Islam (SI) di Tolitoli. Akhirnya terjadilah benturan dan
kekerasan antara rakyat Tolitoli dan Belanda yang amat berarti dalam
historiografi Indonesia terkhusus dalam historiografi kekerasan di Sulawesi
Tengah.
Dan dalam rentang waktu
sekitar 1998-2005 banyak konflik komunal dan kekerasan meletus di Poso dan Palu.
Merunut kondisi kesejarahan Kabupaten Poso dan Provinsi Sulawesi Tengah,
sesungguhnya kondisi struktural yang mendorong pecahnya bibit konflik telah
tumbuh terbentuk sejak lama. Secara politis, tahun 1960-an adalah saat penting
dalam riwayat Republik ini. Kasus Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) yang
melawan Permesta dalam bentuk kekerasan menjadi salah satu sebab Poso selalu
dihiasi oleh kekerasan. Rezim Orde Baru berakar dari periode ini. Kendati begitu
ekspansi ekonomi yang diterapkan baru mulai dirasakan di daerah pada tahun
1970-an atau bahkan awal 1980-an.
Tahun 1980-an ditandai
oleh kelahiran konglomerat-konglomerat yang berbasis di Jakarta, namun
menguasai sumberdaya alam dan ekonomi yang luas di daerah ini. Namun perlu
diingat bahwa meskipun ekspansi ekonomi secara besar-besaran baru terjadi di
tahun 1980-an, banyak elemennya sudah mulai ditanam di tahun 1930-an. Industri
karet, kayu, batubara atau minyak (termasuk kelapa) dan kayu hitam (eboni) di
Sulawesi Tengah dimulai di awal abad ke-20. Pun demikian pergerakan penduduk ke
lain daerah ini tampaknya mulai meningkat di tahun 1930-an.
Jadi konflik sudah cukup
jauh berakar pada masa silam. Sejarah Poso yang penuh dengan perubahan dan
pluralitas ini sesungguhnya telah meninggalkan suatu pelajaran yang
"baik" bagi generasi Poso kini. Tokoh aristokrasi, pejuang, agamawan
dan tokoh-tokoh lainnya sepanjang satu abad lebih tampil
"bekerjasama" dalam sebuah relasi baik itu dengan orang luar seperti
orang Belanda dan Jepang dan tentu saja sesama warga masyarakat Poso dalam
pemahaman tentang sebuah kalimat "Poso yang Kesulawesitimuran."
Menyadari akar yang
panjang dan relasi yang pernah terjalin baik antar-elemen masyarakat, untuk
mengakhiri konflik Poso bernuansa konflik antar-umat beragama yang mulai
meletus pada 1998 dan masih sedikit riak sampai awal 2005, Pemerintah Kabupaten
Poso di bawah nakhoda Bupati Piet Inkiriwang menggagas pendidikan harmoni yang
dimulai di sekolah-sekolah, terutama sekolah dasar.
Pendidikan Harmoni
merupakan pendidikan kontekstual yang bertujuan untuk membangun dan
mengembangkan nilai-nilai spiritual, moral, dan sosial yang diintegrasikan
dengan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal untuk memunculkan lingkungan
pembelajaran yang ramah agar anak dapat bertumbuh dan berkembang secara baik
dalam penghargaan terhadap alam dan nilai-nilai lokal sambil tetap berpikir
dalam skala nasional. Tiga aspek utama yang ditekankan dalam Pendidikan Harmoni
adalah harmoni diri (dalam kesadaran sebagai makhluk ciptaan Sang Ilahi),
harmoni sesama, dan harmoni alam.
Program pedidikan harmoni
sendiri mulai dijalankan di Poso pada awal tahun 2007. Pemkab Poso menjalin
kerja sama dengan Wahana Visi Indonesia (WVI) untuk menjalankan program
pendidikan harmoni ini. Program pendidikan harmoni ini sengaja diluncurkan
untuk menghilangkan stigmatisasi wilayah-wilayah tertentu di Poso sebagai basis
kelompok komunitas agama tertentu. “Dulu ada kesan bahwa hanya orang Kristen
yang boleh tinggal dan bersekolah di Tentena. Pun demikian hanya orang Islam
yang tinggal dan bersekolah di Kota Poso. Ini yang kita hilangkan dengan
program pendidikan harmoni,” urai Piet Inkiriwang.
