"Saya sudah bekerja di keluarga itu selama enam bulan.
Selama tiga bulan pertama mereka baik, tetapi pada tiga bulan terakhir berubah.
Beberapa kali saya ditampar dan akhirnya mereka tidak membayar gaji saya selama
tiga bulan.”
Dijanjikan kerja di Amerika,
85 Pencari Kerja Tertipu
Untung tak bisa diraih malang tak bisa
ditolak. Maksud hati ingin bekerja dan mendapatkan gaji besar di Amerika, 85 calon TKI (Tenaga Kerja Indonesia) dari
berbagai daerah malah tertipu mentah-mentah sebuah perusahaan jasa tenaga kerja
Indonesia (PJTKI) PT BBM yang berkantor di Gedung Dwima Plaza, Cempaka Putih,
Jakarta Pusat.
Saat ditemui di Kantor Polsek Cempaka
Putih, Jakarta Pusat, Selasa, (29/9), puluhan calon TKI itu terlihat lesu
karena mereka mengaku telah menyetor uang puluhan juta rupiah kepada PT Berjaya
Bintang Mandiri (BBM) yang berkantor di Gedung
Dwima Plaza, Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Para calon TKI itu dijanjikan akan
bekerja di Amerika Serikat dengan kontrak kerja dua tahun. Menurut surat
perjanjian kerja, mereka akan dibagi di dua tempat. Ada yang bekerja di
Galangan Kapal di Oakland dan di pabrik elektronik di San Francisco.
"Saya sudah bayar Rp19.5000.000,
katanya akan dipekerjakan di pabrik elektronik di San Francisco, tapi sejak
saya setor uang Juli lalu, keberangkatannya diundur-undur terus." kata
Sugito salah satu korban penipuan asal Cilacap, Jawa Tengah.
Pemilik PT BBM, Hardi, diduga
melarikan uang para calon TKI, karena sejak tanggal 25 September tidak
diketahui keberadaannya.
Menurut Fredo, karyawan PT BBM yang
baru bekerja satu bulan, telepon selular bosnya sulit dihubungi. Hubungan kerja
pun dilakukan hanya lewat telepon saja. "Bos yang telepon kantor, kita
sendiri enggak bisa hubungi dia," kata Fredo, yang mengaku satu bulan ini
dirinya belum digaji.
Atas perintah Hardi, karyawan PT BBM
diminta menghubungi para calon TKI yang umumnya dari daerah untuk datang ke
kantor.
"Saya diminta datang tanggal 25
September ke kantor BBM di sini, katanya tanggal 28 September kita mau
berangkat ke Amerika," ujar Dadang, calon TKI asal Pengandaran, Jawa
Barat, yang mengaku telah menyetor Rp24 juta untuk biaya sertifikat dan
administrasi.
Menurut pengakuan Dadang, setelah tiba
di Jakarta mereka akan diinapkan di salah satu hotel di daerah Cempaka selama
dua hari. Di hotel tersebut rencananya mereka akan diberikan pembekalan atau
pelatihan singkat sebelum bertolak ke Bandara Soekarno Hatta menuju Amerika via
Singapura.
Namun, sejak tiba pukul enam pagi di
kantor PT BBM hingga jam enam sore, Sugito dan puluhan calon TKI yang jumlahnya
mencapai 85 orang terpaksa menelan kekecewaan lantaran jadwal keberangkatan tak
kunjung jelas.
"Malah saya diminta menunggu dan
menginap di hotel dengan biaya sendiri, padahal menurut perjanjian, perusahaan
yang akan membayari hotel kami," kata Sugito.
Keresahan pun menggelayuti puluhan
calon TKI itu, apalagi sebagian besar berasal dari daerah yang sudah keluar uang banyak untuk
bolak-balik dan tinggal selama di Jakarta. Mereka ada yang berasal dari Bali,
Lampung, Pangkal Pinang, Tasikmalaya, Surabaya dan berbagai daerah lainnya.
Sampai tanggal 26 September atau
sehari setelah mereka diminta datang ke kantor PT BBM, mereka belum mau melapor
polisi karena masih berharap pimpinan PT BBM muncul dan memberikan penjelasan.
Namun hingga Selasa (29/9), Hardi tak
kunjung kelihatan batang hidungnya. Mereka pun habis kesabaran dan melaporkan
Hardi ke polisi.
Dari informasi yang dihimpun,
rata-rata para calon TKI telah menyetor uang Rp20 juta. Dari catatan kuitansi
dan tanda terima, KabariNews.com
menemukan sedikitnya ada 85 orang calon TKI yang sudah menyetor uang rata-rata
Rp20 juta. Saat ini Polisi masih
melakukan penyelidikan atas kasus penipuan ini.
(Sumber: KabariNews.com, 29 September 2009)
Ayu Hayati (23), TKW asal Karawang, bekerja di Iran
Kisah sedih perjalanan TKI/TKW
pulang kampung tinggal nama atau cacat permanen seolah tak pernah kering
mewarnai tinta media massa cetak dan membasahi bibir pembaca berita media massa
elektronik. Duka lara Sumiati, TKW asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, yang harus
dirawat di satu rumah sakit di Arab Saudi pada November 2010 karena bibirnya
digunting majikannya menggambarkan betapa tindak kekerasan ada di depan mata
para TKI/TKW. Cuma gara-gara mengeluhkan beban kerja yang kelewat berat, sang
majikan perempuan tega melukai bibir dan lidah Sumiati sampai tak bisa
berbicara. Entah apa maksud sang majikan sampai tega berbuat sedemikian kejam
terhadap sesama umat manusia.
Sumiati hanyalah sebuah puncak gunung es kepedihan dan kepiluan para
TKI/TKW yang mengais rezeki di negeri orang. Masih ratusan, bahkan ribuan,
kasus kekerasan terhadap TKI/TKW yang nyaris terlepas dari perhatian publik.
Banyak TKI/TKW yang harus meregang nyawa di arena pancung tanpa ada yang memberikan
pembelaan. Pulang ke Tanah Air pun betul-betul cuma nama, karena jasadnya
dikubur entah di mana rimbanya. Kepedihan dan kepiluan itu benar-benar nyata
adanya. Dan, itu baru gambaran kepiluan tatkala mereka bekerja di manca negara.
Deret kepiluan itu semakin panjang saja bila kita runut dan runtut dengan
kepiluan sejak dari keluar desa sampai pulang kampung.
Sebelum melihat nestapa ketika mereka masih berstatus
calon TKI di dalam negeri, mari coba kita petakan nestapa dan kepiluan TKI/TKW
itu manakala mereka bekerja (berada) di negeri orang. Pertama, nestapa dan kepiluan
yang bermula dari pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja. Jenis pekerjaan yang tidak sesuai perjanjian kerja
mengakibatkan TKI/TKW mengalami stres dan depresi. Satu contoh, ada seorang TKI yang dalam perjanjian
kontrak kerja akan dipekerjakan sebagai sopir. Tapi, ternyata dia harus bekerja menggembala
kambing.
Sudah begitu dia mesti menggiring kambing gembalaannya ke padang gersang dengan
iklim yang jauh berbeda di Indonesia. Terpaan cuaca yang panas menyengat dan kondisi
psikis yang tertekan berimplikasi pada hilangnya semangat kerja TKI tersebut. Ulah PJTKI di luar negeri yang dengan
mudahnya melanggar ini perjanjian kontrak kerja tak mampu dilawan oleh TK/TKWI. Mereka cuma bisa pasrah meratapi nasib.
