Belajarlah sampai ke negeri China.
(Kata bijak Rasulullah Muhammad SAW)
Dalam berbagai kesempatan saya
senantiasa menandaskan, ”Muliakan
dan lindungilah TKI kita, niscaya akan membawa kemajuan dan kejayaan bangsa dan
negara Indonesia. Untuk itu, apa salahnya marilah kita bercermin dari beberapa
negara yang melindungi dan memuliakan para TKI-nya sebagai pembelajaran.”
Pelajaran
dari kemajuan negara lain itu sangatlah penting untuk kita petik buah akal-budi
yang berkembang di sana dan kita jadikan sebagai bahan pembelajaran agar kita
bisa menjadi jauh lebih baik. Bukankah Sang Nabi, Rasulullah Muhammad SAW, juga
telah menitahkan dengan kata-kata bijak yang maknanya begitu dalam, ”Belajarlah
sampai ke negeri China”. Artinya, Rasulullah menghimbau kepada kita supaya tidak
hidup seperti katak di dalam tempurung. Untuk itu,
agar dapat meraih kemajuan khususnya di bidang pengelolaan TKI yang bisa dikatakan di
negeri ini masih amburadul, tidak salahnya kita bercermin pada beberapa negara lain
yang jauh lebih baik. Mulai dari proses perekrutan, pengurusan dokumen,
pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan
sampai ke negara tujuan hingga pemulangan.
Salah satu
negara yang telah menerapkan sistem dan manajemen tenaga kerja ke luar
negeri yang tertata apik adalah Filipina. Sekadar
pengetahuan, sebenarnya Indonesia dan Filipina sama-sama sebagai negara
yang banyak mengirim warganya untuk bekerja di luar negeri. Terutama, ke
negara-negara kaya dan maju seperti Arab Saudi, Jepang dan Amerika Serikat. Yang
membedakan, pemerintah Filipina sangat konsen dengan nasib rakyatnya yang
bekerja di luar negeri sementara negeri kita bisa saya katakan nyaris tidak memberi
perhatian. Negeri (pemerintah) kita sangat
acuh dan tidak peduli terhadap nasib warganya yang bekerja di manca negara. Bahkan,
kalau saya bandingkan dan perhatikan, manajemen penempatan
dan pengiriman tenaga kerja Filipina itu jauh lebih baik,
tertata dan tersistem dibandingkan manajemen tenaga kerja Indonesia. Bagi saya
ini suatu hal yang tidak dapat dipungkiri karena ini merupakan suatu hal yang
sudah diketahui khalayak orang banyak bahwa itulah citra buruk negara
Indonesia, serta citra baik pemerintah Filipina dalam hal perlindungan tenaga
kerja.
Alasan kenapa pemerintah Filipina sangat
serius dan konsen serta sangat memuliakan warganya yang bekerja di luar luar
negeri, karena mereka hampir setiap tahun menyumbang devisa yang tidak kecil
bagi perekonomian negara. Rata-rata mereka mampu menyumbang devisa sebesar
hampir 20 miliar dolar AS dalam setahun. Bahkan devisa yang diperoleh dari warganya
ini menjadi penyumbang terbesar dari seluruh devisa yang dihasilkan
oleh pemerintah Filipina. Jadi jangan heran kalau tenaga kerja asal Filipina
itu menjadi "anak emas" di negerinya. Sementara di Indonesia, sumbangan
devisa yang bersumber dari TKI itu belum mencapai 7 miliar dolar AS setahun (www.blogspot.com).
Pemerintah
Filipina menyadari betul penghasilan warganya yang bekerja di negara lain itu sangat mendukung perekonomian
negara. Sebab itu, pemerintah Filipina (negara) menyadari
pula bahwa negara wajib memberikan perlindungan maksimal kepada
warganya tersebut. Mulai dari perekrutan hingga
kembali ke Bayan Ko ’negeriku’. Bahkan untuk melindungi mereka pemerintah
Filipina menempatkan atase perburuhan dan mendirikan crisis center (pusat
pengaduan) di negara-negara di mana tenaga kerja Filipina mengadu
nasib. Terbukti, atase perburuhan dan mendirikan crisis
center benar-benar memberikan kenyamanan dan keamanan bagi tenaga kerja
Filipina. Dengan demikian mereka bisa bekerja dengan tenang dan baik
sehingga memperoleh hasil yang baik pula.
Lebih dari
itu, untuk melindungi warganya yang bekerja di negara lain, tahun 1982
pemerintah Filipina membuat suatu lembaga khusus. Namanya Philippine
Employment Overseas Agency (PEOA). PEOA merupakan lembaga yang
berada di bawah Dewan Pengawas yang diketuai Secretary of Labor Employment.
Dan di antaranya bertugas, pertama, memberikan perlindungan kepada
tenaga kerja Filipina agar tidak dieksploitasi oleh majikan atau perusahaan
Pengerah Jasa Tenaga Kerja (PJTK) di negara mana pun mereka berada. Kedua,
mendorong ketenaga-kerjaan di negara-negara yang melakukan
praktik terbaik. Ketiga, mengatur agen-agen penyalur jasa tenaga kerja. Keempat,
menyelenggarakan pendidikan bagi calon tenaga kerja luar negeri dan memelihara
sebuah sistem informasi pasar pekerja yang selalu diperbarui. Kelima,
mengeluarkan sertifikasi PJTK yang memenuhi persyaratan. Termasuk
pula mengeluarkan pelarangan terhadap PJTK yang melakukan
pelanggaran atau penipuan terhadap tenaga kerja. Sertifikasi
ini dilaksanakan untuk memenuhi kewajiban pengesahan terhadap
setiap kontrak kerja yang akan ditanda-tangani oleh para calon tenaga
kerja. Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa isi kontrak tidak akan merugikan para
tenaga kerja, terutama dalam hal upah dan fasilitas yang dijanjikan. Tanpa
adanya stempel dari POEA jangan harap PJTK atau calon tenaga kerja dapat keluar
dari negaranya.
Guna melindungi warganya yang
bekerja di negara lain, pemerintah Filipina juga dikenal amat tegas terhadap
PJTK yang ketahuan melakukan upaya pemerasan
terhadap calon tenaga kerja yang ingin bekerja di negeri orang. Menurut
laporan tahunan POEA, tidak kurang dari 497 kasus yang dilakukan PJTK dibawa ke
pengadilan. Bahkan beberapa di antara PJTK tersebut ada yang
sampai dihukum seumur hidup. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak
diinginkan, PEOA juga gencar berkampanye dan memberikan himbauan kepada warganya,
terutama bagi mereka yang ingin bekerja di negara lain agar
bersikap hati-hati dan selektif terhadap perusahaan pengerah jasa tenaga kerja.
Yang menarik,
sebelum warga Filipina diberangkatkan ke negara lain untuk bekerja, mereka
terlebih dulu diwajibkan membayar fee kepada POEA. Besaran fee sekitar 100
dolar AS atau setara dengan Rp900.000 per orang. Uang ini dapat diambil
kembali bila kelak mereka gagal berangkat dengan alasan apapun. Biaya
ini belum termasuk pengurusan dokumen seperti paspor, visa, asuransi
kecelakaan, kesehatan, dan surat keterangan dari kepolisian.