“Ini yang terus
diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, hingga akhirnya semua bisa membaur dan
bersatu kembali. Di Kota Poso banyak guru dan murid Kristen yang bersekolah,
pun di tempat lain seperti Tentena sudah banyak guru dan murid beragama Islam
yang sekolah di sana. Kondisi itu makin hari makin membaik hingga akhirnya
sekarang tidak ada lagi istilah dominasi komunitas. Di mana saja mau
bersekolah, bisa dan aman,” terang Bupati Piet Inkiriwang.
Semula Pendidikan Harmoni
diterapkan sebagai sebuah program pemulihan pasca konflik kemanusiaan bagi
anak-anak usia sekolah di Tentena, Poso dan Palu. Seiring dengan berjalannya
waktu, dalam tiga tahun terakhir ini, Pendidikan Harmoni bertransformasi
sebagai pendekatan untuk membangun karakter anak bangsa.
Hasil penelitian awal
Wahana Visi Indonesia di Palu dan Poso tahun 2009 ditemukan bahwa pemahaman
akan perbedaan suku dan agama yang ada di masyarakat masih lemah. Di Palu, 35
persen anak menyatakan tidak mau berteman dengan mereka yang berbeda agama dan
14,2 persen tidak tahu. Di Poso, 10,8 persen anak tidak mau berteman dan 15
persen tidak tahu. Pendidikan Harmoni kemudian dipilih untuk menjadi pendidikan
kontekstual dengan tujuan membangun dan mengembangkan nilai- nilai spiritual,
moral, dan sosial yang diintegrasikan dengan nilai-nilai budaya dan kearifan
lokal untuk memunculkan lingkungan pembelajaran yang ramah agar anak dapat
bertumbuh dan berkembang secara baik dalam penghargaan terhadap alam dan
nilai-nilai lokal sambil tetap berpikir dalam skala nasional.
Pendidikan harmoni lahir
dari semangat apresiasi dalam keberagaman. Terdapat tiga pilar utama yang
ditekankan dalam Pendidikan Harmoni, yakni harmoni diri dalam kesadaran sebagai
makhluk ciptaan Sang Ilahi, harmoni sesama, dan harmoni alam. Nilai-nilai
harmoni yang dikembangkan dalam harmoni diri adalah tanggung jawab, keyakinan
pada ajaran agama, dan kepercayaan. Pada harmoni sesama, nilai-nilai yang
dikembangkan adalah penghargaan, kejujuran, kepedulian; dan pada harmoni alam
adalah ramah lingkungan, melindungi, kewarganegaraan.
Pendidikan Harmoni
sejatinya adalah pada pendidikan damai. Pendekatan ini ingin memastikan
nilai-nilai perdamaian, multikulturalisme, kemanusiaan, perlindungan anak, dan
hak asasi manusia terintegrasi dalam kurikulum SD. Pendidikan Harmoni berbasis
penghargaan pada multikulturalisme yang berlandaskan Pancasila dan dikembangkan
dengan pengarus-utamaan nilai-nilai perdamaian dan perlindungan anak yang
terintegrasi dalam kurikulum dan terimplementasi dalam proses belajar-mengajar.
Pendidikan Harmoni
bukanlah satu mata pelajaran tersendiri, namun terintegrasi di semua kompetensi
mata pelajaran ke dalam pengembangan diri siswa, kegiatan belajar-mengajar, dan
penciptaan budaya sekolah. Proses ini dilakukan secara berkelanjutan sehingga
terinternalisasi dalam identitas peserta didik atau siswa sebagai dampak
pengiring sehingga terbentuk karakter yang baik yang terus berkembang dalam
diri anak.
Pendidikan Harmoni diyakini
mampu menjadi alternatif jawaban bagi penemuan kembali jati diri bangsa yang
dulunya dikenal dengan berbagai filosofi kehidupan yang baik, sistem nilai dan
moral, yang belakangan ini semakin sulit ditemukan dalam kehidupan
bermasyarakat. Dari bagian wilayah Indonesia paling tengah, di Provinsi
Sulawesi Tengah, Pendidikan Harmoni lahir dan dikembangkan sebagai bentuk model
pendidikan karakter yang kontekstual yang mampu menggali kembali warisan budaya
dan kearifan lokal yang sejatinya telah mencontohkan kehidupan yang rukun dan
damai baik kepada sesamanya maupun lingkungannya.