Kasus-kasus TKI/TKW bekerja tidak sesuai dengan
perjanjian kontrak kerja, tahun 2009 sampai pertengahan 2010, di kawasan Asia
Pasifik tercatat
144
kasus. Seperti di Negara Hongkong 14 kasus, Malaysia 16 kasus, Singapura 32
kasus dan Taiwan 82 kasus. Kemudian di kawasan Timur Tengah ada 264 kasus. Seperti di negara
Bahrain 1 kasus, Jordania 7 kasus, Kuwait 11 kasus, Oman 10 kasus, Qatar 16
kasus, Arab
Saudi
177 kasus, Emirat Arab 38 kasus dan negara lain 4 kasus.
Kedua, tragedi bermula dari ketidak-mampuan bekerja. Kasus
ketidak-mampuan TKI
dalam bekerja lebih disebabkan ulah PJTKI di Tanah Air yang tidak memberikan pendidikan
dan pelatihan/keterampilan yang memadai. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan Peraturan
Menakertrans Nomor 23 Tahun 2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan bagi Calon
TKI di Luar Negeri. Permenakertrans ini mewajibkan calon TKI mengikuti
pelatihan standar kompetensi pola 200 jam atau selama 21 hari di BLKLN yang ditunjuk. Ternyata, pelatihan yang
diadakan hanya formalitas dan PJTKI sudah menyiapkan sertifikat palsu tanda kelulusan
pendidikan/pelatihan. Sekadar contoh, TKI sebagai Penata Laksana Rumah Tangga
sebenarnya harus pandai mencuci, menyeterika pakaian, memasak serta menyiapkan
keperluan anak majikan yang hendak pergi ke sekolah. Kenyataannya, TKI itu
tidak mampu melakukan pekerjaan itu dengan baik dan benar. Majikan pun kecewa. Akibat selanjutnya, rasa
ketidak-puasan sang
majikan dilampiaskan dengan kekerasan kecil lalu kekerasan fisik yang lebih
berat.
Kasus semacam ini, secara statistik, di kawasan Asia
Pasifik tercatat 61 kasus. Tersebar di Negara Brunei
Darussalam 1 kasus, Hongkong 7 kasus, Malaysia 8 kasus, Singapura 13 kasus dan
Taiwan 32 kasus. Sedangkan kawasan Timur Tengah ada 142 kasus. Misalnya di
negara Bahrain 1 kasus, Jordania 1 kasus, Kuwait 5 kasus, Oman 7 kasus, Qatar 8
kasus, Arab Saudi 94 kasus, Emirat Arab 24 kasus dan negara lain 2 kasus.
Ketiga, nestapa gaji tidak dibayar. Ada satu sebab
yang bisa dijadikan alasan, kenapa banyak gaji TKI/TKW tidak dibayar secara benar. Hal ini berkaitan dengan
asuransi. Sekarang, orang di luar negeri sudah mengetahui, bilamana gaji TKI tidak mereka bayar maka diganti
oleh klaim asuransi. Sebab itu para majikan di
luar negeri memilih tidak menggaji TKI/TKW. Mereka beranggapan, sekembalinya TKI/TKW di Tanah Air,
nanti mereka
dapat
penggantian gaji dari klaim asuransi.
Kasus lain yang masih berkaitan dengan gaji
adalah kenakalan majikan
yang menyalah-gunakan
amanah titipan uang untuk dikirim
melalui bank ke keluarga TKI di Indonesia. Ternyata uang itu tidak pernah terkirim ke Indonesia. Oleh sang majikan, uang itu dipakai untuk
keperluan pribadi. Bentuk kenakalan lainnya, setiap bulan memang majikan memberikan gaji, tapi si TKI/TKW kemudian menyimpannya di bawah bantal. Lalu, uang itu dipinjam
oleh sang majikan. Karena
jumlah peminjaman yang berulang-ulang kali, gaji TKI/TKW pun terkuras hampir habis.
Saat TKI/TKW membutuhkan uang itu untuk dikirim ke Indonesia, sang majikan
berdalih tidak punya cukup uang alias tak mampu membayar utang.
Contoh kasus TKI yang tidak dibayar gajinya dapat kita lihat pada TKW bernama Sumasri. TKW
asal Blitar, Jawa Timur, yang bekerja dua tahun di Puchong (Selangor, Malaysia), ini pulang dengan tangan
hampa. Yang
lebih mengenaskan lagi, Sumasri mengalami depresi berat akibat penyiksaan yang dilakukan oleh
majikannya. Sekujur
tubuhnya penuh bekas luka karena pukulan dan siraman air panas.
Masih kisah pilu gaji tak dibayar, di tahun 2009, hati kita diketuk oleh Wasiah binti
Toha (26 tahun), TKI asal Karawang, Jawa Barat, yang direkrut oleh sponsor bernama Saman,
lewat jalur PT Trisula Bintang Mandiri (Jakarta), lalu berangkat ke Abu Dhabi
pada tanggal 10 Desember 2008. Selama 8 bulan bekerja, ia bekerja pada keluarga
Abdallah Said Masood Al Mazrooi Nura Said Mansur di Rasal Kaimiyah, Abu
Dhabi, dengan gaji 700 dirham per bulan. Sejak awal bekerja, majikannya sudah kerap marah-marah
tanpa alasan yang jelas. Wasiah juga sering ditempeleng dan dipukul, padahal
dirinya telah
bekerja sesuai dengan keinginan
sang majikan. Satu bulan bekerja, majikan tidak memberinya gaji. Memasuki delapan
bulan, gaji pun tak kunjung diterima oleh Wasiah. Lalu, ia memutuskan untuk minta dipulangkan saja
ke Tanah Air. Tiba di Tanah Air, sikap Saman
(sponsor) tidak membantu memfasilitasi Wasiah ke PT Trisula Bintang Mandiri,
agar hak-hak Wasiah bisa didapatkan.
Modus lain lepas dari tanggung jawab membayar gaji adalah jual beli
TKI/TKW di Kuwait. Praktik seperti ini sudah bertahun-tahun berlangsung dan sudah menjadi sebuah karakter. Praktik ini bermula,
ketika seseorang ingin mendatangkan TKI ke negara Kuwait. Sekadar contoh, calon
majikan membayar US$1.000 untuk mendatangkan TKI/TKW. Setelah TKI/TKW tiba di Kuwait, sang
majikan mempekerjakan TKI/TKW itu selama 3 bulan. Setelah 3 bulan bekerja, sang majikan tidak membayar gaji
TKI/TKW tersebut. Malah, TKI/TKW itu dipindah-tangan ke orang lain. Begitu seterusnya, hingga
akhirnya TKI/TKW bekerja di majikan manapun tanpa mendapatkan uang sepeser pun.
Praktik semacam ini jelas sangat
menguntungkan sang majikan. Sudah mempekerjakan TKI/TKW selama tiga bulan tanpa
membayar sepeser pun, malah uangnya kembali lebih banyak lagi karena menjual
TKI/TKW ke orang lain sebesar US$1.300. Biasanya, TKI/TKW yang mengalami nasib seperti itu tidak
menghubungi agency atau perwakilan PJTKI di negara setempat.
Selain gaji tak dibayar, banyak TKI/TKW yang juga harus
pasrah menerima suratan tangan gajinya dipotong. Pemotongan gaji ini terutama
terjadi pada TKI yang dikirim ke negara-negara Asia Pasifik. Pemotonan bisa
berlangsung 8-10 bulan masa kerja. Sungguh diskriminatif. Sebab, TKI/TKW yang diberangkatkan
ke negara-negara
Timur Tengah (misalkan Arab Saudi) tidak mengalami pemotongan gaji. Hal ini jelas bertentangan dengan tata peraturan
perundangan –baik Nasional maupun Internasional. Tapi, itulah yang terjadi dan TKI tak mampu mengelak.