Mengenai biaya yang harus dikeluarkan calon
tenaga kerja dibuat secara transparan. Setiap calon tenaga kerja
dapat mengetahui dan melihat di setiap
kantor PJTK atau POEA. Dan PJTK hanya bisa mendapatkan uang jasa dari setiap
tenaga kerja yang jumlahnya tidak boleh melebihi satu bulan dari upah si pekerja
berdasarkan kontrak yang telah ditanda-tangani. Itupun umumnya dibayar
secara angsuran saat pekerja telah ada dan bekerja di negara tujuan.
Perhatian pemerintah Filipina
tidak sampai di situ saja. Pemerintah Filipina memperhatikan sampai
detil-detil si pekerja di tempat kerjanya. Pemerintah mendata dengan
baik mulai dari alamat di mana dia bekerja, siapa nama majikannya, batas waktu
kontrak dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk terus
bisa memantau keberadaan para pekerja di negeri orang lain. Dan
saya mau mengatakan bahwa pehatian seperti ini bukan
hanya dilakukan oleh Pemerintah Filipina, tapi sudah menjadi standar perlakuan
pemerintah negara lain seperti Bangladesh dan India. Yang membedakan, selain
mendata keberadaan tenaga kerja di luar negeri, Pemerintah Filipina
juga mewajibkan setiap tenaga kerja mengirimkan
US$100 per bulan kepada keluarga yang mereka tinggalkan. Jika mereka tidak memenuhi
kewajiban tersebut, perwakilan negara segera mengecek di mana keberadaan si pekerja
tersebut. Ketika sudah diketahui keberadaannya, dan mereka berdalih
karena lupa atau ada alasan lain, mereka akan dikenai sanksi.
Jumlah uang US$100 per bulan memang
termasuk relatif kecil bagi tenaga kerja asal Filipina. Sebab, seorang tenaga
kerja Filipina menerima upah terendah sekitar US$1.000 per bulan
atau US$12 ribu per tahun. Ya wajar saja jika gaji mereka besar, karena
kualitas tenaga kerja asal Filipina itu jauh lebih baik dan mereka rata-rata
mampu serta fasih berbahasa asing, terutama Inggris. Mereka tidak
sekadar bermodalkan bahasa “Salam Sejahtera” atau “Assalammualaikum” saja.
Lantaran saking kecilnya, uang itu biasanya lebih banyak dimasukkan ke dalam
amplop bersama surat dan dikirim melalui pos udara, ketimbang transfer melalui bank.
Dalam memberikan perlindungan pada warganya
yang bekerja di luar negeri, rasanya, pemerintah kita tertinggal jauh
dibandingkan dengan kepedulian pemerintah Filipina. Sungguh beruntung
tenaga kerja asal Filipina. Mereka benar-benar diperhatikan secara serius
dan dimuliakan oleh pemerintahnya. Mulai dari orientasi sebelum keberangkatan bahkan
sampai pembelaan bila menghadapi kasus hukum di negara tempat mereka
bekerja. Saya akan memberikan ilustrasi menarik tentang
bagaimana cara pemerintah Filipina termasuk negara lain seperti Sri Langka dan Vietnam
dalam menangani kasus-kasus atau permasalahan warganya yang bekerja di negara
lain.
Sebagai contoh, beberapa waktu
lalu sekitar 400 tenaga kerja Filipina melakukan pemogokan di salah satu
perusahaan garmen di Brunei Darussalam. Mereka mogok kerja karena menuntut
kenaikan upah sesuai dengan perjanjian kontrak yang ditanda-tangani
di negaranya sebelum berangkat. Perundingan dalam kasus ini
bisa dibilang berjalan alot dan berlangsung hampir seminggu tanpa hasil, meski
kedutaan Filipina dan pejabat setempat dilibatkan dalam perundingan. Karena masalah
ini tidak kunjung usai, akhirnya Wakil Presiden
Filipina Teofisto Guingona sengaja terbang dari
negaranya untuk menengahi konflik yang semakin memanas itu.
Bayangkan untuk menangani kasus
ini saja, seorang wakil presiden merasa wajib dan mau turun tangan langsung mencoba
menengahi kasus pemogokan warganya di negeri orang lain. Ya, meski akhirnya
tidak terjadi kesepakatan antar kedua negara dan pekerja Filipina memilih pulang
ke negaranya. Dan dalam pemulangannya pun para pekerja mereka tidak harus
terlunta-lunta menunggu sarana transportasi. Sebab, pemerintah Filipina telah
bekerjasama dengan maskapai penerbangannya untuk mengangkut warganya pulang.
Kasus lainnya, pada tahun 1995 Pemerintah
Filipina juga telah secara mati-matian membebaskan seorang warga
negaranya yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Singapura yang terancam
hukuman mati di tiang gantungan lantaran dituduh melakukan
pembunuhan terhadap rekannya seprofesi (Republika, 27 Maret 1995). Menanggapi kejadian
ini, reaksi pemerintah dan rakyat Filipina ketika itu bisa dikatakan sangatlah maksimal karena sempat meruncingkan atau terjadi pemutusan hubungan
diplomatik di antara kedua negara tersebut. Begitu pula ketika
mencuat kasus Sarah Balabagan dan Flor Contemplacion yang diancam
hukuman mati di Negeri Jiran Singapura. Segenap
kekuatan politik luar negeri Filipina dikerahkan untuk membebaskan mereka.
Bahkan Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo sempat mengancam hendak memutuskan
hubungan diplomatik dengan Singapura. Ya memang, Pemerintah
Filipina adalah pemerintah yang tak segan-segan mengancam akan memutuskan
hubungan diplomatik dengan negara-negara penempatan yang tidak memperlakukan warganya
secara adil dan bermartabat.
Demikian
juga ketika tenaga kerja asal Filipina menghadapi masalah yang sama di
Malaysia. Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo ketika itu langsung turun
langsung melakukan langkah-langkah yang proaktif. Beliau benar-benar tampil
dengan sigap membela warga negaranya. Mulai dari menelepon Perdana Menteri
Malaysia Mahatir Mohammad agar menghentikan pemulangan tenaga kerjanya dan
menjemput langsung mereka yang datang, hingga melalui stasiun televisi
nasional dengan nada sedih beliau menyerukan kepada rakyatnya agar membantu dan
mendoakan saudara-saudara mereka yang bernasib kurang baik tersebut (Media
Indonesia, 03 September 2002). Perlu diketahui juga di Arab Saudi, kalangan
diplomat Filipina sangat disegani dan ditakuti oleh kalangan pejabat Saudi.
Pasalnya, para diplomat Filipina ini umumnya dikenal sangat berani, tegas dan
tidak kenal kompromi apabila terjadi abuse pada tenaga
kerjanya. Sementara, kalangan diplomat kita yang ada di Arab Saudi lebih sering
tidak peduli dengan berbagai keluhan para TKI/TKW yang datang setiap hari ke
KJRI Jeddah. Alih-alih mau meneruskan keluhan itu ke pihak Saudi, pihak KJRI
malas atau enggan menemui TKI/TKW yang datang.