B.
Bersama
Merancang Kurikulum Menghapus Sekat
Sukses pendidikan harmoni
di Kabupaten Poso tidak terlepas dari kerja sama padu Ani Tumakaka (seorang
guru di SDN Sangira, Tentena) dengan Ani Dako (Kepala Sekolah SDN 7 Poso).
Kesamaan nama depan keduanya menjadikan mereka dikenal dengan sebutan "Ani
Kuadrat".
"Jadi begini, tidak
ada lagi anggapan itu orang Tentena, saya orang Poso. Kalau kita ketemu maka kita
berbaur. Tidak ada lagi sana orang Poso. Tidak ada lagi simbol-simbol. Peranan
untuk kita guru, kita tidak boleh mengatakan sana orang Tentena. Sudah tidak
ada lagi kelompok: Islam itu kelompok putih, Kristen itu kelompok merah. Jadi,
tidak ada lagi pengelompokan seperti itu. Saya harus jujur mengatakan
itu," ucap Ani Dako.
Memang, sejak konflik
massal di Poso yang berlangsung tahun 1998-2005, masyarakat merasakan
kecurigaan, trauma, dan ketakutan. Ani Dako dan Ani Tumakaka pun tidak
terkecuali, apalagi dalam kondisi saat itu mereka terpaksa "berdiri"
sebagai pihak yang saling berlawanan. Namun, "Ani Kuadrat" sudah
menganggapnya sebagai masa silam dan kini mereka telah melangkah bergandengan
tangan menjalani lembaran baru.
"Apapun itu
tergantung kita orang-orang tua. Kalau dihitung-hitung ya kita orang tua ini hidup
berapa lama lagi sih. Tinggal kita mempersiapkan anak-anak. Jangan kita
mewariskan yang cerita kemarin itu. Biarlah menjadi konflik kita orang tua.
Anak-anak kita itu biar masuk ke era baru," ujar Ani Dako.
Tekad untuk melupakan
masa silam, mereka terapkan dengan bersama mengembangkan Pendidikan Harmoni di
institusi pendidikan tempat mereka berkarya. Dalam rentang 2010-2012, mereka
menggiatkan Pendidikan Harmoni sebagai pendekatan untuk mewujud-nyatakan
pembelajaran tentang pembangunan karakter anak bangsa yang sesuai dengan
kondisi dan potensi daerah Sulawesi Tengah. Diharapkan pendekatan ini terus
dapat meningkatkan kualitas pendidikan anak di Sulawesi Tengah yang mengacu
pada standar isi dan standar kompetensi lulusan.
Nilai-nilai persahabatan
antara Ani Tumakaka dan Ani Dako merambat pula dalam dinamika hubungan anak
murid Ani Tumakaka ketika Pendidikan Harmoni diterapkan.
"Membiasakan
anak-anak itu untuk menjadi tidak membedakan. Pendidikan Harmoni ini sangat
bagus sekali. Dulu, anak-anak itu apalagi di kampung orangtuanya itu lumayan
lah, (seorang) pegawai, sepertinya ada perbedaan. Yang orang-tuanya berada itu,
dia menindas anak-anak yang lebih miskin. Kadang-kadang begitu. Sampai
berkata-kata yang tidak bagus. Tapi setelah ada Pendidikan Harmoni ini, terjadi
perubahan sikap yang cukup besar," tutur Ani Tumakaka.
Perubahan serupa juga
terjadi dalam diri anak-anak didik Ani Dako. "Perubahan sikap di
anak-anak. Jadi gini, kita hanya lebih banyak berbicara simbol. Perintah itu
berkurang. Dalam teori pendidikan jangan terlalu banyak melarang. Tidak boleh
ini, tidak boleh itu. Harmoni diri, harmoni sesama itu tertular di anak-anak.
Ketika ada temannya berkelahi, (mereka mengingat) harmoni diri-harmoni
diri," ujar Ani Dako.
Ibu dua orang anak ini
memiliki komitmen yang tinggi untuk anak buahnya. Mengasuh 26 guru di sekolah
yang dipimpinnya, ia membantu mereka untuk menerapkan pendidikan harmoni dengan
menguatkan materi ajar yang telah dirancang para guru.