Tragisnya, Pemerintah RI terlihat membiarkan praktik-praktik seperti
pemotongan gaji terhadap TKI/TKW yang bekerja di negara-negara Asia Pasifik ini. Artinya, ada praktik pembiaran
oleh Pemerintah yang
jelas-jelas merampas hak-hak para TKI/TKW. Pemerintah juga membiarkan
berlangsungnya diskriminasi penggajian yang menimpa pada TKI. Selain pemotongan gaji,
para TKI/TKW juga harus menelan pil pahit diskirminasi penggajian. Para majikan
di Arab Saudi misalkan, bertindak diskriminatif dalam memberikan gaji kepada
pekerja asal Indonesia. Bila kepada pekerja informal asal Filipina, sekadar contoh, sang
majikan membayar SR1.000, maka kepada pekerja asal Indonesia mereka membayar jauh di
bawah jumlah SR1.000 per bulan.
Diskriminasi penggajian di Hongkong lebih mencolok lagi. TKI/TKW infomal di sana hanya digaji HK$1.500, sedangkan tenaga kerja
asal Filipina digaji HK$3.600
per bulan. Melihat praktik perbedaan gaji dan pemotongan TKI/TKW itu sudah seharusnya Pemerintah memperjuangkan
kesamaan gaji di negara penempatan. Bukan justru tutup mata, seakan-akan tidak melihat praktik-praktik
itu berlangsung terus-menerus. Sebab, praktik pemotongan dan kesenjangan gaji jelas-jelas melanggar hukum
internasional. Sudah saatnya, Pemerintah memperjuangkan kesamaan hak-hak TKI/TKW
berdasarkan hukum internasional. Harus ada kemauan kuat dari Pemerintah untuk
memperjuangkan hak-hak TKI/TKW di luar negeri.
Repotnya, tidak banyak TKI/TKW Indonesia yang
mempersoalkan pemotongan dan diskriminasi gaji ini. Di kawasan Asia Pasifik hanya tercatat 119 kasus. Rinciannya di Brunei
Darussalam 3 kasus, Hongkong 5 kasus, Jepang 1 kasus, Macao SAR 2 kasus,
Malaysia 45 kasus, Singapura 48 kasus dan Taiwan 15 kasus. Catatan kasus ini kawasan Timur Tengah lumayan banyak, yakni 1.442 kasus.
Misalnya di negara Bahrain 19 kasus, Jordania 38 kasus, Kuwait 162 kasus, Libya
2 kasus, Oman 63 kasus, Qatar 61 kasus, Arabi Saudi 914 kasus, Syria 8
kasus, Emirat Arab 158 kasus dan negara lain 17 kasus. Entah karena si TKI/TKW
telah menyadari persoalan atau karena demikian banyak konsentrasi TKI/TKW di
kawan Teluk ini.
Keempat, dokumen tidak lengkap. Ketika TKI/TKW
berangkat dari Tanah Air biasanya dokumen-dokumennya lengkap. Ketika bekerja di
luar negeri, mereka kerapkali kehilangan –baik sengaja, tidak sengaja maupun
tidak tahu. Ada seorang TKW misalkan bekerja pada sebuah keluarga di Singapura.
Karena merasa tertekan dan takut terus-menerus dikasari sang majikan, dia lari
dari rumah majikan tanpa membawa selembar pun dokumen –entah paspor, visa atau
kartu tenaga kerja luar negeri. Jadilah di TKW ini sebagai pekerja ilegal,
terombang-ambing, dan rentan dieksploitasi. Kasus semacam ini, di kawasan Asia Pasifik muncul 153 kasus. Dengan rincian Brunei
Darussalam 5 kasus, Hongkong 16 kasus, Macao SAR 2 kasus, Malaysia 48 kasus,
Singapura 58 kasus dan Taiwan 24 kasus. Kemudian di kawasan Timur Tengah terjadi 748 kasus. Data agak lengkapnya, Bahrain 4 kasus,
Jordania 10 kasus, Kuwait 34 kasus, Oman 22 kasus, Qatar 19 kasus, Arabi Saudi
527 kasus, Syria 5 kasus, Uni Emirates Arab 111 kasus, Yaman 2 kasus dan negara lain 14
kasus.
Kelima, teraniaya di negeri orang. Untuk kasus
penganiayaan yang berujung pada kematian, Pemerintah kita terkesan kurang berani menuntut secara
hukum sang majikan. Di Arab Saudi, kasus TKW disiksa lantas dibunuh seringkali
berakhir damai dengan imbalan uang hanya Rp200 juta yang diterima ahli waris.
Biasanya untuk kasus ini banyak calo atau makelar yang bermain. Belum lagi, keluarga korban yang
mengaku-ngaku sebagai ahli waris. Seharusnya, uang dam (ganti rugi) yang diterima ahli
waris Rp1 milyar. Ini untuk memberi shock therapi kepada orang-orang
Arab. Coba, andaikata yang membunuh orang Arab itu TKI/TKW? Sudah pasti hukuman
mati (pancung) menunggu sang TKI/TKW
tanpa ditilik dahulu kronologis mengapa sampai terjadi pembunuhan. Ironisnya, selama ini tidak ada
orang Arab yang dihukum pancung gara-gara membunuh TKI/TKW.
Kasus penganiayaan inilah yang sesungguhnya
membuat miris dan sedih kita warga bangsa Indonesia. Kisah Yani (18 tahun) yang lari dari rumah
majikan sebagai contoh kasus. TKW asal Rembang, Jawa Tengah, sebagai PRT (Pembantu
Rumah Tangga) di Singapura, ini terpaksa melarikan diri dari rumah majikan dan meminta
perlindungan ke KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia). Yani yang sudah
bekerja 17 bulan mengaku setiap hari dipukul pada bagian kepala dan wajahnya
dengan payung tanpa diketahui akar penyebabnya.
Tahun 2004, bangsa kita pernah dikagetkan
kasus Nirmala Bonat, TKW asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Derita luka bakar
yang cukup parah hampir di sekujur tubuh Nirmala, akibat disetrika dan disiram air
panas oleh majikannya. Di Tahun 2005, Nur Miyati TKW asal Sumbawa, Nusa
Tenggara Barat (NTB), menderita gangren di kedua pergelangan tangan dan ujung-ujung jari kakinya
lantaran dianiaya
majikannya di Arab Saudi. Beberapa bagian tubuh Nur Miyati terpaksa harus
diamputasi karena lukanya yang sudah membusuk.
Di tahun 2007, Ceriyati, TKW asal Brebes,
Jawa Tengah, melarikan diri melalui jendela lantai 15 di sebuah apartemen di Kuala
Lumpur (Malaysia), gara-gara tidak tahan lagi setiap hari disiksa majikannya. Tubuh Ceriyati dipenuhi luka. Dahi
bengkak, leher dan tangan luka parah. Selanjutnya di tahun 2009, TKW asal
Garut, Jawa Barat bernama Siti Hajar pun mengalami nasib serupa Nirmala Bonat.
Setiap hari, ia disiksa, disiram air panas
serta dipukuli, hingga mengalami luka yang sangat parah pada hampir
sekujur tubuhnya. Selama 34 bulan bekerja di Negeri Jiran Malaysia, Siti Hajar
tidak menerima gaji sepeser pun dari majikannya.
Berikutnya kasus Nurhasanah. TKI asal Brebes, Jawa
Tengah, ini
selama
tujuh tahun bekerja di Riyadh, Arab Saudi. Ia disiksa majikannya. Tangan, punggung dan kepalanya
penuh luka. Nasib sama juga dialami Sutilah, TKI asal Demak, Jawa Tengah. Ia
disiksa dan upah pun tidak bayar. Bahkan, Sutilah dibuang di jalan oleh
majikannya. Nasib tragis juga menimpa Halimah, TKI asal Cianjur, Jawa Barat. Ia
lama terlunta-lunta di bawah jembatan layang di Jeddah, Arab Saudi. Sutilah
tidak mendapatkan perawatan dokter atas penyakit paru-paru yang dideritanya. Hingga akhirnya,
ajal lebih cepat menjemputnya, sebelum sempat bertemu keluarganya di Tanah Air.