Perhatian
dan pembelaan mati-matian terhadap warganya yang bekerja di luar negeri juga pernah
dilakukan oleh Pemerintah Sri Langka. Yaitu,
ketika pekerjanya yang bernama LT Ariyawathi pulang dalam keadaan
mengenaskan. LT Ariyawathi adalah wanita berusia 49 tahun asal Sri
Lanka yang bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Arab Saudi. Selama bekerja
di Arab Saudi ia selalu mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari
majikannya. Hampir setiap hari ia disiksa dan bahkan yang paling menyedihkan ia
sempat dipaku dan ditusuk dengan 24 buah paku/jarum di sekujur
tubuhnya. Semula tak ada seorang pun yang mengetahui kasus ini,
kecuali LT Ariyawathi sendiri. Jejak penyiksaan ini baru ketahuan setelah
Ariyawathi pulang ke negeri asalnya, Sri Lanka. Beberapa hari
setelah sampai di Sri Langka ia mengeluh kesakitan di sekujur tubuhnya. Lalu ia dirujuk agar
dibawa dan diperiksa di Rumah Sakit Kamburupitiya yang terletak
sekitar 160 km dari ibukota Colombo.
Setiba di
Rumah Sakit Kamburupitiya, tim dokter yang memeriksa LT Ariyawathi merasa
terkejut. Karena, ketika tubuh
Ariyawathi di-rontgen
dengan sinar X terlihat adanya 24 buah
paku/jarum yang masih menancap di tubuhnya. Paku dan jarum
yang berukuran 2,5 cm hingga 5 cm ini menancap di tangan, lutut, kaki, bahkan
di dekat mata LT Ariyawathi. Sebagian paku-paku yang tertancap
di sekujur tubuhnya itu --antara lain tertanam di
sekitar mata atau keningnya-- ditancapkan oleh majikannya dengan
cara dipukul dengan palu. Sedangkan paku lainnya ditancapkan ke
tubuh Ariyawathi setelah terlebih dulu paku
itu dipanaskan. Majikannya menyiksa LT Ariyawathi dengan dalih sebagai hukuman karena
ia mengeluhkan beban kerja yang terlalu berat. Dalam proses pemakuan, majikan
perempuan memanaskan paku-pakunya dan sang majikan laki-laki yang menancapkan lalu
memakunya ke sekujur tubuh Ariyawathi. Yang lebih menyesakkan
lagi, sudah disiksa layaknya binatang, ibu tiga anak ini dibayar tidak sesuai
dengan jangka waktu selama bekerja di Arab Saudi. Alasannya, sebagian
gaji Ariyawathi digunakan oleh majikannya untuk membeli tiket
penerbangan pulang ke Sri Lanka.
Dr Keerthi Satharasinghe,
dokter yang ketika itu memeriksa LT Ariyawathi, mengatakan wajar
saja LT Ariyawathi kesulitan dan merasa kesakitan saat berjalan, karena masih tertanam dua
paku di lutut dan dua paku di pergelangan kakinya. Dalam
operasi yang berlangsung selama 3 jam tersebut, tim dokter berhasil
mengeluarkan 13 paku dan 5 jarum. Mereka hanya mengambil paku dan jarum yang
ada di kaki dan kepalanya. Sementara enam jarum di tangannya tak bisa diambil
karena dikhawatirkan operasi akan merusak sistem saraf tangan.
Mengetahui perlakuan yang tidak
manusiawi ini, pihak Pemerintah Sri Lanka (dalam
hal ini Kementerian Luar Negeri Sri Lanka) langsung turun tangan dengan
melaporkan kasus tindak kekerasan ini kepada Pemerintah
Arab Saudi. Supaya pihak Arab Saudi memberikan kompensasi dan bantuan kepada LT
Ariyawathi dan si pelaku segera ditangkap serta dikenakan hukuman yang setimpal.
Hal yang sama juga pernah
dilakukan Pemerintah Vietnam. Yakni, sewaktu
tahun 2007 lalu ada kasus sekitar 200 pekerja asal Vietnam yang bekerja di sebuah
pabrik garmen di Jalan Kampung Jawa, Kuala Lumpur, Malaysia, melakukan aksi
mogok kerja. Mereka mogok karena ingin menuntut kenaikan gaji. Sebab, upah yang
diterima saat itu dirasa terlalu rendah dan tidak sesuai dengan perjanjian kontrak kerja. Mereka
mengaku hanya digaji 30 ringgit Malaysia setiap bulan setelah dikurangi beragam
pembayaran, termasuk membayar agen. Karena dikhawatirkan masalah
ini akan semakin memanas, Pemerintah Vietnam tidak mau
tinggal diam. Tanpa berlama-lama, akhirnya pejabat dari Kedutaan
Besar Vietnam turun langsung melakukan negosiasi dengan
perwakilan pekerja dan pemilik perusahaan serta Departemen Tenaga Kerja
Malaysia.
Saya menilai cara kerja para
pejabat Filipina, Sri Langka dan Vietnam tadi sungguh
patut kita contoh. Mulai dari sikap caring mereka terhadap rakyatnya
yang bekerja di negara lain, sikap pembelaan terhadap rakyatnya yang
bermasalah, sikap ketegasan dan sekaligus keberanian menanggung risiko
demi membela nyawa warganya. Di Filipina dan Sri Langka, termasuk di negara lain seperti Bangladesh dan Vietnam,
nyawa seorang warganya yang bekerja di negara lain itu sama mahalnya dengan
nyawa seorang politisi bahkan setara dengan nyawa seorang Presiden. Saya
menilai Ini memang satu hal yang mustahil terjadi di negara kita. Jangankan
wakil presiden, pejabat setingkat menteri pun hanya berani berkoar di dalam
negeri sambil mengkambing-hitamkan pemerintah negara lain
tanpa melakukan tindakan konkret apapun ketika mendengar atau melihat TKI menghadapi
persoalan.
***
Dari
Filipina,
Sri Langka dan Vietnam, ada baiknya kita juga belajar ke India dan Hongkong. Sebab, India dan Hongkong juga dikenal sebagai negara
yang cukup
berhasil
melindungi dan menangani pelayanan dan perlindungan warga negaranya yang bekerja
di luar negeri.
Mari kita simak kisah berikut. Suatu ketika empat pekerja migran asal India tewas terpanggang setelah sebuah
pabrik sekaligus toko tekstil tempat mereka bekerja hangus dilalap si jago merah. Pabrik yang terletak di Johor, Malaysia, ini diduga
dibakar secara sengaja. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya wadah berisi
empat liter bensin yang berada di lokasi kebakaran. Walaupun ketika peristiwa
terjadi, pihak berwenang sendiri masih belum dapat mengidentifikasi keempat
korban kebakaran karena kondisi mayat yang hangus terbakar dan menyulitkan
pihak kepolisian untuk mengetahui identitas para korban. Tapi pihak pemilik
toko, Mutu Veeraya, mengakui kalau dua korban yang tewas tersebut merupakan
pekerjanya yang berasal India. Sedangkan dua orang lainnya
adalah teman dari karyawannya yang juga sama-sama berasal dari India.
