Tuesday, October 11, 2016

Sistem Jaminan Sosial Nasional Identitas Negara Kesejahteraan


0
Para pendiri bangsa Indonesia mencita-citakan Negara Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum dengan prinsip keadilan social. Pada kenyataannya pembangunan yang dilakukan semenjak Indonesia merdeka hanya dinikmati segelintir masyarakat dan memarjinalkan sebagian lainnya. Pengamat ekonomi yang berpandangan kerakyatan menganggap pembangunan yang telah terjadi jauh dari apa yang telah dicita-citakan dalam Konstitusi Indonesia (UUD 1945).
Rezim orde baru dalam melaksanakan pembangunan menggunakan kedok pembangunan ekonomi pancasila walau pada kenyataannya menganut ekonomi pasar. Undang – undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dengan jelas bagaimana pemerintah membuka keran investasi asing untuk menguasai perekonomian Indonesia. Ideologi ekonomi pasar ini tetap berlanjut hingga masa reformasi ini .Dan semakin merusak ketika undang-undang tentang otonomi daerah disahkan. Merusak hingga ke pelosok-pelosok negeri hingga menyebabkan para petani dan masyarakat hukum adat tercerabut dari akar sosial mereka. Masyarakat pada akhirnya hanya menjadi objek dari pembangunan bukan sebagai partisipan dan subjek dari pembangunan. Konsekuensinya adalah kemiskinan dan ketimpangan social yang berujung pada kerusuhan social menjadi hasil akhir pembangunan.