Perlakuan tidak manusiawi hingga
menyebabkan lumpuh dan linglung (lupa ingatan) dialami Suratminih, TKI asal Indramayu, Jawa
Barat. Akibat siksaan dan penganiayaan majikannya di Arab Saudi, Ratminih tidak
bisa tidur terlentang lantaran bagian belakang tubuhnya masih terdapat luka dan
bekas jahitan. Selain cacat, Ratminih pulang ke Indonesia tanpa membawa uang
sepeser pun, setelah selama enam bulan bekerja di Arab Saudi.
Dari Rumah Sakit Al Adaan Kuwait, beberapa waktu lalu dikabarkan
Sariah (37 tahun) TKI asal Indramayu, Jawa Barat, meninggal dunia. Lebih dari sepekan Sariah dirawat
di rumah sakit tersebut dalam keadaan tidak sadar, hingga akhirnya maut menjemput. “Kekerasan yang dilakukan
majikan Sariah di Kuwait telah menyebabkan luka memar karena benda tumpul di
beberapa titik. Paling parah di bagian leher kanan, tengkuk belakang dan ada
pengentalan darah di batang otak. Yang di otak itulah yang menjadi penyebab
meninggalnya,” papar ahli forensik RSCM Munim Idris.
Nasib tragis juga dialami Juriyah (19
tahun) TKI asal Lohbener, Indramayu yang jenazahnya disambut isak tangis oleh
keluarganya. Selama bekerja 11 bulan di Kota Jeddah, Arab Saudi, baru empat
bulan gajinya dibayar.
Sisanya tujuh bulan belum dibayar hingga Juriyah menghembuskan nafas terakhir. Juriyah sempat
dirawat di rumah sakit. Diduga, kematian Juriyah akibat penganiayaan yang
dialaminya.
Masih direntang tahun 2009, TKI bernama
Mantik Hani (36) disiksa majikannya di Malaysia. Saat ditemukan polisi Diraja
Malaysia di rumah majikannya di kawasan Taman Sentosa, Klang Selangor, Mantik
Hani dalam keadaan tidak sadarkan diri, dengan kaki dan tangan terikat. Media
massa setempat melaporkan bahwa Mantik Hani digunduli, dipukuli dengan besi dan
dipaksa tidur di toilet.
Mantik menderita luka parah, sampai-sampai
tulang kakinya terlihat. Diduga, luka itu akibat pukulan dengan batang besi.
Berkat laporan dari seorang wanita, Mantik berhasil dijemput polisi lalu dibawa
ke Rumah Sakit Tengku Ampuan Rahimah. Polisi setempat juga menahan majikan
perempuan Mantik.
Kekerasan fisik, verbal hingga sikap yang tidak
menyenangkan sudah jamak dialami tenaga kerja asal Indonesia, khususnya
perempuan. Secara kuantitatif, kasus-kasus kekerasan atau penganiayaan terhadap
TKI/TKW, di kawasan Asia Pasifik tercatat 195 kasus. Perinciannya Brunei Darussalam 3 kasus, Hongkong 25
kasus, Macao SAR 1 kasus, Malaysia 41 kasus, Singapura 87 kasus dan Taiwan 38
kasus. Sedangkan di kawasan Timur Tengah terjadi 1.684 kasus. Uraiannya di Bahrain 21 kasus, Jordania 49 kasus, Kuwait 157
kasus, Oman 52 kasus, Qatar 108 kasus, Arabi Saudi 1.060 kasus, Syria 10 kasus,
Uni Emirates Arab 212 kasus dan negara lain 15 kasus. Para TKI (terutama TKW)
rentan menjadi korban kekerasan tak lepas dari latar belakang ekonomi, sosial
dan pendidikan mereka. Kendati berada di bawah naungan agen penyalur resmi dan
memperoleh pelatihan khusus sebelum dikirim ke luar negeri, tetap saja sebagian
besar dari mereka mengalami gegar budaya yang berbuntut pada kekerasan.
Keenam, kasus pelecehan seksual. Kita sudah terlalu
banyak diguyur informasi kasus-kasus TKW diperkosa sampai hamil dan tidak ada
lelaki yang bertanggung-jawab. Namun, ada baiknya kita memahami makna pelecehan
seksual atau pemerkosaan di suatu negara. Ambil contoh negara Arab Saudi. Di
Arab Saudi tidak ada orang diperkosa. Yang ada orang berzina. Tapi oleh kita
dipaksakan menjadi kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan. Ini kan
tidak sesuai. Jika Pemerintah Indonesia ingin membuat aturan, kan harus disesuaikan
dengan aturan negara yang ingin ditempati TKI. Sehingga, tidak terjadi
pertentangan di negara penempatan.
Nah, kalau ada kasus pelecehan seksual atau
pemerkosaan mencuat ke permukaan, di dalam negeri dihembuskan isu ada asuransi yang
diwajibkan membayar semacam ganti rugi, sekitar Rp25 -100 juta. Itu tidak benar. Saya
menduga, itu hanya cerita dari TKI-nya saja. Secara jujur, saya kasihan sama asuransi di sini.
Karena secara hukum tidak ada pasal pemerkosaan, yang ada hukum zina. Kalau seorang TKW mengakui melakukan zina maka kedua belah pihak dipancung.
Akhirnya dibuat perdamaian. Setelah perdamaian kan ada imbalan. Setelah
mendapat imbalan tidak boleh menuntut asuransi. Seharusnya begitu. Tapi di sini banyak
penipu, banyak kongkalingkong, tidak bisa membedakan mana yang halalan thoyiban, yang penting mendapat uang. Apakah
pejabat, PPTKIS, PJTKI atau perusahaan asuransi selalu begitu dan tidak akan pernah selesai.
Gambaran haru-biru kasus penyiksaan dan
pemerkosaan TKW dapat kita lihat berikut. Tahun 2002, Arsita, TKI asal Taliwang, Sumbawa,
NTB, disiksa dan
diperkosa oleh majikannya di Arab Saudi. Arsita sempat tidak sadarkan diri
selama empat bulan dan harus dirawat di rumah sakit lantaran dicekik saat
majikannya berusaha kembali memerkosanya. Duka diperkosa masih datang dari Indramayu, Jawa Barat. Sariah, TKI asal Desa
Tarsana, Kecamatan Sukagumiwang, meninggal dunia akibat kekerasan. Berdasarkan
hasil otopsi dari RSCM, Sariah dipastikan meninggal lantaran kekerasan fisik
dan seksual. Sariah meninggalkan seorang suami dan seorang anak.
Tersebut pula Eti Darti (25 tahun), TKI asal Paoman,
Indramayu,
Jawa Barat. Bulan kedua bekerja, ia mendapat perlakuan tidak senonoh berupa perkosaan
dan penganiayaan ketika bekerja di Johor, Malaysia. Akibat perkosaan itu, Eti hamil. Mengetahui
kehamilan Eti, majikannya menyuruh Eti menggugurkan kandungan. Mirisnya, proses pengguguran
kandungan itu dilakukan dengan cara perut Eti ditendang-tendang, hingga Eti mengalami pendarahan.
Setelah sembuh pendarahan, setiap hari Eti
masih dipaksa melayani nafsu bejat majikannya yang berprofesi sebagai dokter.
Akhirnya, dibantu KBRI di
Malaysia dan Pengurus Daerah Serikat Pekerja TKI Luar Negeri (SPTKILN)
Kabupaten Indramayu, Eti dijemput dibawa pulang ke Indramayu. Eti lalu mendapat
perawatan intensif di ruang VIP kamar 3 RSUD Indramayu. Lima hari dirawat
intensif, Eti akhirnya meninggal dunia. Diduga kuat, Eti mengalami infeksi pada
bagian perut. Dan infeksi itu telah menjalar ke organ tubuh lainnya.