Biasanya, Ani Dako menggunakan
momen-momen seperti apel pagi atau sholat berjamaah untuk memberikan penguatan
tentang Pendidikan Harmoni. Berhubung waktu bertatap muka langsung hanya enam
jam per pekan, Ani berusaha cermat menggunakan waktunya.
Tak lupa, jika ada
pelatihan terkait bidang pendidikan, khususnya Pendidikan Harmoni, yang
difasilitasi Wahana Visi Indonesia Kantor Operasional Poso, mitra World Vision
Indonesia, Ani Dako akan mengikutkan lebih dari jumlah peserta yang ditetapkan.
Kelebihan peserta tersebut didanai oleh dana sekolahnya. Tujuannya agar
Pendidikan Harmoni dapat berimbas ke semua guru yang mengajar di sekolahnya.
Berbeda dengan metode
yang diterapkan Ani Dako, Ani Tumakaka menggiatkan peran orangtua dalam proses
belajar-mengajar. Di kelas yang diajarnya, dibuat paguyuban kelas di mana per pekannya
ada dua orang perwakilan orangtua yang datang ke kelas dan melihat proses
belajar-mengajar di kelas. Mereka dapat melihat secara langsung tingkah laku anak
ketika berada di kelas.
Hal ini dilakukan
mengingat perilaku anak berbeda saat berada di sekolah dengan ketika di rumah.
Di sekolah, seorang anak bisa saja mengganggu temannya atau mengambil pensil
temannya di kelas. Sementara saat di rumah, si anak tidak nakal karena takut
kepada orangtuanya. Maka, orangtua yang datang ke sekolah lah yang
memberitahukan kepada orangtua si anak tentang kenakalan tersebut.
Tidak cukup sampai di
situ, para orangtua anak didik juga terlibat dalam menyediakan fasilitas yang
dibutuhkan dalam proses belajar-mengajar. Menurut nenek satu cucu ini, hal ini
bisa terjadi juga berkat kehadiran Pendidikan Harmoni.
"Berkat adanya
pendidikan harmoni ini, orangtua juga sudah bisa bersatu membantu pendidikan
anak. Kalau dulu, orangtua cuek-cuek saja, tidak ambil pusing. Urusan sekolah
urusan belajar (tanggung jawab) guru-guru. Bukan tanggung jawab kita orangtua.
Kalau sekarang, ibu apa yang kurang di kelas? Semua mereka. Tirai, taplak meja,
dan alat-alat pembelajaran yang lain, orangtua bersedia membantu," papar
Ani Tumakaka.
Tak lupa, Ani Tumakaka memberikan
apresiasi dan motivasi bagi siswanya yang berhasil menjawab pertanyaan secara
benar.
Pendidikan Harmoni juga
berperan dalam mendisiplinkan anak didik Ani Tumakaka. Sebagai contoh, saat
baris-berbaris anak-anak cepat berbaris tertib cukup dengan sekali aba-aba.
Kerjasama "Ani
Kuadrat" juga tergambar ketika mereka merancang kegiatan Kemah Harmoni di mana
anak-anak sekolah dasar berkumpul selama empat hari dan belajar lebih dalam
lagi tentang Pendidikan Harmoni di Siuri Cottage, Tentena, 18-21 Juli 2011
lalu.
Kegiatan ini
mengkondisikan para peserta untuk berkenalan dan bertemu dengan anak-anak yang
mereka belum kenal selama ini dan kemungkinan berbeda dari mereka.
"Anak-anak sekarang
tidak merasa bahwa oh ini dia agama Islam, oh ini dia agama Kristen. Kelihatan
sekali ketika kita mengadakan Kemah Harmoni selama empat hari," kata Ani
Dako.
Ani Tumakaka dan Ani Dako
boleh berbeda keyakinan tetapi mereka satu persepsi dan kemauan dalam hal visi
dan misi demi peningkatan kualitas anak-anak di Sulawesi Tengah, terkhusus di
Kabupaten Poso.
"Kita ini guru di
Tentena, guru di Poso, guru di Palu punya satu visi. Semua itu untuk anak-anak.
Bahwa apapun yang kita lakukan, semua itu untuk anak-anak. Sangat besar
manfaatnya," ujar Ani Dako.
Ani Dako dan Ani Tumakaka
bersatu padu menjadi "Ani Kuadrat". Meskipun tetap memiliki
perbedaan, namun mereka tetap bekerja sama untuk mencapai hidup anak yang
seutuhnya bagi anak-anak Poso. Maka, benarlah kata Mahatma Gandhi, perbedaan
pun terbukti berguna, selama ada toleransi.