Amartya Sen seorang filsuf sosial dan ekonom dari Cambridge University melihat bahwa tujuan dari pembangunan adalah untuk membebaskan manusia. Sen mengkritik konsep pembangunan yang hanya menggunakan pendekatan akumulasi kekayaan, pertumbuhan pendapatan per kapita penduduk dan variable lainnya yang terkait pendapatan. Pembangunan seharusnya mengukur seberapa banyak kebebasan yang dimiliki. Selain itu pembangunan seharusnya terkait dengan parameter kesejahteraan dan demokrasi. Jikalau pembangunan kemudian akan diukur dengan parameter pendapatan, hal ini hanyalah salah satu factor yang menyumbang terhadap kesejahteraan dan kebebasan, bukan menjadi satu-satunya factor. Karena bagaimanapun juga pembangunan merupakan upaya perluasan kemampuan rakyat – expansion of peoples capability – dan lebih jauh lagi pembangunan merupakan media pembebasan – development as freedom.
Konsep pembangunan sebagai pembebasan bagi manusia menjadi sangat relevan dengan hak asasi manusia (HAM). HAM menegaskan bahwa tanggung jawab pemenuhan, penghormatan dan penegakan HAM diemban sepenuhnya oleh negara dan dilaksanakan langsung oleh pemerintah. Ketika sebagian masyarakat masih berada dibawah garis kemiskinan menjadi kewajiban pemerintah mengintervensi untuk mensejahterakannya. Pemerintah telah melaksanakan kewajibannya dengan melakukan intervensi melalui alokasi kebijakan anggaran (APBN) untuk belanja program-program kesejahteraan sosial dan jaminan sosial. Contohnya dengan mengalokasikan anggaran untuk program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang merupakan perlindungan kesehatan dan didanai oleh pemerintah pusat dari pendapatan pajak. Program Jamkesmas ini diperuntukan bagi masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.
Konstitusi Indonesia Pasal 34 ayat (2) memang menyebutkan kewajiban Negara untuk mengembangkan sistem jaminan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Kewajiban ini yang kemudian diterjemahkan dalam undang-undang No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). SJSN akan dilaksanakan oleh badan yang dibentuk oleh pemerintah (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) dengan mengintegrasikan seluruh program jaminan nasional yang tersebar di empat lembaga penyelenggara seperti Jamsostek, Askes, Asabri dan Taspen.
Undang-undang Jaminan social yang akan melindungi seluruh rakyat Indonesia bukan tidak mendapat tentangan, pada kenyataannya undang-undang ini sudah dua kali digugat konstitusionalnya. Penentangan yang paling menarik adalah ketika masyarakat yang diwakili oleh Dewan Kesehatan Rakyat, Perkumpulan Serikat Rakyat Miskin Kota, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia menggugat keharusan pembayaran premi. Menurut para pemohon ini SJSN yang mewajibkan pembayaran iuran bertentangan dengan UUD 1945. Menurut para penggugat, BPJS seperti yang diamanatkan dalam UU No 40/2004, hanya akan mengeksploitasi rakyat dan menguntungkan pemerintah karena semua rakyat Indonesia harus membayar premi jaminan sosial kepada lembaga tersebut. Disamping itu, pembayaran premi wajib bagi semua warga negara, terlepas mereka status sosial ekonomi mereka, untuk semua program jaminan sosial yang diadakan oleh pemerintah telah mengaburkan antara jaminan sosial dan asuransi sosial.
Secara khusus alasan para penggugat karena ketentuan pelaksanaan jaminan social yang mewajibkan para pesertanya untuk membayar iuran pada pasal 17 ayat (1) UU No.40 tahun 2004 adalah bukti bahwa Negara mengabaikan kewajibannya dalam memenuhi hak jaminan social bagi warganya. Hal ini bertentangan dengan UUD 45 pasal 34 ayat (1) dan pasal 28I ayat (4). Kemudian pada pasal 17 ayat (2) UU No.40/2004 mengenai pemberian kewenangan kepada pihak pemberi kerja untuk memungut iuran dari para pekerjanya yang kemudian disetorkan pada badan penyelenggara jaminan sosial setelah ditambahi iuran dari pihak pemberi kerja dianggap sebagai pengalihan tanggung jawab Negara kepada sector swasta dan masyarakat. Padahal menurut Pasal 34 ayat (2) & (3) Negara bertanggung jawab terhadap jaminan kesejahteraan bagi rakyat.
Gugatan masyarakat ini menarik ditelusuri, karena sepanjang sejarah, Indonesia belum pernah mengimplementasikan varian dari konsep Welfare State (lihat box tulisan)dalam praktek jaminan social yang sesuai dengan UUD 45 dan Pancasila. Jika memang UU 40/2004 hanya untuk memanipulasi tanggung jawab Negara dalam mensejahterakan rakyat maka Mahkamah Konstitusi (MK) harus membatalkan undang-undang tersebut.
Mahkamah Konstitusi pada akhirnya menolak seluruh gugatan para penggugat. Dalam putusan tersebut MK menganggap dalil-dalil yang diajukan penggugat bahwa system asuransi social yang terkandung dalam UU No.40/2004 inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 34 UUD 1945 tidak beralasan. Pendapat ini menguatkan putusan MK pada tahun 2005 (No.007/PUU-III/2005) tentang konstitusional system asuransi social yang terdapat di Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional…”UU SJSN telah cukup memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, dalam arti bahwa system jaminan social yang dipilih UU SJSN telah cukup menjabarkan maksud konstitusi yang menghendaki agar system jaminan social yang dikembangkan mencakup seluruh rakyat dan bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan…”