Tak banyak kasus pelecehan seksual terhadap TKW yang
tercatat di kawasan Asia Pasifik, hanya 53 kasus. Dengan perincian Brunei Darussalam 1 kasus, Hongkong 2
kasus, Malaysia 3 kasus, Singapura 18 kasus dan Taiwan 24 kasus. Kasus pelecehan seksual
justru banyak tercatat di Timur Tengah, yakni 1.229 kasus. Misalnya
di negara Bahrain 25 kasus, Jordania 23 kasus, Kuwait 69 kasus, Oman 59 kasus,
Qatar 58 kasus, Arabi Saudi 869 kasus, Syria 4 kasus, Uni Emirat Arab 109
kasus, Yaman 1 kasus dan negara lain 12 kasus.
Ketujuh, kasus-kasus majikan bermasalah. Di antaranya majikan
ringan tangan, majikan perempuan cemburu berlebihan, majikan pembohong, dan
majikan meninggal dunia. Di kawasan Asia Pasifik tercatat jumlah 168 kasus: Brunei Darussalam 3
kasus, Hongkong 29 kasus, Macao SAR 1 kasus, Malaysia 22 kasus, Singapura 64
kasus dan Taiwan 49 kasus. Sedangkan kawasan Timur Tengah terdata 753 kasus: Bahrain 7 kasus,
Jordania 6 kasus, Kuwait 66 kasus, Oman 40 kasus, Qatar 38 kasus, Arabi Saudi 480
kasus, Syria 4 kasus, Uni Emirat Arab 109 kasus dan negara lain 6 kasus.
Kedelapan, Kecelakaan
Kerja. Saya kerapkali bersuara lantang dan tegas mengenai kecelakaan kerja di
apartemen-apartemen Singapura yang menjulang tinggi. Coba perhatikan mengapa sekarang di
Singapura ada ratusan TKI mati dengan cara yang sama? Jatuh dari lantai 27 atau
30. Dalam 2 tahun terakhir, 412 TKI mati, semua jatuh dari lantai atas
apartemen. Saya katakan pengiriman tenaga kerja terjelek di seluruh dunia adalah Singapura karena calon TKI tidak
dibekali pengetahuan tentang tata cara dan adat kebiasaan hidup di apartemen.
Kejadian-kejadian TKI tewas karena terjun dari apartemen agaknya tidak direspon secara cepat dan tuntas
oleh Pemerintah. Kalau
sudah puluhan orang mati
jatuh dari apartemen, mestinya kita
mampu memahami agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi. Jika ternyata
apartemen-apartemen itu tidak berpagar, bisa saja terjadi para TKI kita jatuh terpeleset
karena lantai
licin terpercik air sabun ketika
menjemur pakaian. Kalau itu permasalahannya, buatlah kesepakatan dan pernyataan bahwa semua apartemen yang
memperkerjakan TKI harus dilengkapi pagar. Ini kan tidak pernah diperbuat oleh Pemerintah dalam upaya melindungi TKI
yang bekerja di apartemen-apartemen Singapura.
Kisah lain pahlawan devisa yang memiriskan
hati adalah jatuhnya korban
akibat keletihan bekerja. Turinah (29 tahun), TKI asal Indramayu yang baru bekerja empat
hari pada keluarga Muhammad Abdul
Nabi Ais Milad di Kuwait mengalami lemah fisik hingga akhirnya ia terpaksa pulang ke Tanah Air lebih cepat. Turinah sempat
dirawat di RS Polri Jakarta. Namun karena kondisinya kritis, korban
menghembuskan nafas terakhir pada 30 April 2009.
Masih seputar kecelakaan kerja. Agus Purnomo (31), TKI
asal Desa Banjarejo, Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur,
tewas setelah tertimpa gulungan baja di sebuah pabrik pipa di daerah Sinchu,
Taiwan. Rekan-rekan Agus Purnomo sempat membawanya ke rumah sakit terdekat,
untuk mendapat perawatan. Sayangnya, nyawa Agus Purnomo tidak dapat diselamatkan,
setelah dia mengalami
pendarahan hebat di bagian kepala. Jenazah korban tiba di rumah duka Minggu
pada 8 November 2009 pagi. Oleh keluarga, jenazah langsung dishalatkan sebentar
dan dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) desa setempat (ANTARA News, Minggu, 8 November 2009)
Berita memilukan datang dari Taiwan pada 31 Oktober
2010. Enam orang TKI tewas karena kecelakaan kerja. Kelima TKI itu
tewas, ketika mereka sedang bekerja di proyek pembangunan jalan tol. Mereka tertimpa runtuhan mesin perancah di
lokasi pembangunan jalan di Nantou County, Taiwan. Keenam TKI itu bernama
Suprapto asal Grobogan (Jawa Tengah), Riyanto asal Tegal (Jawa Tengah), Sunaryo asal
Brebes (Jawa Tengah), serta Sutardji dan
Sirmanto asal Rembang (Jawa Tengah) dan Ali Mansyur asal
Surabaya (Jawa Timur).
Secara statistik, fakta kecelakaan kerja TKI di kawasan Asia
Pasifik terdata 168 kasus. Misalnya di
Negara Brunei Darussalam 3 kasus, Hongkong 29 kasus, Macao SAR 1 kasus,
Malaysia 22 kasus, Singapura 64 kasus dan Taiwan 49 kasus. Sedangkan kawasan
Timur Tengah ada 753 kasus. Misalnya di negara Bahrain 7 kasus, Jordania 6
kasus, Kuwait 66 kasus, Oman 40 kasus, Qatar 38 kasus, Arabi Saudi 480 kasus,
Syria 4 kasus, Uni Emirat Arab 109 kasus dan negara lain 6 kasus.
***
Masih ada deretan panjang
nestapa TKI/TKW di luar negeri yang rasanya tak mungkin direntang satu per satu pada lembaran
yang amat terbatas ini. Minimal dapat saya berikan sedikit ilustrasi kualitatif
macam-macam keprihatinan yang dihadapi oleh para TKI/TKW. Di antaranya TKI/TKW
bekerja melampaui batas jam kerja tanpa ada upah lembur, mereka dilarang berkomunikasi dengan orang lain (termasuk keluarga), akomodasi dan makanan di
rumah majikan tidak memadai (bahkan makanan basi), dilarang menjalankan
ibadah
menurut agamanya, dipaksa memasak dan makan makanan haram (daging babi), dipenjara dengan berbagai
rekayasa tuduhan, bunuh diri, dan melakukan
tindakan pidana karena merasa putus asa diperperlakukan buruk oleh majikan.
Ada kejadian luar biasa kisah TKW di Hongkong. Sebagai
bangsa yang religius, kebanyakan TKW yang bekerja di Hongkong tentu beragama Islam.
Ketika berangkat ke Hongkong, para TKW memakai kerudung dan menyandang nama Aminah. Apa
lacur, ketika pulang ke Tanah Air, namanya menjadi Mince, berbusana bikini dan
biasanya memakan daging babi. Mereka berubah menjadi lesbian. Ironis. Sungguh memilukan hati
bangsa ini.
Lebih menyedihkan lagi, terkadang baru saja
sepekan bekerja di
Hongkong, para TKW beralih profesi menjadi pekerja seks komersial (PSK). Tak mudah dicari akar
penyebabnya. Dijebak,
terjebak ataukah justru muncul dari
keinginan
mereka sendiri meraup rupiah sebanyak mungkin di negeri orang. Kasus TKW ini harus
menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah, kalangan organisasi keagamaan di
Tanah Air. Yang pasti, harus ada tindakan nyata dari pemerintah untuk menghentikan
praktik-praktik penyimpangan pekerjaan seperti itu.
