Pemerintah memutuskan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) akan diintegrasikan ke dalam Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1 Januari 2014.
Namun, jumlahnya akan diverifikasi ulang dan
diperkirakan berkurang dari 45,5 juta jiwa saat ini menjadi hanya sekitar 11
juta.
Kesimpulan
ini disepakati pemerintah dalam Rapat Koordinasi (Rakor) tingkat menteri
tentang persiapan implementasi BPJS Kesehatan, di Jakarta, Selasa (27/8).
Rakor
yang dipimpin Menko Kesra Agung Laksono ini dihadiri Menteri Kesehatan Nafsiah
Mboi, Direktur Umum PT Askes Fahmi Idris, dan Ketua Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN) Ghazali Situmorang.
Agung
Laksono menjelaskan, kepesertaan BPJS Kesehatan akan dinaikan secara bertahap,
dan baru tahun 2019 seluruh masyarakat Indonesia terkaver.
Jamkesda
yang tadinya tidak masuk sebagai peserta
BPJS Kesehatan 1 Januari 2014 karena tidak memenuhi asas portabilitas akhirnya
disesuaikan.
Namun
dengan ketentuan, iuran maupun benefit Jamkesda disesuaikan dengan ketentuan
BPJS, atau minimal sama dengan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yaitu orang
miskin dan tidak mampu yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah melalui APBN.
Iuran PBI disepakati Rp19.225 per orang per kepala untuk 86,4 juta jiwa.
“Peserta
Jamkesda akan diverifikasi ulang, sehingga kita mendapatkan penduduk yang
benar-benar miskin dan tidak mampu, yang kami perkirakan jumlahnya berkisar 11
jutaan. Meskipun jumlahnya menurun, tetapi iuran dan benefitnya meningkat,
minimal sama dengan PBI,” kata Agung.
Dengan
demikian, kata Agung, jumlah orang miskin dan tidak mampu yang jaminan
kesehatannya ditanggung oleh negara menjadi 97 juta lebih, atau 40% dari jumlah
penduduk Indonesia.
Nafsiah
Mboi menjelaskan, iuran Jamkesda selama ini masih rendah yakni rata-rata
sekitar Rp5.000 sampai Rp7.000. Dengan dinaikan menjadi sama dengan PBI,
maka jumlah penduduk yang dikaver juga
berkurang, yakni dari 45,5 juta jiwa diperkirakan menjadi hanya sekitar 11
juta.
Untuk
menyeleksi 11 juta orang miskin dan tidak mampu tersebut akan diserahkan kepada
tiap daerah.
“Tentu
kami harapkan mereka yang miskin ini benar-benar orang yang ada di daerahnya,
karena mereka yang tahu. Dan kalau pun nantinya ada yang tercecer dalam program
ini, saat membutuhkan layanan kesehatan tidak akan ditolak,” kata Menkes.
Dana
yang dianggarkan untuk Jamkesda diserahkan pengelolaannya kepada BPJS Kesehatan
langsung dari APBD.
Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari anggaran mengendap di dinas kesehatan, seperti yang dikeluhkan sejumlah
pusat layanan kesehatan selama ini. Untuk hal ini diperlukan penjabaran teknis
terhadap Permendagri 27/2013 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran
2014.
Di
samping itu, kepada layanan kesehatan primer, seperti puskesmas, rumah sakit
pratama, dan fasilitas layanan primer lain milik pemerintah perlu diberikan
kewenangan untuk mengelola dana tersebut seperti pengelolaan Badan Layanan Umum
(BLU), dan BLU Daerah.
Rakor
tersebut juga menyepakati besaran iuran untuk peserta pekerja bukan penerima
upah dan peserta bukan pekerja atau bukan PBI. Untuk rawat inap kelas 3 peserta
harus mengiur sebesar Rp25.500, kelas 2 Rp42.500, dan kelas 1 Rp59.500 per
orang per bulan.
Sistem pembayaran
iuran minimal 3 bulan di depan, dengan maksud untuk mempermudah proses
penagihan dan keberlanjutan program ini. Namun bisa juga per musiman, misalnya petani bisa membayar
setiap kali panen.
Sedangkan
untuk iuran buruh atau pekerja penerima upah sampai saat ini belum disepakati,
dan dalam proses pembahasan. Pemerintah mengusulkan komposisi iuran 5% yang
harus dibayar oleh pekerja dilakukan dalam dua tahap.
Pertama,
selama masa transisi atau sejak 1 Januari 2014 sampai akhir Juni 2015 (18 bulan),
khusus Warga Negara Indonesia, komposisinya adalah 3,5% (tiga setengah persen)
dibayarkan pemberi kerja, o,5% (setengah persen) oleh pekerja, dan 1% disubsidi
pemerintah.
Sedangkan
Warga Negara Asing tanpa subsidi pemerintah, atau membayar sendiri. Kedua, per 1 Juli 2015 komposisinya diganti, yakni
4% dibayarkan oleh pemberi kerja, dan 1% pekerja. Persentase iuran ini dipotong
dari Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP).
“Ini pun
kalau subsidinya disetujui DPR. Ini baru usulan kami dan belum disepakati,”
kata Agung Laksono menambahkan.
Untuk
memudahkan pelaksanaan BPJS Kesehatan, pemegang kartu jaminan kesehatan selama
ini tetap dipakai atau berlaku saat membutuhkan layanan kesehatan, sampai
diterbitkannya kartu baru.
Agung
juga mengatakan, selama bulan November sampai Desember 2013 akan dilakukan uji
coba pelaksanaan BPJS Kesehatan di enam provinsi, yaitu Aceh, Jakatta, Jabar,
Gorontalo, Sumatera Barat, dan Sulawesi Utara.
Sebelum
BPJS Kesehatan resmi diumumkan, masyarakat juga akan diberikan informasi
mengenai bagaimana dan ke mana akan mendaftar.
Saat ini
pemerintah sedang mempersiapkan formulir, dan mekanisme pendaftaran, sekaligus
tagihan iuran setiap bulannya.
“Untuk
itu akan bekerjasama dengan unsur perbankan, kantor pos, dan lembaga lain yang
memiliki kas. Seluruh mekanisme ini diharapkan sudah selesai sebelum dilakukan
uji coba,” kata Agung. (www.suarapembaruan.com)
No comments:
Post a Comment