Mengetahui
kejadian tersebut, Pemerintah India tak tinggal diam. Pemerintah India turun langsung dalam
upaya menyelesaikan perkara ini. Pemerintah India menginginkan pihak Malaysia bertanggung-jawab atas kematian warganya
dengan cara menuntaskan dan segera menyelidiki kasus ini supaya diketahui siapa
pelaku pembakaran pabrik tersebut dan segera diberi hukuman setimpal (www.okezone.com).
Perlindungan Pemerintah India terhadap
warganya yang bekerja di luar negeri boleh dikatakan cukup memadai. Sebagai
gambaran umum, tenaga kerja India di luar kini negeri berjumlah sekitar 5 juta
orang. Sekitar 90% di antaranya bekerja di negara-negara kawasan Teluk dan
Timur Tengah. Tenaga kerja India ini sebagian besar (sekitar 70%) merupakan pekerja
formal, seperti di bekerja sektor jasa (perhotelan, perbankan, dan
pendidikan), sektor kesehatan (dokter dan perawat), dan sektor industri
(teknisi). Kemudian pekerja semi formal sebanyak 20% yang meliputi sektor
konstruksi (pekerja proyek) dan sektor transportasi (sopir bis dan taksi).
Sedangkan sisanya 10% di sektor informal, yakni pembantu rumah tangga atau
Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). Setiap tahun mereka mampu menyumbang
devisa sekitar US$12–15 miliar.
Untuk melindungi warganya yang
bekerja di negara lain dari hal-hal yang tidak diinginkan, Pemerintah
India --melalui Ministry of Overseas Indian Affairs (MOIA-Departemen
Luar Negeri India)-- memayungi mereka dengan menerbitkan
Undang-Undang Ketenaga-kerjaan. Awalnya kementerian yang mengurus
para pekerja migran India ini dibentuk pada Mei tahun 2004 dengan nama The
Ministry of Non-Resident Indians. Seiring dengan perjalanan waktu, pada September
2004 lembaga ini berganti nama menjadi Ministry of Overseas Indian
Affairs (MOIA). Sampai saat ini Pemerintah India sudah memberlakukan kurang lebih 55
Undang-Undang Ketenagakerjaan Pusat dan 100 Undang-Undang Ketenagakerjaan
negara bagian.
Di antara ratusan UU
tersebut, terdapat yang namanya Undang-undang Pabrik. Sebuah Undang-undang
yang dibuat oleh Pemerintah India khusus untuk melindungi tenaga
kerja yang bekerja di sektor domestik. Semula Undang-undang
ini berisi tentang pemberlakuan 48 jam kerja dalam sepekan. Namun,
dalam perkembangannya, pada tahun
2005 dilakukan perubahan terhadap Undang-undang ini dengan
menambahkan pasal tentang aturan yang membolehkan pekerja wanita untuk bekerja
pada shift malam. Dari jam 10.00 malam sampai 06.00 pagi. Dengan
syarat harus tetap ada jaminan perlindungan keamanan. Undang-undang
ini juga menyempurnakan aturan mengenai bekerja di luar 9 jam per hari
(sampai jam 10 malam) dan bekerja pada hari libur nasional. Bekerja di
kedua waktu ini dihitung sebagai lembur dan harus dibayar dua
kali lipat dari upah normal. Selain upah, mereka
juga diberikan tunjangan (keluarga dan kesehatan). Dalam Undang-undang
ini diatur pula mengenai ketentuan gaji minimum, waktu cuti
dan kepastian perlindungan hukum dari negara tujuan hingga akses informasi dari
negara asal dan negara tempat mereka bekerja.
Pemerintah India juga yang menerbitan
peraturan yang diberi nama Undang-undang
Pekerja Anak-anak tahun 1986. Dalam Undang-Undang ini diatur bahwa anak-anak
yang berusia masih di bawah 14 tahun dilarang bekerja. Dan hanya
warga India yang telah berusia 30 tahun-lah yang diperbolehkan bekerja ke luar
negeri. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meminimalisir
kasus-kasus eksploitasi tenaga kerja, terutama yang bekerja di sektor informal,
seperti pekerja pembantu rumah tangga.
Sementara untuk memberikan
perlindungan terhadap tenaga kerja India yang bermasalah, Ministry of
Overseas Indian Affairs telah membentuk suatu badan bernama
Indian Community Welfare Fund (ICWF - Dana
Kesejahteraan Masyarakat India). ICWF inilah yang kemudian bertugas dan
berfungsi memberikan biaya kehidupan tenaga kerja India bermasalah.
Seperti untuk pembiayaan incidental atau biaya transportasi pengangkutan
jenazah apabila tidak ada pihak sponsor yang bertanggung-jawab atau
keluarga si tenaga kerja tidak mampu menanggung seluruh pembiayaannya.
Juga untuk memberikan bantuan tiket kepulangan bagi tenaga
kerja yang telantar, bantuan biaya pengobatan, dan biaya bantuan
hukum bagi tenaga kerja yang menghadapi masalah hukum.
Perlindungan
secara optimal warga negara yang bekerja di luar negeri
diberikan pula oleh Pemerintah Hongkong. Bahkan selain
pemerintahnya begitu memuliakan dan melindungi warganya yang bekerja di luar
negeri, Pemerintah Hongkong tidak pernah membeda-bedakan dan
menghargai setiap pekerjaan yang dikerjakan oleh warganya maupun warga negara
lain yang bekerja di Hongkong. Sekalipun si pekerja hanyalah
seorang Pembantu Rumah Tangga (PRT). Semuanya memperoleh perlakuan yang sama dari negara. Salah satu
bukti adalah dengan adanya Undang-undang (UU) Ketenaga-kerjaan
Hongkong (Employment Ordinance). UU ini mengatur antara lain, pertama,
PRT diakui sebagai tenaga kerja sebagaimana tenaga kerja lain yang bekerja di
pabrik, kantor, dan sektor lainnya. Sehingga, PRT dan majikan harus
menjalankan hubungan kerja secara profesional, di mana keduanya mesti taat pada
aturan kerja yang diterapkan oleh pemerintah. Dengan adanya UU ini, majikan
tidak dapat memperlakukan PRT sesuka hatinya.
Kedua,
PRT tidak boleh digaji di bawah upah minimum (under payment). PRT yang
digaji di bawah upah minimum dapat memperkarakannya di pengadilan. Beberapa
kali hal ini memang terjadi. Namun, ketika kasus pengupahan di bawah standar ini
sampai ke meja hijau sebagian besar dimenangkan oleh si pekerja (PRT).
Majikan maupun agen yang kalah di pengadilan dikenakan sanksi dan wajib
membayar denda yang cukup besar kepada PRT.
Ketiga,
PRT mempunyai hak untuk libur satu hari dalam sepekan. Pada
umumnya mereka mengambil hari Sabtu atau Minggu. Pada hari libur
tersebut, majikan dilarang mempekerjakan PRT tanpa upah tambahan. Jika hal ini
terjadi, maka mereka dapat pula memperkarakannya secara hukum. Hari libur
seperti ini biasanya dimanfaatkan oleh para PRT untuk berkumpul dengan PRT sedaerah
atau jalan-jalan. Atau hak libur satu hari dalam sepekan ini
banyak dimanfaatkan PRT yang menjadi aktivis buruh migran untuk melakukan
penyadaran-penyadaran hak sosial maupun politik pada komunitasnya. Misalkan
melalui penyelenggaraan diskusi, seminar, training, kongres, aksi
massa, pernyataan sikap, pengiriman artikel ke media massa, penyebaran buletin
dan selebaran, atau dengan memanfaatkan kegiatan lain mulai peragaan busana
hingga majelis taklim.