Semakin mendalami duka derita TKI/TKW di negeri orang
semakin membuat kita mengelus dada. Tengoklah luka cerita seperti TKI/TKW dipecat secara sepihak dan
dipulangkan majikan tanpa diberikan hak-haknya; dipulangkan secara sepihak oleh agency setelah usai masa pemotongan gaji sehingga tak
pernah menerima gaji penuh; penipuan dengan modus rekayasa pemeriksaan medis; mengadu ke polisi tapi dikembalikan
kepada agency/tekong kemudian
dipekerjakan secara ilegal.
Terkadang pula tak sedikit TKI/TKW dideportasi
tetapi tidak pernah sampai di kampung halaman. Mereka ditangkap oleh calo
kemudian diberangkatkan kembali ke luar negeri secara ilegal. Kadang lagi, mereka harus menghadapi
sikap
aparatur KBRI/Konjen RI
yang tidak mau membela dan justru menelantarkan. Mereka pun mesti menghadapi birokrasi penyelesaian yang
berbelit, rumit dan memakan waktu.
Demikian lekat derita TKI/TKW ketika mengadu peruntungan
di negeri orang. Hal ini tak terlepas dari persiapan di dalam negeri yang juga
bermasalah. Tidak sedikit TKI/TKW yang merenda sengsara sebelum berangkat ke
luar negeri. Mereka terkadang diperas dengan alasan pemenuhan syarat dokumen,
ditelantarkan di tempat penampungan sementara, dan dikomersialkan demi memenuhi
pundi-pundi oknum-oknum di instansi terkait. Peta kenestapaan di dalam negeri terhampar
mulai
dari perekrutan, pengurusan kelengkapan
dokumen, pendidikan/pelatihan, penanda-tanganan kontrak kerja, persiapan akhir pemberangkatan sampai pemberangkatan
TKI ke luar negeri.
Pertama, perekrutan. Sekadar contoh kisah Ferry Widyantoro (33)
dan Sugeng Pratikto (29),
keduanya warga Desa Sidorejo, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, yang harus merelakan
Rp15,5 juta masuk ke kantong calo TKI Agus Kurnia (40). Dan September 2010
lalu keduanya harus berputar-putar di sekitar Terminal Bus Jombang untuk mencari
keberadaan Agus Kurnia yang mengaku bisa membantu memberangkatkan mereka ke Arab Saudi. Nasib serupa dialami
oleh 85 orang calon TKI dari berbagai daerah yang dijanjikan hendak
dipekerjakan di galangan kapal dan pabrik elektronik di Amerika Serikat.
Masing-masing dari mereka sudah menyetor sekitar Rp15 juta sampai Rp20 juta
kepada sebuah perusahaan jasa pengerah TKI di kawasan Cempaka Putih, Jakarta
Timur (KabariNews.com, September 2009). Sudah
jatuh tertimpa tangga. Gagal berangkat ke luar negeri, utang pun menumpuk.
Yang lebih memiriskan hati, calon tenaga
kerja itu tidak
semata-mata ditipu calo tapi mereka dipaksa mengeluarkan uang jutaan rupiah
oleh sponsor. Tak jarang, uang sudah diterima sponsor, namun beberapa minggu
kemudian sponsor itu raib seoalh ditelan bumi. Kasus lain di seputaran perekrutan, di antaranya, terkadang
calon tenaga kerja diperjual-belikan antar-calo atau antar-sponsor. Kalau pun calon TKI sudah berangkat ke tempat
penampungan, oleh PJTKI nakal, si calon TKI hanya dijadikan stok manusia yang menghuni ruko-ruko.
Mereka disekap dengan kondisi ruko yang tak layak huni serta makanan
alakadarnya. Tanpa kepastian kapan mereka diberangkatkan ke luar negeri.
Kedua, derita permainan dokumen. Seharusnya, identitas atau biodata calon
tenaga kerja dibuat sebenar-benarnya. Baik nama, umur, status perkawinan maupun alamat. Pemalsuan
identitas pun kerap kali terjadi. Seperti,
pembuatan Kartu Tanda Penduduk yang tidak sesuai asal daerahnya beserta
Kartu-Keluarganya.
Praktik pemalsuan KTP dan KK yang marak terjadi di berbagai wilayah, tentu
saja karena ketidak-cermatan dan ketidak-mampuan aparatur pemerintah desa berbuat jujur dalam mengeluarkan KTP dan
KK. Ada
seorang calon TKI dari NTB dibuatkan KTP dan KK di Sukabumi, Jawa Barat. Hal
ini jelas akan merepotkan manakala di kemudian hari si TKI itu mengalami
kematian di luar negeri. Jasad TKI tadi tidak bisa pulang sampai kampung
halamannya. Terombang-ambing di tengah jalan dan terancam menjadi penghuni
kburuan orang-orang tak dikenal.
Masih tentang dokumen, para calon TKI kerapkali juga
terjebak pada permainan pemalsuan Surat Ijin Keluarga/Suami. Seharusnya calon
TKI mengantongi Surat Ijin Orangtua/Suami yang ditandatangani oleh Kepala
Keluarga/Suami. Pemalsuan lain yang nampak sistemik dan tertata apik antara lain menerbitkan Akte Kelahiran dan ijazah asli tapi palsu. Ini jelas-jelas
pemalsuan yang sudah terorganisir dan melibatkan banyak oknum aparaturan instansi
terkait yang bermain ’cantik’ hingga saat ini. Sejatinya, oknum-oknum tersebut
secara langsung menjerumuskan calon TKI
ke permasalahan-permasalahan yang serius di kemudian hari.
Ketiga, terjebak dalam kepura-puraan
pelatihan/pendidikan yang dimainkan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan. Sebelum diberangkatkan bekerja di luar negeri, calon tenaga
kerja diwajibkan
terlebih dulu mengikuti pelatihan/pendidikan pola 200 jam di Balai Latihan Kerja (BLK) yang dipunyai
PJTKI atau
BLK yang ditunjuk oleh instansi yang berwenang. Selama mengikuti
pendidikan/pelatihan, pihak PJTKI harus merumahkan di tempat yang layak dan sehat. Selama 21 hari (200
jam), calon TKI akan dididik keterampilan khusus (sesuai job
order), misalnya Tata Boga atau Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) serta
bahasa negara tujuan. Untuk menjadi TKI di Timur Tengah misalkan, minimal harus menguasai 200
kata dalam bahasa Arab untuk membantu dalam memulai bekerja. Penguasaan bahasa adalah
kunci komunikasi buat mengerti dan memahami
perintah kerja secara umum antara majikan dan TKI.
Dalam masa pelatihan/pendidikan juga
diajarkan cara berpakaian yang sopan sesuai dengan tata cara dan budaya di negara
setempat. Misalkan TKI yang akan ditempatkan di Timur Tengah (Arab Saudi) ketika berada di penampungan
dibiasakan memakai Abaya dan menutup kepala. Calon TKI juga diberitahu adat-istiadat serta kebiasaan
masyarakat Timur Tengah (Arab Saudi). Setelah menjalani masa pelatihan dan pendidikan
selama 21 hari, calon TKI akan diberikan sertifikat kelulusan.
Ironisnya, banyak PJTKI yang tidak memberikan
pelatihan/pendidikan secara memadai di BLKLN kepada calon TKI yang hendak diberangkatkan ke luar
negeri. Tak
begitu jelas mengapa mereka berbuat seperti itu. Bisa jadi karena merasa
keberatan biaya pelatihan yang mencapai Rp1,1 juta per calon TKI. Mereka menempuh jalan
pintas kongkalikong guna mendapatkan sertifikat kelulusan pendidikan/pelatihan
dengan hanya mengikuti satu atau dua hari pelatihan. Apa yang bisa diharapkan dengan pelatihan
yang hanya dua hari? Mengikuti sepenuhnya pola 200 jam saja, banyak calon TKI
yang masih tergagap-gagap dan gegar budaya. Hal inilah yang kemudian memicu ketidak-puasan majikan hingga
berakibat penganiayaan atau penyiksaan.