Sebagai bagian dari
pelaku lapangan pada program pendidikan harmoni, Ani Dako sangat merasakan
pahit-getirnya perjuangan sebelum sukses diraih. “Saya dan guru lain yang
Muslim sering ditakut-takuti kalau mau ke Tentena. Pun teman-teman guru Kristen
yang akan masuk ke kota Poso sering pula ditakuti-takuti,” kisahnya.
Namun upaya mereka
bersama dalam memperjuangkan pendidikan harmoni di sekolah-sekolah mulai SD,
SMP, hingga SMA Sederajat terus berjalan hingga program pendidikan harmoni
berhasil dijalankan di sekolah-sekolah di kota Poso dan kota Tentena.
Program pendidikan
harmoni sudah efektif dilaksanakan selama lima tahun (2009-2014) di Poso. Dalam
kurun waktu 5 tahun, pendidikan harmoni sudah diterapkan di 14 Sekolah Dasar
Model, 21 Sekolah dampak atau imbas, 7 SMP dan 9 PAUD yang tersebar di 10
Kecamatan. Terdapat empat sekolah menjadi contoh sukses program pendidikan
harmoni. Empat sekolah ini merupakan sekolah unggulan di Poso yakni SDN 7 Poso
Kota, SDN 2 Poso Kota Utara, SD Muhammadiyah Poso Kota Utara, dan MI
Muhammadiyah Poso Kota Utara. Di Tentena sendiri ada 12 sekolah percontohan
pendidikan harmoni, dua di antaranya adalah SD GKST Tentena dan SMP Negeri
Tentena.
Di sekolah, program
pendidikan harmoni masih masuk dalam program ekstra-kurikuler sekolah. Bentuk
pendidikan harmoni yang diterapkan di sekolah-sekolah di Poso adalah pendidikan
yang mengedepankan sikap dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai kearifan
lokal yang disesuaikan dengan budaya dan agama. “Bagaimana kita bisa menerima
perbedaan, itulah yang terpenting,” demikian kata Ani Dako, Kepala SDN 7 Kota
Poso itu.
C.
Lisnawati,
Sosok Hasil Pendidikan Harmoni
Lisnawati Patinggi, demikian
nama lengkapnya. Teman-temannya biasa memanggil dengan sebutan Elis. Ia ingat saat
pertama kali menjadi anak santun Wahana Visi Indonesia (WVI) di wilayah Poso,
Sulawesi Tengah. Ia baru duduk di kelas 4 Sekolah Dasar.
Elis dan keluarganya dulu
merupakan pengungsi akibat konflik sosial berdarah yang terjadi di wilayah
tersebut. Rumah dan peralatan sekolahnya terbakar gara-gara kerusuhan yang
terjadi. Mereka harus pindah ke kota dan tinggal di tempat penampungan
sementara sebagai pengungsi.
Konflik telah
meninggalkan trauma psikologis yang mengganggu dirinya selama beberapa waktu. Selama
terlibat dalam program-program Wahana Visi Indonesia, ia mengikuti konseling
dan berangsur-angsur guncangan batin dan kesedihannya sirna.
"Kapan saya bisa
bergabung dalam program-program Wahana Visi? Mengapa anak-anak yang lain bisa
ikut dan saya tidak?” Itulah keinginannya saat dia masih duduk di Sekolah
Menengah Pertama (SMP), ketika ia melihat rekan-rekan sebayanya terlibat dalam
kegiatan anak-anak yang diorganisir oleh Wahana Visi Indonesia.
Waktu baginya pun tiba
ketika perayaan Hari Anak Nasional di Kecamatan Pamona Utara yang difasilitasi
oleh Wahana Visi. Dia termasuk salah seorang anak yang aktif terlibat dalam
kegiatan. Staf lapangan dari Wahana Visi pun kemudian memintanya untuk membantu
mengorganisir anak-anak santun yang bersekolah di SMPN 1 Pamona Utara, sekolah
tempat Elis menimba ilmu.
Kemampuannya dalam
memimpin menjadikannya terpilih sebagai Ketua Kreativitas Anak dan Pusat
Pengembangan di Kecamatan Pamona Utara. Elis dan teman-temannya merencanakan
berbagai kegiatan positif, termasuk perayaan ulang tahun yang disebut Birthday Bounce Back yang kegiatannya
dikelola oleh anak-anak.