Keempat,
PRT mempunyai hak untuk berorganisasi. Tidak mengherankan bila
jumlah organisasi yang dikelola oleh BMI (Buruh Migran Indonesia) yang bekerja
sebagai PRT di Hongkong mencapai kurang lebih
38 organisasi. Mulai dari organisasi sosial, seni, budaya, sampai
perkumpulan agama. Beberapa organisasi yang secara khusus
memperjuangkan hak-hak PRT Indonesia adalah ATKI (Asosiasi Tenaga Kerja
Indonesia), IMWU (Indonesian Migrant Workers Union), GAMMI (Gerakan Aliansi
Migran Muslim Indonesia), Persatuan BMI Tolak Overcharging (Pilar), dan Kotkiho
(Koalisi Organisasi Tenaga Kerja Indonesia di Hongkong). Selain
organisasi-organisasi sosial tersebut, ada lagi
organisasi agama semacam majelis taklim seperti Al-Fattah,
Al-Fadilah, Al-Istiqamah, An-Nisa, Akhwat Gaul, Al-Ukhuwah, Al-Ikhlas, Nur
Muslimah Satin, Az-Zuhriyah, Al-Atki, Darul Mustakim dan Birrul Walidain.
Bahkan, ada pula organisasi bertaraf internasional seperti
International Migrant Alliance (IMA), sebuah aliansi internasional yang
beranggotakan organisasi dan serikat buruh migran dari berbagai negara.
Jelas UU tersebut
sangat bermanfaat bagi warga Hongkong dan
warga negara lain yang bekerja di Hongkong, terkhusus yang
bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Menurut hemat saya, sepantasnya
kita banyak belajar dari negara lain seperti Hongkong, yang memandang
PRT sebagai pekerja yang mulia yang mesti dihargai dan dihormati hak-haknya.
***
KITA memang harus banyak belajar pada sistem dan
manajemen pengelolaan tenaga kerja oleh negara-negara yang telah berhasil
menata sistem dan manajemen tenaga kerja secara apik dan baik. Selain soal
perlindungan tenaga kerja sebagaimana yang telah saya paparkan di atas, kita
juga bisa memetik pelajaran dari sisi manajemen pendidikan dan pelatihan calon-calon
tenaga kerja yang akan dikirim ke manca negara. Mengapa?
Karena di negara-negara lain seperti Filipina, India, Banglades dan Sri
Langka biasanya, sebelum diberangkatkan bekerja ke luar
negeri, pemerintah setempat mewajibkan para calon tenaga kerja terlebih
dulu harus mendapatkan atau memperoleh pelatihan peningkatan
berbagai macam keahlian dan keterampilan di Balai Latihan Kerja (BLK). Dengan
batas waktu minimal 200 jam atau setara dengan 21 hari. Dan apabila
mereka belum genap 21 hari mengikuti pelatihan, mereka
tidak akan memperoleh sertifikat kompetensi kerja. Pihak
imigrasi pun tidak boleh mengeluarkan paspor dan kedutaan tidak boleh
memberikan visa apabila si calon tenaga kerja belum lengkap
mengikuti pelatihan 21 hari di BLK yang ditunjuk.
Sementara di
Indonesia, calon tenaga kerja hanya masuk BLK satu hari saja bisa
langsung dinyatakan lulus. Kejadian ini bukan tidak diketahui
oleh pemerintah kita. Sebab yang mengeluarkan
sertifikat kompetensi kerja adalah lembaga pemerintah, yakni Lembaga
Serfikasi Profesi (LSP) yang ditunjuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi
(BNSP). Dengan pelatihan yang alakadarnya atau cuma untuk memenuhi persayaratan
formal, wajarlah bila kualitas TKI kita relatif rendah dibandingkan tenaga kerja
dari negara lain. Mereka juga tampak kurang siap bekerja di negeri
orang. Secara umum calon TKI menjadi tidak tahu –apalagi memahami-- hak
dan kewajiban selama bekerja di luar negeri.
Pemerintah negara-negara
lain menyadari betul betapa sulitnya seseorang bersaing di kancah
global tanpa didukung oleh pelatihan SDM yang baik. Karena itu,
bagi mereka, pelatihan peningkatan kualitas sumber
daya manusia bukan semata-mata formalitas belaka. Bagi warga yang
ingin bekerja di negara lain benar-benar harus mengikuti pelatihan
peningkatan kualitas diri. Pemerintah negara lain tidak ingin melihat
warganya menjadi bulan-bulanan majikan atau pemberi kerja lainnya gara-gara kualitas
sumber daya manusia yang rendah. Dengan kata lain, mereka tak ingin warga
negaranya tak memiliki posisi tawar yang baik di mata pemberi kerja yang dapat
berdampak pada redahnya devisa yang masuk ke negara.
Selama
mengikuti pelatihan di BLK, mereka terlebih dahulu akan
menerima pelajaran tentang bagaimana tata cara bekerja yang baik dan
benar pada bidang yang akan mereka geluti nanti. Sekadar
contoh, jika seseorang akan
dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, maka mereka akan
dibekali pengetahuan tentang bagaimana tata cara membersihkan
rumah, memasak, mencuci, menyetrika dan sebagainya dengan baik dan benar.
Selain itu, mereka akan memperoleh bimbingan
khususnya soal bahasa dan adat istiadat negara yang akan dituju. Juga
memperoleh pendidikan mental, psikologi dan
cara menghadapi majikan yang bertindak semena-mena serta
tidak pula menerima
pembekalan tentang hak dan kewajiban seorang tenaga kerja yang
bekerja di negeri orang. Dengan materi pelatihan semacam itu,
paling tidak nantinya mereka tidak bingung lagi dan bisa mengetahui serta
mempraktikkan hal–hal yang akan ditemui di tempat kerjanya kelak. Dan
bisa menguasai minimal 200 kata bahasa negara setempat.
Bahkan di
Vietnam, sebelum diberangkatkan ke luar negeri, calon pekerja asal Vietnam ini
--selain memperoleh bekal keterampilan dan kemampuan
memahami bahasa serta adat istiadat masyarakat di
mana mereka akan bekerja-- juga dibekali dan diwajibkan
belajar bahasa Inggris selama 2 hingga 3 bulan. Karena, Pemerintah
Vietnam menganggap bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa yang sudah mengglobal
atau dimengerti oleh banyak orang di berbagai belahan dunia.
Maka dari itu, kalau kita melihat atau memperhatikan para tenaga kerja
asal Vietnam itu mayoritas menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Inggris dan
bahasa di negara mana mereka akan bekerja.