Hal lain yang juga cukup menyedihkan adalah kondisi
penampungan sementara calon TKI yang alakadarnya. Banyak tempat penampungan
sementara PPTKIS yang terlihat kotor, sanitasi buruk dan tanpa dilengkapi tempat tidur.
Calon TKI terpaksa tidur di lantai dengan tikar atau karpet. Makanan
sehari-hari yang disediakan tidak pula memenuhi standar kesehatan dan kelayakan. Intimidasi,
kekerasan fisik, psikis serta pelecehan seksual juga dialami calon TKI di sini. Selama
ditampung, calon TKI kerap kali dipekerjakan pada rumah pemilik PPTKIS atau
rumah perorangan dan tidak dibayar dengan alasan praktik kerja lapangan (PKL).
Terkadang, karena jadwal penempatan yang tak pasti, bilamana calon TKI ingin
berkirim surat ke keluarganya harus melewati sensor dari karyawan PPTKIS di tempat penampungan.
Begitu pun sebaliknya.
Jika ada surat dari keluarga untuk calon TKI, sudah tentu mesti melalui sensor.
Ulah karyawan PPTKIS juga nampak
aneh-aneh. Ada denda besar yang harus dibayar calon TKI jika melakukan
kesalahan di penampungan. Calon TKI juga dipaksa menandatangani surat pernyataan, apabila batal
berangkat, harus membayar ganti rugi yang cukup besar. Inilah pemerasan
terselubung yang dilakukan oleh PPTKIS.
Masih di masa penampungan sementara, ketika calon TKI menderita sakit kerapkali dibiarkan tanpa
perawatan. Calon TKI tidak dirawat selayaknya orang sakit. Bahkan, tak sedikit kasus calon TKI
yang meninggal di penampungan karena sakit yang semakin parah dan tertangani secara wajar. Kalaupun ada
TKI yang berani melaporkan kasus-kasus yang dialami di penampungan, yang
terjadi selanjutnya
adalah penelantaran atai pembiaran kasus oleh pihak yang berwajib. Ironis, sekaligus memiriskan hati
kita. Aparatur berwajib tidak menjadi pengayom masyarakat yang baik.
Keempat, penanda-tanganan perjanjian kontrak kerja secara tergesa-gesa. Karena tergesa-gesa,
banyak calon TKI tidak memahami isi perjanjian kontrak kerja. Kondisi ini seringkali
dimanfaatkan PPTKIS/PJTKI nakal untuk memanipulasi berapa jumlah gaji yang
diterima serta hak-hak calon TKI yang harus diterima. Apalagi jika calon TKI
itu buta huruf, praktis tidak tahu apa-apa isi kontrak kerja. Banyak TKI yang asal
tanda tangan kontrak kerja. Kondisi kekurangan pada diri TKI ini banyak
disalah-gunakan PPTKIS/PJTKI untuk memperpanjang kontrak kerja tanpa ijin dari keluarga.
Pungutan yang tinggi juga dilakukan oleh agency saat perpanjangan kontrak
kerja.
Kelima, penempatan. Ketika calon TKI akan diberangkatkan dan
ditempatkan di negara tujuan, calon TKI diminta menanda-tangani Surat Perjanjian Kerja dalam situasi yang
tergesa-gesa. Calon TKI tidak sempat membaca dan mempelajari isi perjanjian kontrak kerja itu.
Apalagi bagi yang buta huruf dan angka, hanya pasrah corat-coret di surat
perjanjian kontrak kerja tanpa tahu arti dan kekuatan hukum surat yang ditanda-tanganinya. Tak jarang,
tanda tangan calon TKI dipalsukan dalam Surat Perjanjian Kerja oleh oknum PPTKIS/PJTKI.
Ketika berangkat ke luar negeri, perlakuan
petugas bandara pun kerap kali sinis. Sebuah perlakuan buruk di negeri sendiri yang jelas-jelas merendahkan
harkat dan martabat sesama warga negara Indonesia. Ketika calon TKI menuju ke
negara penempatan, terkadang, ada skenario dari PPTKIS/PJTKI nakal yang menjerumuskan calon TKI dijadikan
pelacur. Biasanya calon TKI diturunkan di negara transit lalu dijebak dan
dijadikan pelacur. Harapan untuk bekerja di negara tujuan sesuai kontrak kerja
sirna sudah.
Begitulah gambaran kepiluan yang nyata derita-nestapa
anak bangsa yang menjadi TKI/TKW. Ketika di dalam negeri dilecehkan oleh sesama
anak negeri. Ketika di luar negeri, harus berhadapan dengan majikan yang semula
halus tulus lalu tiba-tiba buas-beringas. Benar kata Ayu Hayati, TKW asal
Karawang yang bekerja di Iran, "Saya sudah bekerja di keluarga itu selama enam bulan.
Selama tiga bulan pertama mereka baik, tetapi pada tiga bulan terakhir berubah.
Beberapa kali saya ditampar dan akhirnya mereka tidak membayar gaji saya selama
tiga bulan.” ***
Artikel
Pendukung
Bayar Rp
31 Juta Gagal Jadi TKI
Ingin bekerja di luar negeri sebagai tenaga kerja
Indonesia (TKI), dua warga Desa Sidorejo, Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Ferry
Widyantoro (33) dan Sugeng Pratikto, 29,
malah kehilangan uang belasan juta rupiah. Dua pemuda ini diduga ditipu Agus Kurnia (40)
warga Jalan Mastrip, Jombang, yang mengaku bisa membantu mereka menjadi TKI.
Keduanya mengaku mengalami kerugian masing-masing Rp15,5
juta. Merasa menjadi korban penipuan, mereka pun melapor ke Mapolres Jombang.
Kasus dugaan penipuan yang menimpa kedua pemuda tersebut
berawal November 2009 lalu. Saat itu, melalui seseorang, keduanya diperkenalkan
kepada Agus yang mengaku bekerja di PT Surya Pasific, sebuah perusahaan
pengerah jasa TKI di depan Terminal Jombang.
Hasil pertemuan tersebut, Ferry dan Sugeng diminta
membayar uang muka Rp2,5 juta sebagai persyaratan administrasi awal. Pada 24 November
2009 lalu, keduanya pun membayar biaya tersebut.
Setelah melalui proses administrasi, mereka diminta kembali oleh Agus melunasi biaya
adiministrasi. Total Rp10,5 juta. Kedua pelapor pun segera melunasi dengan
maksud agar segera diberangkatkan menjadi TKI.
”Katanya untuk mengurusi visa dan berbagai surat
perjalanan selama kami magang,” lanjut korban, di Mapolres Jombang.
Seusai pelunasan, Agus ternyata kembali meminta Rp2,5
juta, dengan alasan untuk biaya tes kesehatan. Dua pemuda tersebut pun
menyanggupi. Tanpa terasa, uang yang
sudah disetorkan oleh masing-masing mencapai Rp15,5 juta, sehingga total Rp31
juta.
Keduanya dijanjikan berangkat Maret 2010. Namun setelah
batas waktu yang telah dijanjikan terlewatkan, Ferry dan Sugeng tak kunjung berangkat sebagai TKI. Keduanya lantas meminta penjelasan kepada
terlapor. Tapi setiap kali bertemu, terlapor hanya memberi janji-janji.
Kasatreskrim Polres Jombang, AKP Heru Nur Hidayat, ketika
dimintai konfirmasi, Senin (20/9/2010), mengatakan masih mendalami laporan
kedua korban. “Untuk sementara, kedua pelapor kami minta keterangan.
Selanjutnya, kami akan memeriksa saksi, dan memanggil terlapor untuk menjalani
pemeriksaan,” jelasnya.
