Nila Djumita F Moeloek. Foto: Antara/ Juan Zaelani
Nila Djuwita Moeloek tidak menyangka pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), di Istana Negara, di pertengahan Oktober lalu bakal menjadi pintu masuk bagi dirinya menjadi menteri kesehatan di Kabinet Kerja.
Dalam pertemuan itu, Presiden dan Nila banyak berbincang seputar masalah kesehatan. Namun, menurut dia, saat itu belum ada sinyalemen dirinya bakal diangkat menjadi orang nomor satu di Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Bagi dia, wajar saja jika Presiden memanggil dirinya.
Maklum, saat itu Nila masih menjabat Utusan Khusus Presiden RI Bidang Millennium De velopment Goals (MDGs), yang tentunya sedikit banyak paham seluk-beluk bidang kesehatan nasional.
Baru setelah mendapat pesan pendek dari istana, yang isinya meminta dia ke istana guna mengambil setelan baju putih dan rok hitam, wanita kelahiran Jakarta, 65 tahun lalu itu merasa mendapat sinyal dirinya akan ditunjuk sebagai menteri kesehatan.
“Seusai di-briefing sebentar, akhirnya saya tahu akan menjadi menteri,“ ujar Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tersebut kepada wartawan, beberapa hari setelah pelantikan, di Jakarta.
Meski sempat mengaku tidak mempunyai firasat, ia tidak terlalu kaget. Maklum, sebelumnya Nila sempat disebut-sebut menjadi calon kuat menkes pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dan sempat mengikuti proses seleksi calon menteri. Namun, jelang pengumuman kabinet, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) justru menunjuk Endang Rahayu Sedyaningsih sebagai menkes.
Sebagai dokter yang tergolong senior dan aktivis di bidang kesehatan sejak lama, Nila terlihat seperti sudah menguasai panggung bidang kesehatan. Ketika dilantik, selain masih menjadi utusan khusus MDGs, ibu tiga anak itu aktif memimpin sejumlah organisasi di Indonesia.
Di antaranya menjabat Ketua Umum Dharma Wanita Persatuan, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia, dan Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia. MDGs Ketika disinggung soal prioritas programnya, dengan mantap, istri mantan menteri kesehatan di Kabinet Reformasi Pembangunan, Faried Anfasa Moeloek, itu mengatakan mencapai target MDGs. Target khususnya menekan angka kematian ibu (AKI) yang hingga kini masih tinggi.
“Menurunkan AKI bukan perkara ringan. Karena itu, saya butuh dukungan bersama agar capaian target MDGs 2015 bisa tercapai,“ sebut dokter spesialis mata lulusan FKUI itu.
Menurut dia, bicara soal MDGs berarti bicara soal kemiskinan.Kemiskinan tidak lepas dari masalah hilirnya, yaitu kesehatan. Di dalam kesehatan itu, ada persoalan gender, angka kematian ibu, angka kematian bayi dan balita, penyakit menular, serta lingkungan (air dan sanitasi). Kesehatan itu terkait dengan ketahanan pangan atau masalah kurang gizi.
Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, angka kematian ibu saat melahirkan mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup.
Jumlah itu meningkat tajam jika dibandingkan dengan data SDKI 2007, yakni AKI melahirkan sebanyak 228 per 100 ribu kelahiran hidup. Ditambahkan, banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka kematian ibu dan anak itu. Hal itu termasuk tidak berjalannya penerapan program kebijakan kesehatan di tingkat daerah, minimnya fasilitas dan tenaga kesehatan, buruknya infrastruktur, dan makin banyaknya perempuan yang menikah dini.
Umumnya perempuan yang meninggal saat melahirkan disebabkan tiga faktor utama. Pertama keterlambatan pembuatan keputusan untuk menentukan tempat kelahiran yang masih ditentukan orangtua. Kedua, hambatan akses jalur transportasi dan, ketiga, keterlambatan penanganan tenaga bidan dan dokter.
Lebih jauh Nila mengatakan banyak program yang sudah berjalan dan sangat strategis untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Satu di antaranya ialah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Lewat JKN, semua kelompok masyarakat, termasuk yang miskin dan rentan, mendapatkan jaminan pemeliharaan kesehatan.
Terlebih ada pemberlakuan kartu Indonesia sehat (KIS) yang menyempurnakan program JKN. Dengan KIS, cakupan orang miskin dan rentan, yang iur premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatannya ditanggung negara, diperluas. Tidak hanya itu, tambah dia, manfaat (benefit) program itu diperluas, seperti pemberian imunisasi dan pemeriksaan dini. (http://rona.metrotvnews.com)
No comments:
Post a Comment