Ya, walaupun
ada sebagian dari mereka yang belum fasih, namun minimal
mereka dapat mengerti dan mempunyai dasar untuk mengucapkan kata-kata
dalam bahasa Inggris dan bahasa negara di mana mereka kelak bekerja.
Dan yang tidak kalah penting, sebelum diberangkatkan ke negeri
orang, para calon tenaga kerja asal Vietnam ini dibekali pula pengetahuan tentang sistem perbankan, asuransi dan seluk beluk peraturan di
bandara --baik di dalam negeri maupun luar negeri. Sebab, kalau
mereka tidak dibekali pengetahuan tentang hal-hal seperti ini bisa menjadikan
tenaga kerja terlihat bodoh dan mudah dipermainkan oleh pihak-pihak
tertentu yang tidak bertanggung-jawab yang ujung-ujungnya hanya
untuk mencari keuntungan semata.
Lebih jauh
lagi, karena negara Vietnam dan saya yakin juga negara-negara yang
lain, menyadari betul kalau negara yang membutuhkan tenaga kerja seperti
Jepang, Arab Saudi, dan Amerika Serikat umumnya merupakan
negara-negara yang lebih maju perekonomiannya, sehingga mayoritas penduduknya akan
lebih mampu membeli produk-produk peralatan rumah tangga dan elektronik yang
lebih canggih dan modern. Sebab itu, para calon
tenaga kerja asal Vietnam, India dan Filipina, sebelum
diberangkatkan mereka dituntut dan dibekali pengetahuan serta praktik tentang bagaimana
cara mempergunakan peralatan berteknologi modern (seperti alat
pengisap debu listrik [vacuum
cleaner], mesin cuci
listrik, alat penanak sekaligus penghangat nasi magic jar, setrika,
dan lain-lain) yang nantinya disediakan oleh majikan untuk bekerja. Dengan dibekali
pengetahuan dan seringnya mempraktikkan alat-alat kerja yang serba modern tadi,
secara otomatis calon tenaga kerja mereka akan menguasai dan
mahir dalam menggunakan peralatan tersebut.
Kemudian
dari sisi manajemen pemulangan
tenaga kerja, kita pun harus bercermin pada negara lain yang telah secara manusiawi memperlakukan
warganya yang baru pulang dari bekerja di luar negeri. Mengapa?
Sebab negara lain tadi memperlakukan setiap pekerja yang pulang dari di luar negeri benar-benar sangat
istimewa. Mereka selalu disambut bak pahlawan oleh pemerintah (negara). Kalau
tidak berlebihan, mereka diperlakukan layaknya seorang raja atau ratu. Selasar
karpet merah dibentangkan sebagai penghormatan dan kebanggaan dalam menyambut
kedatangan para pahlawan devisa ini. Bahkan, kalau kita perhatikan, ketika sampai di bandara
mereka tidak perlu merasa ketakutan akan adanya perlakuan yang kurang baik oleh
oknum-oknum yang tidak bertanggung-jawab. Mereka selalu
tersenyum dan merasa aman dengan barang bawaannya.
Sementara
di Indonesia, pada saat TKI pulang dari luar negeri dan tiba di Tanah Air, sampai
detik ini, saya belum pernah melihat ada semacam bentangan karpet merah dari
pemerintah (negara) sebagai sebuah tanda penghormatan dan kebanggaan menyambut
kedatangan pahlawan devisa itu. Bila saya amati saat mereka sampai di terminal bandara, tak pernah terlihat senyum sumringah dari wajah mereka. Yang terlihat
cuma wajah kebingungan karena mereka tidak tahu mesti naik
apa untuk sampai ke kampung halamannya. Bahkan, saya
kerapkali melihat mimik mereka seperti orang ketakutan. Ya, wajar saja karena terminal
bandara yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan pelayanan kepada TKI,
justru menjadi ajang berbagai pelanggaran hukum atau
kriminalitas (pemerasan, perampokan, pelecehan seksual, sampai penghilangan nyawa)
terhadap para TKI. Bisa dibilang kini terminal-terminal bandara menjadi momok
yang menakutkan bagi para TKI kita. Yang lebih parah lagi, apabila ada TKI yang
menjadi korban kriminalitas, mereka
dibiarkan pulang dalam kondisi telantar dan/atau dalam kondisi yang
mengenaskan. Mulai dari kondisi fisik yang cacat, kejiwaan terganggu hingga
mereka meninggal dunia (pulang dalam peti mati) akibat siksaan majikan di
negara penempatan.
Dari
apa yang telah saya gambarkan di atas, tidak dapat dipungkiri kalau negara-negara
lain telah memiliki sistem dan manajemen tenaga kerja yang lebih baik, rapih dan terjamin dibandingkan negeri kita, Indonesia. Sistem dan
manajemen yang mereka terapkan tidak amburadul, semrawut dan
tumpang tindih. Mulai dari hukum, kelembagaan hingga teknis sudah relatif
sistemik dan sesuai kaidah manajemen bisnis tenaga kerja yang baik. Modern dan
transparan.
Dari paparan
tadi, banyak hal yang harus dilakukan pemerintah kita untuk
mengurangi (bila tidak bisa menghilangkan)
keruwetan masalah tenaga kerja. Sudah saatnya negeri ini mengubah pola pikir
bahwa urusan atau permasalahan TKI itu bukan hanya tugas dan tanggung jawab
Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) saja. Masalah TKI
adalah urusan nasional atau bersama yang melibatkan banyak pihak. Mulai dari
masyarakat kita, pemerintah daerah (RT/RW,
lurah, camat), Kementerian Hukum dan HAM (Imigrasi),
Kementerian Tenaga Kerja, Kepolisian, Kementerian
Perhubungan, Kementerian Luar Negeri melalui kedubes atau konjen
setempat, hingga Presiden.
Sebab itu
untuk menata sistem dan
manajemen TKI diperlukan kerja sama
yang baik antara masyarakat dan pemerintah. Intinya, semua harus
bertanggung-jawab secara penuh atas hak-hak dan martabat anak bangsanya yang
berjuang di negeri orang karena negaranya sudah kesulitan
menyediakan lapangan kerja. Kalaupun akan dibuat badan seperti POEA di
Filipina, harus ada kejelasan dalam masalah kewenangan dan tugas-tugas yang
akan dikerjakan nanti. Jangan sampai membentuk institusi baru yang tujuannya
bagus di atas kertas, namun tidak punya kemampuan dalam menghadapi kasus-kasus
tenaga kerja.
Perlindungan
kepada para pahlawan keluarga dan pahlawan devisa di Indonesia
terlihat demikian rendah. Bahkan, dapat dikatakan
bahwa anak bangsa yang bernama TKI itu masih terabaikan dan diabaikan oleh
pemerintah (negara). Dengan mata-kepala sendiri, saya melihat masih begitu
banyak pejabat pemerintah yang berwenang dan bertanggung-jawab
terhadap TKI justru merasa ”najis” dan ”jijik” untuk memberikan bantuan dan
perlindungan kepada para TKI di luar negeri, saudara sesama anak bangsa itu,
ketika ada masalah atau kasus yang menimpa mereka.
