Alkisah. Seorang ayah memiliki tiga orang anak. Anak pertama
dalam kondisi tuna netra atau buta; anak kedua tuna wicara atau bisu; dan anak
ketiga dalam keadaan tuna rungu atau tuli. Meskipun memiliki kekurangan, hidup
mereka cukup bahagia dan ketiga anaknya juga tumbuh dewasa serta saling
mengisi.
Suatu ketika sang ayah gundah-gulana memikirkan masa depan
ketiga anaknya. Pada saat berdoa, sang ayah memohon bimbingan dari Tuhan. Sang
ayah bertanya kepada Tuhan, mengapa dirinya diberikan tiga anak dengan kondisi
berbeda dengan kekurangan yang berbeda pula? Saat makan malam tiba, di atas
meja tersedia sendok, garpu dan pisau guna menikmati berbagai macam hidangan
yang berbeda seperti mie, daging bakar dan nasi putih. Sang ayah menggunakan
sendok, garpu dan pisau secara bergantian. Saat menyantap mie, garpulah yang
punya banyak peran. Tapi, saat makan daging bakar, pisau dan garpu mengambil
peran itu. Sedangkan saat mengambil nasi, sendok yang lebih tepat untuk
digunakan.
Ketika sedang asyik menyantap hidangan dengan menggunakan ketiga
alat makan tadi silih berganti, tiba-tiba sang ayah terusik hatinya. Karena
Tuhan ternyata telah menunjukkan kepadanya akan makna tiga alat yang mempunyai
fungsi berbeda, namun ketiganya mempunyai peran penting dalam aktivitas makan.
Kontan, sang ayah teringat pada ketiga anaknya yang memiliki kondisi
berbeda-beda dan dia membandingkan satu dengan lainnya. Seketika sang ayah
tersentak dan mendapat pencerahan. Dia kemudian bersujud dan bersyukur, ”Ya
Tuhan, terima kasih Engkau telah memberikan aku anak-anak yang luar biasa dalam
kehidupan ini.”
Sang ayah mengibaratkan ketiga anaknya dengan sendok, garpu dan
pisau, yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Anak pertama
diibaratkan sebagai sendok, garpu (anak kedua) dan pisau (anak ketiga). Tanpa
garpu kita akan sangat sulit menikmati mie, tanpa pisau kita tidak bisa
menikmati daging bakar dan tanpa sendok kita kesulitan mengambil nasi. Kondisi
itu mambuat sang ayah menyadari dan mensyukuri, alangkah indahnya mempunyai sesuatu
yang berbeda ketimbang hanya mempunyai tiga buah garpu. Perbedaan itu terasa
membuat sesuatu terasa menjadi lebih lengkap.
Kisah tadi pun mengingatkan kita pada sebuah pepatah leluhur
Minangkabau, Sumatera Barat: "Nan buto pahambuih lasuang, nan pakak palapeh
badie, nan lumpuah paunyi rumah, nan kuek pambaok baban, nan binguang
kadisuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang.” (Si buta sebagai peniup
lesung, si tuli bertugas menembakkan meriam dan si lumpuh tukang jaga rumah.
Yang kuat sebagai pembawa beban, si bingung untuk disuruh-suruh dan si pintar
lawan berunding). Sebuah kearifan lokal yang memberikan sebuah pelajaran
berharga agar kita menempatkan orang sesuai dengan kelebihannya, kompetensinya.
Orang buta memiliki kelemahan pada indra penglihatan, maka ia harus ditempatkan
sebagai peniup lesung atau tungku api (nan buto pahambuih lasuang). Kinerja dan
performa si buta pasti optimal sebab ia tidak akan pernah merasa perih di
matanya bila dekat dengan tungku api.
Sementara itu, orang yang memiliki kelemahan pada indra
pendengaran atau tuli dapat diberdayakan dengan tugas menembakkan meriam (nan pakak palapeh badie). Si tuli akan
bekerja optimal karena memiliki kekebalan pada telinganya yang tidak akan
merasa kesakitan oleh dentuman keras dari ledakan meriam. Sedangkan orang
lumpuh (si lumpuh) dapat diberdayakan untuk menjaga rumah (nan lumpuah paunyi
rumah) lantaran pekerjaan menjaga rumah memang tidak perlu ke mana-mana. Untuk
orang berotot atau kuat bisa diberdayakan sebagai pembawa beban berat (nan kuek
pambaok baban). Dan, seorang yang berotak cemerlang (si pintar) dapat diberikan
tugas sebagai juru runding atau pemrasaran dalam suatu diskusi.
Kisah tadi telah menggambarkan betapa arif para leluhur
Nusantara kita. Mereka berusaha meletakkan atau menanamkan dasar-dasar
kehidupan guna melahirkan masyarakat yang kuat, makmur dan sejahtera. Makna
kisah ini tak lain adalah: ”Put your right man on the right place”. Bila kita
bisa menilai dan memahami makna kompetensi (sekumpulan sifat, pengetahuan dan
keterampilan yang berbeda dengan yang lain) secara lebih baik, kemudian
menempatkan pada posisi yang tepat, tentu kita telah bertindak benar dengan
memberdayakan segenap kekuatan untuk mencapai keberhasilan.
(Dinukil dari buku Win The
War BREAK THE SILO BOOST THE HiLo yang diterbitkan Gibon Books, Jakarta, Agustus
2010)
No comments:
Post a Comment