"Saya terlibat dalam
berbagai kegiatan anak di Wahana Visi, mulai perayaan Hari Anak Nasional. Saya
membantu dalam pelatihan pendidikan anak usia dini, komite forum anak,
pelatihan kesehatan reproduksi, pelatihan pencegahan kekerasan terhadap anak,
sampai ikut studi banding pendidikan anak usia dini ke Singkawang, Kalimantan
Barat," tuturnya bangga.
"Dengan bergabung
dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan itu, saya merasa lebih percaya diri. Bakat
saya pun dipertajam. Saya sangat beruntung mendapatkan kesempatan ini,"
kata Elis, seraya menambahkan bahwa Tuhan telah begitu baik kepadanya karena
Wahana Visi telah melayani masyarakat di wilayahnya.
Dia juga menjadi
fasilitator pendidikan usia dini dengan membuat modul dan model alat pendidikan
lokal di beberapa desa. Dia juga belajar menggunakan internet lalu mengajarkan
pemakaian internet secara positif kepada anak-anak yang lain. Orangtuanya
mendukung penuh kegiatannya, termasuk kepala sekolahnya di SMUK GKST 2.
"Saya sibuk dengan
kegiatan-kegiatan yang diadakan Wahana Visi. Namun, kuncinya bagaimana
mengelola waktu secara bijaksana. Semua yang saya pelajari penting untuk meraih
mimpi-mimpi saya," ujar Elis yang mendapat peringkat 1 di kelasnya.
Elis mengakui bahwa kehadiran
Wahana Visi sangat menolong anak-anak yang berkekurangan seperti dirinya.
"Wahana Visi di Poso
telah memperkenalkan kepada kami banyak ilmu yang berguna. Kami bisa mengakses
berbagai informasi melalui internet di Kreativitas Anak dan Pusat Pengembangan,"
ucap Elis.
Orangtua Elis bermata-pencaharian
sebagai petani yang hidup secara sederhana dan bersahaja. Elis adalah sulung
dari tiga bersaudara. Jika ia ingin melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang
lebih tinggi maka akan menyulitkan orangtuanya yang berpenghasilan terbatas.
"Jadi, saya ingin rajin
belajar sehingga usaha orangtua saya yang telah membayar uang sekolah saya,
tidak sia-sia. Orangtua saya tidak kaya tapi untuk kebutuhan sekolah saya,
orangtua tidak pernah berpikir dua kali. Mereka selalu berusaha menyediakan apa
yang saya butuhkan untuk pendidikan saya," kata Elis yang bercita-cita ingin
menjadi guru.
Melalui pelatihan yang
difasilitasi Wahana Visi seperti pendidikan usia dini, kesehatan reproduksi,
kelompok belajar dan forum anak, Elis dan rekan-rekannya dapat membangun dan
meningkatkan kepemimpinan, kepercayaan diri, keterampilan berbicara di depan
publik dan pengembangan talenta lainnya.
"Wahana Visi telah
berperan sangat penting dengan menyediakan jalan menuju masa depan," ucap
Elis dengan kepercayaan diri dan hati bersyukur yang tiada henti.
D.
Selepas
WVI, Pendidikan Harmoni di Poso Harus Terus Dijaga
Pendidikan Harmoni yang
digagas Bupati Piet Inkiriwang bersama Wahana Visi Indonesia (WVI) di Kabupaten
Poso, Sulawesi Tengah, telah mengubah
wajah pendidikan anak-anak di bekas daerah konflik itu lebih harmoni, lebih
terbuka daripada wajah sebelumnya yang terkesan eksklusif sejak konflik melanda
daerah itu pada 1998-2005.
WVI yang telah berkiprah
selama lima tahun di Poso itu mengakhiri masa tugasnya pada Desember 2014.
Namun bukan berarti pendidikan karakter berbasis harmoni yang telah digagas WVI
ini ikut berakhir pula.
Oleh Pemerintah Kabupaten
Poso --melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Poso-- Pendidikan Harmoni yang
diwarisi WVI tersebut dijadikan salah satu program di semua jenjang pendidikan
di wilayah Kabupaten Poso. Hal itu dikuatkan dengan payung hukum berupa
Peraturan Bupati Nomor 14 Tahun 2014 Tanggal 19 Mei 2014 tentang
penyelenggaraan pendidikan karakter berbasis harmoni.