Dengan jelas putusan MK merestui system jaminan social nasional di Indonesia mengadopsi konsep asuransi social. Dalam hal ini berarti Indonesia cenderung pada model institutionalist welfare state versi rejim Konservatif karena sistem ini tidak sepenuhnya diserahkan kepada pihak swasta. Pemerintah tetap bertanggung jawab terhadap jaminan social seluruh warga negara yang akan dikelola oleh sebuah badan hukum yang dibentuk pemerintah berdasarkan undang-undang. Selain itu prinsip subsidi yang menjadi ciri dari rejim Konservatif juga diterapkan dimana pemerintah bertanggung jawab terhadap warga negara yang tidak mampu untuk membayar iuran wajib. MK membenarkan SJSN berdasarkan tafsiran pemerintah dalam ideology Negara Kesejahteraan dengan kebijakan Institusionalis model Konservatif bukan Institusionalis model Demokrasi Sosial seperti yang diinginkan oleh para penggugat.
Mahkamah Konstitusional mempetimbangkan bahwa konstitusi negara Indonesia telah memberikan kriteria konstitusionalnya pada pasal 34 ayat (2)”komprehensif dan pemberdayaan masyarakat tidak mampu” telah dapat dipenuhi dalam SJSN yang terdapat dalam UU No.40/2004. Sistem jaminan social nasional yang mewajibkan orang berkemampuan untuk membayar premi dan pemerintah membayar premi bagi orang tidak mampu merupakan pengejewantahan dari pasal 34 ayat (2) diatas serta penerapan dari prinsip asuransi social juga kegotong-royongan.
Welfare State dan Variannya :
Secara garis besar definisi dari Welfare State adalah tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warganya. DalamEncyclopedia Britannica, welafare state didefinisikan sebagai konsep pemerintahan yang menganggap Negara memiliki peranan kunci dalam menjaga dan memajukan kesejahteraan ekonomi dan social warganya. welfare state  pada the Concise Oxford Dictionary of Politics didefinisikan sebagai system dimana Negara menyatakan diri bertanggung jawab untuk menyediakan jaminan social dan ekonomi yang mendasar.
Secara mendasar welfare state diasosiasikan dengan pemenuhan kebutuhan dasar yang dilaksanakan sebagai mekanisme pemerataan kesenjangan ekonomi dan sosial yang merupakan ekses dari system ekonomi pasar. Aspek pengentasan kemiskinan dan pajak yang progresif juga menjadi salah satu sifat dari welfare state. Pajak progresif dilakukan sebagai langkah mendistribusikan pendapatan secara merata bukan hanya untuk memaksimalkan pendapatan negara. Dari pajak progresif inilah subsidi dan kesejahteraan dan asuransi social dibiayai, walaupun tidak secara penuh. Pada Negara penganut ideology sosialis, welfare state juga mencakup jaminan pekerjaan. Oleh karena itu prinsip welfare state berdasarkan pada prinsip persamaan kesempatan, pemerataan pendapatan, dan tanggung jawab public bagi mereka yang tidak mampu menyediakan kebutuhan minimum mereka sendiri.
Pada beberapa Negara maju, konsep welfare state secara garis besar terbagi dalam dua varian yang terbagi berdasarkan seberapa besar tanggung jawab Negara dalam menjamin kesejahteraan social bagi rakyatnya. Varian itu adalah institutional welfare state dan residualist welfare state. Perbedaan mendasar antara kedua model adalah: institutional welfare state, negara memposisikan diri bertanggung jawab untuk menjamin standar hidup yang layak bagi semua warga dan memberikan hak-hak universal; konsekuensinya, semakin banyak syarat yang diletakkan oleh negara agar warganya bisa mengakses hak-hak universal tadi dan semakin lemah dan kurang dampak pemerataan dari program perlindungan tadi. Sedangkan residualist welfare state, negara baru terlibat mengurusi persoalan kesejahteraan ketika sumber daya yang lain, termasuk disini layanan yang disediakan swasta dengan cara membeli asuransi, keluarga dan masyarakat, tidak memadai. Dalam hal ini menempatkan ketentuan minimal untuk menentukan siapa yang berhak mendapat tunjangan kesejahteraan dan menempatkan individu bertanggung jawab lebih besar terhadap kesejahteraanya melalui asuransi.
Esping-Andersen yang disebut sebagai Bapak perbandingan welfare state membagi menjadi tiga tipologi berdasarkan bagaimana pemerintah bekerja dengan, atau untuk mengatasi pengaruh dari pasar yang menyebabkan kesenjangan social. Tiga tipologi ini dibagi berdasarkan gerakan politik yang berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad ke-20 yaitu Demokrasi Sosial, Konservatisme, dan Liberalisme. Pada ideology welfare state yang diwarnai demokrasi social didasarkan pada prinsip universalisme dimana negara bertanggung jawab terhadap semua program social warganya. Sistem ini memberikan tingkat otonomi yang tinggi dan membatasi ketergantungan individu pada keluarga dan mekanisme pasar. Sedangkan ideology welfare state  konservatisme system didasarkan pada subsidi dan dominasi skema asuransi social. Pada sistem ini pemerintah berusaha untuk mengurangi ketergantungan individu terhadap mekanisme pasar dan juga pekerjaannya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan berada pada level menengah dan stratifikasi sosial menjadi tinggi. Untuk ideology welfare state versi liberalisme kesejahteraan social sepenuhnya di dasarkan oleh pasar dan penyediaannya dilakukan oleh pihak swasta. Negara baru akan melakukan intervensi terhadap kesejahteraan social dan menyediakan kebutuhan dasar warganya (kesehatan, pendidikan, dll)  setelah melakukan means test (penyelidikan terhadap kondisi keuangan seseorang yang mengajukan permohonan bantuan sosial dari Negara)
Indonesia walaupun pada konstitusinya menyiratkan secara jelas mengenai konsep welfare state, namun pada prakteknya belum pernah mengimplementasikan dalam kerangka kebijakan. UU No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional patut diakui sebagai langkah awal dari Negara ini untuk mulai melaksanakan amanah dari konstitusi bangsa ini.

No comments:

Post a Comment