Lalu, bagaimana
dengan proses dan pola perekrutan dan penempatan TKI? Setali tiga uang. Juga
masih amburadul. Berbagai praktik mafia sertifikasi kompetensi kerja asli tapi
palsu (aspal) atau tidak melalui prosedur resmi, termasuk percaloan paspor,
dari waktu ke waktu semakin bebas dan leluasa berkeliaran. Para mafia itu
dengan mudah menawarkan sertifikasi kompetensi kerja aspal dengan harga yang
jauh lebih murah dibandingkan biaya mengikuti pelatihan 200 jam sampai
mendapatkan sertifikat kompetensi kerja resmi dan sesuai prosedur. Walhasil,
begitu banyak calon TKI yang tertipu. Kalau pun kemudian mereka benar-benar
ditempatkan bekerja di luar negeri, maka mereka tidak memiliki kompetensi kerja
yang jelas. Status mereka pun adalah TKI tidak resmi alias ilegal. Dari sekitar
6 juta TKI yang bekerja di luar negeri, tercatat sekitar 2 juta TKI merupakan
pekerja tanpa dokumen resmi. (Kompas, 30 Desember 2009)
Bagaimana
pula dengan kelembagaan yang berwenang dan bertanggung-jawab terhadap
perlindungan dan nasib TKI? Sama saja. Semrawut dan tumpang tindih. Kelembagaan
jaminan sosial, misalnya, justru lebih banyak mengambil keuntungan dari TKI
dengan dalih asuransi. Konsep perlindungan TKI selama bekerja di luar negeri
belum sesuai dengan semangat dan realita di lapangan. Konsep perlindungan TKI
masih terus dijadikan ajang mencari uang (komersial) dengan dalih asuransi.
Pada tahun 2008, HIMSATAKI memperkirakan Rp365 miliar klaim asuransi yang tidak
dibayarkan kepada sekitar 16.000 orang TKI. Karena itu,
sebagian TKI kemudian enggan mengajukan klaim lantaran prosesnya rumit dan
berbelit. Ada juga yang tidak mengklaim karena sudah
telanjur pulang kampung. Begitulah karakter yang kurang terpuji lainnya dari
bangsa ini. Ungkapan “kalau bisa dipersulit mengapa harus dibuat mudah” seakan
sudah menjadi motto kerja para pejabat atau aparatur pemerintah di negeri ini.
***
Artikel
Pendukung:
Nyawa TKI
Setara Presiden
Pada tahun 2008, jumlah Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) di Asia dan Timur Tengah mencapai 4,3 juta orang dan dalam
setahun mengirim rata-rata US$1.000 per orang. Dana yang masuk setidaknya
mencapai US$4,3 miliar atau kurang dari Rp43 triliun setiap tahunnya. Belum ada
pemutakhiran data di tahun 2010. Tetapi jika dua tahun terakhir
diasumsikan terdapat kenaikan, sehingga total TKI mencapai 4,8 juta orang, secara
otomatis pemasukan devisa juga meningkat. Katakanlah
Rp48 triliun. Itu sama dengan pemasukan Rp4 triliun per bulan.
Mengikuti alur pikir itu, semua patut
mendukung pengiriman TKI ke luar negeri. Kalau perlu dicanangkan tekad
pencapaian TKI sebanyak 5% (11 juta orang) dari total jumlah
penduduk yang mencapai sekitar 220 juta. Bila perlu melalui pengiriman TKI, dunia
akan mengenal “Overseas Indonesian”. Bukan hanya “Overseas Chinese” atau China
Perantauan. Namun, Kementerian Tenaga Kerja perlu
mengubah paradigma. Melalui sistem basis data yang dikelola secara profesional
keberadaan TKI di luar negeri juga secara terus menerus dimonitor.
Tidak boleh terjadi sebagaimana kesan
selama ini, bahwa pemerintah baru “bergerak”
setelah ada TKI meninggal dunia. Untuk “bergerak” pun masih harus menunggu
laporan LSM dan media massa. Selama ini seolah saling menunggu atau lepas
tanggung jawab. Kementerian yang dianggap paling bertanggung-jawab
hanyalah Kementerian Tenaga Kerja. Sementara Kementerian Luar Negeri seolah cuma
mengurus keperluan pejabat. Keperluan TKI pantang diurus sebab bukan pejabat.
Lebih menyedihkan lagi ada pejabat atau
diplomat yang menganggap TKI tidak wajib diurus
karena menggunakan paspor biasa (hijau) dan bukan biru (dinas). Betapa tidak,
ada TKI yang jenazahnya terpaksa
terkatung-katung gara-gara pejabat Kemlu RI di negara tersebut tidak bersedia
turun tangan.
Padahal, pengiriman TKI perlu menjadi salah
satu strategi penting pembangunan bangsa. Sebab, pada
akhirnya yang dituju adalah menekan jumlah pengangguran. Juga bagaimana caranya
agar hasil keringat TKI dapat dinikmati keluarganya Tanah Air. Duit TKI jika
masuk ke rumah-rumah tangga kecil di pedesaan, menjadi kekuatan ekonomi yang cukup dahsyat.
Menarik kita ikuti ungkapan
Menteri Luar Negeri Filipina di era Presiden Marcos, Pacifico Castro penghargaan
yang cukup berarti terhadap warganya yang menjadi tenaga kerja di luar negeri.
Negara itu pada 1985 memiliki tenaga SDM di luar negeri sebanyak satu juta
orang. Mereka tidak hanya menjadi pembantu rumah tangga, tetapi juga pengemudi,
tukang kebun dan satpam. Setiap satu orang Filipina yang
bekerja di luar negeri wajib mengirimkan US$100 per bulan kepada keluarga yang
mereka tinggalkan di kampung halaman. Pemerintah memantau apakah
tenaga kerja yang dikirim secara resmi oleh agen di Manila itu
memenuhi kewajibannya atau tidak. Sekalipun tidak ada sanksi yang berat,
tetapi seorang tenaga kerja yang “lupa” mengirim uang bulanan, bakal
dikenai sanksi. Agen dan pemerintah saling mendukung.
“Filipina tidak seperti penilaian Bank Dunia
dan IMF. Sudah sejak tahun 1980 Bank Dunia dan IMF mengatakan Filipina
akan bangkrut. Tetapi kenyataan berbicara lain. Kami tetap survive,” papar Menlu Castro. Mengapa? Karena,
dolar dari tenaga kerja di luar negeri yang masuk
ke pasar-pasar di kampung tidak terdeteksi ahli keuangan dan juga tidak
tercatat di bank. “Tapi dolar liar itulah yang menghidupi masyarakat
banyak,” ujar Castro, kepada INILAH.COM, di Bandung 25 tahun lalu, saat
hadir di peringatan 30 tahun Konperensi Asia Afrika (1955-1985).
Konsep Filipina ini bisa jadi sudah usang dan
belum tentu relevan dengan keadaan masa sekarang. Tetapi
yang menjadi pertanyaan tidak bisakah pemerintah kita
membuat konsep yang jelas yang mampu menangani dan melindungi dalam
penempatan dan pengiriman TKI?
Jangan-jangan semua pengerah tenaga kerja cuma ‘asal kirim’ TKI tanpa kontrol.
Sebab sejauh ini yang terdengar dari soal TKI baru sebatas hal-hal yang
memusingkan kepala. Nyaris tidak ada kabar baik.