Menjelang mengakhiri
kerja-kerja pendidikan dan sosial di Poso beberapa waktu lalu, bersama sejumlah
sekolah dampingan yang ada di kota Poso dan Tentena, WVI ADP Poso menggelar
pelaksanaan perayaan transisi proyek pendidikan WVI ADP Poso ke dalam program
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Kegiatan yang dipusatkan
di halaman Kantor Dinas P dan P pada awal September 2014 tersebut dimeriahkan
dengan antraksi anak-anak sekolah dari atraksi tarian hingga drama.
Ketua panitia pelaksana,
Ani Dako, mengatakan bahwa perayaan tersebut untuk mempublikasikan
keterlaksanaan dan pencapaian proyek pendidikan WVI ADP Poso melalui
pendampingan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), SD dan SMP di Poso.
Ani Dako berharap sekolah
terus mengembangkan kemandirian dampingan agar tetap berkomitmen mengembangkan
dan melaksanakan pendidikan harmoni di
semua satuan pendidikan.
Acara perayaan itu
dihadiri pula Wakil Bupati Kabupaten Poso Syamsuri, Bunda PAUD Kabupaten Poso
Ellen E. Pelealu Inkiriwang, Kadis P dan P Wangintowe Tundugi dan para guru
pendamping serta murid-murid perwakilan dari masing-masing sekolah peserta Pendidikan
Harmoni.
Wakil Bupati Syamsuri memberi
ucapan terima kasih atas apa yang telah dilakukan oleh WVI dalam membantu Pemkab
Poso memajukan pendidikan, khususnya pengembangan karakter anak, di wilayah
Poso.
Sementara itu Manager WVI
Region Sulteng, Agnes Wulandari, dalam kesempatan itu mengucap syukur dan
berterimah kasih karena Pemda dan para guru pendamping telah berkomitmen untuk
terus melanjutkan Pendidikan Harmoni di Poso.
Kepala Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kabupaten Poso Purnama Megati MH mengaku gembira
bahwa program Pendidikan Harmoni di Poso memperoleh penghargaan dari Indonesian
MDGs Award (IMA) yang diserahkan langsung Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono
(SBY) kepada Bupati Poso Drs Piet Inkiriwang MM di Denpasar, Bali. "Ini
merupakan bagian bukti nyata keberhasilan dunia pendidikan Poso dalam ikut
serta membangun Poso yang aman dan damai," ujar Purnama.
Penilaian keberhasilan
Poso dalam bidang pendidikan harmoni dilakukan oleh pemerintah bekerjasama
dengan Wahana Visi Indonesia (WVI). Menurut Purnama, Poso mendapat penghargaan
IMA di bidang pendidikan harmoni karena anak-anak atau murid sekolah yang ada
di Poso sudah bisa saling menerima perbedaan (SARA) pascakonflik.
Sikap siswa untuk bisa
saling menerima perbedaan ini menjadi kriteria penilaian utama sukses program
pendidikan harmoni. "Nyatanya memang anak-anak sekolahan di Poso sudah
saling membaur dengan nilai persaudaraan yang tinggi pascakonflik. Dan itu
terus berjalan hingga sekarang," terang mantan Kabag Kesbang Kabupaten
Poso ini.
Selain itu, lanjut
Purnama, jumlah anak putus sekolah yang terus ditekan dan mengalami penurunan
dari tahun ke tahun pun menjadi nilai tambah. Termasuk angka partisipasi kasar
bagi siswa yang mengalami kenaikan, serta siswa aktif dalam proses pembelajaran
di kelas yang semakin baik menjadi tambahan penilaian MDGs soal pendidikan
harmoni di Poso. "Dari semua kriteria yang dinilai itulah, Poso mampu
meraih penghargaan ini,” ujar Purnama.
Sekadar pengetahuan bahwa
MDGs merupakan forum tahunan sebagai apresiasi bagi para pelaku pembangunan
yang berwawasan MDGs (tujuan pembangunan millennium) yang dianggap terbaik dari
seluruh Nusantara. Khusus dalam sektor penggerak pembangunan, tercatat hanya
Kabupaten Poso yang memperoleh penghargaan dari seluruh kabupaten/ kota di
Indonesia. (*)
No comments:
Post a Comment