(Sumber: Kompas, 21 September 2010)
Diketahui
Tewas Setelah 3 Tahun
Sunaesih binti Kajan (24), Tenaga Kerja Indonesia asal
Cirebon, Jawa Barat, yang bekerja di Uni Emirat Arab dinyatakan tewas setelah
tiga tahun. PT AP, perusahaan penyalur tenaga kerja, menyebutkan bahwa Sunaesih
dinyatakan tewas akibat kecelakaan. Namun, pihak keluarga dan Serikat Buruh
Migran menganggap janggal kematiannya. Pihak keluarga dan Serikat Buruh Migran
juga menilai aneh karena perusahaan penyalurnya baru memberi tahu tentang
kematian Sunaesih tiga tahun berselang setelah ia meninggal.
PT AP mengabarkan berita kematian itu pada 12 Agustus
2010. Padahal, kematian Sunaesih tercatat tanggal 18 Juli 2007. ”Keterangan
meninggal itu pun keluar atas desakan orang tua Sunaesih. Orang-tuanya resah karena
anak mereka tak ada kabar sejak ia berangkat ke Arab, 27 Mei 2007,” kata Castra,
pendamping keluarga Sunaesih dari Serikat Buruh Migran Cirebon, Minggu (21/11/2010).
Kejanggalan lain, lanjutnya, adalah tidak ada bukti yang
bisa menunjukkan bahwa Sunaesih memang tertimpa kecelakaan. PT AP tidak
transparan dalam menginformasikan kematian tersebut kepada keluarga korban. Selain
itu, jenazah Sunaesih pun tidak bisa dibawa pulang dengan alasan sudah
dikuburkan sejak tiga tahun lalu.
Kajan, ayah Sunaesih, juga mengaku mendapatkan santunan
4.000 dollar AS (Rp35,7 juta) dari perusahaan penyalur dan agennya, ditambah
dua bulan gaji Sunaesih sebesar 1.600 dirham.
Santunan itu pun diberikan karena desakan dari keluarga
yang menuntut pencairan asuransi jiwa Sunaesih. Namun, untuk mendapatkan
santunan itu, Kajan diminta menanda-tangani surat perjanjian yang isinya agar
tidak mengungkit-ungkit lagi penyebab kematian Sunaesih. ”Saya bingung, saya
tetap ingin anak saya pulang, bagaimana pun kondisinya, karena itu saya mengadu
ke Serikat Buruh Migran,” ungkap Kajan.
Hingga kini, Kajan tetap mendesak agar jenazah anaknya
bisa dipulangkan ke desanya di Desa Gembongan, Kecamatan Babakan, Kabupaten
Cirebon. Ia meminta agar pemerintah turut membantu kepulangan jenazah anaknya
yang sudah tiga tahun tewas itu.
Serikat Buruh Migran mendesak agar perusahaan penyalur
tenaga kerja bertanggung-jawab terhadap keluarga Sunaesih. Pertanggung-jawaban
itu tidak hanya berupa santunan, tetapi juga pembuktian penyebab kematian TKI
itu dan proses pemulangan jenazahnya ke Indonesia.
Kisah sedih TKI juga datang dari Kabupaten Karawang, Jawa
Barat. Kastem binti Rustam (32), TKI asal Muara Baru, Kecamatan Cilamaya Wetan,
dilaporkan mengalami gangguan mental akibat penyiksaan oleh majikannya di Abu
Dhabi, Uni Emirat Arab.
Pihak keluarga korban mengaku kehilangan kontak sejak
Kastem berangkat ke luar negeri, November 2008. Kabar mengenai kondisi Kastem
diceritakan oleh Sunari (30), TKI asal Karawang, yang berhasil kabur dan
kembali ke Indonesia, 19 November 2010.
Sunari bekerja pada anak majikan Kastem, tetapi terpisah
rumah di daerah Sarjah, Abu Dhabi.
Koordinator Camp Migrant Karawang Boby Anwar Maarif
mengatakan, Sunari rutin bertemu dengan Kastem 2-3 kali sepekan saat majikannya
mengunjungi majikan Kastem. Kepada Sunari, Kastem mengaku sering disakiti
majikannya hingga mengalami luka fisik dan mental.
(Sumber: Kompas, Senin 22 November 2010)
Minta
Penambahan Perwakilan RI di Arab Saudi
Meningkatnya mobolitas WNI di Timur Tengah,
terutama di Arab Saudi harus disikapi dengan menambah jumlah perwakilan
Indonesia di negeri itu.
Pemerintah Indonesia selayaknya memiliki
dua kantor perwakilan lagi di Arab Saudi. Ketua Himpunan Pengusaha Jasa TKI
(Himsataki) Yunus M Yamani mengatakan tahun lalu (2009) sebanyak 234.643 TKI ditempatkan ke negara itu dan
sepanjang tahun lalu terdapat 22.035 kasus yang terjadi di sana. “Rata-rata
Indonesia menempatkan 20.000-25.000 TKI ke Saudi. Angka itu terbesar untuk
wilayah Timur Tengah dan hanya bisa
dibandingkan dengan penempatan ke negeri jiran, Malaysia,” kata Yunus.
Saat ini terdapat dua perwakilan Indonesia
di Arab Saudi, yakni KBRI di Riyadh dan KJRI di Jeddah. Menurut Yunus, dengan
hanya memiliki dua kantor perwakilan tersebut maka pelayanan yang diberikan
tidak maksimal sementara penyebaran TKI di sana hampir merata, hingga ke
kota-kota di daerah perbatasan. “Terdapat 42 kota di Arab Saudi yang banyak
ditempati TKI. Untuk mengatasi penyebaran tersebut dibutuhkan, minimal dua
perwakilan lagi di Saudi,” kata Yunus.
Di sisi lain, dia juga mengingatkan KBRI
dan KJRI, dengan segala keterbatasan yang ada, untuk tetap memberi pelayanan
yang baik kepada TKI. “Mereka adalah pahlawan bagi keluarga dan pejuang yang
membantu Indonesia mengatasi pengangguran dengan pengorbanan berpisah dengan
sanak keluarga, anak, suami atau isteri,” jelas Yunus.
Dia mengungkapkan beberapa kasus di mana ketika Perusahaan Jasa TKI (PJTKI)
menyampaikan masalah yang dihadapi TKI-nya, tetapi malah diberi sanksi tidak
mendapatkan pelayanan administrasi hingga PJTKI tersebut menyelesaikan masalah
TKI tersebut. Yunus juga mengungkapkan bahwa banyak kasus TKI yang kadang
berujung pada kematian karena tidak diselesaikan dengan cepat, mengingat
keterbatasan sumber daya manusia dan minimnya kantor perwakilan Indonesia.
Dia mencontohkan kasus Nurhafifah yang
meninggal terbunuh sekitar satu tahun lalu, kasusnya baru diselesaikan saat ini
dengan memberikan diat (uang duka
cita) sebesar SR60.000 atau sekitar Rp150 juta. “Himsataki berupaya menyelesaikan
pembayaran diat dari majikan TKI itu,
karena kasus ini terkatung-katung hampir setahun, sedangkan majikan yang
bersalah dihukum penjara saat ini,” kata Yunus.
Dana tersebut diserahkan Yunus kepada
Marullah (kakak kandung almarhumah) dalam sebuah acara sederhana di Kantor
Himsataki di Condet. Nurhafifah binti Sukari Sarbibni asal Malang dan meninggal
dunia di Abha, Arab Saudi. Saat ini
Himsataki juga sudah mengurus uang diat
atas nama TKI Muhsinin Bin Amaq Masei Sirma yang meninggal karena kecelakaan
kerja tahun lalu di Makkah.
(Sumber: Situs
Kampung TKI)
No comments:
Post a Comment