TKI yang meninggal akibat kekerasaan tangan
majikan sejauh ini menjadi kisah sedih di akhir hayat. Belum
pernah terjadi kematian seorang TKI secara tragis mampu membangkitkan empati dan semangat
persatuan nasional. Seperti yang terjadi pada nasib seorang pembantu asal
Filipina di Singapura beberapa tahun lalu. Filipina nyaris memutuskan hubungan
diplomatiknya dengan Singapura. Karena rakyat Filipina menganggap Singapura
bertanggung-jawab atas kematian seorang tenaga kerja
Filipina. Di Filipina nyawa seorang tenaga kerja sama mahalnya dengan nyawa
seorang politisi bahkan setara dengan seorang Presiden.
Sumber: www.inilah.com
(Selasa, 30 Maret 2010)
Majikan Arab Tancapkan
24 Paku ke PRT
Pasangan suami-istri Arab Saudi menyiksa Pembantu Rumah Tangga
(PRT) mereka asal Sri Lanka, LT Ariyawathi, hanya gara-gara si pembantu mengeluhkan
beban kerja yang terlalu berat. Pasangan itu menyiksa pembantu tersebut dengan
menancapkan 24 paku/jarum di tangan, kaki, dan dahi wanita itu. Hampir dua juta orang Sri Lanka
mencari pekerjaan di luar negeri tahun lalu (2009) dan sekitar 1,4 juta orang,
sebagian besar pembantu, bekerja di Timur Tengah. Banyak dari mereka mengeluhkan
pelecehan seksual
atau
penyiksaan fisik.
LT Ariyawathi, seorang ibu tiga anak yang berusia 49
tahun, pulang ke negerinya, pada hari Jumat tanggal 27 Agustus 2010, setelah
lima bulan bekerja di Arab Saudi. Keluarganya baru menyadari apa yang terjadi pada dirinya ketika ia
mengeluhkan rasa sakit dan kemudian mereka membawanya ke dokter, kata sejumlah pejabat Biro
Tenaga Kerja Luar Negeri Sri Lanka. "Majikan dan istrinya memalu 24 paku ke tubuhnya
ketika ia mengeluhkan beban pekerjaan yang berat," kata Kalyana Priya
Ramanayake, sekretaris media di biro tersebut.
Ariyawathi dibawa ke rumah sakit untuk menjalani operasi
pengeluaran paku dari tubuhnya, yang kata pembantu itu ditancapkan ke tubuhnya
ketika benda-benda itu dalam keadaan panas. Pemeriksaan dengan sinar-X
menunjukkan bahwa paku-paku dengan panjang satu hingga dua inci itu berada di
tangan dan kakinya serta satu paku di dahinya.
Biro Tenaga Kerja Luar Negeri membahas masalah itu dengan
Jaksa Agung. Sementara Kementerian
Luar Negeri Sri Lanka membahas masalah itu dengan Pemerintah Arab Saudi.
Sumber: www.kompas.com (Jum’at, 27 Agustus 2010)
4 Tewas dalam Kebakaran Pabrik
Empat pekerja migran asal India tewas
terpanggang setelah sebuah toko tekstil tempat mereka bekerja hangus terbakar.
Pabrik yang terletak di Johor, Kuala Lumpur, Malaysia, ini diduga dibakar secara
sengaja. "Kebakaran tersebut diduga berasal dari api yang disulut secara sengaja. Hal
ini dibuktikan dengan ditemukannya wadah berisi empat liter bensin berada di
lokasi kebakaran," menurut wakil kepala pemadam kebakaran wilayah Johor,
Syukor Sani Hashim.
Sementara pihak
berwenang sendiri masih belum dapat mengidentifikasi keempat korban kebakaran.
Kondisi mayat yang hangus terbakar menyulitkan pihak kepolisian untuk
mengetahui identitas para korban. Pemilik toko Mutu Veeraya mengakui, jika dua
korban yang tewas tersebut merupakan pekerjanya. Sedangkan kedua orang lain
yang juga tewas, menurut
Veeraya, merupakan teman
dari karyawannya.
Sumber:
www.okezone.com
(Rabu, 10 Maret 2010)
Ratusan Pekerja
Migran Vietnam di Malaysia Mogok Kerja
Sekitar 200 pekerja migran asal Vietnam
yang bekerja di sebuah pabrik garmen yang berlokasi di Jalan Kampung Jawa,
Kuala Lumpur, Malaysia, menggelar aksi mogok kerja. Mereka menuntut kenaikan
gaji, karena upah yang diterima saat ini dirasa terlalu murah. Para pekerja
asal Vietnam itu mengaku gaji yang mereka terima setiap bulan hanya sebesar 30 ringgit
Malaysia setelah dikurangi beragam pembayaran termasuk membayar agen. Namun, menurut
juru bicara Departemen Tenaga Kerja, mereka tiap bulan menerima upah sebesar
700 hingga 800 ringgit.
Lantaran kesal tuntutan mereka tidak
mendapat respons, ratusan pekerja migran Vietnam itu menolak untuk masuk ke
pabrik di Jalan Kampung Jawa. Mereka memutuskan untuk berleha-leha di kantin
menunggu hasil negosiasi yang dilakukan antara perwakilan mereka dengan pemilik
perusahaan. Negosiasi antara perwakilan pekerja dengan pemilik perusahaan itu
juga dihadiri pejabat dari Kedutaan Besar Vietnam serta Departemen Tenaga Kerja
Malaysia. Sayangnya, media yang meliput aksi mogok massal itu tak diizinkan
memasuki areal pabrik garmen itu.
Sementara itu, seorang juru bicara
Departemen Tenaga Kerja Malaysia mengungkapkan, memanasnya situasi yang menyebabkan para
pekerja migran asal Vietnam menolak masuk pabrik itu dipicu kesalah-pahaman. Menurut dia,
para pekerja asal Vietnam merasa gaji yang diterimanya sangat jauh berbeda
dengan pekerja yang memiliki keahlian. Tingginya kesenjangan gaji yang mereka
peroleh itu telah memicu ketidak-senangan karena mereka merasa diperlakukan secara tidak adil. "Kami
telah meminta Kedutaan Besar Vietnam untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya
kepada mereka," ujar pejabat yang tak disebutkan identitasnya itu. Dia juga
membantah pernyataan para pekerja yang mengaku hanya dibayar 30 ringgit per
bulan. Menurutnya, gaji para pekerja imigran Vietnam itu mencapai 700 hingga 800 ringgit.
Tiga tahun lalu, sempat juga dikabarkan
sebanyak Rp4,5 triliun gaji pekerja imigran asal Indonesia, yang masuk secara
ilegal, tertahan di Malaysia. Besaran jumlah tersebut merupakan gaji dari sekitar 850 ribu orang TKI
ilegal yang belum dicairkan oleh perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan
mereka. Gaji yang tertahan itu belum dibayarkan selama tiga bulan, mulai
September hingga Desember 2004, dengan perhitungan tiap buruh migran digaji 726
ringgit Malaysia.
Sumber: Republika (29
Oktober 2007)
No comments:
Post a Comment